Oleh Ibnu Adam Aviciena
Apabila kita baca sejarah Banten, kita akan menemukan bahwa sultan Banten terakhir adalah Rafiudin yang memerintah dari 1813-1809. Pertanyaannya: benarkan Rafiudin adalah sultan Banten terakhir? Sejauh ini buku-buku sejarah Banten mengamukakan demikian. Namun pada tulisan ini saya akan menawarkan satu versi sejarah yang berbeda, bahwa sultan Banten terakhir bukan Rafiudin, melainkan Sultan Muhammad Safiudin. Lalu siapakan Rafiudin yang menggantikan posisi Sultan Muhammad Safiudin itu? Ratu Ayu Mintorosasi Mahayanti Hendrawardani (86), buyut dari Sultan Muhammad Safiudin memberikan penjelasannya kepada penulis di rumahnya di Bintaro Tangerang.
AKAR MASALAH
Mintorosasi mengatakan bahwa Sultan Safiudin memiliki ibu suri. Ibu suri ini memiliki saudara perempuan. Perempuan inilah isteri dari Rafiudin yang selama ini diklaim sebagai sultan Banten terakhir. Ia sendiri, Rafiudin, bukan orang Banten, melainkan orang Jawa. Bahkan Rafiudin bukan nama aslinya. Nama itu digunakan setelah dia ada di Banten. “Kebijakan” ini digunakan agar orang Banten mengakui dia sebagai orang Banten.
Selanjutnya, Sultan Safiudin diturunkan dari jabatannya sebagai sultan Banten oleh Belanda. Sultan Safiudin pada tahun 1832 kemudian dibuang ke Surabaya . Keluarga Sultan Safiudin yang memiliki uang ikut dengan Sultan ke Surabaya , sedangkan yang tidak punya uang menyingkir ke Menes, Pandeglang. Dalam pembuangan itu, Mintorosasi mengatakan, keluarga sultan tidak membawa apa-apa. Sepanjang 1832-1945 Sultan Safiudin beserta keturunannya tidak diizinkan untuk datang ke Banten.
Setelah Sultan Safiudin diturunkan dari kesultanan, Belanda menyerahkan kedudukan itu kepada Rafiudin. Rafiudin yang kemudian dijadikan sultan ini tidak diakui oleh keluarga kesultanan. Dalam hal ini Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam bukunya Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, mengatakan bahwa Rafiudin adalah sultan tanpa kedaulatan penuh. Dan pada akhirnya Rafiudinpun dibuang oleh Belanda ke Surabaya pada tahun yang sama dengan pembuangan Sultan Safiudin. Mintorosasih yakin bahwa meskipun keduanya dibuang pada tahun yang sama, Sultan Safiudin dibuang lebih awal. Keduanya meninggal di Surabaya . Sultan Safiudin dimakamkan di Boto Putih, sedangkan Rafiudin dikuburkan di Pemakaman Semut, dekat Stasiun Semut.
SILSILAH SULTAN SAFIUDIN
Dalam pembuangannya Sultan Safiudin bersumpah agar tak ada satupun dari keturunannya yang menikah dengan orang kulit putih. Namun hal lain, sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terjadi. Hal berikutnya, semua kekayaan Sultan Safiudin, termasuk mahkota dan permainan congklak yang terbuat dari mas dan zamrud, diambil Belanda. Sementara itu Sultan Safiudin juga masih harus membayar pajak atas perkebunan kelapa miliknya yang ada di Banten.
Pada suatu hari seorang kontroler pajak datang ke tempat pembuangan sultan di Surabaya , meminta agar Sultan Safiudin membayar pajak atas perkebunan kelapanya yang ada di Banten. Mendapati kenyataan ini Sultan marah. Dia sudah dibuang, kekayaannya diambil, Belanda masih juga memaksa dia untuk membayar pajak atas kebunnya yang ada di negerinya. Dalam marahnya, Sultan menggembrak mebeul marmer hingga pecah. Tidak lama kemudian sang kontroler itu gila.
Sultan Safiudin memiliki tiga anak sebagai berikut: Surya Kumala (tak memiliki keturunan), Surya Kusuma (menjalani kehidupan asketis), anonim (meninggal sejak bayi), dan Surya Atmaja. Surya Atmaja alias Pangeran Timur memiliki anak kembar: Ratus Bagus Maryono dan Ratu Bagus Iman Supeno. Iman Supeno menikah dengan seorang Indo bernama Corry. Dari pernikahan itu ia memiliki satu anak laki-laki dan dua orang putri. Anak pertamanya meninggal. Dalam pekerjaan, terakhir dia menjabat sebagai kepala Burgerlijk Openbare Werken (Pekerjaan Umum) di Sumatra.
Ratu Bagus Maryono bekerja sebagai kepala sebuah bank yang sekarang menjadi BRI dan memiliki 17 anak. Pada satu waktu sebagian dari 17 anak ini terus meninggal karena panas. Saat ini masih ada dua orang yang masih hidup, yaitu Ratu Ayu Mintorosasih (lahir 1920) dan Ratu Bagus Kartono (1932) Dari Mintorosasih inilah data-data tulisan ini berasal.
SUMPAH YANG TERLANGGAR
Seperti disebutkan di atas, dalam pembuangannya di Surabaya Sultan Safiudin bersumpah bahwa tidak boleh ada keturunannya yang menikah dengan orang kulit putih. Yang terjadi, anak pertamanya, Pangeran Surya Kumala menikah dengan perempuan Prancis. Ini terjadi karena kejadian sebagai berikut:
Pangeran Surya Kumala merupakan seorang penyayang binatang. Dia memiliki burung merak. Suatu hari meraknya hilang. Dia meminta pembantunya untuk mencari burung tersebut. Lalu burung itu ditemukan di halaman rumah seorang konsul Prancis. Ketika burung merak itu diminta oleh pembantunya, putri konsul Prancis mencacimaki dan mengatakan bahwa ia ingin menjadikan Pangeran Surya Kumala sebagai keset toilet. Merasa terhina dia kemudian bertapa.
Pada suatu kesempatan Pangeran Surya Kumala menghadiri undangan. Di sana ternyata hadir juga putri konsul yang sudah menghinanya itu. Pangeran Surya Kumala terus memandanginya. Akibatnya, putri konsul ini jatuh cinta. Kemudian mereka menikah.
Mintorosasih menganggap pernikahan ini melanggar sumpah buyutnya Sultan Safiudin yang melarang keturunannya untuk menikahi orang kulit putih. Karena itu semua gelar yang dimiliki pangeran Surya Kumala dicabut. Selanjutnya tidak itu saja, bahkan cucu Sultan dari anak bungsunya, yaitu Maryono, menikah dengan seoran Indo.
BIOGRAFI SINGKAT MINTOROSASIH
Ratu Ayu Mintorosasi Mahayanti Hendrawardani adalah putri Iman Supeno putra Surya Atmaja putra Sultan Safiudin. Lahir pada 22 Desember 1922 di Kediri , ia sekolah di MULO di kota yang sama. Ia berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, selain Indonesia , Sunda, dan Jawa—sekalipun bahasa Jerman dan Prancis sudah banyak yang lupa karena tidak digunakan. Pada 1941 ia menikah dengan Raden Mas Joko Suyono asal Solo. Suaminya bekerja sebagai asisten wedana, asisten polisi, kemudian sebagai asisten walikota Kediri Selanjutnya RM Joko Suyono meninggal ditembak Belanda sekitar 1947 di hadapannya.
Mereka memiliki empat anak, yaitu Ahmad Raharjo (tinggal di Kasunyatan, Banten), Nugroho Indarso (tinggal di Tebet), Wiratmo (tinggal di Bogor ), dan Haningdiyo Sularso (tinggal di Surabaya ). Anak terakhir ini masih berumur 35 hari saat bapaknya meninggal.
Mintorosasi sempat tinggal di Magelang di rumah Prof. Suroyo. Lalu dia bekerja di Semarang sebagai penerjemah bahasa Belanda di sebuah kantor tentara. Tahun 1950 pindah ke Jakarta dan mendapat pekerjaan sebagai general manager ekspor di Usendo. Sempat tinggal di Manggarai sebelum akhirnya tahun 1990 dia tinggal di Bintaro.
“Saat berceramah di acara dies natalis Untirta tiga empat tahun yang lalu, saya sampaikan bahwa saya ingin mengembalikan kebesaran agama Islam di Banten,” jelasnya. Dia juga mengatakan bahwa Banten sangat spesial dalam konteks kerajaan Islam di Indonesia. Hanya kesultanan Bantenlah, katanya, yang didirikan oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah. **
Apabila kita baca sejarah Banten, kita akan menemukan bahwa sultan Banten terakhir adalah Rafiudin yang memerintah dari 1813-1809. Pertanyaannya: benarkan Rafiudin adalah sultan Banten terakhir? Sejauh ini buku-buku sejarah Banten mengamukakan demikian. Namun pada tulisan ini saya akan menawarkan satu versi sejarah yang berbeda, bahwa sultan Banten terakhir bukan Rafiudin, melainkan Sultan Muhammad Safiudin. Lalu siapakan Rafiudin yang menggantikan posisi Sultan Muhammad Safiudin itu? Ratu Ayu Mintorosasi Mahayanti Hendrawardani (86), buyut dari Sultan Muhammad Safiudin memberikan penjelasannya kepada penulis di rumahnya di Bintaro Tangerang.
AKAR MASALAH
Mintorosasi mengatakan bahwa Sultan Safiudin memiliki ibu suri. Ibu suri ini memiliki saudara perempuan. Perempuan inilah isteri dari Rafiudin yang selama ini diklaim sebagai sultan Banten terakhir. Ia sendiri, Rafiudin, bukan orang Banten, melainkan orang Jawa. Bahkan Rafiudin bukan nama aslinya. Nama itu digunakan setelah dia ada di Banten. “Kebijakan” ini digunakan agar orang Banten mengakui dia sebagai orang Banten.
Selanjutnya, Sultan Safiudin diturunkan dari jabatannya sebagai sultan Banten oleh Belanda. Sultan Safiudin pada tahun 1832 kemudian dibuang ke Surabaya . Keluarga Sultan Safiudin yang memiliki uang ikut dengan Sultan ke Surabaya , sedangkan yang tidak punya uang menyingkir ke Menes, Pandeglang. Dalam pembuangan itu, Mintorosasi mengatakan, keluarga sultan tidak membawa apa-apa. Sepanjang 1832-1945 Sultan Safiudin beserta keturunannya tidak diizinkan untuk datang ke Banten.
Setelah Sultan Safiudin diturunkan dari kesultanan, Belanda menyerahkan kedudukan itu kepada Rafiudin. Rafiudin yang kemudian dijadikan sultan ini tidak diakui oleh keluarga kesultanan. Dalam hal ini Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam bukunya Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, mengatakan bahwa Rafiudin adalah sultan tanpa kedaulatan penuh. Dan pada akhirnya Rafiudinpun dibuang oleh Belanda ke Surabaya pada tahun yang sama dengan pembuangan Sultan Safiudin. Mintorosasih yakin bahwa meskipun keduanya dibuang pada tahun yang sama, Sultan Safiudin dibuang lebih awal. Keduanya meninggal di Surabaya . Sultan Safiudin dimakamkan di Boto Putih, sedangkan Rafiudin dikuburkan di Pemakaman Semut, dekat Stasiun Semut.
SILSILAH SULTAN SAFIUDIN
Dalam pembuangannya Sultan Safiudin bersumpah agar tak ada satupun dari keturunannya yang menikah dengan orang kulit putih. Namun hal lain, sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terjadi. Hal berikutnya, semua kekayaan Sultan Safiudin, termasuk mahkota dan permainan congklak yang terbuat dari mas dan zamrud, diambil Belanda. Sementara itu Sultan Safiudin juga masih harus membayar pajak atas perkebunan kelapa miliknya yang ada di Banten.
Pada suatu hari seorang kontroler pajak datang ke tempat pembuangan sultan di Surabaya , meminta agar Sultan Safiudin membayar pajak atas perkebunan kelapanya yang ada di Banten. Mendapati kenyataan ini Sultan marah. Dia sudah dibuang, kekayaannya diambil, Belanda masih juga memaksa dia untuk membayar pajak atas kebunnya yang ada di negerinya. Dalam marahnya, Sultan menggembrak mebeul marmer hingga pecah. Tidak lama kemudian sang kontroler itu gila.
Sultan Safiudin memiliki tiga anak sebagai berikut: Surya Kumala (tak memiliki keturunan), Surya Kusuma (menjalani kehidupan asketis), anonim (meninggal sejak bayi), dan Surya Atmaja. Surya Atmaja alias Pangeran Timur memiliki anak kembar: Ratus Bagus Maryono dan Ratu Bagus Iman Supeno. Iman Supeno menikah dengan seorang Indo bernama Corry. Dari pernikahan itu ia memiliki satu anak laki-laki dan dua orang putri. Anak pertamanya meninggal. Dalam pekerjaan, terakhir dia menjabat sebagai kepala Burgerlijk Openbare Werken (Pekerjaan Umum) di Sumatra.
Ratu Bagus Maryono bekerja sebagai kepala sebuah bank yang sekarang menjadi BRI dan memiliki 17 anak. Pada satu waktu sebagian dari 17 anak ini terus meninggal karena panas. Saat ini masih ada dua orang yang masih hidup, yaitu Ratu Ayu Mintorosasih (lahir 1920) dan Ratu Bagus Kartono (1932) Dari Mintorosasih inilah data-data tulisan ini berasal.
SUMPAH YANG TERLANGGAR
Seperti disebutkan di atas, dalam pembuangannya di Surabaya Sultan Safiudin bersumpah bahwa tidak boleh ada keturunannya yang menikah dengan orang kulit putih. Yang terjadi, anak pertamanya, Pangeran Surya Kumala menikah dengan perempuan Prancis. Ini terjadi karena kejadian sebagai berikut:
Pangeran Surya Kumala merupakan seorang penyayang binatang. Dia memiliki burung merak. Suatu hari meraknya hilang. Dia meminta pembantunya untuk mencari burung tersebut. Lalu burung itu ditemukan di halaman rumah seorang konsul Prancis. Ketika burung merak itu diminta oleh pembantunya, putri konsul Prancis mencacimaki dan mengatakan bahwa ia ingin menjadikan Pangeran Surya Kumala sebagai keset toilet. Merasa terhina dia kemudian bertapa.
Pada suatu kesempatan Pangeran Surya Kumala menghadiri undangan. Di sana ternyata hadir juga putri konsul yang sudah menghinanya itu. Pangeran Surya Kumala terus memandanginya. Akibatnya, putri konsul ini jatuh cinta. Kemudian mereka menikah.
Mintorosasih menganggap pernikahan ini melanggar sumpah buyutnya Sultan Safiudin yang melarang keturunannya untuk menikahi orang kulit putih. Karena itu semua gelar yang dimiliki pangeran Surya Kumala dicabut. Selanjutnya tidak itu saja, bahkan cucu Sultan dari anak bungsunya, yaitu Maryono, menikah dengan seoran Indo.
BIOGRAFI SINGKAT MINTOROSASIH
Ratu Ayu Mintorosasi Mahayanti Hendrawardani adalah putri Iman Supeno putra Surya Atmaja putra Sultan Safiudin. Lahir pada 22 Desember 1922 di Kediri , ia sekolah di MULO di kota yang sama. Ia berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, selain Indonesia , Sunda, dan Jawa—sekalipun bahasa Jerman dan Prancis sudah banyak yang lupa karena tidak digunakan. Pada 1941 ia menikah dengan Raden Mas Joko Suyono asal Solo. Suaminya bekerja sebagai asisten wedana, asisten polisi, kemudian sebagai asisten walikota Kediri Selanjutnya RM Joko Suyono meninggal ditembak Belanda sekitar 1947 di hadapannya.
Mereka memiliki empat anak, yaitu Ahmad Raharjo (tinggal di Kasunyatan, Banten), Nugroho Indarso (tinggal di Tebet), Wiratmo (tinggal di Bogor ), dan Haningdiyo Sularso (tinggal di Surabaya ). Anak terakhir ini masih berumur 35 hari saat bapaknya meninggal.
Mintorosasi sempat tinggal di Magelang di rumah Prof. Suroyo. Lalu dia bekerja di Semarang sebagai penerjemah bahasa Belanda di sebuah kantor tentara. Tahun 1950 pindah ke Jakarta dan mendapat pekerjaan sebagai general manager ekspor di Usendo. Sempat tinggal di Manggarai sebelum akhirnya tahun 1990 dia tinggal di Bintaro.
“Saat berceramah di acara dies natalis Untirta tiga empat tahun yang lalu, saya sampaikan bahwa saya ingin mengembalikan kebesaran agama Islam di Banten,” jelasnya. Dia juga mengatakan bahwa Banten sangat spesial dalam konteks kerajaan Islam di Indonesia. Hanya kesultanan Bantenlah, katanya, yang didirikan oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah. **
Ass. wr.wb.
BalasHapusMenurut saya sih, Kesultanan Banten dihapuskan Belanda dan istananya pun dihancurkan tahun 1813 oleh Deandles. Sehingga otomatis kesultanan Banten pun sudah musnah. Jadi tidak ada sultan-sultan Banten setelah tahun 1813. Sultan Banten terakhir adalah Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813), setelah itu tidak ada lagi sultan Banten. Orang bisa saja mengaku atau berpendapat tapi data sejarah tidak mendukungnya.