Kami adalah

Kamis, 06 Agustus 2009

Otonomi daerah, pendelegasian setengah hati

Dikutip dari : http://www.togarsilaban.com/2009/02/02/otonomi-daerah-pendelegasian-setengah-hati/

Secara formal, otonomi daerah dilaksanakan sejak tahun 1999, yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Otonomi Nomor 22 tahun 1999. Implementasi otonomi baru dimulai secara formal tahun 2001 dengan perubahan struktur organisasi pemerintahan di daerah. Tahun 2004, Undang-Undang Otonomi direvisi secara struktural menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Dalam perjalanannya, UU 32/2004, mengalami “revisi minor”, sehubungan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah.

Perubahan dari UU 22/1999 ke UU 32/2004, merupakan perubahan yang cukup substansial. Sejak tahun 2001, pemerintahan di daerah seolah mendapat kewenangan besar dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, sehingga banyak daerah yang “kebablasan” dalam pelaksanaan otonomi. Banyak Peraturan Daerah yang dibuat dengan sesuka hati Pemda, sehingga dalam pelaksanaannya bertabrakan dan bahkan bertentangan dengan semangat otonomi UU 22/1999. Kesan yang timbul adalah, terbentuknya “raja-raja” di daerah yang tidak peduli dengan kepentingan (Pusat)/Nasional. Akibat dari itu, sebagian “pemikir” di Pemerintah Pusat menilai, kalau dibiarkan terus, otonomi bisa-bisa akan memecah Negara Kesatuan RI. Hasilnya adalah lahirnya UU 32/2004, yang substansinya mengembalikan lagi “kekuasaan” Pusat (secara terselubung).

Upaya “pengebirian” otonomi menjadi lebih kental lagi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. PP 38/2007, merumuskan URUSAN Pemda, bukan KEWENANGAN Pemda. Perbedaan pengertian antara urusan dan kewenangan sangat besar dan fundamental. Dengan PP tersebut, Pemerintah daerah hanya diberikan beban kerja saja yang berupa urusan, sementara kewenangan tidak dijelaskan. Pemilihan kata urusan dalam PP 38, adalah kesengajaan sistematis untuk menyunat dan mengebiri otonomi. Inilah “akal-akalan” pemerintah pusat.

Perumusan dalam PP 38/2007, mengatur kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk “urusan wajib” dan “urusan pilihan“. Artinya, Pemda biberikan sejumlah kewajiban yang harus dilaksanakan, tetapi tidak menyinggung kewenangan yang dimiliki Pemda. Pemberian “urusan” tidak identik dengan pemberian “kewenangan”. Bila Pemda tidak melaksanakan “urusan” yang berupa beban pekerjaan dan tanggung jawab, maka Pemerintah Pusat akan memberikan “sanksi”, berupa hasil pemeriksaan oleh BPK (BadanPemeriksa Keuangan). Bila temuan BPK negatif, maka penyelenggara Pemerintahan di Daerah bisa menjadi repot dan ada kemungkinan menjadi obyek penyidikan.

Selain itu, pelaksanaan otonomi, di tingkat Pemerintah Pusat, masih berupa kelengkapan administrasi. Untuk ini wacana adminstrasi pemerintahan di Pusat terutama hanya dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri. Instansi Pusat lainnya, terutama Departemen-Departemen Teknis, praktis tidak banyak membantu pelaksanaan otonomi. Di daerah, Departemen-Departemen Teknis tersebut, hanya sekedar merubah nama dari Kantor Wilayah menjadi Balai Besar. Pelaksanaan kegiatan dan proyek Departemen Teknis di daerah masih terus berjalan sebagaimana era sebelum tahun 2001. Banyak program dan proyek dari Balai Besar yang dilakukan di daerah, bahkan tidak diketahui dan tidak dilaporkan kepada Bupati atau Walikota.

Kondisi-kondisi yang diuraikan diatas, barulah sebagian kecil dari kondisi yang sesungguhnya. Praktek di lapangan lebih banyak dan lebih bervariasi. Karena itulah pelaksanaan otonomi, perlu disempurnakan agar daerah benar-benar mampu mengembangkan diri menjadi lebih maju. Pelayanan kepada masyarakat bisa lebih ditingkatkan. Pertanyaannya kemudian, apakah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah benar-benar mau konsisten melaksanakan otonomi dalam pengertian yang sesungguhnya ???.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan