Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

Urgensi Pembangunan Berwawasan Lingkungan Sebagai Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Pembangunan Kota Cilegon)

OLEH : H.M.A. Tihami

Cilegon menjadi Kota Cilegon, adalah bentuk klimak saat ini bagi wilayah yang telah melalui beberapa bentuk:

Dari sebuah kampung kecil yang dikelilingi rawa-rawa (kubang-kubang) terletak pada lengkungan (melegon), sejak sebelum pengembangan Banten oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651), kemudian menjadi sebuah pemukiman yang berkembang karena pengembangan rawa-rawa (kubang-kubang) menjadi area persawahan. Pada waktu itu pula, ketika perpanjangan tangan Sultan dalam pengembangan agama Islam oleh para Fakih (ulama), Cilegon merupakan tempat laluan menuju Caringin yang disebut-sebut sebagai pusat pesantren pertama di Nusantara.

Pada masa penaklukan Belanda atas Banten yang puncaknya pada kira-kira 1808 ketika Daendels diangkat menjadi Gubernur Jendral di kepulauan Nusantara, Deandels mendirikan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dengan kerja paksa (rodi), Cilegon menjadi laluan proyek itu. Dan pada pembangunan jalan raya Anyer – Panarukan oleh Deandels dengan rodinya (1809) jalan itu melalui Cilegon yang tentu saja banyak orang Cilegon mati karena rodi itu.

Setelah Surosoan dihancurkan oleh Deandels (21 November 1808) Banten utuh dinyatakan sebagai jajahan Belanda. Daerahnya diperkecil dan kekuasaanya terbagi oleh Landros (Residen) yang berkedudukan di Serang, terdiri atas Banten Hulu, Caringin, dan Anyer. Hubungan antara Serang (Landros) dengan Caringin dan Anyer melalui Cilegon inilah yang mendorong Cilegon ada kemajuan, yang akhirnya Cilegon dibentuk menjadi daerah Distrik (Kewedanaan) pada tahun 1816. Implikasi terbentuknya distrik adalah bahwa Cilegon merupakan pusat kekuasaan pemerintah penjajah Belanda ditempat itu.

Ketidakadilan roda pemerintah penjajah Belanda terhadap Rakyat Cilegon dan kebencian rakyat Cilegon pada penjajah karena kekejaman yang dilakukan sejak penghancuran Banten sampai dengan rodi, rakyat Cilegon terus melawan penjajah. Klimaksnya pada 1888 terjadi peristiwa Geger Cilegon di bawah pimpinan Kiyai Haji Wasid (Beji-Bojonegara).

Sejak peristiwa Geger Cilegon (1888) itu pemerintah penjajah terus mengintensifkan pengawasanya terhadap Kiyai-Kiyai. Itulah sebabnya Kiyai-Kiyai terkemuka merubah perlawanannya melalui pendidikan. Pada sekitar tahun 1924 – 1925 disebelah barat Cilegon (di Citangkil) didirikan Madrasah Al-Khaeriyah oleh Kiyai Syam’un, dan disebelah timur Cilegon (di Cibeber) didirikan Madrasah Al- Jauharatun Naqiyah oleh Kiyai Abdul Latif. Dari sini nampak Cilegon pada posisi segitiga yang kokoh; Wasid, Syam’un, Abdul Latif.

Pada zaman kemerdekaan 1945 (Republik Indonesia berdiri), berturut-turut Cilegon berkembang;
Kota Kewedanaan, dengan pengembangan pelabuhan penyeberangan Merak. Didirikan pabrik baja Trikora (1962), kemudian dirubah menjadi Perusahaan Terbatas Krakatau Stel (1970). Dilanjutkan dengan perluasan kawasan industri ini yang menghabiskan seluruh kawasan pantai Cilegon Barat dengan menggusur desa-desa, kampung-kampung, persawahan, tegalan (kebonan), dan bahkan pendidikan (pesantren al-Khaeriyah), yang dimulai dari tahun 1971 Cilegon menjadi kota Administratif (1986), semakin ramai dan menjadi faktor penarik bagi para pendatang (migrasi). Cilegon menjadi Kota Madya Daerah Tingkat II (1999), yang berdasarkan UU no.22/1999 disebut Kota Cilegon sebagai daerah Otonom. Perjalanan panjang bagi Cilegon tersebut kiranya julukan yang pantas bagi daerah ini ialah Kota Perjuangan. Sebutan Kota Baja boleh dipertanyakan.


Kebudayaan Cilegon

Untuk melihat kebudayaan Cilegon terlebih dahulu harus mengesampingkan orang-orang bukan Cilegon, sebab masing-masing asal orang mempunyai kebudayaannya. Kebudayaan, sebagai keseluruhan sistem gagasan, perbuatan, dan hasil perbuatan (kebudayuaan fisik), mempunyai unsur-unsur anata lain: bahasa, pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat dan lain lain. Kebudayaan Cilegon adalah sistem gagasan (pengetahuan Kognitif) orang Cilegon, sistem kelakuan (cara-cara berinterakasi) orang Cilegon, dan hasil-hasil kelakuan (simbol-simbol dan benda-benda) orang Cilegon.

Pada Tingkat Kognisi, kebudayaan Cilegon adalah bagaimana orang Cilegon mempunyai pengetahuan dan pandangan (World View) terhadap lingkungannya. Pada tingkat kelakuan kebudayaan Cilegon ialah bagaimana orang Cilegon memperlakukan lingkungannya itu. Pada tingkat hasil-hasil kelakuan, kebudayaan Cilegon ialah bagaimana orang Cilegon memperlihatkan atau menampilkan karya-karyanya, atau bagaimana wujud karya-karya itu sebagai hasil kelakuan orang Cilegon.

Sumber pengetahuan atau pandangan hidup adalah agama dan informasi-informasi yang diterima. Agama orang Cilegon ialah Islam dan informasi-informasi klasik orang Cilegon ialah Jawa (ada bahasa dan kebudayaan Jawa). Jadi, dialog agama Islam dengan kebudayaan Jawa itulah yang secara klasik menjadi sumber kebudayaan orang Cilegon. Karena ada hubungan (sibernetik) antara pendukung suatu kebudayaan (manusia) itu dengan kebudayaannya serta dengan sumber-sumbernya, maka karakter kebudayaan itu mengalami perubahan, meskipun pada wilayah-wilayah yeng mendasar amat sulit.
Perkembangan atau perubahan fisik di Cilegon yang pesat dan cepat, mempengaruhi pengetahuan (pandangan) masyarakat, kelakuan, dan hasil kelakuan mereka. Karena itu, perubahan fisik mengandung resiko tragedi kebudayaan.

Perjalanan historis orang Cilegon seperti disebut di atas dapat ditarik gambaran budaya antara lain sebagai berikut:

Trauma atau kebiasaan masa lalu, masyarakat memandang pemerintah sebagai fihak yang harus “dilawan” karena dipandang melakukan eksploitasi kepada rakyat (dholim). Protes rakyat bisa berbentuk pengejekan atau memandang kecil pemerintah. Gambaran seperti ini masih terjadi sampai kira-kira akhir tahun 1990-an, ketika persaingan partai mengejutkan masyarakat.

Aktifitas ekonomi masyarakat yang mandiri sejak zaman kesultanan, lalu tertekan pada zaman penjajahan yang justeru semakin memandirikannya, bahkan bersaing dengan pengembangan ekonomi oleh pemerintah. Banyak berdiri pula badan-badan usaha pribumi. Sektor pertanian yang menjadi basis kegiatan ekonomi masyarakat dengan alam sebagai daya dukung utamanya, menyebabkan betapa tergantung dan cintanya masyarakat pada tanah. Pengusikan hubungan anatar masyarakat dengan tanah yang menjadi sumber hidupnya menjadikan masyarakat (petani) berontak. Kemandirian aktifitas ekonomi itu terus berlangsung sampai pada zaman kemerdekaan.

Ketika pemerintah Republik Indonesia memprioritaskan pembangunan ekonomi, yang mungkin mengembangkan teori economic growth-nya Rostow, ada kecenderungan peran pemerintah menjadi segalanya. Ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang bahkan tergantung pada pemerintah. Apalagi kemudian kebijakan ekonomi dipengaruhi oleh kepentingan politik dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Rakyat lebih enak menerima sumbangan dari pemerintah dengan imbalan komitmen politik. Kebiasaan inilah yang menjadi hambatan kembalinya kemandirian ekonomi rakyat, atau secara ekonomic rakyat telah kehilangan perannya.

Mengenai lingkungan (hidup), sebagai masyarakat yang dulu terstruktur dalam masyarakat agraris yang akrab hubungannya dengan alam memahami lingkungan dengan amat individual. Artinya, wilayah lingkungan itu masih terbatas pada masing-masing individu, meskipun mungkin tehadap wilayah publik. Ungkapan memelihara bersama-sama adalah akumulasi dari individu-individu yang memelihara lingkungannya dalam suatu wilayah publik. Sedangkan besama-sama memelihara adalah hubungan antar individu dalam memelihara lingkungan publik. Padangan masyarakat Cilegon masih berada pada yang pertama tadi, yaitu memelihara bersama-sama, yang menonjol adalah aktifitas individu. Pandangan inipun akan berlaku pada terhadap sarana atau fasilitas publik, ambil saja contoh misalnya telepon umum, jalanan, dan lain-lain.


Perkembangan Ekonomi Cilegon

Kota Cilegon yang telah menyatakan diri, paling tidak lewat lambang Gigi Roda-nya, sebagai kota industri, mengandung konsekwensi yang berat ketika berhadapan dengan masyarakatnya. Pilihan ini yang mengharuskan Cilegon menetapkan langkah-langkah model :

Mempertahankan strategi kawasan berimbang antara pengembangan industri dengan pengembangan kelestarian alam. Untuk itu diperlukan pemetaan riil yang lengkap dengan skat-skat wilayah. Melalui skat-skat ini kemudian ditentukan konpensasi-konpensasi antara kawasan industri dengan kawasan non industri, dan jika perlu ada nilai tawar yang berimbang sebab masyarakat margin diantara dua kawasan itu menanggung efek-efek sampingan industri.

Memperhatikan keberimbangan antara luas wilayah Cilegon dengan daya tampung potensial bagi penduduk, hal ini tentu berkaitan dengan strategi tata kota dan lay out pusat-pusat penduduk dan pusat-pusat ekonomi yang beragam dan spesial.

Pengembagan ekonomi yang mendidik rakyat dengan menanamkan sikap berinves dari pada berkonsumsi. Dengan demikian masyarakat menjadi pelaku ekonomi yang potensial bukan sebagai perahan. Mengenai hal ini perlu dilakukan pemetaan SDM di masyarakat berkenaan dengan potensi ekonominya.

Keikutsertaan Masyarakat Dalam Pembangunan Ekonomi

Suatu masyarakat akan meningkatkan intensitas interaksinya apabila ada kepentingan bersama dan ada pengakuan terhadap interaksi itu, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Untuk menumbuhkan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ekonomi di Cilegon, aktifitas ekonomi perlu dilakukan:
menghargai keterampilan dasar masyarakat, dengan menjadikannya sebagai sumber-sumber produktif. Misalnya terhadap pengrajin gula (sadap), tape, potong hewan, tukang sampah, dan lain-lain, diakui sebagai salah satu profesi ekonomic. Supaya mereka berkembang mungkin juga ada peningkatan keterampilan.

Memperjelas wadah-wadah ekonomi bagi masyarakat supaya melalui wadah-wadah itu sesungguhnya mereka mengambil peran ekonomi. Misalnya wadah paroan garapan tanah, perbalukan (asongan), dan prelek, diakui/dikembangkan sebagai wadah ekonomi bagi rakyat. Menghindari upaya pemanjaan masyarakat dalam aktifitas ekonomi, misalnya memberi bantuan yang tidak jelas, sebab ada budaya masyarakat yang secara ekonomic tidak menguntungkan dalam pembangunan ekonomi.

Harus ada ahli-ahli pembangunan ekonomi yang dalam konsep-konsep strategisnya memberi kecerdasan kepada masyarakat, tidak memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat, misalnya pencemaran, perusakan moral, dan kesenjangan.


Cilegon, 15 Oktober 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan