Iman Nurasyadi
SEDERHANA sekali pertanyaan anakku ketika kubawa ke reruntuhan keraton di Desa Banten, 10 kilometer sebelah utara Kota Serang, Provinsi Banten, Selasa (16/10-2007). Pertanyaan itu adalah siapakah yang punya keraton ini sekarang? Aku terdiam sejenak, tak langsung menjawab pertanyaan sederhana yang memerlukan jawaban yang rumit.
Anakku, Abdul Hadi yang baru belajar di kelas 3 SDN Bhayangkara dan Abdurrahman berumur 4 tahun sengaja kubawa ke lokasi reruntuhan keraton Kerajaan Banten yang berjaya abad ke-16. Dengan menggunakan sepeda motor jenis bebek, aku dan anakku menelusuri reruntuhan itu saat suasana masih diwarnai Hari Raya Idul Fitri 1428 H. Lokasi itu penuh sesak orang dari berbagai daerah untuk berziarah ke makam para raja, terutama Panembahan Maulana Hasanudin yang berada dalam kawasan Masjid Agung Banten.
Kumulai penjelasanku ketika bertemu dengan makam-makam raja di luar kawasan reruntuhan seperti Maulana Yusuf yang juga banyak diziarahi. Anakku langsung kebingungan ketika kusebutkan bahwa makam Maulana Yusuf juga ada di Afrika Selatan. Maulana Yusuf dibuang oleh Belanda ke Afrika Selatan. Di sana, dia mengajarkan Islam dan dikenal sebagai syekh. Bahkan dia dianggap salah satu wali. Hingga sekarang, orang-orang yang mengaku keturunan Syekh Maulana Yusuf sering datang ke Banten untuk berziarah ke tanah leluhurnya.
Aku benar-benar terjebak dan tak bisa memberikan penjelasan yang rasional ketika berkisah soal Pangeran Sabrang Lor yang makamnya berada di hamparan tambak, dekat Pelabuhan Karanghantu. Menurut kisah yang beredar, Pangeran Sabrang Lor tewas ketika berperang di lautan. Dengan lugunya anaknya bertanya, jenazahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sini? Dengan terpaksa, aku menganggukan kepala.
Di reruntuhan Keraton Kaibon dan Surosowan, aku hanya bisa mengatakan, Keraton Kaibon dibangun untuk dipersembahkan kepada ibunda Maulana Hasanudin yang tercinta. Sedangkan Keraton Surosowan didirikan sebagai tempat panembahan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan air, kerajaan membangun sebuah tempat penampungan air yang besar, sekarang tempat itu diberi nama Tasik Kardi. Air di sana dikirim melalui kanal-kanal buatan, dipompa dengan teknologi yang sederhana yang mengandalkan gaya gravitasi bumi. Kuperlihatkan bak-bak penampungan yang dibuat dari bata merah dan karang yang berada di sebelah selatan reruntuhan Keraton Surosowan.
Lagi-lagi aku kebingungan untuk memberikan penjelasan dengan bahasa sesederhana mungkin dan logika yang mudah diterima ketika anakku menanyakan soal papan yang terpampang. Papan itu berisi “Tanah Ini Milik Masyarakat”. Kupandangi papan itu seraya berpikir apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya, bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk penyerobotan dan pelanggaran berat yang dilakukan sekelompok masyarakat di Desa Banten terhadap aset-aset milik negara. Akankah kuceritakan bahwa tanah tersebut sudah dibeli / dibebaskan pemerintah pusat pada tahun 1970-an. Pemerintah pusat juga memberi tanah penggantinya. Bahwa masyarakat memperkarakan ke pengadilan 10 tahun kemudian. Keputusan pengadilan justru memenangkan pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Purbakala. Dalam suasana reformasi dan Otonomi Daerah (Otda), kelompok itu kembali mengklaim kepemilikannya. “Jadi keraton ini punya siapa?” tanyanya. “Punya pemerintah,” ujarku.
“Kok ada itunya, tanah milik pemerintah. Berani sekali orang yang pasang itu. Apa pemerintah enggak marah? Kok didiamkan saja, kok polisi diam aja,” kata Abdul Hadi, anakku dengan wajah yang polos.
“Iya, mereka pada berani ya,” kataku dengan mengembangkan senyum getir.
Kuurungkan niat bercerita soal kejanggalan yang selama ini terjadi di situs purbakala Banten Lama. Bahwa menurut undang dan peraturan, situs ini milik pemerintah. Sebab tak ada ahli waris yang sah dari bekas-bekas kerajaan, termasuk sawah seluas 500 hektare yang membentang keraton ke Tasik Kardi. Selain itu, pemerintah pusat juga telah menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk menggali reruntuhan ini dan dimunculkan kembali ke permukaan bumi. Khusus pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Banten dan Pemkab Serang telah mengeluarkan dana Rp 14 miliar lebih untuk penataan situs Banten Lama untuk dijadikan obyek wisata ziarah. Siapakah yang menikmati keuntungan dari semua itu? Ternyata bukan pemerintah pusat maupun daerah, tetapi sekelompok orang yang mengaku sebagai keturunan para sultan. Hingga sekarang tak ada pajak pusat dan retribusi atau pajak daerah yang masuk ke kas negara. Lalu untuk apa? Dan milik siapa situs ini?
Soal ketuurunan sultan, benarkah silsilah yang disebarkan kelompok ini, termasuk orang yang mengaku sebagai Sultan Muda? Bukankah ketika Gubernur Jenderal, Daendels berserta pasukannya menghancur leburkan kota, para petinggi kerajaan ditangkap dan dibuang ke tempat-tempat pengasingan. Ada raja yang dibuang ke Surabaya (Sultan Rafiudin), dibuang ke Afrika Selatan, Digul dan berbagai daerah lainnya. Lalu siapakah yang tersisa dari orang-orang di sana? Yang pasti bukan para bangsawan. Karena kalau mereka bangsawan, mereka akan ditangkap dan dibuang. Adakah mereka para jongos (maaf kasar) atau orang yang tak punya pangkat di lingkungan kerajaan? Mengapa sekarang ini mengaku sebagai pewaris yang sah dari keraton ini?
Saat pusat kota dipindahkan dari Banten ke Serang, maka Kota Banten terkubur secara perlahan-lahan, hingga punya warga hanya ratusan keluarga. Dan, situs itu tetap terkubur jika tak ada orang-orang (tak mengaku keturunan sultan) berjuang keras untuk melakukan penggalian dengan biaya dari pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Purbakala. Mereka adalah Uka Tjandrasasmita, Hasan Muarif Ambary, Halwany Michrob dan sederetan nama arkeolog yang mengupas tanah di reruntuhan itu setiap satu centimeternya. Ratusan arkeolog dan nama-nama tokoh yang disebutkan tadi yang langsung maupun tidak langsung memunculkan reruntuhan tersebut ke permukaan dan bisa dinikmati masyarakat secara luas.
Ditulis dalam Budaya Lokal
Anakku, Abdul Hadi yang baru belajar di kelas 3 SDN Bhayangkara dan Abdurrahman berumur 4 tahun sengaja kubawa ke lokasi reruntuhan keraton Kerajaan Banten yang berjaya abad ke-16. Dengan menggunakan sepeda motor jenis bebek, aku dan anakku menelusuri reruntuhan itu saat suasana masih diwarnai Hari Raya Idul Fitri 1428 H. Lokasi itu penuh sesak orang dari berbagai daerah untuk berziarah ke makam para raja, terutama Panembahan Maulana Hasanudin yang berada dalam kawasan Masjid Agung Banten.
Kumulai penjelasanku ketika bertemu dengan makam-makam raja di luar kawasan reruntuhan seperti Maulana Yusuf yang juga banyak diziarahi. Anakku langsung kebingungan ketika kusebutkan bahwa makam Maulana Yusuf juga ada di Afrika Selatan. Maulana Yusuf dibuang oleh Belanda ke Afrika Selatan. Di sana, dia mengajarkan Islam dan dikenal sebagai syekh. Bahkan dia dianggap salah satu wali. Hingga sekarang, orang-orang yang mengaku keturunan Syekh Maulana Yusuf sering datang ke Banten untuk berziarah ke tanah leluhurnya.
Aku benar-benar terjebak dan tak bisa memberikan penjelasan yang rasional ketika berkisah soal Pangeran Sabrang Lor yang makamnya berada di hamparan tambak, dekat Pelabuhan Karanghantu. Menurut kisah yang beredar, Pangeran Sabrang Lor tewas ketika berperang di lautan. Dengan lugunya anaknya bertanya, jenazahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sini? Dengan terpaksa, aku menganggukan kepala.
Di reruntuhan Keraton Kaibon dan Surosowan, aku hanya bisa mengatakan, Keraton Kaibon dibangun untuk dipersembahkan kepada ibunda Maulana Hasanudin yang tercinta. Sedangkan Keraton Surosowan didirikan sebagai tempat panembahan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan air, kerajaan membangun sebuah tempat penampungan air yang besar, sekarang tempat itu diberi nama Tasik Kardi. Air di sana dikirim melalui kanal-kanal buatan, dipompa dengan teknologi yang sederhana yang mengandalkan gaya gravitasi bumi. Kuperlihatkan bak-bak penampungan yang dibuat dari bata merah dan karang yang berada di sebelah selatan reruntuhan Keraton Surosowan.
Lagi-lagi aku kebingungan untuk memberikan penjelasan dengan bahasa sesederhana mungkin dan logika yang mudah diterima ketika anakku menanyakan soal papan yang terpampang. Papan itu berisi “Tanah Ini Milik Masyarakat”. Kupandangi papan itu seraya berpikir apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya, bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk penyerobotan dan pelanggaran berat yang dilakukan sekelompok masyarakat di Desa Banten terhadap aset-aset milik negara. Akankah kuceritakan bahwa tanah tersebut sudah dibeli / dibebaskan pemerintah pusat pada tahun 1970-an. Pemerintah pusat juga memberi tanah penggantinya. Bahwa masyarakat memperkarakan ke pengadilan 10 tahun kemudian. Keputusan pengadilan justru memenangkan pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Purbakala. Dalam suasana reformasi dan Otonomi Daerah (Otda), kelompok itu kembali mengklaim kepemilikannya. “Jadi keraton ini punya siapa?” tanyanya. “Punya pemerintah,” ujarku.
“Kok ada itunya, tanah milik pemerintah. Berani sekali orang yang pasang itu. Apa pemerintah enggak marah? Kok didiamkan saja, kok polisi diam aja,” kata Abdul Hadi, anakku dengan wajah yang polos.
“Iya, mereka pada berani ya,” kataku dengan mengembangkan senyum getir.
Kuurungkan niat bercerita soal kejanggalan yang selama ini terjadi di situs purbakala Banten Lama. Bahwa menurut undang dan peraturan, situs ini milik pemerintah. Sebab tak ada ahli waris yang sah dari bekas-bekas kerajaan, termasuk sawah seluas 500 hektare yang membentang keraton ke Tasik Kardi. Selain itu, pemerintah pusat juga telah menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk menggali reruntuhan ini dan dimunculkan kembali ke permukaan bumi. Khusus pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Banten dan Pemkab Serang telah mengeluarkan dana Rp 14 miliar lebih untuk penataan situs Banten Lama untuk dijadikan obyek wisata ziarah. Siapakah yang menikmati keuntungan dari semua itu? Ternyata bukan pemerintah pusat maupun daerah, tetapi sekelompok orang yang mengaku sebagai keturunan para sultan. Hingga sekarang tak ada pajak pusat dan retribusi atau pajak daerah yang masuk ke kas negara. Lalu untuk apa? Dan milik siapa situs ini?
Soal ketuurunan sultan, benarkah silsilah yang disebarkan kelompok ini, termasuk orang yang mengaku sebagai Sultan Muda? Bukankah ketika Gubernur Jenderal, Daendels berserta pasukannya menghancur leburkan kota, para petinggi kerajaan ditangkap dan dibuang ke tempat-tempat pengasingan. Ada raja yang dibuang ke Surabaya (Sultan Rafiudin), dibuang ke Afrika Selatan, Digul dan berbagai daerah lainnya. Lalu siapakah yang tersisa dari orang-orang di sana? Yang pasti bukan para bangsawan. Karena kalau mereka bangsawan, mereka akan ditangkap dan dibuang. Adakah mereka para jongos (maaf kasar) atau orang yang tak punya pangkat di lingkungan kerajaan? Mengapa sekarang ini mengaku sebagai pewaris yang sah dari keraton ini?
Saat pusat kota dipindahkan dari Banten ke Serang, maka Kota Banten terkubur secara perlahan-lahan, hingga punya warga hanya ratusan keluarga. Dan, situs itu tetap terkubur jika tak ada orang-orang (tak mengaku keturunan sultan) berjuang keras untuk melakukan penggalian dengan biaya dari pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Purbakala. Mereka adalah Uka Tjandrasasmita, Hasan Muarif Ambary, Halwany Michrob dan sederetan nama arkeolog yang mengupas tanah di reruntuhan itu setiap satu centimeternya. Ratusan arkeolog dan nama-nama tokoh yang disebutkan tadi yang langsung maupun tidak langsung memunculkan reruntuhan tersebut ke permukaan dan bisa dinikmati masyarakat secara luas.
Ditulis dalam Budaya Lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan