Oleh : Abdel Malik Mughni*
“Sebagai bagian dari strategi aksi, sedikit huru-hara kadang diperbolehkan, demi didengarnya issu yang diusung!”
Begitu kira-kira doktrin yang pernah saya dapatkan dalam materi strategi dan aksi, yang biasa disingkat stratak, di sebuah organisasi kemahasiswaan (ormawa) ekstra kampus. Ketika issu yang diangkat dihiraukan, seolah tak memiliki selling point, maka aksi radikal menjadi solusi praktis yang super instant , sebagai sarana potong kompas, agar issu dilirik dan aksipun terpublikasikan.
Demonstrasi, makar dan pemberontakan terhadap rezim, seakan identik dengan gerakan mahasiswa. Padahal, terlepas dari represifitas aparat, huru-hara dan anarkhisme hampir selalu dianulir dalam setiap agenda rapat tekhnik lapangan (kajian & rapat persiapan demonstrasi). Setiap koordinator lapangan sebuah aksi, pasti mewanti-wanti timnya untuk tidak bertindak anarkhis. Dalam hal ini, setiap aksi mahasiswa, biasanya mengusung moral sebagai basis ideologi gerakan.
Namun sayang, dengan hadirnya berbagai organisasi berlabel kemahasiswaan –baik resmi, maupun taktis,- saat ini, demonstrasi kadang hanya menjadi arena pengukuhan eksistensi ormawa. Lihat saja dalam beragam aksi yang diberitakan, kibaran bendera dan panji-panji keorganisasian seakan berebut mencari tempat, agar disorot kamera. Fenomena tersebut, memunculkan asumsi tentang disorientasi gerakan ormawa saat ini.
Meningkatnya jumlah ormawa di era reformasi, menandakan adanya keragaman ideologi, pola dan orientasi gerakan mahasiswa saat ini. Ditambah lagi dengan kebijakan otonomi daerah, yang menyebabkan semakin terpecahnya fokus kontrol mahasiswa terhadap sebuah rezim pemerintahan. Ini saya buktikan ketika mengikuti sebuah forum yang mempertemukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) secara nasional. Berkali forum hampir pecah, karena ketidak sepahaman agenda dan issu yang diusung. Hampir semua BEM berkeinginan agar issu di daerahnya diangkat bersama, menjadi issu nasional.
Di level daerah, egosentris masing-masing ormawa juga tak bisa dihindari. Dalam sebuah aksi, kadang ada saja ormawa yang enggan untuk bergabung dengan ormawa lain, meski issu yang diusung seragam, dan obyek yang menjadi target juga sama. Kbesaran bendera dan panji ormawa kadang membuat seorang dan sekelompok aktivis besar kepala, dan mengindahkan peningnya kebersamaan.
Di internal kampus, egosentris ormawa seakan bermuara. Lihat saja dalam setiap perhelatan Pemilu Raya Mahasiswa, sebuah agenda tahunan untuk suksesi kepemimpinan BEM dan setingkatnya, semua ormawa –ekstra maupun intra kampus- berebut tempat di hati mahasiswa, agar dipilih menjadi presiden mahasiswa, senat, maupun anggota Badan Perwakilan Mahasiswa. Lucunya, dalam agenda yang biasanya berlangsug hanya sebulan itu, teman satu kosan bisa menjadi musuh yang paling gila.
Padahal, jika menilik sejarah Pergerakan Nasional, dinamika peolitikan Indonesia tak pernah lepas dari cerita heroik tentang idealisme anak-anak muda yang turun ke jalan sambil membawa panji-panji kebesaran Kampus atau organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Keragaman itu telah ada sejak lahirnya Boedi Otomo (1902), dan hanya dengan ghirah serta kesadaran moral untuk melawan segala bentuk penindasan, kesewenangan dan penyimpangan saja, yang mampu menorehkan sejarah, itu pun hanya bisa dilakukan bersama. persatuan
secara di tanah pertiwi, hingga bermunculannya tuntutan pengusutan korupsi dan penolakan atas kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di berbagai daerah di Nusantara.
*Mahasiswa Jinayah Siyasah -Pidana&politik Islam-
Fakultas Syari’ah IAIN Banten,
Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa SiGMA
IAIN Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan