Kami adalah

Sabtu, 08 Agustus 2009

Merebut (Makna) Pancasila Catatan dari Kaki Gunung Slamet

Oleh Trisno S. Sutanto
Dikutip dari: http://islamlib.com/id/artikel/merebut-makna-pancasila/


Satu-satunya jaminan keberadaan kelompok-kelompok ini adalah Pancasila—walau rezim Soeharto telah menodainya. Karena pada rumusan Pancasila yang menghormati kebhinekaan, tetapi sekaligus menjaga persatuan, setiap kelompok diterima dan dihargai, tenggang rasa dicari, dan sikap moderasi diunggulkan. Soalnya adalah mencari celah yang melalui mana tuntutan mendasar itu dapat timbul ke permukaan.

SETIAP kali kata “Pancasila” terdengar, bulu kuduk saya seakan berdiri. Kata itu dulu pernah menjadi mantra ampuh di tangan rezim otoriter Soeharto, sebagai senjata ideologis yang dapat membungkam siapa saja yang mau berpikir kritis, sekaligus membuat setiap obrolan tentang Pancasila jadi memuakkan.
Tetapi di Padepokan Wulan Tumanggal, di kaki Gunung Slamet, Pancasila menjadi cerita lain yang memesona. Bukan sekadar repetisi bebal para pejabat, tetapi suatu keyakinan yang berurat berakar, dan ditempa oleh pengalaman peminggiran yang pahit. Pancasila lalu menjadi semacam pertaruhan hidup mati, sekaligus perjuangan untuk merebut hak-hak sipil kelompok-kelompok penghayat kepercayaan yang selama ini dinafikan.
Akhir bulan lalu, saya diundang ke padepokan itu. Mereka mengajak saya untuk merayakan “hari Pancasila”—sebuah istilah yang, mulanya, membuat saya merinding, tapi sekaligus membangkitkan minat. Selama ini Pancasila sudah dinafikan, dianggap barang tua warisan rezim otoriter yang harus dimuseumkan. Tetapi pengalaman gejolak sosial pasca Mei 1998, membuat kata sakti yang dirumuskan Soekarno 64 tahun lalu itu kembali menemukan gregetnya. Dan kini, kata itu kembali bergema di kaki Gunung Slamet.
Tiga hal dengan segera mengejutkan saya. Pertama, soal istilah: “hari Pancasila”. Berulang kali mereka menegaskan, bahwa yang diperingati bukanlah “hari lahir Pancasila”, tetapi “hari Pancasila”. Sebab, seperti ditegaskan Esno Kurnodho, Ketua Umum Himpunan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa (HPK), yang bagi masyarakat di sana lebih dikenal sebagai Rama Guru Bapak Tegal, jika memang ada hari lahir, maka kemungkinan ada juga hari kematiannya! Lagi pula, pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 lalu bukanlah peristiwa yang melahirkan Pancasila, tetapi “merumuskan” kelima sila yang, kata Soekarno sendiri, “digali dari khasanah bumi nusantara” dan diterima sebagai dasar negara merdeka yang akan dibentuk itu.
Kedua, perayaan “hari Pancasila” itu justru dilakukan oleh masyarakat sipil, tanpa sedikit pun campur tangan birokrasi negara. Padahal sekitar 700 orang dari berbagai daerah nusantara, dari mereka yang berusia lanjut sampai balita, menghadiri dan memeriahkannya. Ini sungguh fenomena menarik yang, saya yakin, akan punya dampak mendasar. Justru ketika birokrasi negara, para pejabat, politisi dan intelektual merasa enggan, atau malah risi, membicarakan lagi Pancasila, dan bahkan cenderung menafikan diskursus tersebut, kini masyarakat akar rumput mengambil inisiatif, merebut pemaknaan, dan mendaku-kembali Pancasila sebagai sesuatu yang fundamental bagi hidup mereka. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Kebingungan saya mendapat jawaban dari fenomena ketiga: perayaan “hari Pancasila” sesungguhnya merupakan deklarasi perjuangan kelompok-kelompok penghayat kepercayaan untuk menuntut hak-hak sipil mereka yang selama ini diabaikan. Di situ Pancasila bukan sekadar basa-basi pidato, tetapi menyentuh pertaruhan ultim yang menyangkut eksistensi mereka, Untuk memahami soal ini, kita harus mendedah agak jauh ke belakang—betapapun singkatnya.
Dalam kajiannya yang sudah klasik, Niels Mulder pernah memperlihatkan bahwa baru pada tahun 1961 Departemen Agama berhasil merumuskan definisi minimum tentang “agama” yang menjadi definisi resmi sampai sekarang, setelah upaya sebelumnya (1952) kandas di tengah jalan. Ada latar belakang politis yang kuat di balik perumusan tersebut yang harus ditelisik dengan teliti.
Mulder mengingatkan, kebijakan tersebut dilatari oleh suburnya kelompok-kelompok kebatinan pada masa itu. Depag, misalnya, pernah melaporkan bahwa pada tahun 1953 ada lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini ditengarai Mulder telah memainkan peran menentukan, sehingga pada Pemilu 1955 partai-partai Islam gagal memperoleh suara mayoritas, hanya mendapat 42 persen suara. Pada tahun yang sama BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) didirikan di bawah kepemimpinan Mr. Wongsonegoro. Lalu tahun 1957, BKKI mendesak Soekarno agar mengakui secara formal bahwa “kebatinan” setara dengan “agama”.
Tidak heran jika konstelasi politik ini mendorong Depag pada tahun 1961 mengajukan definisi “agama”. Suatu “agama”, menurut definisi itu, harus memuat unsur-unsur penting: kepercayaan pada Tuhan Yang Mahaesa, ada nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. Tentu saja, dengan definisi seperti itu, banyak kelompok kepercayaan, kebatinan, atau kelompok-kelompok masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat dan praktik-praktik religi lokal, seperti animisme, dinamisme, dstnya tidak tercakup di dalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai orang yang “belum beragama”. Atau, seperti diperlihatkan Atkinson, istilah itu berarti juga “belum memeluk agama yang diakui negara”!
Boleh dibilang sejak saat itu kelompok-kelompok penghayat kepercayaan dipinggirkan, bahkan ditolak keberadaannya. Hak-hak sipil mereka dinafikan, mulai dari kartu identitas, pernikahan, sekolah, dan lainnya. Sementara apa yang disebut “kepercayaan”, bagi penguasa negara ini, hanya masuk dalam kategori Departemen Pariwisata dan Film—jadi semacam tontonan bagi para wisatawan asing. Dan sebagai kelompok yang “belum beragama” itu, sudah tentu, mereka sah-sah saja menjadi sasaran penyebaran agama resmi untuk mencari tambahan pengikut.
Satu-satunya jaminan keberadaan kelompok-kelompok ini adalah Pancasila—walau rezim Soeharto telah menodainya. Karena pada rumusan Pancasila yang menghormati kebhinekaan, tetapi sekaligus menjaga persatuan, setiap kelompok diterima dan dihargai, tenggang rasa dicari, dan sikap moderasi diunggulkan. Soalnya adalah mencari celah yang melalui mana tuntutan mendasar itu dapat timbul ke permukaan.
Reformasi 1998, dengan tuntutan “politik kesetaraan” yang menafasinya, memberi celah itu. Terobosan UU Administrasi Kependudukan No 23/2006 memberi kemungkinan bagi para penghayat kepercayaan untuk “mengosongkan kolom agama” baik di KTP, Kartu Keluarga, maupun Surat Keterangan Kependudukan. UU itu juga, perlu dicatat, merupakan dokumen resmi pemerintah pertama yang memakai istilah “mereka yang agamanya belum diakui”—sebuah istilah yang selama ini dihindari pemerintah.
Maka terobosan UU 23/2006 tersebut kini menjadi senjata yang ampuh. Kelompok-kelompok penghayat kepecayaan di berbagai daerah berbeda ramai-ramai meminta agar kolom agama di KTP mereka dikosongkan saja. Berulang kali, di kaki Gunung Slamet, saya mendengar kesaksian orang-orang yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak mereka itu, walau harus menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tetapi saya sadar, celah terbuka itu menjadi kesempatan bagi para penghayat kepercayaan untuk meneguhkan identitas mereka, dan akan mengubah peta keberagamaan di negeri ini pada masa mendatang.
Ada cerita menarik soal itu. Seorang penghayat bercerita bagaimana dia meminta agar kolom agama di KTP-nya dikosongkan saja. Padahal, dulu, di kolom itu tercantum agama “Islam”. Petugas yang dihadapinya bingung. “Bapak pindah agama?” tanyanya.
“Bukan,” jawab dia. “Saya kembali kepada kepercayaan leluhur saya…”
Dengan kalimat itu, ia sedang menegaskan haknya untuk berdiri sama tinggi di negeri ini. Dan di kaki Gunung Slamet, diskursus Pancasila kembali hidup, sebagai pertaruhan ultim hak-hak anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan