Kami adalah

Sabtu, 08 Agustus 2009

Kembali Ke Desa

Kutipan dari : http://bcwbanten.blogspot.com/search/label/Advokasi%20Kebijakan

Fisip Untirta kembali menggelar acara Diskusi Bulanan dengan Tema Sentral Komunikasi dan Perubahan Sosial (rencananya akan dibukukan dari kumpulan artikel terebut). Menjadi pembicara berdua dengan Neka Fitriah (Demokratisasi Komunikasi) dengan tema berbeda tetapi saling berkaitan dan sinergis.

Tema yang diusung sudah cukup lama menjadi bahan pemikiran sejak 1998-2006, diblog ini juga ada yaitu ; Partisipasi Rakyat Kuat DiAkar Rumput-Studi Kritis Membangun Civil Society di Desa dan Kelurahan, pernah diterbitkan di Majalah Menara Banten pada tahun 2006.

Karena tema ini berkaitan dengan komunikasi sosial dan perubahan sosial hanya sarana pemancing saja untuk kegiatan Program Fisip yang akan dilakukan yaitu membentuk Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) program depkominfo yang terdiri dari kelompok formal dan non formal; Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), Pos Yandu, Pos Bindu, PKK, Kelompok Industri Masyarakat,PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), kepemudaan, maka terpaksa kembali dimunculkan sekaligus mengingatkan bahwa wilayah masyarakat pedesaan sangat urgen untuk diberdayakan kembali.

DiBanten menurut rekan saya Gandung Ismanto, kelompok masyarakat pedesaan berdasarkan data statistik hanya 15 % mengenyam pendidikan tinggi , 70% buta huruf, 79% masuk kategori desa berkembang dan 80% desa tertinggal (desa maju biasanya masuk kategori kelurahan diwilayah perkotaan. red).80 % desa tertinggal di Propinsi Banten terbanyak ada di daerah Pandeglang dan Lebak.

Mengenai program JPS (Jaring Pengaman Sosial) pada tahun 1999-2000 yang dianggap bermasalah dalam makalah saya tidak seluruhnya gagal atau kurang maksimal hanya program tertentu yang dianggap kurang berhasil. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta termasuk yang sangat berhasil. Kelompok pengrajin mebel khas Jepara berhasil memiliki assetnya kembali bersaing dengan investor dari luarnegeri , begitupula masyarakat miskin daerahYogyakarta.

Hal ini disebabkan kohesifitas (kekuatan) keguyuban gotong royong masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta dari strata atas hingga bawah, aparat birokrasi pemerintahan hingga wong cilik sangat luarbiasa, sehingga program JPS dianggap berhasil. Yang lebih hebat lagi antar desa terkoneksi melalui jaringan internet.

Mengenai peran dari demokratisasi komunikasi yang disuguhkan Neka Fitriah dibutuhkan peran dan syarat utama yang sangat fundamental bagi masyarakat awam. Karena pada wilayah masyarakat bawah berada dalam posisi marginal belum melek informasi (pra informasional-Sistem Informasi Manaj. red) dan belum dapat mengakses informasi.

Relasi Sosial yang Tertindas
Berbagai kasus dimasa lalu hingga kini yang saya dan sdr Gandung Ismanto amati juga kurang lebih sama. Bagaimana masyarakat bawah mudah sekali dibohongi dan dibodohi.

Contoh kecil kepala desa yang bersikap seperti calo tanah, sertifikat tanah diambil dan dijadikan jaminan agar aman'(tanda petik, nyatanya malah dijual kepada pihak investor pengembang misalnya, bahkan lebih parah lagi tanah bengkok dijual, kasus pengumpulan KTP petani untuk koperasi fiktif kasus KUT dll red).

Dengan begitu nyata bahwa rekayasa paling mudah dilakukan elit-elit desa dan kota, begitupula akses dan pamanfaatan informasi dibawah kendali komunikasi dan kekuasaan yang sangat cenderung sentralistik.

The End Of Empowerment Society
Jika dalam buku Komunikasi Sosial Pembangunan karya Zulkarimen Nasution adalah teknis penyuluhan (top down) dengan hasil akhir adalah sosialiasi (sangat berhasil dimasa Orde Baru cth. kelompencapir, pos yandu, pkk dll), maka sesungguhnya terasa ada yang kurang dari kajian teori tersebut adalah pelatihan dan partisipasi yang tumbuh dan akhirnya berdaya dari bawah sebagai hasil akhir program/proyek pemberdayaan masyarakat oleh berbagai pihak, LSM, dunia kampus dan unsur lainnya.

Prof. Dedy Jamaluddin pakar komunikasi dan Prof Kusnaka dari Unpad, DR. Hari Hikmat, DR. Rizal Jayadi, serta Rektor UI Prof. Gumelar sebagai narasumber dalam melihat perspektif teori dan praksis partisipasi masyarakat bawah ini, dapat dijadikan rujukan untuk kita dari berbagai literatur dan makalah karya mereka yang sangat menguatkan peran dan posisi kedaulatan rakyat tersebut.

Mengenai Musyawarah Desa dan Kelurahan mengenai Program/ Proyek Pembangunan, saya melihat juklak/ jeknis sudah ada tertuang dalam tiap dinas di Propinsi Banten, tetapi kenyataan inilah yang kadangkala mengapa program/proyek pembangunan terdapat penyimpangan anggaran, kegagalan program dan tujuan akhir.

Subsidi fresh money dari pemerintah di daerah Pontang misalnya meskipun Bupati Serang Taufik Nuriman telah mengeluarkan Intruksi Bupati (Inbup) untuk melakukan Musyawarah Desa dengar pendapat program/proyek, ternyata itu tidak dijalankan sama sekali oleh aparat desa.

Di daerah Pontang ini sudah sering terjadi gejolak kasus aksi massa rakyat yang turun ke jalan. Kasus Kepala Desa dan BPD (Parlemen Desa) yang berpihak pada perusahaan penambangan pasir laut didaerah tenajar lor, tidak berpihak pada umumnya rakyat yang sebagian besar adalah nelayan ternyata sangat memprihatinkan.

Begitupula kasus oknum pejabat kecamatan dan kabupaten di sebuah desa di Tangerang dibongkar oleh LSM Peduli Masyarakat dalam menyalurkan raskin (beras miskin) terdapat kekurangan yang sangat besar.

Ini yang baru terungkap melalui media massa yang saya tangkap belum kasus besar lainnya di wilayah rakyat tersebut (lihat Kasus KUT diputihkan, dll)

Dengan demikian dalam posisi tersebut saya menyimpulkan bahwa, instrumen dalam menegakan Visi Kedaulatan Rakyat Madani tersebut mestilah ditopang oleh 3 hal pokok yaitu :

1. Musyawarah Desa (dengar pendapat minimal 3 x) Program / Proyek Pembangunan yang terdiri dari ; Pra, Pelaksanaan, Evaluasi terakhir) tertuang dalam juklak / juknis dinas, amdalsos, ini harus diperkuat kembali. Apakah diatur oleh Perda, Perbup/Inbup/ Perkot hingga Perdes. Terserah !!!
2. Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Desa) tertuang dalam UU 32/ 2004 Pemerintahan Daerah, permendagri 13, UU 25 Perencanaan Pembangunan Nasional, ini juga sangat penting untuk diberdayakan, banyak sekali desa yang kurang mengerti dan tidak melaksanakan atau tidak mendapat prioritas utama padahal ada pula yang sangat membutuhkan.
3. Evaluasi Tiap Dinas dengan program/proyek yang berkaitan dan bersentuhan langsung dengan rakyat bawah. Karena pola paternalistik dan birokrasi yang menghambat menjadi faktor kendala, untuk itu perlu transparansi dan akuntabilitas dari sebuah pemerintahan untuk tetap konsisten melayani masyarakat bawah (lihat dan baca : Hak Informasi Publik/e - government dan lain sebagainya untuk melakukan cross chek dan evaluasi program/proyek tiap dinas)

Mengenai pokja KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) jujur saya masih meraba (masih terlibat diskusi serius dengan rekan saya Agus Syafari)dan sangat potensial sekali jika ini dapat diberdayakan yaitu sebagai :

1. Pusat data dan informasi
2. Media informasi dan komunikasi masyarakat
3. Riungan warga kampung

Metode untuk memberdayakan tersebut yaitu dengan cara penyuluhan dan pelatihan untuk membangkitkan partisipasi masyarakat hingga berdaya dan mandiri.

Tetapi banyaknya penyuluhan belum tentu menghasilkan sosialisasi yang permanen menjadi sistem nilai dan pola kebiasaan serta tradisi masyarakat (sistem budaya dan sosial. red). Pertanyaan ini cukup mengagetkan saya.

Saya juga melihat betapa banyaknya program yang digelar oleh dunia kampus dari KKN mahasiswa hingga program pengabdian para dosen dengan karyanya lebih bersifat sementara bahkan hanya insidental sesaat. Bubar setelah acara berakhir dan paling bertahan hanya 6 bulan.

Pertanyaan ini dilontarkan oleh rekan saya Rahmi Winarsih dengan sangat cerdas sayangnya acara sudah berakhir.

Saya merenung diluar kenapa gagal ? ah ternyata mudah tetapi sangat berat, yaitu menghidupkan kembali hukum adat dan sangsi sosial ditengah masyarakat. Saya kebetulan mendapat ilham justru karena libur tidak mengajar ilmu tersebut.

Semoga ini berhasil dilakukan oleh para akademisi dan masyarakat ketika menggelorakan semangat pembangunan di desa, bukan hanya pada saat acara tetapi setelah acara berakhir.

Sedangkan Pendidikan dan Pelatihan, saya pikir ini sangat penting sekali untuk menambah skill (keahlian) dan pengetahuan masyarakat. Dunia kampus sebagai representasi gudangnya ilmu ini perlu diimplementasikan pada masyarakat.

Untuk pokja KIM (Kelompok / Komunitas Informasi Masyarakat) yaitu sebagai ;

A. Pusat data dan informasi, masyarakat harus melek informasi dan tidak gagap teknologi.

1. Pelatihan komputer dan internet ini sangat penting. Database tentang administrasi dan dokumentasi sejarah desa tertata rapih, bahkan dapat launching dengan membuat blog atau situs untuk melihat peluang usaha dari dunia internet misalnya.
2. Fasilitas Taman Bacaan (perpustakaan) Desa (jika tidak salah APBD Banten telah menganggarkan ini cukup besar untuk tiap desa ???)
3. Bantuan konsultasi dan penyuluhan dari berbagai pihak (pemerintah, kampus, lsm dll) untuk mendapatkan sumber informasi yang dapat memberdayakan masyarakat.
4. Diskusi rutin intensif dilakukan misalnya dengan FGD (Forum Group Discussition) dan teknik Pemetaan Desa model PRA-Participation Rural Apraisal dari setiap masing-masing kelompok informal dan formal masyarakat sebagai data primer dan kajian kebutuhan masyarakat (rekan saya yang satu lagi sdr. Kandung Ketua Pelaksana Acara Diskusi Bulanan sangat meminati sekali teknik ini).

B. Media Informasi dan Komunikasi Masyarakat
Media informasi dan komunikasi masyarakat desa cukup banyak yang dapat diaplikasikan diantaranya yaitu sbb.:

1. Mading (majalah dinding)
2. Buletin terbit berkala
3. Radio komunitas warga
4. Cybernet (internet)

C. Riungan Warga Kampung

Dilakukan berdasarkan mekanisme kebutuhan ketika organisasi formal atau non formal menggelar acara bersama atau sangat urgent dan mendesak untuk dilakukan riungan warga karena ada acara yang akan dilakukan.

Disini peran dari pokja KIM (Komunitas Informasi Masyarakat) diakomodir oleh seorang sekretaris desa atau dapat juga yang terpilih melalui pemilihan demokratis dari semua kelompok formal dan non formal tersebut, bertindak sebagai seorang administrator mencatat setiap kegiatan tersebut.

Riungan warga saya pikir sudah seringkali menjadi bagian dari local genius kita disitulah adanya nuansa solidaritas ikatan emosional yang sama menggurat tajam bagai naga dan mengurai sangat indah bagian dari keakraban kampung kita, dan dapat mengurai benang kusut setiap masalah warga dengan modal sosial (social capital) yang ada dan tersedia baik dari dalam maupun dari luar (CSR, dll).

Terakhir sebagai penutup dan resume diskusi bulanan Fisip Untirta ini, saya pikir kembali pada kita semua baik para pemrakarsa, penggiat, maupun masyarakat itu sendiri, bagaimana terciptanya partisipasi tersebut dapat menghasilkan rakyat madani dan berdaulat penuh. Semoga


Serang. 26 Maret 2008

Teguh Iman Prasetya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan