Kami adalah

Selasa, 04 Agustus 2009

SEJARAH BANTEN

SEJARAH BANTEN (BAGIAN 1)

artikel ini diambil dari http://www.iai-banten.org/2008/02/28/sejarah-banten-bagian-1/ Posted on February 28, 2008 by Arum Kusumawardhani Filed Under Budaya | 21,422 Views

Saduran Bebas dari buku “THE SULTANATE OF BANTEN by Claude Guillot, Hasan M. Ambary and Jacques Dumarçay, Gramedia 1990”

ASAL MUASAL

Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.

Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.


Peta Lokasi Banten Girang

Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.

Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.

Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.

Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.

Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.

Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.

Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.

Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.

http://sejarahbangsaindonesia.co.cc/1_10_Sejarah-Banten.html

Sejarah Banten

Banten merupakan provinsi yang baru berdiri di era reformasi, tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2000. Provinsi Banten ini merupakan pecahan dari provinsi Jawa Barat. Serang ditetapkan sebagai ibukota provinsi Banten. Gubernur Banten yang pertama adalah Dr. H. Djoko Munandar, MSc.

Pada era Kerajaan Sunda Pajajaran, Banten merupakan ancaman bagi kerajaan tersebut. Dalam hal perdagangan, Banten merupakan saingan Sunda Kelapa. Keduanya sama-sama merupakan kota pelabuhan yang penting. Pada abad 13, Sultan Demak menyebarkan Islam di Jawa Barat, yaitu, di Cirebon dan Banten. Hal ini menjadikan Banten sebagai salah satu pusat perkembangan Islam.

Pada tahun 1525, Kesultanan Banten berdiri. Pada era pemerintahan Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat dan semakin memperjelas jati dirinya sebagai pusat penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Pajajaran, bahkan sampai ke beberapa wilayah di Sumatera.

Banten mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yang berlangsung dari tahun 1651 sampai tahun 1682. Sementara itu, Belanda terus memperbesar pengaruhnya di Kesultanan Banten. Pada akhirnya mereka berhasil menjalin hubungan dengan putra mahkota Pangeran Gusti atau Pangeran Anom. Hubungan putranya dengan Belanda sangat menggusarkan Sultan Ageng. Akhirnya Sultan Gusti diperintahkan untuk memperdalam ilmu agama di Mekkah, sekaligus menjalankan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, Pangeran Gusti dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Dia kemudian menjalankan roda pemerintahan Banten dengan tetap didukung oleh ayahnya.

Prilaku sultan Haji ternyata tidak berubah. Dia tetap menjalin hubungan mesra dengan Belanda. Untuk menyadarkan anaknya tersebut, Sultan Ageng yang ketika itu telah tinggal terpisah dari anaknya, mengirimkan pasukan ke Surosowan, tempat kediaman Sultan Haji. Namun Sultan Haji melakukan perlawanan terhadap pasukan yang dikirim ayahnya tersebut, bahkan dia meminta bantuan Belanda.

Belanda, yang telah lama berambisi untuk menguasai Banten, tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mereka langsung mengirimkan pasukan. Akhirnya, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Sultan Ageng melawan Belanda. Akhirnya Belanda dapat mendesak pasukan Sultan Ageng. Mereka menduduki kediaman Sultan Ageng, yaitu, Keraton Tirtayasa. Sultan Ageng dan beberapa pembesar Banten lainnya melakukan perang gerilya.

Belanda yang menyadari tidak akan mampu mengalahkan Sultan Ageng secara penuh, akhirnya memakai tipu muslihat. Mereka mempergunakan Sultan Haji untuk memohon kepada ayahnya agar perlawanannya dihentikan dan kembali ke Surosowan dan dijanjikan mendapat jaminan kemerdekaan dan kebebasan bergerak. Sultan Ageng menuruti permohonan putranya tersebut dan kembali ke Surosowan. Namun Belanda mengingkari janji dan menangkap Sultan Ageng untuk kemudian ditahan di Batavia sampai wafat tahun 1692.

Hubungan yang dijalin Sultan Haji dengan Belanda ini ternyata harus dibayar mahal. Sultan Haji dipaksa untuk menandatangai perjanjian yang isinya antara lain berakhirnya kekuasaan mutlak Sultan Banten dan Belanda diperbolehkan melakukan monopoli perdagangan. Dengan perjanjian itu, Banten sesungguhnya sudah bukan daerah merdeka lagi, karena segala sesuatunya, terutama perdagangan, ditentukan oleh Belanda.

Perkembangan selanjutnya sangat menggelisahkan rakyat, yaitu, terjadi perebutan kekuasaan adat istiadat dan prilaku etis telah ditanggalkan. Akhirnya kegelisahan tersebut tidak dapat dibendung lagi dan terjadilah pemberontakan rakyat. Dengan dipimpin oleh dua tokoh yang ditaati rakyat, yaitu, Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, mereka mengangkat senjata.

Pada tahun 1807, secara resmi Belanda memproklamasikan bahwa Kepulauan Nusantara adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Sebagai Gubernur Jenderal yang pertama adalah Herman Wilhelm Daendles (1808-1811). Dalam masa kekuasaannya, Daendles berencana membangun jalan raya antara Anyer yang terletak di ujung barat Pulau Jawa dan termasuk wilayah Banten sampai ke Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Sultan Banten menolak untuk menyediakan pekerja yang akan dipekerjakan secara kerja rodi. Penolakan ini membuat Daendles marah dan kemudian menyerang Keraton Banten tanggan 21 November 1808. Sultan Banten ditangkap dan dibuang ke Ambon. Kesultanan Banten sendiri dihapuskan dan dijadikan wilayah Keresidenan.

Perlawanan rakyat Banten terhadap penjajah terus berlanjut sampai awal kemerdekaan, meskipun tidak secara besar-besaran lagi. Ketika di awal masa kemerdekaan Jawa Barat ditetapkan sebagai salah satu provinsi dari delapan provinsi yang ada di Indonesia, Banten merupakan salah satu keresidenan di wilayah provinsi Jawa Barat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan