Kami adalah

Rabu, 16 Desember 2009

CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITY DAN KEARIFAN LOKAL



Oleh
Mochamad Arifinal, SH., MH
(Dosen Fakultas Hukum UNTIRTA)

“Selama lebih dari tiga dekade, ekonomi Indonesia dibangun atas dasar teori pertumbuhan yang memberikan peluang tak terbatas pada perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam” (B.Tamam Achda).

Latar belakang lahirnya CSR
Konsep pengelolaan ekonomi tersebut di atas, merupakan adopsi dari Konsep Ekonomi Kapitalis Ala Adam Smith (Bapak Ekonomi Kapitalis), yaitu pola perilaku ekonomi yang melampaui batas? Mana mungkin dengan modal yang sekecil-kecilnya dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya! Bagi penulis konsep ekonomi semacam ini menyesatkan.

Seharusnya konsep ekonomi yang dibangun adalah konsep ekonomi rasional tetapi tidak tercerabut dari realitas lingkungan yaitu ekonomi yang mendasarkan pengembangannya kepada kearifan hidup, dengan menggunakan teori keadilan distributif.

Aristoteles adalah bapaknya filsafat dunia. Dia adalah pencetus lahirnya Teori Keadilan Distributf. Konsep tersebut mengajarkan bahwa keadilan bagi manusia harus diberikan dengan berdasarkan prestasi yang di buat. Artinya konsep Reward and Punisment harus diterapkan untuk mengawal konsep ini, maksudnya apabila seseorang berbuat kebaikan maka ia harus mendapatkan penghargaan (reward), dan sebaliknya apabila seseorang berbuat suatu kejahatan maka ia harus mendapatkan hukuman (punisment).

Begitu pula dalam konsep ekonomi, haruslah diterapkan model pengembangan keadilan distributif. Yaitu suatu pola ekonomi yang dibangun berdasarkan modal (capital) yang seimbang dengan kontribusi perusahaan terhadap lingkungnnya. Tidaklah dikehendaki bahwa pengerukan keuntungan (profit) yang sebesar-besarnya oleh perusahaan, apabila tidak dibarengi dengan kontribusi atau manfaat (benefit) bagi kepentingan masyarakat setempat (local community). Atau dengan kata lain perusahaan harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, dimana perusahaan itu berada.

Mengapa harus demikian? Fakta membuktikan bahwa pada masa-masa lalu, dalam mana invisible-rules yang berjalan. Perusahaan cukup berlindung dibalik kekuasaan oknum-oknum tertentu saja untuk menghindari dari tuntutan masyarakat. Akhirnya masyarakat semakin marjinal dan miskin.

Fakta lainnya, bahwa kehidupan ekonomi masyarakat semakin involutif, disertai dengan marginalisasi tenaga kerja lokal. Hal ini terjadi karena basis teknologi tinggi menuntut perusahaan-perusahaan besar lebih banyak menyedot tenaga kerja terampil dari luar masyarakat tempatan, sehingga tenaga-tenaga kerja lokal yang umumnya berketerampilan rendah menjadi terbuang. Keterpisahan (enclavism) inilah yang kemudian menyebabkan hubungan perusahaan dengan masyarakat tempatan menjadi tidak harmonis dan diwarnai berbagai konflik serta ketegangan. Berbagai tuntutan seperti ganti-rugi atas kerusakan lingkungan, pemekerjaan (employment), pembagian keuntungan, dan lain-lain sangat jarang memperoleh solusi yang mendasar dan memuaskan masyarakat. Situasi tersebut diperparah oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang bersifat profit-oriented semata. Di masa-masa yang lalu keadaan seperti ini dipandang sebagai tidak ada masalah karena tradisi represif dalam pemerintahan kita masih sangat dominan. (B.Tamam Achda, 2006: 1-2).

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini, perusahaan sudah memberikan kontribusi, namun kontribusinya bersifat Top Down, yaitu memperbesar biaya (cost) perusahaan untuk pengeluaran dana-dana siluman (oknum dan premanisme, pen) melalui hibah-hibah sosial, bukan melalui hibah pembangunan yang bersifat sosial (social development).

Konsep demikian, tidak dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung, yang ada malah kesenjangan antara perusahaan dengan masyarakat semakin lebar, dan ujung-ujungnya malah konflik yang terbangun. Sebab di satu sisi ekonomi perusahaan tumbuh secara modern dan sangat pesat, tetapi di sisi masyarakat, ekonomi justru berjalan sangat lambat atau bahkan mandeg. Hal tersebut menurut perspektif sosiologi Booke disebut teori “Duel Society.” (B.Tamam Achda, 2006 : 1).

Apa yang perlu dilakukan? Harus ada cara lain, untuk menyerap dana-dana sosial dari perusahaan dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan, melalui pola-pola kontribusinya yang bersifat Botton Up, yaitu suatu pola penyerapan dengan melibatkan masyarakat lokal melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ini merupakan, salah satu cara untuk mengupayakan terjadinya harmonisasi antara perusahaan di satu sisi, dan masyarakat di sisi lainnya.

Jadi secara konseptual, sebenarnya lahirnya Corporate Sosial Responsibility (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat CSR) adalah untuk mengupayakan harmonisasi antara kepentingan dua entitas (paradoks), yaitu kepentingan perusahaan (Corporate) dan kepentingan lingkungan masyarakat dimana perusahaan itu beroperasi (baca: berada).

Tujuan awal dibentuknya CSR adalah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), yaitu suatu konsep dimana pembangunan ditempatkan sebagai bagian dari lingkungan. Ini yang penulis sebut dengan konsep “MEMBUMI,” Yaitu DIMANA BUMI DIPIJAK, DISANA LANGIT DIJUNJUNG (Rahmatan Lil-Alamin).

Pengaturan CSR di Indonesia
Sebelum diuraikan mengenai pengaturan CSR, perlu ditinjau, apa sesungguhnya tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Artinya semua peraturan perundang-undangan yang berlaku haruslah didasarkan pada tujuan dibentuknya negara (Baca: Republik Indonesia). Artinya antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya adalah satu kesatuan dan tidak boleh bertentangan sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang berlaku, sehingga melahirkan satu sistem hukum yang kuat dan integral.
CSR dalam sistem hukum Indonesia (eropa kontinental) diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas (selanjutnya disebut UUPT), BAB V dengan title Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Pasal 74 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”

Tanggung Jawab tersebut, merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Apabila perseroan atau perusahaan tidak mau melaksanakan kewajiban CSR, dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan mengenai CSR ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pengaturan semacam ini, sebelumnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas. Oleh sebab itu, ditinjau dari aspek pengaturan maka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU terbaru), dianggap ada kemajuan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini. Momentum ini harus dimanfaatkan secara positif, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun oleh masyarakat. Semua pihak dalam hal ini harus mendorong terlaksananya program tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) sebagai perintah suatu undang-undang.

Penerapan CSR sebagaimana disebutkan oleh Pasal 74 UUPT tersebut harus diarahkan dan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH), Pasal 1 angka 3 UUPLH menentukan bahwa “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Oleh sebab itu, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat harus mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan konsep ini, sehingga tercapai tujuan kelestarian fungsi lingkungan.

Dimana peran serta masyarakat? Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UUPLH, bahwa “Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.” Pelaksanaan ketentuan ini, dilakukan dengan cara :
1. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
2. menumbuhkembangkan kemampuan dan ke-peloporan masyarakat
3. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyara-kat untuk melakukan pengawasan sosial;
4. memberikan saran pendapat; dan
5. menyampaikan informasi dan/atau menyam-paikan laporan

Berdasarkan ketentuan ini, masyarakat mempunyai peranan yang cukup untuk turut serta dalam pengawasan operasional perusahaan sehingga dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan. Dalam kaitan ini, CSR ditempatkan sebagai konpensasi manfaat dari sistem tata ruang dan lingkungan yang dipakai oleh perusahaan, sebagai dampak dari operasional perusahaan.

Apabila ditinjau lebih jauh, sesungguhnya CSR sebagai suatu konsep tidaklah lahir begitu saja, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), secara prinsip sudah diatur. Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”

Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu me¬nimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan. kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Penulis lebih setuju bahwa asas fungsi sosial ini bukan hanya berlaku bagi hak atas tanah saja, tetapi juga berlaku bagi semua bentuk hak. Artinya “Semua Hak Mempunyai Fungsi Sosial,” Asas fungsi sosial seperti tersebut dalam Pasal 6 UUPA ini, kemudian diadopsi oleh Pasal 74 UUPT, yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan atau yang lebih dikenal dengan sebutan CSR saat ini.

Pengertian CSR
CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial dan lingkungannya (Suhandari M. Putri, Scema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007).

Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Adanya komitmen perusahaan atau dunia bisnis;
2. Kontribusi terhadap pengembangan ekonomi secara berkelanjutan;
3. Memperhatikan tangggung jawab sosial perusahaan;
4. Titik berat kepada keseimbangan; dan
5. Fokus perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Demikian antara lain unsur-unsur yang harus ada dalam konsep CSR. Oleh sebab itu, apabila berbicara mengenai CSR, maka harus ditekankan pada pelaksanaan unsur-unsur CSR itu sendiri, agar sesuai dengan batasan tersebut di atas.

Ruang Lingkup CSR
CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Ruang lingkup tanggungjawab perusahaan meliputi empat bidang kajian keilmuan yang merupakan satu kesatuan, yaitu; ekonomis, hukum, etis, dan filantropis (B.Tamam Achda, 2006: 4):
1. Tanggung jawab ekonomis berarti perusahaan perlu menghasilkan laba sebagai fondasi untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Namun dalam tujuan mencari laba.
2. Secara hukum, sebuah perusahaan juga harus bertanggungjawab dengan mentaati ketentuan hukum yang berlaku.
3. Secara etis perusahaan juga bertanggungjawab untuk mempraktikkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai, etika, dan norma-norma kemasyarakatan.
4. Tanggungjawab filantropis berarti perusahaan harus memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sejalan dengan operasi bisnisnya.

Mengacu pada ruang lingkup di atas, maka apabila CSR tersebut dilaksanakan secara konsisten dalam jangka panjang dapat menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa, CSR adalah prasyarat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologis kultural yang kuat dari masyarakatnya.

CSR dan Kearifan Lokal
Keunikan CSR adalah kegiatan ini sangat bersifat lokal dan indigenous karena pelaksanaannya harus meli¬batkan isu-isu lokal dan peran serta masyarakat lokal yang berada di sekitar perusahaan. Inilah sejujurnya yang membuat CSR memiliki peluang untuk rnasuknva keterlibatan masyarakat secara utuh dalam pencapaian tujuannya. Masalah kemis¬kinan selain muncul dengan ciri globalnya, muncul juga dengan segala bentuk kelokalannya seperti tingkat adaptasi masyarakat setempat terhadap perubahan (Hendrik Budi Untung, 2008: 36).

Oleh sebab itu, dalam kaitan ini untuk merangsang pertumbuhan CSR yang mampu mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan diperlukan tiga pilar utama untuk mewujudkannya (Dyah Pitaloka, Suara Merdeka, 2 Agustus 2007):
1. mencari bentuk CSR yang efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan dengan memperhatikan unsur lokalitas;
2. mengkalkulasi kapasitas sumber daya manusia dan institusi untuk merang¬sang pelaksanaan CSR; dan
3. peraturan serta kode etik dalam dunia usaha.
Untuk mewujudkan ketiga pilar pokok di atas, diperlukan kerjasama yang harmonis antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan, perusahan sebagai penanggung jawab financial CSR dan masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan.
Perlu mendapat catatan disini, yaitu peran pemimpin daerah baik itu Bupati, Walikota maupun Gubernur untuk berani memberikan dukungan agar konsep CSR yang diusung dapat diwujudkan. Terutama bagi Bupati dan Walikota, karena saat ini kedua jabatan tersebut memanggul amanah Desentralisasi, maka saatnya untuk berkiprah lebih jauh demi terwujudnya masyarakat madani yang berdaya, melalui pengembangan program-program CSR secara lokal.

Penerapan dan Pelaksanaan CSR
Pada periode tahun 1970-1980, Konsep CSR diperluas oleh Archi Carrol. Menurutnya, dunia usaha perlu meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi penunjang eksistensi perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan lahirnya stakeholder theory. Menurut teori ini, tanggung jawab korporasi melampaui kepentingan berbagai kelompok yang hanya berpikir tentang urusan finansial, tanggung jawab tersebut berkaitan erat dengan masyarakat secara keseluruhan yang menentukan hidup matinya suatu perusahaan. Untuk itu, dalam upaya penerapan CSR, perusahaan harus melaksanakan tiga prinsip penting (Hendrik Budi Untung, 2008: 38-39), yaitu:
1. perusahaan harus memberi perhatian penuh pada pengembangan fungsi-fungsi ekonomi masyara-kat;
2. perlu menyadarkan dunia usaha tentang perbahan nilai-nilai dalam masyarakat tempat mereka eksis;
3. perlu menyadarkan dunia usaha tentang keprihatinan pada lingkungan hidup dan upah kerja yang wajar, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan daerah pedesaan
Bagaimana seharusnya penerapan dan pelaksanaan CSR ini? Ada dua metode yang diberlakukan dalam CSR, yaitu Cause Branding dan Venture Philanthropy (Hendrik Budi Untung, 2008: 39-40). Metode Cause Branding menggunakan pendekatan Top Down, dalam hal ini perusahaan menentukan masalah sosial dan lingkungan seperti apa yang perlu dibenahi. Pendekatan yang kedua yaitu Venture Philanthropy, lebih menekankan pada pendekatan Bottom Up, disini perusahaan membantu berbagai pihak non-profit dalam masyarakat sesuai apa yang dikehendaki masyarakat.

Dalam pengelolaan CSR, Penulis lebih cenderung memilih untuk menggunakan metode yang kedua, yaitu Venture Philanthropy, sebab dalam pendekatan ini, perusahaan membantu masyarakat untuk menciptakan sendiri sumber-sumber penghidupan baru dan tidak sekedar menyalurkan bantuan sosial atau finansial kepada masyarakat.

Langkah penting yang harus dilakukan untuk menyerap dana-dana CSR dari perusahaan-perusahaan yang nilainya besar untuk kepentingan masyarakat local, maka harus diupayakan untuk membentuk suatu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), yang bertumpu pada kepentingan komunitas lokal yang siap untuk menyerap dana-dana CSR tersebut, untuk kepentingan pembangunan masyarakat lokal yang berkelanjutan. Misalnya, sebut saja namanya Local Community Depelopment (LCD), dan lembaga tersebut haruslah berorientasi pada gerakan sosial (non-profit).

Penutup
Simpulan yang dapat di tarik dari tulisan ini antara lain adalah:
1. Pentingnya konsep CSR ini bagi kepentingan semua pihak, sehingga perlu diwujudkan pelaksanaannya;
2. Perlunya kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan CSR dalam realita kehidupan masyarakat lokal;
3. Agar konsep CSR ini bukan hanya angan-angan, perlu segera dipikirkan untuk membentuk Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), yang bertumpu pada kepentingan komunitas lokal yang siap untuk menyerap dana-dana CSR tersebut


Daftar Pustaka
B.Tamam Achda, Konteks sosiologis Perkembangan corporate social responsibility (CSR) dan Implementasinya di Indonesia, disampaikan pada Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR, di Hotel Hilton, Jakarta, 23 Agustus 2006.
Dyah Pitaloka, Memperkuat CSR Memberantas Kemiskinan, Suara Merdeka, 2 Agustus 2007
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Suhandari M. Putri, Scema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan