Kami adalah

Sabtu, 08 Agustus 2009

JALAN PERGERAKAN PEMUDA KONSOLIDASI KERAKYATAN MENUJU KONSOLIDASI NASIONAL MEMBANGUN KEKUATAN KAWASAN MELAWAN NEO-KOLONIALISME IMPERIALISME

Kutipan dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/08/16/elan-spirit-pemuda-revolusioner/#more-1823

Eman Sulaiman

SEBAGAI AWALAN

Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat.
Situasi nasional saat ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa global yang langsung maupun secara tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap perkembangan ekonomi politik di Indonesia. Bangkitnya faksi baru dalam pertarungan hegemoni global Modal Internasional dan mulai tertatanya ekonomi politik kawasan khususnya di Asia memberi pemahaman baru terhadap kita bahwa, peristiwa perang dingin yang melahirkan dua kekuatan besar dunia antara Blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet telah bergeser jauh.
Tesis baru yang ditelorkan oleh Samuel F Huntington yang kemudian dikuatkan oleh pemikiran filosofis Franscis Fukuyama tentang akan munculnya benturan peradaban baru yang tidak lagi diwakili oleh pertarungan antar dua kekuatan negara adidaya melainkan didasari oleh pertarungan kepentingan Ideologi atau lebih tepat disebut pertarungan sentimen agama yang secara historis dilegitimasi oleh sejarah benturan di masa Perang Salib.

Pertarungan Blok Barat antara Amerika dan sekutunya serta Blok Timur yang diwakili oleh Irak dan Iran serta beberapa negara Islam lainnya mulai memuncak di penghujung tahun 2001 tepatnya 11 September ketika diledakannya gedung WTC yang mengorbankan ribuan orang, telah menjadi tonggak baru pertarungan global. Sehingga secara cepat Amerika kemudian melahirkan Resolusi untuk memerangi Terorisme. Osamah Bin Laden sebagai tokoh sentral dijadikan entry point untuk menyerang Afganistan dan selanjutnya menyulut perang di Irak dengan meruntuhkan Rezim Saddam Husein. Belum berhenti di tahap tersebut serangan akan dilanjutkan ke Iran akan tetapi karena Iran sebagai salah satu negara penghasil minyak dunia serta memiliki angkatan perang kuat juga telah mempersiapkan diri dan bahkan berani menyulut peperangan dengan mengalihkan konsolidasi ekonomi politiknya dengan Rusia dan Korea Utara. Namun yang harus dicatat, tesis besar Huntington tentang benturan peradaban mulai diragukan, bangkitnya Cina dan Jepang sebagai kekuatan utama perekonomian Asia bahkan dunia tidak saja mengancam eksistensi Amerika dan Eropa sebagai kekuatan besar dunia tapi juga mulai mempengaruhi pranata dan keseimbangan tatanan ekonomi politik di kawasan.
Korea Utara sebagai salah satu kekuatan baru yang sedang tumbuh di Asia juga menjadi ancaman yang cukup besar, selanjutnya kebangkitan beberapa negara-negara berkembang yang sering disebut negara dunia ke III seperti kebangkitan India, Vietnam, dan SriLanka menjadi inspirasi baru dalam lahirnya kekuatan baru dunia yang tidak lagi “menghamba” terhadap kekuatan Amerika melainkan mulai bergerak maju dan coba menisbatkan diri sebagai kekuatan dalam kancah pertarungan global. Di lain sisi. kebangkitan beberapa kekuatan di Asia juga disertai konsolidasi efektif beberapa kekuatan Negara Dunia ke III di daratan Amerika Latin bahkan di dekade akhir abad ke-20 kekuatan Amerika Latin telah bangkit disertai berkuasanya kekuatan-kekuatan sosialisme yang dilatar belakangi oleh perjuangan Nasional masing masing negara, seperti Argentina, Chili, Bolivia, Venezuela, Brazil dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Fenomena kebangkitan beberapa kekuatan negara-negara yang tidak pernah diprediksi sebelumnya telah menggeser pertarungan Ekonomi Politik global tidak lagi pada dua kekuatan blok dunia baik pasca perang dingin maupun pasca Black September, kebangkitan tersebut memberi sinyalemen pertarungan global lebih didasari oleh kekuatan-kekuatan kawasan yang sedang mempertaruhkan harga diri kebangsaan mereka sebagai wujud kebangkitan dari sebuah kekuatan dunia yang tidak lagi di bawah dominasi salah satu negara maupun blok yang bertarung. Sesungguhnya fenomena kemunculan kekuatan yang terus berkembang secara signifikan didasari oleh menguatnya paradigma penguatan Nasional sebagai alat pertarungan di wilayah kawasan maupun dunia secara global, selanjutnya kita secara kritis bertanya lalu Indonesia sebagai salah satu negara Dunia ke III di kawasan Asia telah bergerak kemana atau sedang melakukan strategi kebangkitan seperti apa dalam kancah pertarungan antar kawasan dan jerat pertarungan global?

INDONESIAKU:
ANTARA BUAIAN SOFT POWER DAN JEBAKAN HEGEMONI GLOBAL

Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan
garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme?
Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia.
Polarisasi yang sedang berkembang dalam faksi modal internasional yang disertai dengan kebangkitan negara-negara berkembang telah merubah beberapa kebijakan Ekonomi Politik Negara-Negara Modal khususnya Amerika, wacana Soft Power sebagai kebijakan luar negeri Amerika merupakan efek langsung dari kemajuan mendasar yang ditunjukan negara-negara berkembang, sebenarnya wacana Soft Power merupakan alternatif kebijakan yang lahir dari ketidak sepakatan beberapa negara yang ditujukan bagi kebijakan Hard Power Amerika yang melakukan ekspansi kekuatan miuliter di Afganistan dan Irak atau dengan kata lain pengendoran kebijakan tidak serta merta dipandang sebagai melemahnya kekuatan besar Amerika melainkan bisa jadi sebagai strategi hegemoni negara tersebut terhadap negara “jajahannya”.
Wacana istilah soft power sesungguhnya telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye, Guru Besar Kennedy School of Govertmen University Hardvard, AS. Dalam dua karyanya: Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Nye lalu mengembangkan ide soft power ini dan merelevankannya dengan kebijakan Amerika Serikat. Akan tetapi, penjelasan Nye yang lebih terperinci mengenai soft power ditulisnya secara komprehensif dalam karyanya :Soft Power: The Means to Succes in World Politics (2004). dalam buku tersebut, Nye mendefinisikan dimensi ketiga kuasa ini sebagai ”kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni memikat dan mengkooptasi pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.”(Nye, 2004). Nye menyebutkan bahwa soft power suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negerinya.
Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen, dan implikasinya. Soft power berciri mengkooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan dan kebijakan, sementara hard power antara lain berupa militer, sanksi, uang, suap, dan bayaran. Karenanya tidak seperti soft power yang berimplikasi mengkooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.
Kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Modal Internasional sesungguhnya tidak semata-mata lahir akibat dari mulai massifnya perkembangan negara-negara dunia ke III maupun konsolidasi kawasan yang terus digerakan oleh kekuatan besar dunia seperti Cina dan Jepang di Asia maupun Iran dan Libanon di Timur Tengah. Rentetan peristiwa besar telah menjadi pelajaran yang cukup membekas bagi kebijakan politik luar negeri Amerika, dari kegagalan menangkap Osamah Bin Laden sebagai kambing hitam peristiwa Black September di Afganistan yang malahan berujung meluasnya perang saudara di sana dan kemudian merembet ke kedaulatan negara Irak yang menjadi negara bulan-bulanan serangan Amerika berikutnya, dengan dalih untuk menciptakan stabilitas ekonomi politik dan penegakan demokrasi serta untuk menghancurkan rezim otoriter Saddam Husein di Irak, begitupun ancaman senjata nuklir yang disinyalir oleh AS sedang dikembangkan oleh Irak, namun sampai detik ini ternyata sama sekali tidak bisa terbukti secara kongkrit. Runtuhnya Saddam hanya menambah luka bagi rakyat sipil di Irak dan memperluas konflik berdarah di sana, senjata nuklir yang menjadi alasan mendasar AS ternyata hanya menjadi sumbu penyulut dari ekspansi Amerika semata.
Peristiwa tersebutlah yang mendorong konsolidasi beberapa kekuatan negara-negara di dunia untuk meninjau kembali posisi pertarungan di kancah globalnya, ancaman AS yang akan menyerang Iran bukannya membuat Iran surut malah melakukan Apel Siaga penyambutan serangan dan hal serupa juga terjadi pada ancaman penyerangan AS ke Korea Utara dengan alasan pengembangan senjata Nuklir ternyata juga malah dijawab dengan pembentukan barikade pasukan siap perang di Korut.
Betulkah alasan klasik negara AS menyerang beberapa negara yang telah disebutkan di atas merupakan tujuan utama dari ekspansi kekuatan militer atau sesungguhnya bagian dari pembaharuan atas krisis Minyak dunia yang sedang terjadi di tingkatan Global, kita mengetahui secara bersama bahwa ketergantungan negara barat terhadap Minyak untuk lahan pengembangan industri mereka sangatlah tinggi oleh karena itu apapun akan dilakukan untuk mempertahankan dominasi tersebut. Ternyata dibalik situasi tersebut AS tidak menghitung secara matang bahwa dengan semakin gencarnya mereka melakukan ekspansi secara langsung berakibat menguatnya resistensi bebrapa negara yang menganggap kebijakan luar negeri AS adalah arogan dan akan menghancurkan tatanan dunia dan kemanusiaan, lihat saja bagaimana timpangnya keberpihakan AS terhadap serangan rudal Israel ke Palestina dan Libanon serta semena-menanya menata infrastruktur ekonomi negara berkembang dengan jerat Hutang Luar Negeri.
Hal tersebutlah menjadi pelajaran kenapa Amerika Latin berani mengkonsolidasikan diri sebagai wujud resistensi perlawanannya terhadap kebijakan Neo Liberalisme yang diterapkan AS dan sekutunya maupun kebangkitan Malaysia, India dengan teknologi IT-nya dan Vietnam yang mulai bergerak menuju negara maju. Lain halnya dengan apa yang terjadi dengan kebijakan Indonesia yang tidak segera berbenah secara mandiri dan berdaulat untuk segera keluar dari kungkungan kapitalisme internasional melainkan semakin terjerumus ke jurang ketergantungan yang entah kapan muaranya akan berakhir.
Berubahnya paradigma politik luar negeri AS yang dipandang sebagai rekonstruksi politik pasca perang Irak dengan lebih menekankan kebijakan populis dan pendekatan Soft Power. Sangat disayangkan beralihnya kebijakan tersebut tidak segera disambut oleh Indonesia dengan penataan dan pranata yang kuat dalam menyambut pertarungan globalnya.
Kebangkitan India dan Vietnam sendiri cukup menjadi referensi bagaimana Cina dan Jepang sebagai dua kekuatan besar Asia dengan agresifnya merubah kebijakan luar negeri mereka dengan coba mulai mengkonsolidasikan India, Korea Utara Vietnam dan Sri Lanka untuk meninjau ulang posisi kawasan Asia dalam kancah pertarungan globalnya. Cina yang sejak dulu menyatakan perang dingin terhadap India dan larinya masyarakat komunitas Tibet di Cina yang dipimpin Dalailama beberapa waktu terakhir mulai mencair dan akan dengan sesegera mungkin merubah pola hubungan bilateral mereka dan lebih mengefektifkan kembali kerjasama ekonomi, politik, budaya dan pendidikan kedua negara (Baca: Kunjungan Hu Jintao ke India beberapa waktu lalu di penghujung bulan November ini).
Iran sebagai kekuatan besar negara di Timur Tengah juga mulai membangun kekuatan nasionalnya dan bahkan kekuatan di sektor kawasan Asia Tengah kita lihat bagaimana perkembangan Iran di sektor persenjataan dan minyak bumi memberi alasan yang kuat Rusia, Cina dan beberapa negara Eropa merubah kebijakan untuk mengembargo Iran seperti penekanan embargo yang dilakukan oleh AS terhadap Iran. Begitupun dengan Korea Utara yang terus membuka konsolidasi efektif dengan beberapa kekuatan kawasan seperti Rusia dan Cina sendiri. Di sisi lain kemajuan dinamika politik di kawasan Amerika Latin juga menambah corak perkembangan baru di konteks globalnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Indonesia menyikapi peristiwa – peristiwa besar yang telah banyak merubah beberapa negara yang dulunya sejajar dengan Indonesia kini mulai bergerak maju meninggalkan kita, dependencia politik terhadap Amerika jelas menjadi situasi yang cukup mendasar bagi keberlangsungan dan perubahan kebijakan nasional dan luar negeri Indonesia. Coba kita perhatikan bagaimana ketergantungan besar Indonesia terhadap Amerika yang demikian kuatnya sehingga dalam penyambutan Bush kemarin harus membuang uang sebesar Rp 6 Miliyar dan teramat ironis landasan yang dibuat di Kebun Raya Bogor ternyata malah tidak dipergunakan.
Dan yang lebih ironis lagi bahwa keberadaan Amerika di Indonesia dipercaya akan membawa perubahan yang signifikan di sektor Pendidikan, Kesehatan, Bio Energi dan Investasi. Kita masih percaya bahwa Amerika akan memberikan stimulus baru bagi kemajuan Indonesia jika itu benar ini sama halnya di masa Sukarno sebelum kemerdekaan yang terus menunggu kemerdekaan yang dijanjikan Jepang sedang situasi globalnya telah mensyaratkan Revolusi 45 menjadi jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
Kita juga patut membedakan kedatangan AS di Vietnam, Rusia, Singapura dan beberapa negara lainnya di dunia akan memberi implikasi yang sama di Indonesia, sebab kebutuhan pokok AS di Indonesia adalah untuk menata ulang eksplorasi sumberdaya yang mereka miliki di Indonesia seperti Freeport, Exxon Mobile, Blok Cepu, Newmont dll, sebagai fungsi pertahanan bagi basis produksi industri di negara Amerika, sehingga secara tidak sadar kita dipaksa bersikap bahwa kebijakan Soft Power lewat pendidikan adalah niatan murni negra digdaya tersebut untuk memajukan Indonesia. Jika kita belajar dari sejarah sesungguhnya kebijakan tersebut tidak ada ubahnya sebagai sebuah selubung hegemoni untuk kesekian kalinya yang dilakukan negara Amerika untuk mempertahankan dominasinya di Indonesia dan kawasan Asia secara khusus.
Sesungguhnya soft power merupakan leksikon lain dari apa yang telah telah dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891- 1937) tentang hegemoni. Soft Power merupakan upaya halus suatu mekanisme ajakan yang dilakukan secara simpatik. Baik soft power maupun hegemoni merupakan bentuk mengkooptasi melalui instrumen – instrumen seperti kebudayaan, kebijakan, nilai, dan institusi.
Perbedaan kontras antara soft power dan hegemoni ialah latar belakang pemikirnya: hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan seorang marxis italia dengan upaya melakukan perjuangan kelas, namun soft power muncul dari akademisi AS dengan intensi memberikan strategi-strategi jitu AS agar tetap melestarikan hegemoni dan dominasinya selama ini.
Dengan istilah soft power, Nye sebenarnya ingin menunjukan kenetralan konsepnya itu dan berupaya seakan-akan terbebas dari stigma menghegemoni yang sejak gramsci telah dipandang peyoratif.

Tereduksi AS

AS memang kerap menghegemoni masyarakat dunia dengan jargon membela hak- hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Sebagian besar masyarakat dunia pun tampak oleh nilai- nilai yang kerap diklaim AS sebagai nilai mereka itu. Layaknya alexis detocqueville pada abad ke-19 yang terpesona oleh ”demokrasi di Amerika”, sebagian mereka yang pernah studi di AS pun cenderung akan “terseduksi” AS.
Mantan menteri luar negeri AS, Colin Powel pun pernah mengakui kenyataan ini. Menurutnya, proses pertukaran budaya melalui program beasiswa belajar merupakan aset yang sangat besar bagi negerinya, terutama sebagai sarana menjadikan para “alumni AS” sebagai “diplomat AS” kelak (Nye, 2004: 44).
Tokoh politik Perancis, Hubert Verdin dan Dominique Moisi, dalam France in an Age of Globalization (2001), juga mengakui efek “tocqueville” dalam program beasiswa ini, yang menjadikan AS mudah menciptakan hasrat-hasrat masyarakat dunia melalui citra globalnya.
Penyebaran hasrat dan upaya penciptaan citra juga dilakukan pusat-pusat kebudayaan asing di negeri kita, seperti CCF (Perancis), Goethe Institut (Jerman), British Council (Inggris), Erasmus Huis (Belanda) dan lain-lain. Pusat-pusat kebudayaan ini berkepentingan mensosialisasikan budaya, seni, citra, nilai, dan kebijakan negerinya kepada masyarakat kita.
Dengan berbagai cara, lembaga- lembaga tersebut melakukan “seduksi budaya”: kursus bahasa, pemutaran film, pertunjukan seni, pemberian beasiswa, dan sebagainya. Selain itu, media-media mereka memainkan peran penting dalam “menggiring opini” publik seperti yang dilakukan CNN, BBC, VOA, DW, dan lainnya.
Lalu sesungguhnya kita (baca: Indonesia) sedang hendak bergerak seperti apa dalam konteks pertarungan globalnya? Ketertundukan negara terhadap Modal Internasional semestinya sudah mulai ditinjau ulang. Ketakutan atas krisIs ekonomi politik dan bahkan lebih jauh fenomena Balkanisasi yang akan terjadi haruslah kita ukur sebagai efek yang bisa saja terjadi tapi lebih mulia dibandingkan kita harus terus tunduk dibawah ketiak Neo Klonialisme Imprealisme Modal.
Kekuatan besar yang Indonesia miliki mestinya menjadi basis struktur penguat bagi terbentuknya kedaulatan ekonomi politiknya. Sumber daya alam yang melimpah tidak harus dibungkus dengan ketergantungan terhadap ekperimentasi Bio Energi yang sedang dikembangkan AS untuk menutupi kebutuhan pasar minyak dunia, sumber daya manusia yang melimpah juga bagian dari aset besar yang semestinya dikelola untuk membangun negara dan masyarakat Indonesia.

OLIGARKI POLITIK DAN PROBLEM KERAKYATAN

Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
Terpolanya kekuatan politik nasional ke dalam banyak faksi sangat jelas terlihat, faksi politik (baca: Oligarky Politik) terus bergeser dan mengkonsolidasikan diri sebagai proyek besar menyambut Pemilu 2009. Main mata beberapa orang dan kelompok terus terjadi, kerapnya PAN yang diwakili Sutrisno Bachir menemui presiden dan konsolidasi bawah tanah yang terus gencar dilakukan oleh PKS sebagai salah satu partai yang bercorak Islam Identity maupu so apourrch yang dilakukan kekuatan ”Politik Kanan” (Baca : Gemuruh Aksi menolak Bush oleh FPI, MMI, HTI, dan PKS) adalah kecenderungan yang mencolok dalam peta oligarki politik nasional kita, yakni semakin dekatnya perselingkuhan politik antara Militer dan kekuatan Politik Identitas yang secara umum juga diketahui sebagai bagian dari bentukan Tentara.
Sebagai sebuah perbandingan bangkitnya Rezim Fasis di Jerman maupun di Italy adalah juga merupakan dukungan penuh oleh Partai Konservatif dan Politik Identitas yang diwakili oleh Partai Katolik yang ada di sana. Bisa jadi hampir sama corak perkembangan politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini terus dipeliharanya kekuatan Politik Identitas dalam konteslasi pertarungan politik nasional tidak serta dibaca kasat mata melainkan bisa jadi desain untuk mempertahankan dominasi kekuatan militer saat ini yang terus mengkonsolidasikan diri. Di sisi lain kebijakan populis yang terus ditunjukan oleh Rezim SBY bukanlah bagian yang signifikan dari pembangunan infrastruktur sosial melainkan desain perebutan citra di tengah kesadaran sosial yang sedang tertidur. Kita bisa menyaksikan bagaimana pergerakan neraca kemiskinan yang terus berkembang dan peristiwa sosial yang terus terjadi, kejahatan, kematian yang tidak wajar, kerusuhan dan persitiwa sosial lainnya yang merupakan bagian dari tidak tertatanya dengan baik pranata politik maupun ekonomi masyarakat di Indonesia..
Di lain sisi Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden juga terus mengkonsolidasikan diri dengan kekuatan Borjuis Nasional (baca:Bakrie dkk), kekuatan Islam “Fundamentalis” (FPI,MMI,HTI,PKS,Muhammaiyah) serta beberapa komponen TNI yang pro terhadap modal. Konsolidasi yang dibangun JK lewat sentimen kederahan merupakan corak yang terus dikembangkan, konsolidasi yang hanya semata-mata merupakan pragmatisme politik tidak menghitung biaya politik yang akan terjadi. Tidak menutup kemungkinan Etno Chauvinisme akan semakin menguat dengan latar belakang identitas masing-masing atau ancaman yang cukup mengerutkan kening adalah bangkitnya semangat federalisme yang dibarengi dengan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh, Papua, Ambon, Poso , Sulawesi Merdeka, Minahasa Raya merupakan BOM WAKTU yang siap-siap meledak entah lewat latar belakang kepentingan politik maupun spontanitas sosial yang telah direkayasa sedemikian rupa.
Fenomena beralihnya Modal Internasional menanam investasi besar-besaran di bagian timur nusantara tidaklah tanpa maksud, seperti yang telah diutarakan diatas bahwa indikator yang paling jelas dari kehendak Modal adalah eksploitasi sumber daya alam khususnya Minyak Bumi yang mana tidak lagi bisa diperoleh secara massif di pulau Jawa (Lapindo Brantas, Blok Cepu dll), yang lebih ironis lagi adalah pesatnya penetrasi tersebut malah didukung oleh mainstream politik lokal yang juga pro terhadap Modal bahkan tiga kekuatan besar modal di Sulawesi (BUKAKA, BAKRI, BOSOWA) ikut serta terlibat dalam perselingkuhan tidak suci dengan modal internasional dan sedang mempersiapkan proyek mega tambang yang rencana eksplorasi awalnya akan dimulai tahun 2008. Meskipun di beberapa wilayah Sulawesi Selatan (Selayar, Bone, Palopo, Toraja Segi Tiga Emas Industri Gowa, Maros, Makassar dan bebrapa daerah lainya), Sulawesi Barat (Mamasa, Polewali Mandar, Majene, Mamuju, da Mamuju Utara), Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Toli-Toli) Sulawesi Utara (Manado, Minut, Minas, Bitung) Gorontalo, Sulawesi Tenggara (Kendari dan Kolaka) telah dimulai proyek besar tambang tersebut, dan yang lebih mengenaskan lagi adalah modus peralihan tanah di masyarakat kepada modal seringkali menggunakan pola-pola lama (baca: konflik horisontal dengan isu Agama, Ras, Suku, perkelahian antar kelompok).
Di balik mentalitas orang timur dan kondisi geografis yang mempengaruhi ruang psikologis menjadi data awal bagi modal untuk mempersiapkan ruang geraknya, situasi masyarakat yang gampang tersulut betul-betul dimanfaatkan secara massif dengan memobilisasi situasi sosial dengan didukung TNI/POLRI sebagai anjing penjaga modal. Kasus Mahdi Di Palu, Kasus Tibo di Poso, Kasus korban tailing di Mainahasa Utara, kasus sentimen Cina di Makasar adalah bagian dari motif atau cara kerja modal dalam menjalankan agenda Devide at Impera (Politik Adu Domba).
Di sisi lain tidak munculnya kekuatan progresif revolusioner di tingkatan gerakan yang seyogyanya menjadi katalisator gerakan sosialnya juga menjadi persoalan baru, fenomena intelektual yang terjebak pada kesadaran –maaf- “Barbarianisme” merupakan fenomena yang kerap muncul, tawuran antar mahasiswa seakan menunjukan kegagalan pendidikan memberi orientasi bagi masyarakat terdidiknya, terjebaknya kekuatan gerakan dalam logika pragmatisme politik juga menambah daftar panjang kegamangan gerakan disana. Situasi itu pulalah yang mungkin melahirkan apatisme bahkan frustasi sosial di masyarakat dan gerakan sosialnya sendiri.
Selain frustasi sosial yang semakin mewabah, gerakan juga mulai terlibat dalam pola pembangkitan gerakan Etno-Nasionalisme serta munculnya gerakan federalime dan cikal bakal disintegrasi semata-mata hanya didasari oleh kekecewaan politik terhadap penguasa dan elit-elit oligarkis di Jakarta, sehingga gerakan pembentukan Sulawesi Merdeka, Gerakan Minahasa Raya, Gerakan Front Pembebasan Sulawesi dan gerakan-gerakan pemekaran yang berujung pada pemisahan diri dari integritas nasional menambah PR panjang dari NKRI ini. Kecenderungan pemisahan diri bisa jadi merupakan bagian dari provokasi global yang hendak memecah belah gerakan perjuangan menuju kemerdekaan 100%.
Di tingkatan internal Partai Golkar sendiri, beberapa kekuatan juga sedang mengkonsolidasikan diri dan cenderung untuk meninggalkan JK sendiri. Agresifitas sikap politik yang ditunjukan JK menjadi alasan yang cukup kuat dan mendasari beberapa kekuatan untuk mengalihkan pusat konsolidasi. Golkar sebagai representasi salah satu kekuatan partai terbesar di Indonesia mulai menunjukan perpecahannya. Rapimnas yang terpecah pada 2 opsi mendukung kekuasaan dan yang hendak beroposisi adalah realitas politik yang terus mengkristal di tubuh partai berlambang pohon beringin ini. Di lain hal, Agung Laksono yang juga memegang posisi strategis di dalam kekuasaan negara dan di tubuh Golkar terus bermanuver dan bahkan indikasi yang terlihat dia sedang membangun komunikasi efektif dengan SBY, sedangkan kekuatan lama seperti Akbar Tanjung juga sudah mulai start dengan mengkonsolidasikan kekuatan pro-demokrasi yang dimotori Amin Rasik, Emha Ainun Najib dan beberapa kelompok Sos-dem.
UKP3R yang telah disahkan melalui keputusan Presiden adalah ruang yang dibangun oleh kekuatan Sosialis seperti Marsilam Simanjutak, Wimar Witular, Bintang Pamungkas, Joko Suyanto dan kekuatan PSI lama mulai membangun kekuatan. Tahun 2009 seakan menjadi bola kristal yang terus mengental dan bola liarnya akan terus menggelinding konsolidasi kekuatan politik yang sudah tidak terpola menjadi alasan cukup kuat akan muncul kekacauan sosial maupun politik jika salah satu kekuatan tidak terakomodir kepentingan politiknya berarti lagi-lagi politik dagang sapi akan menjadi jawaban atas persoalan-persoalan politik di negeri ini dan sangat jauh dari harapan untuk membangun kesejahteraan rakyat. Di sisi lain kekuatan Cendana masih sangat kuat mendominasi percaturan politik nasional, mereka membangun kekuatan hampir di seluruh partai yang hari ini bertarung bahkan mereka sedang mencoba membangun kekuatannya di dalam tubuh ”Politik Identitas”. Munculnya polarisasi politik yang semakin kabur dalam ranah kekuatan politik oligarki dan jika pemilu 2009 menjadi ekspresi puncak politik kekuatan oligarki maka kita akan bisa secara dini menebak siapa-siapa saja kekuatan yang akan berkuasa selama kekuatan tersebut mampu mempertahankan dominasi modal internasional di Indonesia.
Berkembangnya polarisasi kekuatan di tingkatan elit juga ikut serta mempengaruhi situasi sosial politik di masyarakatnya, sentimen anti jawa, isu federalisme (baca; disintegrasi), serta selubung palsu paradigma masyarakat tentang politik semakin memperkeruh situasi yang hari ini ada, belum lagi problem-problem kerakyatan yang hingga saat ini tidak pernah terselesaikan bahkan semakin membuka jurang kesenjangan di dalam masyarakat sendiri.
Di nasional, ketidakjelasan sistem pemerintahan yang tidak presidensial dan bukan parlementer menjadi awal dari rusaknya posisi negara. Hal itu mengakibatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak konsisten, menguatnya oligarki politik dan pertarungan kepentingan antar perangkat kenegaraan semakin menguat.
Ditambah lagi dengan kuatnya pengaruh modal asing yang mampu mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Hal ini nampak dalam paradigma penyelenggaraan negara yang bukan untuk melayani tetapi untuk menguasai. Dalam situasi ini, tidak ada supremasi hukum karena hukum dapat diperjualbelikan dan memihak pada kelompok yang berkuasa.
Kekerasan menjadi semacam mekanisme pertahanan diri (defense mechanisme) dari masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya. Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah membuat masyarakat terjebak pada cara berfikir dengan pola interpretif yang ditandai dengan gagalnya masyarakat melihat pilihan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan tindakan. Masyarakat menjadi frustasi atas hidupnya, ketika melihat berbagai macam aset yang merupakan hak dan harapan hidupnya terampas oleh pihak pemodal (asing) yang dijamin oleh regulasi pemerintah. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan penggunaan cara-cara kekerasan dan politisasi lewat tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk melegitimasi kekuasaan.
Sementara media masih saja efektif digunakan untuk membuat ilusi demokrasi.

MAJU ATAU HILANG SELAMANYA

Teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia.
Pembacaan di atas mengenai analisa kekuatan politik yang sedang bertarung hari ini, sekalipun itu masih bisa berubah dalam hitungan sekian detik. Namun, dari situ kita bisa mengambil beberapa garis benang merah yang kemudian bisa kita untai menjadi sebuah kesimpulan bahwasanya karakter kekuasaan yang sedang bertarung hari ini masih saja bersifat oligarkis. Sedari awal pun kita telah sadar, bahwa ketika tumbangnya rezim fasis militer Orde Baru, dimana tirani sebagai model/bentuk kekuasaanya dan mode of production colonial sebagai cara produksinya. Ternyata angin segar reformasi 98 itu pun tidak cukup bisa menjadi sebuah transisi menuju bentuk/kekuasaan yang bersifat demokratis (yang tentunya seharusnya juga bisa diikuti oleh perubahan pada cara produksi masyarakatnya). Progresifitas atas terbentuknya konsolidasi demokrasi baru paska reformasi ternyata malah menjadi sumbu dinamit yang sewaktu-waktu bisa di-remote control untuk menyulut konflik horisontal di level civil society nya. Ini sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konflik elit politik dalam memperebutkan kursi kekuasaannya. Ironisnya lagi perpecahan di dalam masyarakat sipil malah dipertajam dengan menguatnya politik identitas dengan selalu mengunggulkan kejayaan sejarah masa lalunya atau pendekatan dalam sentimen SARAnya. Menjadi tepat kemudian, jika kita tetap mensaratkan untuk waspada dan selalu mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik. Ini berarti seluruh problem kerakyatan harus segera menjadi obrolan sehari-hari di parlemen dan badan eksekutif negara ini dari pagi setelah tidur sampai malam menjelang tidur lagi
Menjadi sebuah keniscayaan bahwasanya transisi menuju demokrasi seharusnya tidak bisa mengikut sertakan Orde Baru lagi. Sebab, mereka adalah penyakit bagi tumbuh berkembangnya demokrasi dan cita-cita masyarakat mandiri. Pada konteks itulah garis politik gerakan pemuda tak kan pernah berubah. Garis politik gerakan pemuda pada konteks itu niscaya harus diterjemahkan secara lebih riil, yaitu; mutlak bagi rezim mana pun untuk menjalankan reformasi agraria/landreform, nasionalisasi aset bagi para pejabat dan mantan pejabat korup guna menguatkan survival mechanism bagi ketertindasan ekonomi rakyat, penghapusan hutang luar negeri, dicabutnya regulasi yang mengatur lembaga teritorial TNI/Polri, diadilinya para pelanggar HAM, dianggarkannya biaya pendidikan yang tinggi bagi semurah-murahnya biaya pendidikan untuk rakyat, dibukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya, dinaikkannya upah bagi keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran hidup para buruh demi kemajuan industri nasional, sekaligus memerdekakannya dalam berserikat dan mogok kerja, Sementara tugas besar gerakan adalah mempelopori terbentuknya serikat-serikat petani dan buruh yang progresif dan yang terakhir adalah meradikalisir seluruh keniscayaan di atas.

KEMANA KITA HARUS MELANGKAH !!!
Berpisah Kita Berjuang !! Bersatu Kita Memukul !! (Tan Malaka)

Harus dicatat oleh sejarah, ideologi revolusioner perjuangan nasional yang hanya terjebak dalam pencukupan diri pada pemahaman monolitik kondisi internasional bakal mengalami kemerosotan menjadi semata-mata gagasan reaksioner.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama ketika Kapitalisme melahirkan antitesa Sosialisme, demikian halnya imperialisme kemudian melahirkan ide tentang nasionalisme. Maka kemudian revolusi di dunia ketiga tidak hanya bisa berupa revolusi nasional yang berupa kemerdekaan, akan tetapi juga revolusi sosial sebagai upaya perlawanan atas Kapitalisme dan sisa feodalisme. Sebab sejarah juga pernah memberi kita pelajaran berharga bahwa ternyata produk kemerdekaan di dunia ketiga tidak cukup berhasil membawanya ke dalam kemerdekaan 100% dari penindasan Kapitalisme.
Gagasan dari dunia ketiga tentang perlawanan terhadap Kapitalisme Global terus bergulir dalam perjalanan sejarah, mulai dari Nasionalisme Arab yang digagas Gamal Abdul Nasser, penyatuan New Emerging Forces yang digagas Soekarno, hingga solidaritas internasional yang digagas Che Guevara. Muncul juga ide tentang ekspor revolusi seperti yang diserukan Ayatullah Khomeini maupun yang dipraktekan Che Guevara di Bolivia. KTT Asia Afrika, Gerakan Non Blok dan pertemuan selatan-selatan adalah upaya kerja sama sesama negara dunia ketiga. Namun, perlawanan tersebut mengalami kegagalan karena terkadang hanya selalu didasarkan pada persoalan politik semata, sementara pemulihan krisis ekonomi dan jebakan hutang melilit dunia ketiga sering terabaikan. Solidaritas Internasional juga kemudian sering mengalami kegagalan akibat hegemoni yang ditebar Amerika.
Menjadi jelas bahwa kebutuhan bagi Republik ini adalah bagaimana membangun gerakan ekonomi-politik dalam rangka perang posisi dengan Kapitalisme internasional untuk merebut wilayah hegemoni sehingga tata ekonomi-politik yang timpang dapat diakhiri.
Nasional Demokrasi Kerakyatan yang coba saya hadirkan adalah suatu ide dalam rangka perang posisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan menyandarkan pada gerakan ekonomi politik berbasiskan emansipasi massa. Sehingga menjadi penting apa yang telah dikemukakan Marx bahwa pengertian nasional harus dimaknai sebagai sebuah modal dagang di mana dependencia harus dipahami dalam pengertian politik: negara dalam pengertian nation bukanlah terjebak dalam bentuk konsolidasi primitif semata sehingga kemerdekaan 100% yang kita yakini harus dapat diidentifikasikan dalam pengertian produksi, dimana negara dan rakyat akan menggunakan menjadikan air, udara tanah beserta isinya sebagai alat produksi dan menciptakan cara produksi yang mampu menciptakan pemerintahan demokratik dalam pengertian anti imperialisme dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Untuk itu kita mampu segera membuat stimulus agar terciptanya seperangkat aturan yang menguntungkan produksi rakyat dan menciptakan investasi dan tenaga ahli (baca: intelektual organik) guna memberdayakan ekonomi-produksi rakyat. Maka ada beberapa hal yang bisa coba kita upayakan kembali secara optimal di lingkungan pendampingan sektoral kita serta khususnya di lingkungan kampus, yang sampai saat ini masih menjadi lahan pengorganisiran kita yang paling masif:

Ranah Perjuangan Mahasiswa dan Gerakan Dunia Pendidikan
Merebut Alat Produksi Pengetahuan
Revolution is an Extraodinary education Process
(Revolusi adalah Pendidikan di Luar Kelaziman)

Membaca derasnya arus liberalisasi yang masuk ke dalam institusi pendidikan serta mewabahnya penyakit apatisme-hedonisme yang menjangkiti mahasiswa Indonesia pada hari ini, mensaratkan kita untuk menyajikan kembali kebenaran sejarah pendidikan yang sesungguhnya ke dalam jamuan mahasiswa masa kini. Apa yang kita miliki sekarang di kampus, lembaga kemahasiswaaan, kurikulum dan hubungan belajar mengajar adalah wujud konkrit dari kekalahan independensi mahasiswa setelah diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Menteri fasis, Daoed Joesoef. Konsep Link and Match adalah upaya penyeragaman berpikir yang telah dilakukan oleh negara – yang berkembang dengan berlebihan (overdeveloped state) – dalam rangka rekayasa sosial dengan asumsi tentang modernisasi sebagai syarat dari terselenggaranya developmentalism (baca: pembangunanisme) yang “diajarkan” oleh Amerika, sebuah hubungan antar Negara yang menunjukkan praktek neo kolonialisme-imperialisme di satu sisi dan posisi semikolonial di sisi lain.
Tugas pokok dalam peperangan gerilya di sektor mahasiswa pada dasarnya adalah mendemokratiskan kampus dan menjadikan kampus sebagai basis perlawanan yang revolusioner. Memori kolektif kawan-kawan mahasiswa harus dibangkitkan bahwa, setelah pembubaran DEMA (Dewan Mahasiswa) oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Laksamana Soedomo lewat pendudukan militer atas sejumlah kampus dan lewat SK. 02/KOPKAM/1978 serta pemberlakuan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus–Badan Koordinasi Kampus) lewat Keputusan Mendikbud (SK. 156/U/1978), aktivis mahasiswa banyak mendirikan komite aksi (komite van aksi/comites d’action) yang bersifat ad hoc dalam rangka advokasi untuk ‘berbicara langsung dengan rakyat’.
Belum lagi, praktek kapitalisasi pendidikan yang telah menggadaikan hakekat pendidikan menjadi komoditas bisnis semata. Untuk itu perlu kerja keras dan kesabaran untuk mengeliatkan kembali khazanah pergerakan dan kritisisme dalam lingkungan kampus. Tentu saja, ini semua tidak bisa dibangun dengan pendekatan heroisme semata namun yang harus dibutuhkan saat ini adalah bagaimana kader kita bisa mempunyai kreativitas dan improvisasi yang tinggi dalam melakukan penggalangan masyarakat kampus seluas-luasnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang bisa segera dilakukan, seperti:

1. Kampanye mengenai Anti Liberalisasi Pendidikan (isu-isu BHMN, kurikulum, hak-hak mahasiswa, dll)
2. Gencarkan propaganda REVOLUSI PENDIDIKAN!!!
3. Membuat atau terlibat dalam kelompok-kelompok minat bakat sebagai sarana pengorganisiran dan pencitraan organisasi yang lebih luas.
4. Membuat atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan intelektual sebagai inovasi baru bagi pensemestaan gagasan Nademkra serta wahana untuk pencitraan organisasi yang lebih elegan.
5. Memetakan serta mengelola sumber daya kampus sebagai media pengorganisiran atau pensemestaan gagasan nademkra seperti lembaga penelitian kampus, pusat studi kampus, dll
6. Melakukan Penggalangan Opini yang terbentuk akibat kerja propaganda agar terjadi perbaikan kondisi maupun institusionalisasi program perjuangan dalam REVOLUSI PENDIDIKAN

Ranah Perjuangan Pemuda

Para Pemuda —satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimipin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan; satu-satunya tenaga yang tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan.
Pemuda sebagai entitas sosial mempunyai dimensi yang luas dengan keberadaannya dalam struktur sosial baik sebagai the have (kelas atas; pemodal) maupun sebagai the have not (kelas bawah; tertindas) maupun tersebar diberbagai lapangan pekerjaan/penghidupan (sering disederhanakan namun tidak begitu tepat menjadi sektor) ini bisa terbagi menjadi petani, buruh, PKL, usaha mandiri, anak jalanan, kaum miskin kota, mahasiswa dan lain sebagainya.
Dengan persebaran pemuda dalam berbagai kenyataan sosial dan teridentifikasi dalam identitas-identitas baru mengharuskan kita untuk menghubungkan sekian kenyataan dan memompakan semangat, sikap dan orientasi kolektif dalam ranah perjuangan masing-masing sesuai dengan konteks lokalitasnya yang sesungguhnya tersambungkan dalam problem yang sama yaitu kekuatan pembentuk yang menempatkan pemuda kehilangan akses menuju penghidupan yang layak akibat pekerjaan, pendidikan, nutrisi serta lingkungan sosial akibat terhisap oleh derasnya arus dehumanisasi.
Orde baru sukses meletakkan pembagian sektoral sebagai sekat-sekat yang menahan terbangunnya solidaritas. Seperti terpisahnya kaum tani dari massa buruh perkotaan, terpisahnya kaum buruh dengan buruh lainnya akibat perbedaan hasil produksi maupun kondisi kerja, atau terpisahnya kaum pekerja dengan kaum pengangguran membuat antagonisme justru hidup secara horisontal. Belum lagi kondisi ini diperparah oleh politik identitas maupun etno nasionalisme yang semakin menguat. Sesungguhnya kita memiliki modal sosial untuk menerobos sekat-sekat peninggalan orde baru ini. Latar belakang kita yang kaya akan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dengan konteks ketertindasan masing-masing akan membuat kader berbasis massa menemukan pasangannya; ranah sosial pemuda.
Sebagai penutup ada sebuah puisi “Penindasan adalah kebisuan yang diidap oleh setiap orang. Dan pemberontakan terhadapnya adalah bahasa semua bangsa”.
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucap selamat datang
Aku mengucap selamat pagi kepada hidup yang jelata
M E R D E K A !!! ***

Ditulis dalam Pojok Kampus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan