Kami adalah

Rabu, 16 Desember 2009

CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITY DAN KEARIFAN LOKAL



Oleh
Mochamad Arifinal, SH., MH
(Dosen Fakultas Hukum UNTIRTA)

“Selama lebih dari tiga dekade, ekonomi Indonesia dibangun atas dasar teori pertumbuhan yang memberikan peluang tak terbatas pada perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam” (B.Tamam Achda).

Latar belakang lahirnya CSR
Konsep pengelolaan ekonomi tersebut di atas, merupakan adopsi dari Konsep Ekonomi Kapitalis Ala Adam Smith (Bapak Ekonomi Kapitalis), yaitu pola perilaku ekonomi yang melampaui batas? Mana mungkin dengan modal yang sekecil-kecilnya dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya! Bagi penulis konsep ekonomi semacam ini menyesatkan.

Seharusnya konsep ekonomi yang dibangun adalah konsep ekonomi rasional tetapi tidak tercerabut dari realitas lingkungan yaitu ekonomi yang mendasarkan pengembangannya kepada kearifan hidup, dengan menggunakan teori keadilan distributif.

Aristoteles adalah bapaknya filsafat dunia. Dia adalah pencetus lahirnya Teori Keadilan Distributf. Konsep tersebut mengajarkan bahwa keadilan bagi manusia harus diberikan dengan berdasarkan prestasi yang di buat. Artinya konsep Reward and Punisment harus diterapkan untuk mengawal konsep ini, maksudnya apabila seseorang berbuat kebaikan maka ia harus mendapatkan penghargaan (reward), dan sebaliknya apabila seseorang berbuat suatu kejahatan maka ia harus mendapatkan hukuman (punisment).

Begitu pula dalam konsep ekonomi, haruslah diterapkan model pengembangan keadilan distributif. Yaitu suatu pola ekonomi yang dibangun berdasarkan modal (capital) yang seimbang dengan kontribusi perusahaan terhadap lingkungnnya. Tidaklah dikehendaki bahwa pengerukan keuntungan (profit) yang sebesar-besarnya oleh perusahaan, apabila tidak dibarengi dengan kontribusi atau manfaat (benefit) bagi kepentingan masyarakat setempat (local community). Atau dengan kata lain perusahaan harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, dimana perusahaan itu berada.

Mengapa harus demikian? Fakta membuktikan bahwa pada masa-masa lalu, dalam mana invisible-rules yang berjalan. Perusahaan cukup berlindung dibalik kekuasaan oknum-oknum tertentu saja untuk menghindari dari tuntutan masyarakat. Akhirnya masyarakat semakin marjinal dan miskin.

Fakta lainnya, bahwa kehidupan ekonomi masyarakat semakin involutif, disertai dengan marginalisasi tenaga kerja lokal. Hal ini terjadi karena basis teknologi tinggi menuntut perusahaan-perusahaan besar lebih banyak menyedot tenaga kerja terampil dari luar masyarakat tempatan, sehingga tenaga-tenaga kerja lokal yang umumnya berketerampilan rendah menjadi terbuang. Keterpisahan (enclavism) inilah yang kemudian menyebabkan hubungan perusahaan dengan masyarakat tempatan menjadi tidak harmonis dan diwarnai berbagai konflik serta ketegangan. Berbagai tuntutan seperti ganti-rugi atas kerusakan lingkungan, pemekerjaan (employment), pembagian keuntungan, dan lain-lain sangat jarang memperoleh solusi yang mendasar dan memuaskan masyarakat. Situasi tersebut diperparah oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang bersifat profit-oriented semata. Di masa-masa yang lalu keadaan seperti ini dipandang sebagai tidak ada masalah karena tradisi represif dalam pemerintahan kita masih sangat dominan. (B.Tamam Achda, 2006: 1-2).

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini, perusahaan sudah memberikan kontribusi, namun kontribusinya bersifat Top Down, yaitu memperbesar biaya (cost) perusahaan untuk pengeluaran dana-dana siluman (oknum dan premanisme, pen) melalui hibah-hibah sosial, bukan melalui hibah pembangunan yang bersifat sosial (social development).

Konsep demikian, tidak dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung, yang ada malah kesenjangan antara perusahaan dengan masyarakat semakin lebar, dan ujung-ujungnya malah konflik yang terbangun. Sebab di satu sisi ekonomi perusahaan tumbuh secara modern dan sangat pesat, tetapi di sisi masyarakat, ekonomi justru berjalan sangat lambat atau bahkan mandeg. Hal tersebut menurut perspektif sosiologi Booke disebut teori “Duel Society.” (B.Tamam Achda, 2006 : 1).

Apa yang perlu dilakukan? Harus ada cara lain, untuk menyerap dana-dana sosial dari perusahaan dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan, melalui pola-pola kontribusinya yang bersifat Botton Up, yaitu suatu pola penyerapan dengan melibatkan masyarakat lokal melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ini merupakan, salah satu cara untuk mengupayakan terjadinya harmonisasi antara perusahaan di satu sisi, dan masyarakat di sisi lainnya.

Jadi secara konseptual, sebenarnya lahirnya Corporate Sosial Responsibility (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat CSR) adalah untuk mengupayakan harmonisasi antara kepentingan dua entitas (paradoks), yaitu kepentingan perusahaan (Corporate) dan kepentingan lingkungan masyarakat dimana perusahaan itu beroperasi (baca: berada).

Tujuan awal dibentuknya CSR adalah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), yaitu suatu konsep dimana pembangunan ditempatkan sebagai bagian dari lingkungan. Ini yang penulis sebut dengan konsep “MEMBUMI,” Yaitu DIMANA BUMI DIPIJAK, DISANA LANGIT DIJUNJUNG (Rahmatan Lil-Alamin).

Pengaturan CSR di Indonesia
Sebelum diuraikan mengenai pengaturan CSR, perlu ditinjau, apa sesungguhnya tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Artinya semua peraturan perundang-undangan yang berlaku haruslah didasarkan pada tujuan dibentuknya negara (Baca: Republik Indonesia). Artinya antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya adalah satu kesatuan dan tidak boleh bertentangan sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang berlaku, sehingga melahirkan satu sistem hukum yang kuat dan integral.
CSR dalam sistem hukum Indonesia (eropa kontinental) diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas (selanjutnya disebut UUPT), BAB V dengan title Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Pasal 74 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”

Tanggung Jawab tersebut, merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Apabila perseroan atau perusahaan tidak mau melaksanakan kewajiban CSR, dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan mengenai CSR ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pengaturan semacam ini, sebelumnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas. Oleh sebab itu, ditinjau dari aspek pengaturan maka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU terbaru), dianggap ada kemajuan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini. Momentum ini harus dimanfaatkan secara positif, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun oleh masyarakat. Semua pihak dalam hal ini harus mendorong terlaksananya program tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) sebagai perintah suatu undang-undang.

Penerapan CSR sebagaimana disebutkan oleh Pasal 74 UUPT tersebut harus diarahkan dan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH), Pasal 1 angka 3 UUPLH menentukan bahwa “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Oleh sebab itu, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat harus mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan konsep ini, sehingga tercapai tujuan kelestarian fungsi lingkungan.

Dimana peran serta masyarakat? Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UUPLH, bahwa “Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.” Pelaksanaan ketentuan ini, dilakukan dengan cara :
1. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
2. menumbuhkembangkan kemampuan dan ke-peloporan masyarakat
3. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyara-kat untuk melakukan pengawasan sosial;
4. memberikan saran pendapat; dan
5. menyampaikan informasi dan/atau menyam-paikan laporan

Berdasarkan ketentuan ini, masyarakat mempunyai peranan yang cukup untuk turut serta dalam pengawasan operasional perusahaan sehingga dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan. Dalam kaitan ini, CSR ditempatkan sebagai konpensasi manfaat dari sistem tata ruang dan lingkungan yang dipakai oleh perusahaan, sebagai dampak dari operasional perusahaan.

Apabila ditinjau lebih jauh, sesungguhnya CSR sebagai suatu konsep tidaklah lahir begitu saja, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), secara prinsip sudah diatur. Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”

Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu me¬nimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan. kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Penulis lebih setuju bahwa asas fungsi sosial ini bukan hanya berlaku bagi hak atas tanah saja, tetapi juga berlaku bagi semua bentuk hak. Artinya “Semua Hak Mempunyai Fungsi Sosial,” Asas fungsi sosial seperti tersebut dalam Pasal 6 UUPA ini, kemudian diadopsi oleh Pasal 74 UUPT, yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan atau yang lebih dikenal dengan sebutan CSR saat ini.

Pengertian CSR
CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial dan lingkungannya (Suhandari M. Putri, Scema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007).

Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Adanya komitmen perusahaan atau dunia bisnis;
2. Kontribusi terhadap pengembangan ekonomi secara berkelanjutan;
3. Memperhatikan tangggung jawab sosial perusahaan;
4. Titik berat kepada keseimbangan; dan
5. Fokus perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Demikian antara lain unsur-unsur yang harus ada dalam konsep CSR. Oleh sebab itu, apabila berbicara mengenai CSR, maka harus ditekankan pada pelaksanaan unsur-unsur CSR itu sendiri, agar sesuai dengan batasan tersebut di atas.

Ruang Lingkup CSR
CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Ruang lingkup tanggungjawab perusahaan meliputi empat bidang kajian keilmuan yang merupakan satu kesatuan, yaitu; ekonomis, hukum, etis, dan filantropis (B.Tamam Achda, 2006: 4):
1. Tanggung jawab ekonomis berarti perusahaan perlu menghasilkan laba sebagai fondasi untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Namun dalam tujuan mencari laba.
2. Secara hukum, sebuah perusahaan juga harus bertanggungjawab dengan mentaati ketentuan hukum yang berlaku.
3. Secara etis perusahaan juga bertanggungjawab untuk mempraktikkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai, etika, dan norma-norma kemasyarakatan.
4. Tanggungjawab filantropis berarti perusahaan harus memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sejalan dengan operasi bisnisnya.

Mengacu pada ruang lingkup di atas, maka apabila CSR tersebut dilaksanakan secara konsisten dalam jangka panjang dapat menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa, CSR adalah prasyarat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologis kultural yang kuat dari masyarakatnya.

CSR dan Kearifan Lokal
Keunikan CSR adalah kegiatan ini sangat bersifat lokal dan indigenous karena pelaksanaannya harus meli¬batkan isu-isu lokal dan peran serta masyarakat lokal yang berada di sekitar perusahaan. Inilah sejujurnya yang membuat CSR memiliki peluang untuk rnasuknva keterlibatan masyarakat secara utuh dalam pencapaian tujuannya. Masalah kemis¬kinan selain muncul dengan ciri globalnya, muncul juga dengan segala bentuk kelokalannya seperti tingkat adaptasi masyarakat setempat terhadap perubahan (Hendrik Budi Untung, 2008: 36).

Oleh sebab itu, dalam kaitan ini untuk merangsang pertumbuhan CSR yang mampu mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan diperlukan tiga pilar utama untuk mewujudkannya (Dyah Pitaloka, Suara Merdeka, 2 Agustus 2007):
1. mencari bentuk CSR yang efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan dengan memperhatikan unsur lokalitas;
2. mengkalkulasi kapasitas sumber daya manusia dan institusi untuk merang¬sang pelaksanaan CSR; dan
3. peraturan serta kode etik dalam dunia usaha.
Untuk mewujudkan ketiga pilar pokok di atas, diperlukan kerjasama yang harmonis antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan, perusahan sebagai penanggung jawab financial CSR dan masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan.
Perlu mendapat catatan disini, yaitu peran pemimpin daerah baik itu Bupati, Walikota maupun Gubernur untuk berani memberikan dukungan agar konsep CSR yang diusung dapat diwujudkan. Terutama bagi Bupati dan Walikota, karena saat ini kedua jabatan tersebut memanggul amanah Desentralisasi, maka saatnya untuk berkiprah lebih jauh demi terwujudnya masyarakat madani yang berdaya, melalui pengembangan program-program CSR secara lokal.

Penerapan dan Pelaksanaan CSR
Pada periode tahun 1970-1980, Konsep CSR diperluas oleh Archi Carrol. Menurutnya, dunia usaha perlu meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi penunjang eksistensi perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan lahirnya stakeholder theory. Menurut teori ini, tanggung jawab korporasi melampaui kepentingan berbagai kelompok yang hanya berpikir tentang urusan finansial, tanggung jawab tersebut berkaitan erat dengan masyarakat secara keseluruhan yang menentukan hidup matinya suatu perusahaan. Untuk itu, dalam upaya penerapan CSR, perusahaan harus melaksanakan tiga prinsip penting (Hendrik Budi Untung, 2008: 38-39), yaitu:
1. perusahaan harus memberi perhatian penuh pada pengembangan fungsi-fungsi ekonomi masyara-kat;
2. perlu menyadarkan dunia usaha tentang perbahan nilai-nilai dalam masyarakat tempat mereka eksis;
3. perlu menyadarkan dunia usaha tentang keprihatinan pada lingkungan hidup dan upah kerja yang wajar, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan daerah pedesaan
Bagaimana seharusnya penerapan dan pelaksanaan CSR ini? Ada dua metode yang diberlakukan dalam CSR, yaitu Cause Branding dan Venture Philanthropy (Hendrik Budi Untung, 2008: 39-40). Metode Cause Branding menggunakan pendekatan Top Down, dalam hal ini perusahaan menentukan masalah sosial dan lingkungan seperti apa yang perlu dibenahi. Pendekatan yang kedua yaitu Venture Philanthropy, lebih menekankan pada pendekatan Bottom Up, disini perusahaan membantu berbagai pihak non-profit dalam masyarakat sesuai apa yang dikehendaki masyarakat.

Dalam pengelolaan CSR, Penulis lebih cenderung memilih untuk menggunakan metode yang kedua, yaitu Venture Philanthropy, sebab dalam pendekatan ini, perusahaan membantu masyarakat untuk menciptakan sendiri sumber-sumber penghidupan baru dan tidak sekedar menyalurkan bantuan sosial atau finansial kepada masyarakat.

Langkah penting yang harus dilakukan untuk menyerap dana-dana CSR dari perusahaan-perusahaan yang nilainya besar untuk kepentingan masyarakat local, maka harus diupayakan untuk membentuk suatu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), yang bertumpu pada kepentingan komunitas lokal yang siap untuk menyerap dana-dana CSR tersebut, untuk kepentingan pembangunan masyarakat lokal yang berkelanjutan. Misalnya, sebut saja namanya Local Community Depelopment (LCD), dan lembaga tersebut haruslah berorientasi pada gerakan sosial (non-profit).

Penutup
Simpulan yang dapat di tarik dari tulisan ini antara lain adalah:
1. Pentingnya konsep CSR ini bagi kepentingan semua pihak, sehingga perlu diwujudkan pelaksanaannya;
2. Perlunya kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan CSR dalam realita kehidupan masyarakat lokal;
3. Agar konsep CSR ini bukan hanya angan-angan, perlu segera dipikirkan untuk membentuk Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), yang bertumpu pada kepentingan komunitas lokal yang siap untuk menyerap dana-dana CSR tersebut


Daftar Pustaka
B.Tamam Achda, Konteks sosiologis Perkembangan corporate social responsibility (CSR) dan Implementasinya di Indonesia, disampaikan pada Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR, di Hotel Hilton, Jakarta, 23 Agustus 2006.
Dyah Pitaloka, Memperkuat CSR Memberantas Kemiskinan, Suara Merdeka, 2 Agustus 2007
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Suhandari M. Putri, Scema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Rabu, 09 Desember 2009

tes

mengurangi becek saat hujan dan debu saat kemarau.
Selain jalur darat, jalur air juga mendapat perhatian. Dia melaksanakan program pembuatan kanal dari Teluk Banten ke pedalaman sehingga kapal-kapal dapat masuk kota dan melaksanakan bongkar muat. Ada kanal yang masih bertahan hingga kini walaupun relatif sudah sempit dan tak dapat dimasuki kapal besar.

KESULTANAN DAN PERKEMBANGAN


Hassanuddin segera membenahi negara baru tersebut. Untuk memajukan Banten dia tanpa ragu mencontoh pengaruh luar dalam banyak hal dengan tetap berpijak pada identitas diri yaitu ketimuran dan keislaman. Dia bukanlah orang yang berfaham sempit dan kaku, sejauh pengaruh luar tersebut bermanfaat.


Hassanuddin mencoba mencontoh peradaban Muslim klasik (700-1400) yang sempat menjadi ukuran internasional. Peradaban tersebut berasal dari berbagai budaya antara lain Arabia, Mesir, Mesopotamia, India, Cina, Persia dan Romawi yang di-Islam-kan. Banyak buku dibawa dan pakar diundang untuk turut membangun peradaban Muslim tanpa menilai latar belakang agamanya. Hasilnya, kaum Muslim bukan sekadar menerima tetapi turut memberi peradaban dengan cara menjadi penemu dan pencipta semisal Jabir ibnu Hayyan, al-Kindiy, al-Khawarizmiy, Ibnu Sina, Ibnu Rusyud, al-Ghazaliy, ‘Umar Khayyam, Imam Syafi’iy, Imam Malikiy, Imam Hanafiy dan Imam Hanbaliy. Karya-karya mereka masih berpengaruh hingga kini. Singkat cerita, prestasi yang teraih itu disebabkan keberanian kaum Muslim saat itu berdialog dengan umat lain atau peradaban lain dengan berdasar semangat universalisme Islam. Mereka menyadari bahwa manusia tercipta dengan keragaman asal usul untuk bergaul dan Islam mengajarkan kesamaan derajat dengan ukuran kemuliaan adalah taqwa. Mereka bergaul, belajar dan membangun kemanusiaan dan peradaban dengan umat lain tanpa perlu mengganggu keislamannya. Inilah yang perlu dicontoh oleh kaum Muslim dari zaman ke zaman.


Maka, Hassanuddin mulai mengundang bangsa-bangsa lain untuk turut serta membangun Banten. Banyak ahli semisal seni, bangunan, politik, ekonomi dan planologi berdatangan ke Banten menunjukkan keahliannya. Maka bangsa Cina, India, Arab, Portugis, Persia, Turki, Inggris, Perancis, Belanda dan sebagainya bahu membahu membangun Banten di segala bidang dan hal tersebut berlangsung demikian lama karena dilanjutkan oleh para penggantinya. Hasilnya dapat kita saksikan kini, pengaruh asing dari sisa peninggalan Kerajaan Banten semisal masjid, istana, benteng dan makam. Walaupun tak dapat dibantah banyak peninggalan tersebut tidak utuh akibat dimakan zaman dan konflik berkepanjangan. Istana Surosowan misalnya, dirusak oleh pasukan Belanda atas perintah Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels tahun 1808. Reruntuhannya dipakai untuk membangun kota Serang, ibu kota Keresidenan Banten dan kini Provinsi Banten.


Kota Banten diperluas dan dibentengi oleh tembok tebal serta dikelilingi parit besar, ciri umum kota-kota zaman itu. Hal tersebut berdasar pemikiran bahwa zaman itu masih banyak peperangan. Adapun jalan-jalan kota diperkeras dengan batu bata sehingga

Minggu, 18 Oktober 2009

Terpisah diantara dua Carrefour (baca: terjajah oleh bentuk kolonialisme baru Perancis)

Malam ini (Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 20.30an) Aku janjian ketemu dengan Kika Syafii (KS). Waktu dan tempat telah kami sepakati, maka meluncurlah kami ke titik pertemuan. Aku sudah di Tangerang, begitu juga KS. Aku sudah di depan Carrefour, begitu juga KS. KS bilang sudah di halaman parkir, begitu juga Aku. KS kasih deskripsi tentang kendaraan yang dia gunakan; mobil pick up Panther warna hitam, kudekati mobil pick up Panther hitam.. mobil bergerak lambat. Lewat komunikasi handphone kukatakan, “aku sudah lihat mobilmu, jangan bergerak! coba berhenti” handphone kumatikan, aku bergerak menuju mobil pick up Panther hitam itu tapi mobil hitam itu terus melaju cepat!

Aku terdiam bengong setelah teriak-teriak melambaikan handphone yang sengaja kuangkat agar terlihat tanganku dengan nyala layar handphoneku tapi mobil pick up Panther hitam itu terus melaju semakin cepat. Ku SMS, KS (sialan) itu sambil menggerutu dalam hatiku; “kukejar koq malah bablas trus!” tak lama handphone berdering, “itu bukan mobilku!” Oaaalaaaahhhhhhhhhh…. Biyung…biyung.. tobat..tobat.. makan soto campur babat!!!!! ternyata Aku di Cikokol sementara KS di Pamulang meskipun kami sama-sama di depan Carrefour...Juancukk!!!!

Hehehehe…. Aku tertawa sejadi-jadinya bahkan ade sepupuku yang menunggu di depan kedai roti bolong Dunkin Donut tertawa puas melihat abangnya terlihat keringetan bolak-balik . (situ pikir ngejar mobil di halaman parkir kagak capek apa!) Begitulah dahsyatnya gaya penjajahan Perancis terbaru ini. Carrefour ada dimana-dimana... bayangkan jika Aku dan KS janjian bertemu di Alfamart (yang juga ‘milik’ Carrefour setelah berhasil meng-akuisisi Alfamart) bisa di setiap tikungan jalan tuh...hahaahahaa..

Mari kita lihat cuplikan data menarik yang kami copy dari artikelnya http://antinekolib.blogspot.com dan (kemudian) kami posting (kembali) dalam blog forum diskusi kami pada http://babadbanten.blogspot.com/2009/08/carrefour-sudah-monopoli.html

“……Dengan mengakuisisi Alfa, berarti Carrefour sudah memiliki 58 gerai, sebuah kekuatan besar dalam industri ritel Indonesia. Bila digabungkan dari segi pendapatan, Carrefour sebesar Rp 7,2 triliun dan Alfa sebesar Rp 2 triliun, itu sudah menjadi Rp 9,2 triliun. Sedangkan jumlah gerai hypermarket Giant adalah setengah dari jumlah outlet Carrefour dan Hypermart.
Paska akuisisi Alfa oleh Carrefour, kesenjangan omzet Carrefour melampaui sangat jauh dari pesaingnya, yakni Ramayana yang hanya memiliki omzet Rp 4,8 triliun pada tahun yang sama.”…….

Endonesa-ku tak sadar sedang dijajah oleh kolonialisme model baru-nya Perancis... mati sudah kejayaan warung-warung kecil milik entrepreneurs sejati Endonesa jika rakyatnya bangga melenggang keluar-masuk Alfamart walau hanya sekedar membeli sebungkus kecil kwaci matahari ketimbang membeli di warung reyotnya milik Mbok Surti!

Forum diskusi kami (babad banten) tengah mengkaji secara akademis mengenai Pembangunan Carrefour yang berdiri megah tepat di jantung Kota Serang. Entah bagaimana historisnya bagunan Carrefour itu dapat berdiri tegak tepat dipersimpangan jalan protokol kota tercinta kami ini? Entah siapa yang memberikan ijin pembangunannya? Mengingat Kota Serang barulah seumur jagung (setelah mendapatkan persetujuan pemekaran sebagai Kota baru sehingga terlepas dari Kabupaten Serang, induknya ini), begitu cepatnya kinerja Anggota Dewan dan Pemerintah Kota Serang yang baru ini dalam membuat regulasi pendirian bangunan Carrefour padahal masih banyak sekali yang harus dipikirkan terlebih dahulu (sekedar gambaran saja, jarak antara Gedung Pemerintahan Kota Serang dan Carrefour hanya berseberangan saja diantara persimpangan jalan protokol!!), bahkan tata adminstrasai dan sumber daya aparatur kota saja masih amburadul, banyak pegawai yang mengeluh belum mendapatkan honorarium dan gaji mereka setelah dimutasi ‘paksa’ dari instansi Kabupaten Serang kepada instansi Kota Serang.

Seyogyanya produk hukum daerah yang telah terbit harus terlebih dahulu masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda), jika melihat dari usia Pemerintahan Kota yang seumur jagung berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang maka Menteri Dalam Negeri Mardiyanto meresmikan kota pemekaran, yaitu Kota Serang, Provinsi Banten, pada tanggal 2 Novenber 2007 bersamaan dengan Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung maka sungguhlah luar biasa para pemimpin pemerintahan yang baru ini karena sudah berhasil mendirikan pusat perbelanjaan setaraf Carrefour dalam waktu singkat.

Seyogyanya (lagi) setiap produk hukum yang akan terbit haruslah terlebih dahulu mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, hukum dan juga perlu mempertimbangkan prioritas produk hukum mana yang terlebih dahulu penting untuk dipikirkan, pemerintah juga harus mempertimbangkan bagaimana efeknya terhadap pasar-pasar dan toko/warung tradisional. Tempo interaktif memotret fenomena ini “………..Kondisi itu terjadi setelah Pemerintah Kota Serang mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 157 tahun 2007 yang tidak membatasi jumlah dan jarak ritel modern di pusat kota………” maka dapat dibayangkan betapa banyaknya warga Kota Serang bangga keluar-masuk Alfamart dan sejenisnya meski tubuhnya hanya dililit handuk hanya untuk membeli sabun mandinya yang habis, mereka hanya melangkah kedepan rumah padahal di sebelah kanan-kiri ada warung Ibu Hajah Jup dan warung-warung kecil lainnya yang tersisihkan sejak munculnya alfamart dan sejenisnya yang tumbuh subur di hampir setiap 30 meter!!!

Saya dan beberapa kawan (Heru W, Diqbal S dkk) tengah merintis forum diskusi BABAD BANTEN (www.babadbanten.blogspot.com) yang coba menggali kembali kearifan lokal kampung halaman kami tercinta ini (baca;Banten). Sekedar cerita anekdot miris yang biasa saya lontarkan ketika kami berdiskusi berlama-lama hingga menghabiskan beberapa liter kopi dan entah berapa bungkus rokok yang menjadi pasokan energi mulut kami yang (alhamdulillah) tak pernah berbusa. Begini ceritanya, jika saya tiba-tiba diculik lalu mata saya ditutup rapat dan dibius pula, kemudian saya dibawa entah kemana namun setelah saya tersadar dari pengaruh bius itu maka saya dapat menerka bahwa saya telah berada di Bali, meskipun saya tak mengetahui rute yang saya lalui, penutup matapun belum saya buka dan tidak ada seorangpun yang memberitahukan kepada saya, karena saat itu saya sudah merasakan atmosfernya Bali, saya sudah mampu membuat kesimpulan saya tengah berada di Bali walau hanya dipandu oleh hidung saya terlebih saya diyakinkan oleh telinga saya yang mendengar alunan musik khas Bali.

Mari kita lihat perbandingannya, jika anda berangkat dari Bali menggunakan pesawat maka anda akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta, dari Bandara anda menggunakan taxi melewati daerah Pintu Air lalu Cikokol, hingga daerah Blaraja terus melaju melewati gerbang kota dan sampai pada alun-alun Kota Serang, anda telah memastikan diri anda tidak tertidur sedetikpun sejak dari bandara hingga alun-alun kota tapi anda (bisa saja) akan berkata “Saya berada dimana sekarang?” Perlu diingat bahwa Bandar udara Internasional Soekarno-Hatta berada dalam wilayah Tangerang, which is bagian dari Propinsi Banten tapi adakah nuansa Banten-nya? Atau anda masih merasakan berada di Bali (perhatikan ornament gerbangnya, dll). Kampung halaman kami telah kehilangan warna aslinya tapi di sisi lain kampung halaman kami tidak terkena imbas perkembangan pembangunan yang optimal dari Ibu Kota Negara, mengingat dekatnya jarak Jakarta-Banten, orang Jawa bilang “mung sak plentingan tok!” Hanya sekali tarik ketapel maka batu yang dilontarkan dari Banten dapat mengenai pucuk Monas! (jika yang main ketapel Samson mungkin..hehehehe).

Kisah sedih di hari Minggu (kayak judul lagu yak!) yang saya alami baru saja ini, hingga saya tidak jadi bertemu kawan KS, mungkin saja campuran cerita ironis-dagelan-keidiotan saya-miss communication kami-atau kebingungan kami dalam rimba neo-kolonialisme Perancis!

Maaf saya telah menghabiskan waktu anda karena telah membaca tulisan ‘gado-gado’ (mungkin tak berguna) ini tapi mari kita pertimbangkan kembali, mana lebih baik;

A. membeli kwaci matahari seharga Rp. 500,- dapat bonus kantong plastic dan senyum kompak-ramah pelayan Alfamart, atau
B. membeli kwaci matahari seharga Rp. 550,- di warung Mbok Surti?



The choice is in your hands. Mitra kasih..eh Terimakasih!

- Koelit Ketjil, 18-19 Oktober 2009-

also posted in; http://timoerlaoetnoesantara.blogspot.com/2009/10/terpisah-diantara-dua-carrefour-baca.html

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kembali Ke Titik Nol "The Groot Postweg"



(Catatan Perjalanan dan Perenungan dari Prasasti 0 KM Jalan Pos Anyer-Panarukan yang dibuat oleh Herman Willem Daendels )






Demi Kejayaan Keraton Surosowan, Leluhur kami bersabda;
Gawe Kuta baluwarti bata kalawan kawis*

Demi Kemerdekaan, Pejuang kami berteriak;
Pertahankan Banten dengan iman dan semangat juang

Demi apa entahlah? Kami, generasi muda
(seharusnya) melanjutkan kejayaan dan perjuangan
Tapi kami tak tahu harus memulai dari mana...

(Koelit ketjil, 12 Agustus 2009)




Rencana telah disepakati, titik dan waktu pertemuan telah ditentukan. Dimulai dari Pos I Jakarta, dua kawan bergerak menuju Kota Serang mengendarai sepeda motor, Saya di Kota Serang sebagai Pos II siap menanti, setelah kawan-kawan Jakarta singgah sejenak melepas lelah, perjalanan kami selanjutnya menuju Cilegon yang kami tunjuk sebagai titik tunggu (Pos III) tepat di simpang jalan keluar tol Jakarta-Merak. Tiga kawan lama telah menanti, meski terjadi sedikit kesalahan kordinasi dan perubahan waktu sesuai rencana, kesepakatan kecil dibuat kembali tanpa kawan kami si ’juru kunci’ atau ’yang punya Anyer’ maka kami pun bersiap menuju lokasi tujuan; Mercusuar Cikoneng Anyer.

Rencana yang kami rancang bukanlah agenda ekspedisi besar, sekedar mengulang kembali betapa berwarnanya memori persahabatan kami semasa sekolah dulu. Penentuan lokasi Anyer bukanlah lokasi alakadarnya atau sekedar menikmati suasana pantai untuk melepas kepenatan kami setelah beraktifitas masing-masing tapi Pantai Anyer merupakan titik ’bersejarah’ bagi kami. Proses perkembangan masa remaja dan rekatnya persahabatan kami banyak terjadi di pantai Anyer, salah satunya Mercusuar Anyer menjadi saksi proses tersebut.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009)

Menara Suar Cikoneng DSI 2260 (istilah dari Departemen Perhubungan) atau Mercusuar Anyer menjadi salah satu ’tonggak sejarah’ dalam persahabatan kami, setidaknya ada dua momen tak terlupakan bagi kami. Pertama, berkat Mercusuar Anyer inilah pertama kalinya Guru Matematika kami yang dikenal sebagai ’Guru Killer’ bernama Pak Edi tertawa terbahak-bahak setelah mendapat jawaban polos dari salah satu kawan kami yang berasal dari Anyer terkait dengan tinggi Mercusuar Anyer.

Betapa terkejutnya kami melihat fenomena langka ini, dalam kelas yang selalu dicekam suasana seram dengan gaya mengajar Guru yang terbiasa dengan didikan semi-militer ini (konon beliau pernah menjadi pengajar di STPDN), jika kami telat masuk kelas maka hukuman berupa push up, squash jump atau bending adalah hal biasa terjadi, belum lagi jika ada gerakan murid yang dia anggap aneh (misalnya; menggoyang-goyangkan kaki dibawah meja) maka detik itu juga eksekusi hukuman dilaksanakan (aneh bukan?). Kawan kami yang membuat Guru Killer itu sampai tertawa terbahak-bahak menjadi bingung dan kikuk dengan fenomena ini, begitu juga kawan-kawan satu kelas tak tahu harus bereaksi seperti apa? Harus ikut tertawakah atau cukup diam atau menyuruh agar diam guru yang tertawa itu?

Catatan kedua adalah ketika kami menjadi saksi pergantian tahun 1996-1997, tidak ada fenomena yang begitu menarik saat itu memang, hanya malam tahun baru seperti biasanya tepat dibawah menara putih menjulang tinggi di tepi Pantai Anyer yang berkarang yang terbentuk dari sisa lahar yang membeku bukti kedahsyatan Gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1883. Konon katanya efeknya dapat terasa hingga Australia bahkan Eropa sempat diselimuti awan (debu) hitam yang terbawa angin.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009)

Saat masa sekolah dulu tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya dan kawan-kawan untuk mengetahui cerita apa di balik Mercusuar itu? atau bagaimana sejarah kejayaan Kesultanan Banten dahulu kala? Tragisnya sampai dengan detik ini saya masih juga belum mengenal dan memahami bagaimana sejarah kejayaan dan apa yang menjadi ciri khas Banten dalam perkembangannya sebagai kampung kelahiran saya ini? bisa jadi karena saya kurang mengenal jati diri Banten akibat sifat apatis saya selama hidup di Banten? atau boleh jadi karena saya tidak mendapatkan pengetahuan ini sejak di bangku sekolah? atau bisa juga karena orang tua saya yang tidak menceritakan seperti apakah sejatinya Banten itu sendiri? sehingga menciptakan kondisi ahistoris (tidak mengenal sejarah) tapi keyakinan saya, orang tua saya pun tidak mendapatkan cerita tersebut dari nenenda begitu juga leluhur saya sebelumnya.

Lalu yang kemudian menjadi pertanyaan dalam batin saya, apakah leluhur saya juga apatis terhadap sejarah dan perkembangan Banten hingga menjadi enggan untuk menceritakan kepada keturunannya? Sebagai manusia yang diberkahi rasa penasaran, saya sering berdiskusi dengan beberapa kawan dengan tema ‘seberapa kita mengenal kampung halaman kita?’ hasil dari diskusi panjang yang menghabiskan puluhan batang rokok, beberapa bungkus kacang garing dan bergelas-gelas kopi panas tersebut sampai pada kesimpulan ternyata kami tidak mengenal lebih dalam mengenai Banten bahkan mungkin yang kami ketahui hanya pada permukaannya saja, bisa jadi hanya serupa lapisan debu pada permukaan meja yang belum dibersihkan sejak pagi tadi. Apakah leluhur kami (saya dan kawan-kawan diskusi) juga apatis?

Tamparan kesadaran bagi saya pribadi kemudian adalah; “apakah kami dibentuk sebagai generasi apatis terhadap sejarah kampung halaman kami?” Saya masih ingat ajaran dari orang tua yang konon juga diajarkan dari nenenda bahwa jika kehilangan benda yang sedang kita cari maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah DIAM terlebih dulu lalu kemudian BERGERAK menuju pada tempat pertama kali yang diingat lalu MENCARI secara perlahan, teliti dan sabar artinya hikmah yang saya dapatkan adalah jika saya kehilangan gambaran sosok Banten maka pertama kali yang harus saya lakukan adalah merenung (diam) -bukan diamnya pikiran- tetapi kemudian menuju titik awal kesadaran maka berarti saya harus menuju titik nol dari sejarah peradaban Banten dalam hal ini sebagai contoh saya membuat rencana berkunjung menuju Banten Girang, Keraton Tirtayasa, Keraton Surosowan dan situs-situs bersejarah lainnya sebagai titik awal proses pencarian jawaban kegelisahan saya. Salah satunya adalah TITIK NOL KILO METER ANYER-PANARUKAN.

Historia docet! Begitu pepatah lama mengingatkan kita bahwa sejarah itu memberikan pelajaran. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer lewat tokoh Minke dalam salah satu karya tetraloginya dalam novel Jejak Langkah; "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,” Kesimpulan singkat yang dapat saya ambil dari dua wejangan itu saja, bahwa saya bukanlah generasi pembelajar, maka gambaran generasi pecinta negeri sangatlah jauh dari harapan.
Pucuk di cita, ulam pun tiba! Beberapa hari setelah diskusi-diskusi malam bersama kawan-kawan (kami tengah merintis sebuah embrio Komunitas/Forum Kajian yang kami beri nama Babad Banten) ternyata dilain kesempatan beberapa kawan lama semasa sekolah menghubungi saya dan mengusulkan reuni kecil khusus kawan-kawan akrab saja, lokasi yang dituju sudah dapat diterka; PANTAI ANYER. Titik spesifik: MERCU SUAR ANYER.













(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, perjalanan (menuju-sampai) MercusuarAnyer)

Rombongan motor kami sampai pada lokasi, saya tidak tahu secara pasti jarak dari Kota Serang menuju Mercusuar ini, namun jika diperkirakan sekitar satu setengah jam saja waktu tempuhnya dengan gaya berkendaraan touring santai (kecepatan tidak lebih dari 70 km/jam), setelah membayar tiket parkir per motor sebesar Rp. 5.000,- kami langsung menuju kaki menara suar tersebut namun sayang saat itu pintu menara terkunci. Beberapa foto kami abadikan lewat jepretan kamera digital, bisa kami gunakan sebagai bukti sejarah pertemuan-persahabatan ini untuk anak keturunan kami kelak. Dekat kaki mercusuar itu teronggok sebuah benda menarik, unik, eksentrik berupa sebuah motor honda 70 (honda pitung) dengan sejenis ’gerbong’ berupa rumah sementara (caravan) beratapkan daun sirap yang ditarik motor tua itu, namun ada kekaguman yang muncul dalam benak kami ketika kami melihat tepat di bagian depan motor itu terdapat plang bertuliskan; ”LUKIS JALAN KAKI TAHAP II JAKARTA-ANYER-PANARUKAN ROUTE JALAN DEANDELS; 1300 KM SEDEKAH UNTUK SEJARAH KI JOKO WASIS. MENGISI & MENGHIASI 100 TH KEBANGKITAN NASIONAL. MOHON DUKUNGAN DAN DOA RESTU”.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada kendaraan yang digunakan Ki Joko Wasis)


Tulisan yang sama juga dapat dilihat pada bagian atas ’caravan’ sementara hampir seluruh bagiannya terdapat karya-karya lukisan dan potongan berita dari beberapa media cetak yang meliput gerakan luar biasa yang dilakukan Seniman Ki Joko Wasis ini. Subhanallah... luar biasa! Setiap orang memang mempunyai cara tersendiri untuk ambil bagian. Tidak hanya penyair saja, gerakan ini berarti menolak tegas klaim yang dilontarkan oleh Chairil Anwar ”yang bukan penyair tidak ikut ambil bagian”.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada kendaraan yang digunakan Ki Joko Wasis)

Konon lokasi berdirinya menara suar ini sengaja dipilih pemerintah Hindia-Belanda saat itu salah satunya adalah sebagai penanda bahwa dari titik itulah mega proyek pembuatan jalan Anyer-Panarukan yang diprakarsai oleh HW Daendels. Banyak informasi sejarah terkait pembangunan jalan ini, tidak sedikit juga yang membuat bingung bagi siapa saja yang coba mencari tahu sejarah dibalik proyek jalan ini, namun sejauh usaha saya (yang kurang telaten ini) yang penasaran untuk mengetahui perihal menara suara hanya sedikit orang yang mengetahui sejarah menara suar ini.

Sebagaimana sempat saya singgung sedikit mengenai lokasi berdirinya menara suar, tak jauh dari titik berdirinya terdapat sejenis prasasti/tugu kecil terbuat dari semen yang bertuliskan ”0. KM ANYER-PANARUKAN 1806” saya ambil beberapa foto disini. Saya perhatikan sejenak ternyata prasasti kecil ini tepat berada dalam lingkaran berlantaikan batu bata, ketika saya tanyakan kepada kawan saya, menurut dia sebenaranya disinilah letak menara suar pertamakali yang pernah ada, hal ini juga diperkuat dengan informasi dari salah seorang penjaga menara suar hanya saja dari keduanya saya tidak mendapatkan informasi yang lengkap.

Sepulang dari Anyer, rasa penasaran saya semakin memuncak lalu kemudian saya berusaha mencari informasi mengenai menara suar ini lewat bantuan piranti pencari Google, maka saya mendapatkan beberapa artikel mengenai hal ini. Salah satunya yang saya dapatkan dari website Harian Radar Banten http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=1910, dari artikel ini saya ketahui bahwa mercusuar ini merupakan hadiah dari Raja Belanda ZM Willem III, pada 1885. Hadiah ini diberikan untuk mengganti mercusuar lama yang hancur akibat terjangan letusan Gunung Krakatau pada 1883. Mercusuar yang hingga kini masih berfungsi dengan baik itu dibangun L I Enthoven & Co, sebuah perusahaan konstruksi Belanda.



(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada pintu mercusuar)

Saya bisa menerka informasi ini didapatkan dari prasasti berbahasa Belanda yang menempel pada dinding menara ini tepat diatas pintu masuk, tertulis; ”ONDER DE REGEERING VAN Z.M WILLEM III KONING DER NEDERLANDEN... dst... DE RAMP VAN KRAKATAU VERNIELD. 1885” meskipun saya tidak paham bahasa Belanda namun jika saya perhatikan tulisan pada prasasti itu terdapat kata Z.M WILLEM III merupakan Raja Belanda saat itu dan pada kalimat terakhir disebut-sebut Gunung Krakatau yang telah menghancurkan mercusuar yang semula pada Tahun 1883 kemudian digantikan dengan mercusuar yang saat ini masih berdiri kokoh sejak Tahun 1885.

Upaya pencarian singkat saya lewat internet tidak memuaskan rasa penasaran saya, dari beberapa artikel yang didapati mengenai info mercusuar nampak terlihat informasi copy paste saja. Isinya seputar perancang mercusuar yang tidak diketahui dan berbentuk persegi 12 ini. Mercusuar ini setinggi 75,5 meter terdiri atas 18 lantai. Dinding mercusuar terdiri atas lempengan baja dengan ketebalan 2,5 – 3 cm, juga sedikit informasi insiden yang menjadi bukti sejarah perihal lubang pada lantai 2 dan 12 yang terkena peluru meriam saat penjajahan Jepang

Setelah membaca artikel ini kemudian saya lihat kembali dokumentasi foto ternyata benar adanya bahwa sisa pondasi batu bata berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 4-5meter ini dengan sejenis prasasti kecil ditengahnya merupakan penanda titik nol proyek pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang fenomenal itu. Baru saya sadari dari titik inilah sejarah peradaban dan perkembangan Banten dan Indonesia bermula, betapa tidak, meskipun pembangunan jalan ini pada awalnya untuk kepentingan penjajah namun dalam perkembangannya banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan demi pembangunan Indonesia.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada tugu ”Titik Nol” dapat terlihat lingkaran sisa pondasi mercusuar lama)

Saya berimaginasi seolah-olah saya menjadi Indiana Jones atau Lara Croft yang berpetualang dalam situs-situs peninggalan peradaban luhur dan berhasil mengungkap misteri dari lembaran-lembaran naskah manuskrip dan catatan-catatan sejarah, hanya saja dengan keterbatasan diri maka ‘petualangan’ itu hanya dapat dilakukan dengan cara melompat dari satu buku ke buku lainnya hasil terbitan percetakan modern dan penjelajahan situs-situs maya (website internet atau blog) serta mendengarkan paparan kejayaan Banten masa silam lewat diskusi dengan beberapa kawan diskusi dan rekan kerja, namun keinginan pribadi saya ini ternyata juga di-amin-i oleh beberapa kawan untuk melakukan gerakan budaya-ilmiah dengan terjun langsung pada simpul-simpul sejarah itu secara langsung. Selain dari Titik Nol Daendels ini saya bersama seorang kawan juga pernah datang langsung pada sisa puing-puing Keraton Surosowan Banten, InsyaAllah dalam kesempatan lainnya akan saya ceritakan.

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari satu titik ini saja, karenanya dalam kesempatan ini saya ingin mencoba menceritakan kembali secara ringkas hasil temuan saya yang sembrono ini, namun karena kelemahan saya dalam penggalian sejarah semoga dapat dimaklumi dan semoga menjadi berkah kesempatan berdiskusi bagi siapapun yang membaca tulisan ini. Selain (sangat) sedikit informasi mengenai mercusuar diatas, dari titik nol yang sama dapat kita ketahui sejarah dibalik itu.

Mengutip pemikiran Hegel bahwa ide dianggap sebagai sebab utama timbulnya proses sejarah dan kondisi materiil (sosial, ekonomi, teknologi dan militer) masyarakat dianggap berasal dari dan disebabkan oleh ide besar, bahwa ide tak hanya menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya. Kiranya ada korelasi (benang merah) pendapat tersebut dengan fenomena bersejarah pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang diperkirakan berjarak 1.000 km. Tujuan awal pembangunan jalan ini sudah dapat dipastikan demi keuntungan pemerintahan kolonial saat itu, terutama jika kita cermati dengan melihat kembali pada sejarah kehadiran Herman Willem Daendels di Banten ini sebagai perwakilan dari pemerintahan kolonial.


(logo diambil dari http://kompas.com Ekspedisi/Napak Tilas Kompas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan”)


Menurut sejarawan Joko Marihandono yang dikutip dalam Kompas, 15 Agustus 2008, (lebih lengkap silakan kunjungi http://kompas.com/read/xml/2008/08/15/07535978/daendels.pun.mendarat.di.anyer.) sejarah ini berawal dari ide HW Daendels yang dituangkan dalam proposal tentang rancangan kebijakan yang akan diterapkan dalam Nusantara (Hindia Timur) yang diajukan dihadapan Napoleon Bonaparte di Paris sebagai pemimpin tertinggi karena saat itu Belanda telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan Perancis, beralih sistem menjadi Republik Bataaf (1795-1806) dan dipimpin oleh Louis Napoleon atau orang Belanda menyebutnya sebagai Lodewijk Napoleon. Rancangan itu disepakati maka HW Daendels setelah mendapatkan restu dan promosi kenaikan pangkat dari Kolonel Jenderal menjadi Marsekal kemudian Daendels berlayar menuju Banten, namum perjalanan ternyata tidak semulus yang diharapkan karena saat itu dalam eksalasi perpolitikan dunia terjadi pem-blokade-an laut yang dilakukan oleh armada perang Inggris, sehingga Daendels pun harus melakukan berbagai trik agar bisa mendarat di Banten.

Daendels memulai perjalanan dari Eropa tanggal 18 Februari 1807, secara singkat rute yang diambil dimulai dari pelabuhan Bordeaux lalu mencari jalur alternatif ke Lisabon di Portugal kemudian menuju Maroko namun dia tertimpa masalah kehilangan semua dokumen karena dirampok bajak laut. Berhasil meloloskan diri ke Kepulauan Kanari hingga menyewa kapal Amerika, Virginia yang mengantarnya menyelinap ke Pulau Jawa. Perjalanan panjang yang memakan waktu 10 bulan ini mengantarkan Daendels di Pulau Jawa pada tanggal 1 Januari 1808.

(foto diri HW Daendels diambil dari http://kompas.com Ekspedisi/Napak Tilas Kompas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan”)


Paparan sejarawan Joko Marihandono yang telah melakukan penelitian komprehensif mengenai Daendels ini kiranya dapat meluruskan ’prasasti’ Titik Nol KM yang terletak tepat di sisa pondasi mercusuar lama karena disitu tertulis angka tahun 1806, sementara jika kita bandingkan dengan pemaparan diatas bahwa Daendels mendarat tepat pada tanggal 1 Januari 1808 maka sangat tidak mungkin mega proyek tersebut dimulai pada tahun 1806, saya rasa ketidaktepatan penentuan tahun dalam ’prasasti’ ini wajar saja terjadi karena jika melihat secara fisik maka dapat disimpulkan bahwa ’prasasti’ ini belum lama dibuat dan tidak digarap secara serius karena tidak diperkuat dengan patokan sejarah, namun cukup berguna bagi saya sebagai generasi muda yang ahistoris ini setidaknya mengingatkan bahwa di titik inilah penanda tonggak sejarah besar peradaban modern Indonesia dimulai.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, tugu ”Titik Nol” yang juga dikenal sebagai tugu tanam paksa)

Media besar seperti Kompas pun telah melakukan inkonsistensi dalam pengutipan waktu sejarah, dapat dilihat pada http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/14/06221595/ekspedisi.daendels.belajar.dari.sejarah.sebuah.jalan, tertanggal 14 Agustus 2008 yang merupakan kumpulan artikel berseri ini adalah upaya Kompas melakukan Napak tilas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan” sebagai salah satu tonggak sejarah ini, dari artikel tertanggal 14 Agustus 2008 tersebut tertulis ”5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer, Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra dari negeri Belanda” bandingkan pada artikel berikutnya http://kompas.com/read/xml/2008/08/15/07535978/daendels.pun.mendarat.di.anyer, hanya berselang tepat satu hari setelahnya, tertanggal 15 Agustus 2008; ”Herman Willem Daendels memulai jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat dia menapak Pulau Jawa, tanggal 1 Januari 1808 dengan menumpang kapal Virginia.” jadi terdapat dua patokan tanggal yang berbeda (selang 4 hari) dari kedua artikel tersebut.

Hal ini mungkin sekilas dianggap sebagai remeh-temeh namun dapat berimbas pada generasi berikutnya yang akan diombang-ambing dengan kebimbangan sejarah, sebagai contoh besar yang bisa kita lihat dalam buku pegangan sejarah yang ada sejak jaman saya sekolah dasar yang dikenal dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang tertanam dalam pikiran saya adalah citra heroik Soeharto dalam menumpas gerakan G 30/S/PKI maupun kontroversi SUPERSEMAR kemudian baru-baru ini muncul sejarah dengan versi yang berbeda yang dapat dilihat dari acara telusur sejarah dalam berbagai stasiun televisi.

Terlepas dari itu semua era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang relatif singkat ini, hanya tiga tahun (1808-1811), membawa dampak yang sangat besar
(Semoga masih kuat bikin sambungan tulisan ini)

(Koelit ketjil, 12 Agustus 2009)


also posted in ; http://timoerlaoetnoesantara.blogspot.com/2009/10/kembali-ke-titik-nol-de-groot-postweg.html

Kamis, 20 Agustus 2009

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Propinsi Banten

Penting nih klik disini

kalau PERDA EMBANGUNAN JANGKA PANJANG PROPINSI BANTEN klik disini

Kemana Nasib Masa Depan Pasar Tradisional?

Kemana Nasib Masa Depan Pasar Tradisional?

di copy dari

http://indocashregister.com/2009/08/18/kemana-nasib-masa-depan-pasar-tradisional/

Agustus 18, 2009 · 2 Komentar

Stigma dan konotasi bahwa pasar tradisional adalah becek, kumuh, kotor, dan semrawut belum juga sirna hingga kini. Pasar tradisional juga identik dengan banyaknya pedagang kakilima, preman pasar, atau tempat parkir yang tidak teratur.
Kondisi itu membuat banyak kalangan khawatir pasar tradisional bakal semakin ditinggalkan pembeli. Terlebih kini semakin banyak pasar ritel modern yang bertebaran di berbagai sudut kota, atau juga gerai ritel mini yang mulai menyerbu sampai tingkat kecamatan serta membuka cabang di berbagai kompleks perumahan di kota-kota.
Pasar Induk Beringharjo Yogyakarta

Pasar Induk Beringharjo Yogyakarta

Dari sisi harga jual barang pun, banyak item yang ditawarkan pasar tradisional kini tak lagi lebih murah dibanding gerai ritel modern, khususnya kategori hipermarket yang memang menawarkan barang dengan harga sangat kompetitif. Bila seabrek kelemahan ini dibiarkan terus, kematian pasar tradisional hanya tinggal tunggu waktu.
Kenyataannya, ada sejumlah pasar tradisional yang gulung tikar, termasuk di lingkup DKI Jakarta. Tak sedikit pula pasar tradisional yang terbakar, entah disengaja atau tidak, karena penataannya yang semrawut.
Pasar tradisional tak boleh dibiarkan mati. Sebab, pasar tradisional adalah representasi dari ekonomi rakyat, ekonomi kelas bawah, serta tempat bergantung para pedagang skala kecil-menengah. Pasar tradisional menjadi tumpuan bagi para petani, peternak, atau produsen lainnya selaku pemasok.
Benar bahwa secara nasional omzet pasar tradisional masih mendominasi. Dari omzet perdagangan ritel hampir Rp 100 triliun selama 2008, pasar tradisional menguasai 80%. Namun, dari tren beberapa tahun terakhir, pangsa pasar itu terus menyusut.
Itulah sebabnya, pasar tradisional harus diselamatkan. Pasar tradisional yang umumnya berada di bawah pembinaan pemerintah daerah harus dibenahi. Pembenahan tidak semata pada penampilan fisik atau desain kios-kios yang ada, tapi menyangkut semua aspek yang selama ini menghambat kemajuan pasar tradisional.
Di antaranya adalah pembenahan manajemen. Manajemen pasar tradisional perlu lebih profesional. Dalam konteks ini, pemda bisa menggandeng institusi lain untuk memberi pelatihan bagi para pedagang. Selain itu, perlu peninjauan ulang berbagai kebijakan soal retribusi yang dinilai memberatkan. Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia beberapa kali mengeluh sikap pemda yang hanya cenderung mengeksploitasi pasar tradisional dengan memungut retribusi, tapi kurang peduli pada upaya-upaya perbaikan.
Pasar tradisional perlu dibersihkan dari preman yang ikut-ikutan menarik pungutan liar, pedagang kali lima, atau parkir-parkir liar yang memperburuk kenyamanan konsumen untuk berbelanja.
Di lain sisi, para pedagang pasar tradisional juga perlu lebih jujur dan profesional. Ada kesan, karena sifat pasar tradisional yang memungkinkan adanya tawar menawar harga, pedagang suka menipu konsumen. Atau, mereka bertindak tidak jujur dengan mempermainkan timbangan yang tidak semestinya.
Sudah saatnya pasar tradisional bangkit dan berbenah, agar tidak kian terpinggirkan dan ditinggalkan konsumen. Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan terhadap pasar tradisional. Perlindungan tidak dilakukan dengan membatasi ritel modern. Di sini peran pemerintah sangat penting dengan menerapkan peraturan secara konsisten yang tidak saling merugikan.
Langkah Departemen Perdagangan merevitalisasi pasar tradisional di berbagai provinsi dan kabupaten patut diapresiasi. Swasta juga perlu dilibatkan dalam pembenahan pasar tradisional. Sejumlah pengembang swasta kini membangun pasar tradisional bergaya modern yang nyaman dan bersih.

Pasar tradisional adalah salah satu jantung dan pilar ekonomi rakyat, yang mampu menyerap setidaknya 12,5 juta tenaga kerja. Biarlah pasar tradisional dan modern hidup berdampingan secara harmonis dan tidak saling mematikan, tapi justru saling melengkapi. ( Investor)

Kategori: artikel · bisnis

Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan II 2008 dari Bank Indonesia

utk lihat file penting ini klik disini
atau lihat websitenya BANK INDONESIA

Carrefour Sudah Monopoli

di copy dari:
http://antinekolib.blogspot.com/2008/09/carrefour-sudah-monopoli.html

Carrefour Sudah Monopoli

Tim Riset Partisipasi Indonesia menemukan bahwa pasar ritel Indonesia sudah ‘dikuasai’ oleh Carrefour setelah perusahaan itu mengambil alih Alfa. Akibatnya para pemasok ditekan semikian rupa, sehingga Carrefour mengambil untung sebanyak-banyaknya. Berikut hasil penelitian tersebut.

Dengan mengakuisisi Alfa, berarti Carrefour sudah memiliki 58 gerai, sebuah kekuatan besar dalam industri ritel Indonesia. Bila digabungkan dari segi pendapatan, Carrefour sebesar Rp 7,2 triliun dan Alfa sebesar Rp 2 triliun, itu sudah menjadi Rp 9,2 triliun. Sedangkan jumlah gerai hypermarket Giant adalah setengah dari jumlah outlet Carrefour dan Hypermart.

Paska akuisisi Alfa oleh Carrefour, kesenjangan omzet Carrefour melampaui sangat jauh dari pesaingnya, yakni Ramayana yang hanya memiliki omzet Rp 4,8 triliun pada tahun yang sama.

Menurut data AC Nielsen per November 2007, sebelum mengakuisisi Alfa, pangsa pasar produk makanan Carrefour hanya 5 persen dan setelah akuisisi, diperkirakan pangsa pasar yang akan dikuasai adalah 7 persen (Koran Tempo, 23/1/08).

Dengan Mengakuisisi Alfa Retalindo, Carrefour sudah memperkuat posisinya di segmen gudang rabat, karena posisi sebelumnya ditempati oleh Alfa sendiri.

Memasukkan penjualan yang dihasilkan oleh pelaku usaha di pasar minimarket, ternyata tidak mengubah posisi dominan Carrefour di pasar penjualan, yakni dengan pangsa pasar 31,1 persen dengan nilai Rp 10,5 triliun di tahun 2007, diikuti oleh PT Sumberjaya Alfaria Trijaya dengan minimarket Alfamart yang menghasilkan penjualan sebesar Rp 5 triliun tahun 2007, atau dengan kata lain kurang lebih 50 persen dari penjualan yang dihasilkan oleh Carrefour.

Carrefour juga mendominasi dalam periklanan produk. Belanja iklan Carrefour meningkat 35,2% menjadi Rp 18,5 miliar di 2003, dan menempatkan Carrefour sebagai peritel terdepan dalam belanja iklan. Gempuran iklan Carrefour menyebabkan mereka menguasai brand imagekonsumen.

Secara nasional, Carrefour telah menjadi pelaku usaha dominan sebelum terjadinya akuisisi. Sebelum akuisisi, Carrefour telah memiliki pangsa pasar 42,3%.

Pangsa pasar ini adalah 23,2% lebih tinggi atau lebih dari dua kali lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar Hero, yang merupakan pesaing terdekat Carrefour. Akusisi menyebabkan Carrefour mampu menguasai hampir 50% dari pasar bersangkutan. Gerai-gerai Carrefour yang tersebar di beberapa kota di Indonesia berada pada posisi yang cukup strategis.

Carrefour memberlakukan trading term yang memberatkan pemasok yaitu meraih pendapatan lain-lain (other income) hingga Rp 40,19 miliar. Perolehan dari listing fee terbesar, mencapai Rp 25,68 miliar. Sedangkan dana dari kepesertaan minus margin (jaminan pemasok bahwa harga jual produk paling murah) Rp 1,98 miliar, dan sisanya Rp 12,53 miliar berasal dari pembayaran syarat dagang.

Carrefour memiliki bargaining power terhadap pemasok dalam menegosiasikan item trading terms. Fakta yang didapatkan dalam penelitian, bahwa Carrefour menggunakan bargaining power-nya untuk menekan pemasok agar mau menerima penambahan item trading terms, kenaikan biaya dan persentase fee trading terms.

Bentuk tekanan yang dilakukan antara lain berupa menahan pembayaran yang jatuh tempo, memutuskan secara sepihak untuk tidak menjual produk pemasok dengan tidak mengeluarkan purchase order, mengurangi jumlah pemesanan item produk pemasok.

Keberanian Carrefour dalam menerapkan strategi ‘harga miring’, harus dibayar mahal oleh para pemasoknya, lewat trading term yang merugikan.

Carrefour sering memberlakukan produk Private label kepada para pemasoknya, terutama dari jenis produk lokal seperti cotton bud, kecap pedas, gula pasir, dan lain-lain. Private label tersebut dijual dengan harga cukup murah untuk menarik pembeli.

Paska Akuisisi Alfa, Carrefour memperlakukan besaran trading term yang sama terhadap pemasok alfa, padahal level kemampuan mereka sangat berbeda.

Dampaknya terhadap sektor Ritel Indonesia, adalah tidak adanya equal playing field, menyebabkan penyalahgunaan posisi dominan (Abuse of dominant power), sehingga mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat.

Dengan mencermati sepak terjang Carrefour sekarang ini, kelihatan kecenderungan tingkat konsentrasi dan pangsa pasar yang cukup dominan. Meskipun market share Carrefour belum mencapai 50%---seperti yang disebutkan oleh UU tentang posisi dominan, tetapi di lapangan sudah kelihatan pertarungan tidak berimbang antara Carrefour dengan pesaingnya, ataupun antara Carrefour dengan pemasok.

Karena itu, KPPU harus melakukan monitoring secara aktif terhadap dampak-dampak yang timbul dalam persaingan usaha paska akuisisi Alfa oleh Carrefour. Jika terbukti mengarah pada praktek monopoli, maka KPPU berhak membatalkan akuisisi tersebut.

Tim Riset Partisipasi Indonesia
http://www.inilah.com/berita/citizen-journalism/2008/09/11/49015/carrefour-sudah-monopoli/

Selasa, 18 Agustus 2009

Realitas Dinasti Rawu Chasan Sochib Di Banten

Dikutip dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2009/06/14/dinasti-rawu-yang-fenomenal/

Malam ini saya diajak kembali berdiskusi merevieuw ulang perjalanan sejarah yang telah dilewati bersama kawan-kawan. Secarik catatan yang tersisa dan semangat yang sempat hilang dan patah arang, kembali dibuka kembali malam ini disebuah warung jagung bakar lesehan di alun-alun kota Serang. Bersama seorang kawan yang datang dari jauh untuk tujuan penelitian dan seorang sobat muda, diskusi dibuka dan kembali mengkaji fenomena yang kini terjadi di Banten.

Banyak yang telah dilalui sebagai catatan sejarah yang menarik ketika awal Propinsi Banten berdiri hingga saat ini, sehingga tak heran banyak peneliti baik warga asing maupun local tertarik melakukan penelitian. Saya teringat Clifford Gertz ketika meneliti Mojokuto menghasilkan tesis yang sangat terkenal sekali, yaitu kaum priyayi, abangan, dan santri. Barangkali juga di Banten ini menghasilkan tesis baru, yaitu metamorfosa kaum Jawara (stratitifikasi tradisional lama; ulama, umaro dan jawara) dalam hal ini Klan H. Hasan Sochib dan kekuatan dinasti keluarga yang dibangun adalah fenomena sosial menarik yang tidak terdapat di daerah lainnya di Indonesia.

Simbol-simbol budaya jawaraisme klasik telah ditinggalkan berganti baju dengan modernisme budaya pop kapitalisme feodal berbaju baru, hal yang dahulu dengan sangat sukses pula dimainkan dimasa orde baru yaitu penguatan negara dalam bidang ekonomi (mengatur bukan mengawasi regulasi ekonomi), dan dekonstruksi budaya (phsyical violence).

Sejak tahun 1998 hingga kini diwarnai oleh tiga kecenderungan arus utama yaitu demokrasi liberal, civil society organization (CSO) yang bertujuan melakukan advokasi pemberdayaan masyarakat, dan kekerasan politik serta sosial di berbagai daerah.

Implikasi lainnya dari reformasi adalah dampak dari desentralisasi wilayah dan otonomi daerah adalah bagaimana mempertahankan komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD dengan advokasi, akses pada bantuan teknis (technical assitance), akuntabilitas (tanggung gugat) pembelanjaan/pengeluaran, dan evaluasi / tecnical audit berdasarkan indikator kinerja (performance indicators).

Bersambung …………

Dinasti Klan Hasan Sochib

Prof.DR(HC). H.Hasan Sochib
Hj.Ratna komala sari (CALEG)
RT.Hj.Atut Choisiyah, SE

Drs.H. Hikmat Tomet (Caleg DPR RI)
Hj. Ratu Tatu Hasanah (Adik Atut) (Caleg DPRD)
H. Aden Abdul Khalik (ipar Atut) (Caleg Juga)

H. Haeuruj Jaman ( Wakil Walikota Serang)
H. TW (Tubagus Wawan) (ipar atut) (PENGUSAHA BESAR)
H. Andika Azrumy (Calon DPD)

Hj. Ade Rosy (Caleg DPRD Kab/kota)


Suara Rakyat


Sabtu, 08 Agustus 2009

JALAN PERGERAKAN PEMUDA KONSOLIDASI KERAKYATAN MENUJU KONSOLIDASI NASIONAL MEMBANGUN KEKUATAN KAWASAN MELAWAN NEO-KOLONIALISME IMPERIALISME

Kutipan dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/08/16/elan-spirit-pemuda-revolusioner/#more-1823

Eman Sulaiman

SEBAGAI AWALAN

Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat.
Situasi nasional saat ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa global yang langsung maupun secara tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap perkembangan ekonomi politik di Indonesia. Bangkitnya faksi baru dalam pertarungan hegemoni global Modal Internasional dan mulai tertatanya ekonomi politik kawasan khususnya di Asia memberi pemahaman baru terhadap kita bahwa, peristiwa perang dingin yang melahirkan dua kekuatan besar dunia antara Blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet telah bergeser jauh.
Tesis baru yang ditelorkan oleh Samuel F Huntington yang kemudian dikuatkan oleh pemikiran filosofis Franscis Fukuyama tentang akan munculnya benturan peradaban baru yang tidak lagi diwakili oleh pertarungan antar dua kekuatan negara adidaya melainkan didasari oleh pertarungan kepentingan Ideologi atau lebih tepat disebut pertarungan sentimen agama yang secara historis dilegitimasi oleh sejarah benturan di masa Perang Salib.

Pertarungan Blok Barat antara Amerika dan sekutunya serta Blok Timur yang diwakili oleh Irak dan Iran serta beberapa negara Islam lainnya mulai memuncak di penghujung tahun 2001 tepatnya 11 September ketika diledakannya gedung WTC yang mengorbankan ribuan orang, telah menjadi tonggak baru pertarungan global. Sehingga secara cepat Amerika kemudian melahirkan Resolusi untuk memerangi Terorisme. Osamah Bin Laden sebagai tokoh sentral dijadikan entry point untuk menyerang Afganistan dan selanjutnya menyulut perang di Irak dengan meruntuhkan Rezim Saddam Husein. Belum berhenti di tahap tersebut serangan akan dilanjutkan ke Iran akan tetapi karena Iran sebagai salah satu negara penghasil minyak dunia serta memiliki angkatan perang kuat juga telah mempersiapkan diri dan bahkan berani menyulut peperangan dengan mengalihkan konsolidasi ekonomi politiknya dengan Rusia dan Korea Utara. Namun yang harus dicatat, tesis besar Huntington tentang benturan peradaban mulai diragukan, bangkitnya Cina dan Jepang sebagai kekuatan utama perekonomian Asia bahkan dunia tidak saja mengancam eksistensi Amerika dan Eropa sebagai kekuatan besar dunia tapi juga mulai mempengaruhi pranata dan keseimbangan tatanan ekonomi politik di kawasan.
Korea Utara sebagai salah satu kekuatan baru yang sedang tumbuh di Asia juga menjadi ancaman yang cukup besar, selanjutnya kebangkitan beberapa negara-negara berkembang yang sering disebut negara dunia ke III seperti kebangkitan India, Vietnam, dan SriLanka menjadi inspirasi baru dalam lahirnya kekuatan baru dunia yang tidak lagi “menghamba” terhadap kekuatan Amerika melainkan mulai bergerak maju dan coba menisbatkan diri sebagai kekuatan dalam kancah pertarungan global. Di lain sisi. kebangkitan beberapa kekuatan di Asia juga disertai konsolidasi efektif beberapa kekuatan Negara Dunia ke III di daratan Amerika Latin bahkan di dekade akhir abad ke-20 kekuatan Amerika Latin telah bangkit disertai berkuasanya kekuatan-kekuatan sosialisme yang dilatar belakangi oleh perjuangan Nasional masing masing negara, seperti Argentina, Chili, Bolivia, Venezuela, Brazil dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Fenomena kebangkitan beberapa kekuatan negara-negara yang tidak pernah diprediksi sebelumnya telah menggeser pertarungan Ekonomi Politik global tidak lagi pada dua kekuatan blok dunia baik pasca perang dingin maupun pasca Black September, kebangkitan tersebut memberi sinyalemen pertarungan global lebih didasari oleh kekuatan-kekuatan kawasan yang sedang mempertaruhkan harga diri kebangsaan mereka sebagai wujud kebangkitan dari sebuah kekuatan dunia yang tidak lagi di bawah dominasi salah satu negara maupun blok yang bertarung. Sesungguhnya fenomena kemunculan kekuatan yang terus berkembang secara signifikan didasari oleh menguatnya paradigma penguatan Nasional sebagai alat pertarungan di wilayah kawasan maupun dunia secara global, selanjutnya kita secara kritis bertanya lalu Indonesia sebagai salah satu negara Dunia ke III di kawasan Asia telah bergerak kemana atau sedang melakukan strategi kebangkitan seperti apa dalam kancah pertarungan antar kawasan dan jerat pertarungan global?

INDONESIAKU:
ANTARA BUAIAN SOFT POWER DAN JEBAKAN HEGEMONI GLOBAL

Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan
garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme?
Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia.
Polarisasi yang sedang berkembang dalam faksi modal internasional yang disertai dengan kebangkitan negara-negara berkembang telah merubah beberapa kebijakan Ekonomi Politik Negara-Negara Modal khususnya Amerika, wacana Soft Power sebagai kebijakan luar negeri Amerika merupakan efek langsung dari kemajuan mendasar yang ditunjukan negara-negara berkembang, sebenarnya wacana Soft Power merupakan alternatif kebijakan yang lahir dari ketidak sepakatan beberapa negara yang ditujukan bagi kebijakan Hard Power Amerika yang melakukan ekspansi kekuatan miuliter di Afganistan dan Irak atau dengan kata lain pengendoran kebijakan tidak serta merta dipandang sebagai melemahnya kekuatan besar Amerika melainkan bisa jadi sebagai strategi hegemoni negara tersebut terhadap negara “jajahannya”.
Wacana istilah soft power sesungguhnya telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye, Guru Besar Kennedy School of Govertmen University Hardvard, AS. Dalam dua karyanya: Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Nye lalu mengembangkan ide soft power ini dan merelevankannya dengan kebijakan Amerika Serikat. Akan tetapi, penjelasan Nye yang lebih terperinci mengenai soft power ditulisnya secara komprehensif dalam karyanya :Soft Power: The Means to Succes in World Politics (2004). dalam buku tersebut, Nye mendefinisikan dimensi ketiga kuasa ini sebagai ”kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni memikat dan mengkooptasi pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.”(Nye, 2004). Nye menyebutkan bahwa soft power suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negerinya.
Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen, dan implikasinya. Soft power berciri mengkooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan dan kebijakan, sementara hard power antara lain berupa militer, sanksi, uang, suap, dan bayaran. Karenanya tidak seperti soft power yang berimplikasi mengkooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.
Kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Modal Internasional sesungguhnya tidak semata-mata lahir akibat dari mulai massifnya perkembangan negara-negara dunia ke III maupun konsolidasi kawasan yang terus digerakan oleh kekuatan besar dunia seperti Cina dan Jepang di Asia maupun Iran dan Libanon di Timur Tengah. Rentetan peristiwa besar telah menjadi pelajaran yang cukup membekas bagi kebijakan politik luar negeri Amerika, dari kegagalan menangkap Osamah Bin Laden sebagai kambing hitam peristiwa Black September di Afganistan yang malahan berujung meluasnya perang saudara di sana dan kemudian merembet ke kedaulatan negara Irak yang menjadi negara bulan-bulanan serangan Amerika berikutnya, dengan dalih untuk menciptakan stabilitas ekonomi politik dan penegakan demokrasi serta untuk menghancurkan rezim otoriter Saddam Husein di Irak, begitupun ancaman senjata nuklir yang disinyalir oleh AS sedang dikembangkan oleh Irak, namun sampai detik ini ternyata sama sekali tidak bisa terbukti secara kongkrit. Runtuhnya Saddam hanya menambah luka bagi rakyat sipil di Irak dan memperluas konflik berdarah di sana, senjata nuklir yang menjadi alasan mendasar AS ternyata hanya menjadi sumbu penyulut dari ekspansi Amerika semata.
Peristiwa tersebutlah yang mendorong konsolidasi beberapa kekuatan negara-negara di dunia untuk meninjau kembali posisi pertarungan di kancah globalnya, ancaman AS yang akan menyerang Iran bukannya membuat Iran surut malah melakukan Apel Siaga penyambutan serangan dan hal serupa juga terjadi pada ancaman penyerangan AS ke Korea Utara dengan alasan pengembangan senjata Nuklir ternyata juga malah dijawab dengan pembentukan barikade pasukan siap perang di Korut.
Betulkah alasan klasik negara AS menyerang beberapa negara yang telah disebutkan di atas merupakan tujuan utama dari ekspansi kekuatan militer atau sesungguhnya bagian dari pembaharuan atas krisis Minyak dunia yang sedang terjadi di tingkatan Global, kita mengetahui secara bersama bahwa ketergantungan negara barat terhadap Minyak untuk lahan pengembangan industri mereka sangatlah tinggi oleh karena itu apapun akan dilakukan untuk mempertahankan dominasi tersebut. Ternyata dibalik situasi tersebut AS tidak menghitung secara matang bahwa dengan semakin gencarnya mereka melakukan ekspansi secara langsung berakibat menguatnya resistensi bebrapa negara yang menganggap kebijakan luar negeri AS adalah arogan dan akan menghancurkan tatanan dunia dan kemanusiaan, lihat saja bagaimana timpangnya keberpihakan AS terhadap serangan rudal Israel ke Palestina dan Libanon serta semena-menanya menata infrastruktur ekonomi negara berkembang dengan jerat Hutang Luar Negeri.
Hal tersebutlah menjadi pelajaran kenapa Amerika Latin berani mengkonsolidasikan diri sebagai wujud resistensi perlawanannya terhadap kebijakan Neo Liberalisme yang diterapkan AS dan sekutunya maupun kebangkitan Malaysia, India dengan teknologi IT-nya dan Vietnam yang mulai bergerak menuju negara maju. Lain halnya dengan apa yang terjadi dengan kebijakan Indonesia yang tidak segera berbenah secara mandiri dan berdaulat untuk segera keluar dari kungkungan kapitalisme internasional melainkan semakin terjerumus ke jurang ketergantungan yang entah kapan muaranya akan berakhir.
Berubahnya paradigma politik luar negeri AS yang dipandang sebagai rekonstruksi politik pasca perang Irak dengan lebih menekankan kebijakan populis dan pendekatan Soft Power. Sangat disayangkan beralihnya kebijakan tersebut tidak segera disambut oleh Indonesia dengan penataan dan pranata yang kuat dalam menyambut pertarungan globalnya.
Kebangkitan India dan Vietnam sendiri cukup menjadi referensi bagaimana Cina dan Jepang sebagai dua kekuatan besar Asia dengan agresifnya merubah kebijakan luar negeri mereka dengan coba mulai mengkonsolidasikan India, Korea Utara Vietnam dan Sri Lanka untuk meninjau ulang posisi kawasan Asia dalam kancah pertarungan globalnya. Cina yang sejak dulu menyatakan perang dingin terhadap India dan larinya masyarakat komunitas Tibet di Cina yang dipimpin Dalailama beberapa waktu terakhir mulai mencair dan akan dengan sesegera mungkin merubah pola hubungan bilateral mereka dan lebih mengefektifkan kembali kerjasama ekonomi, politik, budaya dan pendidikan kedua negara (Baca: Kunjungan Hu Jintao ke India beberapa waktu lalu di penghujung bulan November ini).
Iran sebagai kekuatan besar negara di Timur Tengah juga mulai membangun kekuatan nasionalnya dan bahkan kekuatan di sektor kawasan Asia Tengah kita lihat bagaimana perkembangan Iran di sektor persenjataan dan minyak bumi memberi alasan yang kuat Rusia, Cina dan beberapa negara Eropa merubah kebijakan untuk mengembargo Iran seperti penekanan embargo yang dilakukan oleh AS terhadap Iran. Begitupun dengan Korea Utara yang terus membuka konsolidasi efektif dengan beberapa kekuatan kawasan seperti Rusia dan Cina sendiri. Di sisi lain kemajuan dinamika politik di kawasan Amerika Latin juga menambah corak perkembangan baru di konteks globalnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Indonesia menyikapi peristiwa – peristiwa besar yang telah banyak merubah beberapa negara yang dulunya sejajar dengan Indonesia kini mulai bergerak maju meninggalkan kita, dependencia politik terhadap Amerika jelas menjadi situasi yang cukup mendasar bagi keberlangsungan dan perubahan kebijakan nasional dan luar negeri Indonesia. Coba kita perhatikan bagaimana ketergantungan besar Indonesia terhadap Amerika yang demikian kuatnya sehingga dalam penyambutan Bush kemarin harus membuang uang sebesar Rp 6 Miliyar dan teramat ironis landasan yang dibuat di Kebun Raya Bogor ternyata malah tidak dipergunakan.
Dan yang lebih ironis lagi bahwa keberadaan Amerika di Indonesia dipercaya akan membawa perubahan yang signifikan di sektor Pendidikan, Kesehatan, Bio Energi dan Investasi. Kita masih percaya bahwa Amerika akan memberikan stimulus baru bagi kemajuan Indonesia jika itu benar ini sama halnya di masa Sukarno sebelum kemerdekaan yang terus menunggu kemerdekaan yang dijanjikan Jepang sedang situasi globalnya telah mensyaratkan Revolusi 45 menjadi jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
Kita juga patut membedakan kedatangan AS di Vietnam, Rusia, Singapura dan beberapa negara lainnya di dunia akan memberi implikasi yang sama di Indonesia, sebab kebutuhan pokok AS di Indonesia adalah untuk menata ulang eksplorasi sumberdaya yang mereka miliki di Indonesia seperti Freeport, Exxon Mobile, Blok Cepu, Newmont dll, sebagai fungsi pertahanan bagi basis produksi industri di negara Amerika, sehingga secara tidak sadar kita dipaksa bersikap bahwa kebijakan Soft Power lewat pendidikan adalah niatan murni negra digdaya tersebut untuk memajukan Indonesia. Jika kita belajar dari sejarah sesungguhnya kebijakan tersebut tidak ada ubahnya sebagai sebuah selubung hegemoni untuk kesekian kalinya yang dilakukan negara Amerika untuk mempertahankan dominasinya di Indonesia dan kawasan Asia secara khusus.
Sesungguhnya soft power merupakan leksikon lain dari apa yang telah telah dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891- 1937) tentang hegemoni. Soft Power merupakan upaya halus suatu mekanisme ajakan yang dilakukan secara simpatik. Baik soft power maupun hegemoni merupakan bentuk mengkooptasi melalui instrumen – instrumen seperti kebudayaan, kebijakan, nilai, dan institusi.
Perbedaan kontras antara soft power dan hegemoni ialah latar belakang pemikirnya: hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan seorang marxis italia dengan upaya melakukan perjuangan kelas, namun soft power muncul dari akademisi AS dengan intensi memberikan strategi-strategi jitu AS agar tetap melestarikan hegemoni dan dominasinya selama ini.
Dengan istilah soft power, Nye sebenarnya ingin menunjukan kenetralan konsepnya itu dan berupaya seakan-akan terbebas dari stigma menghegemoni yang sejak gramsci telah dipandang peyoratif.

Tereduksi AS

AS memang kerap menghegemoni masyarakat dunia dengan jargon membela hak- hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Sebagian besar masyarakat dunia pun tampak oleh nilai- nilai yang kerap diklaim AS sebagai nilai mereka itu. Layaknya alexis detocqueville pada abad ke-19 yang terpesona oleh ”demokrasi di Amerika”, sebagian mereka yang pernah studi di AS pun cenderung akan “terseduksi” AS.
Mantan menteri luar negeri AS, Colin Powel pun pernah mengakui kenyataan ini. Menurutnya, proses pertukaran budaya melalui program beasiswa belajar merupakan aset yang sangat besar bagi negerinya, terutama sebagai sarana menjadikan para “alumni AS” sebagai “diplomat AS” kelak (Nye, 2004: 44).
Tokoh politik Perancis, Hubert Verdin dan Dominique Moisi, dalam France in an Age of Globalization (2001), juga mengakui efek “tocqueville” dalam program beasiswa ini, yang menjadikan AS mudah menciptakan hasrat-hasrat masyarakat dunia melalui citra globalnya.
Penyebaran hasrat dan upaya penciptaan citra juga dilakukan pusat-pusat kebudayaan asing di negeri kita, seperti CCF (Perancis), Goethe Institut (Jerman), British Council (Inggris), Erasmus Huis (Belanda) dan lain-lain. Pusat-pusat kebudayaan ini berkepentingan mensosialisasikan budaya, seni, citra, nilai, dan kebijakan negerinya kepada masyarakat kita.
Dengan berbagai cara, lembaga- lembaga tersebut melakukan “seduksi budaya”: kursus bahasa, pemutaran film, pertunjukan seni, pemberian beasiswa, dan sebagainya. Selain itu, media-media mereka memainkan peran penting dalam “menggiring opini” publik seperti yang dilakukan CNN, BBC, VOA, DW, dan lainnya.
Lalu sesungguhnya kita (baca: Indonesia) sedang hendak bergerak seperti apa dalam konteks pertarungan globalnya? Ketertundukan negara terhadap Modal Internasional semestinya sudah mulai ditinjau ulang. Ketakutan atas krisIs ekonomi politik dan bahkan lebih jauh fenomena Balkanisasi yang akan terjadi haruslah kita ukur sebagai efek yang bisa saja terjadi tapi lebih mulia dibandingkan kita harus terus tunduk dibawah ketiak Neo Klonialisme Imprealisme Modal.
Kekuatan besar yang Indonesia miliki mestinya menjadi basis struktur penguat bagi terbentuknya kedaulatan ekonomi politiknya. Sumber daya alam yang melimpah tidak harus dibungkus dengan ketergantungan terhadap ekperimentasi Bio Energi yang sedang dikembangkan AS untuk menutupi kebutuhan pasar minyak dunia, sumber daya manusia yang melimpah juga bagian dari aset besar yang semestinya dikelola untuk membangun negara dan masyarakat Indonesia.

OLIGARKI POLITIK DAN PROBLEM KERAKYATAN

Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
Terpolanya kekuatan politik nasional ke dalam banyak faksi sangat jelas terlihat, faksi politik (baca: Oligarky Politik) terus bergeser dan mengkonsolidasikan diri sebagai proyek besar menyambut Pemilu 2009. Main mata beberapa orang dan kelompok terus terjadi, kerapnya PAN yang diwakili Sutrisno Bachir menemui presiden dan konsolidasi bawah tanah yang terus gencar dilakukan oleh PKS sebagai salah satu partai yang bercorak Islam Identity maupu so apourrch yang dilakukan kekuatan ”Politik Kanan” (Baca : Gemuruh Aksi menolak Bush oleh FPI, MMI, HTI, dan PKS) adalah kecenderungan yang mencolok dalam peta oligarki politik nasional kita, yakni semakin dekatnya perselingkuhan politik antara Militer dan kekuatan Politik Identitas yang secara umum juga diketahui sebagai bagian dari bentukan Tentara.
Sebagai sebuah perbandingan bangkitnya Rezim Fasis di Jerman maupun di Italy adalah juga merupakan dukungan penuh oleh Partai Konservatif dan Politik Identitas yang diwakili oleh Partai Katolik yang ada di sana. Bisa jadi hampir sama corak perkembangan politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini terus dipeliharanya kekuatan Politik Identitas dalam konteslasi pertarungan politik nasional tidak serta dibaca kasat mata melainkan bisa jadi desain untuk mempertahankan dominasi kekuatan militer saat ini yang terus mengkonsolidasikan diri. Di sisi lain kebijakan populis yang terus ditunjukan oleh Rezim SBY bukanlah bagian yang signifikan dari pembangunan infrastruktur sosial melainkan desain perebutan citra di tengah kesadaran sosial yang sedang tertidur. Kita bisa menyaksikan bagaimana pergerakan neraca kemiskinan yang terus berkembang dan peristiwa sosial yang terus terjadi, kejahatan, kematian yang tidak wajar, kerusuhan dan persitiwa sosial lainnya yang merupakan bagian dari tidak tertatanya dengan baik pranata politik maupun ekonomi masyarakat di Indonesia..
Di lain sisi Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden juga terus mengkonsolidasikan diri dengan kekuatan Borjuis Nasional (baca:Bakrie dkk), kekuatan Islam “Fundamentalis” (FPI,MMI,HTI,PKS,Muhammaiyah) serta beberapa komponen TNI yang pro terhadap modal. Konsolidasi yang dibangun JK lewat sentimen kederahan merupakan corak yang terus dikembangkan, konsolidasi yang hanya semata-mata merupakan pragmatisme politik tidak menghitung biaya politik yang akan terjadi. Tidak menutup kemungkinan Etno Chauvinisme akan semakin menguat dengan latar belakang identitas masing-masing atau ancaman yang cukup mengerutkan kening adalah bangkitnya semangat federalisme yang dibarengi dengan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh, Papua, Ambon, Poso , Sulawesi Merdeka, Minahasa Raya merupakan BOM WAKTU yang siap-siap meledak entah lewat latar belakang kepentingan politik maupun spontanitas sosial yang telah direkayasa sedemikian rupa.
Fenomena beralihnya Modal Internasional menanam investasi besar-besaran di bagian timur nusantara tidaklah tanpa maksud, seperti yang telah diutarakan diatas bahwa indikator yang paling jelas dari kehendak Modal adalah eksploitasi sumber daya alam khususnya Minyak Bumi yang mana tidak lagi bisa diperoleh secara massif di pulau Jawa (Lapindo Brantas, Blok Cepu dll), yang lebih ironis lagi adalah pesatnya penetrasi tersebut malah didukung oleh mainstream politik lokal yang juga pro terhadap Modal bahkan tiga kekuatan besar modal di Sulawesi (BUKAKA, BAKRI, BOSOWA) ikut serta terlibat dalam perselingkuhan tidak suci dengan modal internasional dan sedang mempersiapkan proyek mega tambang yang rencana eksplorasi awalnya akan dimulai tahun 2008. Meskipun di beberapa wilayah Sulawesi Selatan (Selayar, Bone, Palopo, Toraja Segi Tiga Emas Industri Gowa, Maros, Makassar dan bebrapa daerah lainya), Sulawesi Barat (Mamasa, Polewali Mandar, Majene, Mamuju, da Mamuju Utara), Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Toli-Toli) Sulawesi Utara (Manado, Minut, Minas, Bitung) Gorontalo, Sulawesi Tenggara (Kendari dan Kolaka) telah dimulai proyek besar tambang tersebut, dan yang lebih mengenaskan lagi adalah modus peralihan tanah di masyarakat kepada modal seringkali menggunakan pola-pola lama (baca: konflik horisontal dengan isu Agama, Ras, Suku, perkelahian antar kelompok).
Di balik mentalitas orang timur dan kondisi geografis yang mempengaruhi ruang psikologis menjadi data awal bagi modal untuk mempersiapkan ruang geraknya, situasi masyarakat yang gampang tersulut betul-betul dimanfaatkan secara massif dengan memobilisasi situasi sosial dengan didukung TNI/POLRI sebagai anjing penjaga modal. Kasus Mahdi Di Palu, Kasus Tibo di Poso, Kasus korban tailing di Mainahasa Utara, kasus sentimen Cina di Makasar adalah bagian dari motif atau cara kerja modal dalam menjalankan agenda Devide at Impera (Politik Adu Domba).
Di sisi lain tidak munculnya kekuatan progresif revolusioner di tingkatan gerakan yang seyogyanya menjadi katalisator gerakan sosialnya juga menjadi persoalan baru, fenomena intelektual yang terjebak pada kesadaran –maaf- “Barbarianisme” merupakan fenomena yang kerap muncul, tawuran antar mahasiswa seakan menunjukan kegagalan pendidikan memberi orientasi bagi masyarakat terdidiknya, terjebaknya kekuatan gerakan dalam logika pragmatisme politik juga menambah daftar panjang kegamangan gerakan disana. Situasi itu pulalah yang mungkin melahirkan apatisme bahkan frustasi sosial di masyarakat dan gerakan sosialnya sendiri.
Selain frustasi sosial yang semakin mewabah, gerakan juga mulai terlibat dalam pola pembangkitan gerakan Etno-Nasionalisme serta munculnya gerakan federalime dan cikal bakal disintegrasi semata-mata hanya didasari oleh kekecewaan politik terhadap penguasa dan elit-elit oligarkis di Jakarta, sehingga gerakan pembentukan Sulawesi Merdeka, Gerakan Minahasa Raya, Gerakan Front Pembebasan Sulawesi dan gerakan-gerakan pemekaran yang berujung pada pemisahan diri dari integritas nasional menambah PR panjang dari NKRI ini. Kecenderungan pemisahan diri bisa jadi merupakan bagian dari provokasi global yang hendak memecah belah gerakan perjuangan menuju kemerdekaan 100%.
Di tingkatan internal Partai Golkar sendiri, beberapa kekuatan juga sedang mengkonsolidasikan diri dan cenderung untuk meninggalkan JK sendiri. Agresifitas sikap politik yang ditunjukan JK menjadi alasan yang cukup kuat dan mendasari beberapa kekuatan untuk mengalihkan pusat konsolidasi. Golkar sebagai representasi salah satu kekuatan partai terbesar di Indonesia mulai menunjukan perpecahannya. Rapimnas yang terpecah pada 2 opsi mendukung kekuasaan dan yang hendak beroposisi adalah realitas politik yang terus mengkristal di tubuh partai berlambang pohon beringin ini. Di lain hal, Agung Laksono yang juga memegang posisi strategis di dalam kekuasaan negara dan di tubuh Golkar terus bermanuver dan bahkan indikasi yang terlihat dia sedang membangun komunikasi efektif dengan SBY, sedangkan kekuatan lama seperti Akbar Tanjung juga sudah mulai start dengan mengkonsolidasikan kekuatan pro-demokrasi yang dimotori Amin Rasik, Emha Ainun Najib dan beberapa kelompok Sos-dem.
UKP3R yang telah disahkan melalui keputusan Presiden adalah ruang yang dibangun oleh kekuatan Sosialis seperti Marsilam Simanjutak, Wimar Witular, Bintang Pamungkas, Joko Suyanto dan kekuatan PSI lama mulai membangun kekuatan. Tahun 2009 seakan menjadi bola kristal yang terus mengental dan bola liarnya akan terus menggelinding konsolidasi kekuatan politik yang sudah tidak terpola menjadi alasan cukup kuat akan muncul kekacauan sosial maupun politik jika salah satu kekuatan tidak terakomodir kepentingan politiknya berarti lagi-lagi politik dagang sapi akan menjadi jawaban atas persoalan-persoalan politik di negeri ini dan sangat jauh dari harapan untuk membangun kesejahteraan rakyat. Di sisi lain kekuatan Cendana masih sangat kuat mendominasi percaturan politik nasional, mereka membangun kekuatan hampir di seluruh partai yang hari ini bertarung bahkan mereka sedang mencoba membangun kekuatannya di dalam tubuh ”Politik Identitas”. Munculnya polarisasi politik yang semakin kabur dalam ranah kekuatan politik oligarki dan jika pemilu 2009 menjadi ekspresi puncak politik kekuatan oligarki maka kita akan bisa secara dini menebak siapa-siapa saja kekuatan yang akan berkuasa selama kekuatan tersebut mampu mempertahankan dominasi modal internasional di Indonesia.
Berkembangnya polarisasi kekuatan di tingkatan elit juga ikut serta mempengaruhi situasi sosial politik di masyarakatnya, sentimen anti jawa, isu federalisme (baca; disintegrasi), serta selubung palsu paradigma masyarakat tentang politik semakin memperkeruh situasi yang hari ini ada, belum lagi problem-problem kerakyatan yang hingga saat ini tidak pernah terselesaikan bahkan semakin membuka jurang kesenjangan di dalam masyarakat sendiri.
Di nasional, ketidakjelasan sistem pemerintahan yang tidak presidensial dan bukan parlementer menjadi awal dari rusaknya posisi negara. Hal itu mengakibatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak konsisten, menguatnya oligarki politik dan pertarungan kepentingan antar perangkat kenegaraan semakin menguat.
Ditambah lagi dengan kuatnya pengaruh modal asing yang mampu mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Hal ini nampak dalam paradigma penyelenggaraan negara yang bukan untuk melayani tetapi untuk menguasai. Dalam situasi ini, tidak ada supremasi hukum karena hukum dapat diperjualbelikan dan memihak pada kelompok yang berkuasa.
Kekerasan menjadi semacam mekanisme pertahanan diri (defense mechanisme) dari masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya. Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah membuat masyarakat terjebak pada cara berfikir dengan pola interpretif yang ditandai dengan gagalnya masyarakat melihat pilihan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan tindakan. Masyarakat menjadi frustasi atas hidupnya, ketika melihat berbagai macam aset yang merupakan hak dan harapan hidupnya terampas oleh pihak pemodal (asing) yang dijamin oleh regulasi pemerintah. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan penggunaan cara-cara kekerasan dan politisasi lewat tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk melegitimasi kekuasaan.
Sementara media masih saja efektif digunakan untuk membuat ilusi demokrasi.

MAJU ATAU HILANG SELAMANYA

Teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia.
Pembacaan di atas mengenai analisa kekuatan politik yang sedang bertarung hari ini, sekalipun itu masih bisa berubah dalam hitungan sekian detik. Namun, dari situ kita bisa mengambil beberapa garis benang merah yang kemudian bisa kita untai menjadi sebuah kesimpulan bahwasanya karakter kekuasaan yang sedang bertarung hari ini masih saja bersifat oligarkis. Sedari awal pun kita telah sadar, bahwa ketika tumbangnya rezim fasis militer Orde Baru, dimana tirani sebagai model/bentuk kekuasaanya dan mode of production colonial sebagai cara produksinya. Ternyata angin segar reformasi 98 itu pun tidak cukup bisa menjadi sebuah transisi menuju bentuk/kekuasaan yang bersifat demokratis (yang tentunya seharusnya juga bisa diikuti oleh perubahan pada cara produksi masyarakatnya). Progresifitas atas terbentuknya konsolidasi demokrasi baru paska reformasi ternyata malah menjadi sumbu dinamit yang sewaktu-waktu bisa di-remote control untuk menyulut konflik horisontal di level civil society nya. Ini sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konflik elit politik dalam memperebutkan kursi kekuasaannya. Ironisnya lagi perpecahan di dalam masyarakat sipil malah dipertajam dengan menguatnya politik identitas dengan selalu mengunggulkan kejayaan sejarah masa lalunya atau pendekatan dalam sentimen SARAnya. Menjadi tepat kemudian, jika kita tetap mensaratkan untuk waspada dan selalu mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik. Ini berarti seluruh problem kerakyatan harus segera menjadi obrolan sehari-hari di parlemen dan badan eksekutif negara ini dari pagi setelah tidur sampai malam menjelang tidur lagi
Menjadi sebuah keniscayaan bahwasanya transisi menuju demokrasi seharusnya tidak bisa mengikut sertakan Orde Baru lagi. Sebab, mereka adalah penyakit bagi tumbuh berkembangnya demokrasi dan cita-cita masyarakat mandiri. Pada konteks itulah garis politik gerakan pemuda tak kan pernah berubah. Garis politik gerakan pemuda pada konteks itu niscaya harus diterjemahkan secara lebih riil, yaitu; mutlak bagi rezim mana pun untuk menjalankan reformasi agraria/landreform, nasionalisasi aset bagi para pejabat dan mantan pejabat korup guna menguatkan survival mechanism bagi ketertindasan ekonomi rakyat, penghapusan hutang luar negeri, dicabutnya regulasi yang mengatur lembaga teritorial TNI/Polri, diadilinya para pelanggar HAM, dianggarkannya biaya pendidikan yang tinggi bagi semurah-murahnya biaya pendidikan untuk rakyat, dibukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya, dinaikkannya upah bagi keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran hidup para buruh demi kemajuan industri nasional, sekaligus memerdekakannya dalam berserikat dan mogok kerja, Sementara tugas besar gerakan adalah mempelopori terbentuknya serikat-serikat petani dan buruh yang progresif dan yang terakhir adalah meradikalisir seluruh keniscayaan di atas.

KEMANA KITA HARUS MELANGKAH !!!
Berpisah Kita Berjuang !! Bersatu Kita Memukul !! (Tan Malaka)

Harus dicatat oleh sejarah, ideologi revolusioner perjuangan nasional yang hanya terjebak dalam pencukupan diri pada pemahaman monolitik kondisi internasional bakal mengalami kemerosotan menjadi semata-mata gagasan reaksioner.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama ketika Kapitalisme melahirkan antitesa Sosialisme, demikian halnya imperialisme kemudian melahirkan ide tentang nasionalisme. Maka kemudian revolusi di dunia ketiga tidak hanya bisa berupa revolusi nasional yang berupa kemerdekaan, akan tetapi juga revolusi sosial sebagai upaya perlawanan atas Kapitalisme dan sisa feodalisme. Sebab sejarah juga pernah memberi kita pelajaran berharga bahwa ternyata produk kemerdekaan di dunia ketiga tidak cukup berhasil membawanya ke dalam kemerdekaan 100% dari penindasan Kapitalisme.
Gagasan dari dunia ketiga tentang perlawanan terhadap Kapitalisme Global terus bergulir dalam perjalanan sejarah, mulai dari Nasionalisme Arab yang digagas Gamal Abdul Nasser, penyatuan New Emerging Forces yang digagas Soekarno, hingga solidaritas internasional yang digagas Che Guevara. Muncul juga ide tentang ekspor revolusi seperti yang diserukan Ayatullah Khomeini maupun yang dipraktekan Che Guevara di Bolivia. KTT Asia Afrika, Gerakan Non Blok dan pertemuan selatan-selatan adalah upaya kerja sama sesama negara dunia ketiga. Namun, perlawanan tersebut mengalami kegagalan karena terkadang hanya selalu didasarkan pada persoalan politik semata, sementara pemulihan krisis ekonomi dan jebakan hutang melilit dunia ketiga sering terabaikan. Solidaritas Internasional juga kemudian sering mengalami kegagalan akibat hegemoni yang ditebar Amerika.
Menjadi jelas bahwa kebutuhan bagi Republik ini adalah bagaimana membangun gerakan ekonomi-politik dalam rangka perang posisi dengan Kapitalisme internasional untuk merebut wilayah hegemoni sehingga tata ekonomi-politik yang timpang dapat diakhiri.
Nasional Demokrasi Kerakyatan yang coba saya hadirkan adalah suatu ide dalam rangka perang posisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan menyandarkan pada gerakan ekonomi politik berbasiskan emansipasi massa. Sehingga menjadi penting apa yang telah dikemukakan Marx bahwa pengertian nasional harus dimaknai sebagai sebuah modal dagang di mana dependencia harus dipahami dalam pengertian politik: negara dalam pengertian nation bukanlah terjebak dalam bentuk konsolidasi primitif semata sehingga kemerdekaan 100% yang kita yakini harus dapat diidentifikasikan dalam pengertian produksi, dimana negara dan rakyat akan menggunakan menjadikan air, udara tanah beserta isinya sebagai alat produksi dan menciptakan cara produksi yang mampu menciptakan pemerintahan demokratik dalam pengertian anti imperialisme dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Untuk itu kita mampu segera membuat stimulus agar terciptanya seperangkat aturan yang menguntungkan produksi rakyat dan menciptakan investasi dan tenaga ahli (baca: intelektual organik) guna memberdayakan ekonomi-produksi rakyat. Maka ada beberapa hal yang bisa coba kita upayakan kembali secara optimal di lingkungan pendampingan sektoral kita serta khususnya di lingkungan kampus, yang sampai saat ini masih menjadi lahan pengorganisiran kita yang paling masif:

Ranah Perjuangan Mahasiswa dan Gerakan Dunia Pendidikan
Merebut Alat Produksi Pengetahuan
Revolution is an Extraodinary education Process
(Revolusi adalah Pendidikan di Luar Kelaziman)

Membaca derasnya arus liberalisasi yang masuk ke dalam institusi pendidikan serta mewabahnya penyakit apatisme-hedonisme yang menjangkiti mahasiswa Indonesia pada hari ini, mensaratkan kita untuk menyajikan kembali kebenaran sejarah pendidikan yang sesungguhnya ke dalam jamuan mahasiswa masa kini. Apa yang kita miliki sekarang di kampus, lembaga kemahasiswaaan, kurikulum dan hubungan belajar mengajar adalah wujud konkrit dari kekalahan independensi mahasiswa setelah diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Menteri fasis, Daoed Joesoef. Konsep Link and Match adalah upaya penyeragaman berpikir yang telah dilakukan oleh negara – yang berkembang dengan berlebihan (overdeveloped state) – dalam rangka rekayasa sosial dengan asumsi tentang modernisasi sebagai syarat dari terselenggaranya developmentalism (baca: pembangunanisme) yang “diajarkan” oleh Amerika, sebuah hubungan antar Negara yang menunjukkan praktek neo kolonialisme-imperialisme di satu sisi dan posisi semikolonial di sisi lain.
Tugas pokok dalam peperangan gerilya di sektor mahasiswa pada dasarnya adalah mendemokratiskan kampus dan menjadikan kampus sebagai basis perlawanan yang revolusioner. Memori kolektif kawan-kawan mahasiswa harus dibangkitkan bahwa, setelah pembubaran DEMA (Dewan Mahasiswa) oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Laksamana Soedomo lewat pendudukan militer atas sejumlah kampus dan lewat SK. 02/KOPKAM/1978 serta pemberlakuan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus–Badan Koordinasi Kampus) lewat Keputusan Mendikbud (SK. 156/U/1978), aktivis mahasiswa banyak mendirikan komite aksi (komite van aksi/comites d’action) yang bersifat ad hoc dalam rangka advokasi untuk ‘berbicara langsung dengan rakyat’.
Belum lagi, praktek kapitalisasi pendidikan yang telah menggadaikan hakekat pendidikan menjadi komoditas bisnis semata. Untuk itu perlu kerja keras dan kesabaran untuk mengeliatkan kembali khazanah pergerakan dan kritisisme dalam lingkungan kampus. Tentu saja, ini semua tidak bisa dibangun dengan pendekatan heroisme semata namun yang harus dibutuhkan saat ini adalah bagaimana kader kita bisa mempunyai kreativitas dan improvisasi yang tinggi dalam melakukan penggalangan masyarakat kampus seluas-luasnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang bisa segera dilakukan, seperti:

1. Kampanye mengenai Anti Liberalisasi Pendidikan (isu-isu BHMN, kurikulum, hak-hak mahasiswa, dll)
2. Gencarkan propaganda REVOLUSI PENDIDIKAN!!!
3. Membuat atau terlibat dalam kelompok-kelompok minat bakat sebagai sarana pengorganisiran dan pencitraan organisasi yang lebih luas.
4. Membuat atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan intelektual sebagai inovasi baru bagi pensemestaan gagasan Nademkra serta wahana untuk pencitraan organisasi yang lebih elegan.
5. Memetakan serta mengelola sumber daya kampus sebagai media pengorganisiran atau pensemestaan gagasan nademkra seperti lembaga penelitian kampus, pusat studi kampus, dll
6. Melakukan Penggalangan Opini yang terbentuk akibat kerja propaganda agar terjadi perbaikan kondisi maupun institusionalisasi program perjuangan dalam REVOLUSI PENDIDIKAN

Ranah Perjuangan Pemuda

Para Pemuda —satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimipin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan; satu-satunya tenaga yang tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan.
Pemuda sebagai entitas sosial mempunyai dimensi yang luas dengan keberadaannya dalam struktur sosial baik sebagai the have (kelas atas; pemodal) maupun sebagai the have not (kelas bawah; tertindas) maupun tersebar diberbagai lapangan pekerjaan/penghidupan (sering disederhanakan namun tidak begitu tepat menjadi sektor) ini bisa terbagi menjadi petani, buruh, PKL, usaha mandiri, anak jalanan, kaum miskin kota, mahasiswa dan lain sebagainya.
Dengan persebaran pemuda dalam berbagai kenyataan sosial dan teridentifikasi dalam identitas-identitas baru mengharuskan kita untuk menghubungkan sekian kenyataan dan memompakan semangat, sikap dan orientasi kolektif dalam ranah perjuangan masing-masing sesuai dengan konteks lokalitasnya yang sesungguhnya tersambungkan dalam problem yang sama yaitu kekuatan pembentuk yang menempatkan pemuda kehilangan akses menuju penghidupan yang layak akibat pekerjaan, pendidikan, nutrisi serta lingkungan sosial akibat terhisap oleh derasnya arus dehumanisasi.
Orde baru sukses meletakkan pembagian sektoral sebagai sekat-sekat yang menahan terbangunnya solidaritas. Seperti terpisahnya kaum tani dari massa buruh perkotaan, terpisahnya kaum buruh dengan buruh lainnya akibat perbedaan hasil produksi maupun kondisi kerja, atau terpisahnya kaum pekerja dengan kaum pengangguran membuat antagonisme justru hidup secara horisontal. Belum lagi kondisi ini diperparah oleh politik identitas maupun etno nasionalisme yang semakin menguat. Sesungguhnya kita memiliki modal sosial untuk menerobos sekat-sekat peninggalan orde baru ini. Latar belakang kita yang kaya akan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dengan konteks ketertindasan masing-masing akan membuat kader berbasis massa menemukan pasangannya; ranah sosial pemuda.
Sebagai penutup ada sebuah puisi “Penindasan adalah kebisuan yang diidap oleh setiap orang. Dan pemberontakan terhadapnya adalah bahasa semua bangsa”.
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucap selamat datang
Aku mengucap selamat pagi kepada hidup yang jelata
M E R D E K A !!! ***

Ditulis dalam Pojok Kampus