Oleh: H.M.A. Tihami
Pendahuluan
Melaporkan hasil penelitiannya, Cliford Geertz menulis buku yang diberi judul Islam Observed yang dibahasaindonesiakan dengan Islam yang Saya Amati. Dalam buku itu digambarkan corak Islam yang berbeda penampilannya di dua tempat: Indonesia dan Maroko. Ia menggambarkan perbedaan itu berkaitan dengan kultur masyarakat yang didatangi Islam dan watak atau strategi pembawanya (orang yang menyebarkannya). Islam di Maroko bercorak blak-blakan dan fatalis karena budaya padang pasir yang keras dan pembawa Islam yang nomodern (tidak mempunyai tempat tinggal tetap). Sementara Islam di Indonesia bercorak tertutup dan mistis karena budaya agraris yang animistis dan pembawa Islam yang juga mistis.
Peneliti lain, Jones M. Gavin dalam pengamatan empiriknya tentang Islam di Indonesia berdasarkan setting budaya menyebutkan bahwa secara umum Islam dipandang lebih kuat di Aceh, Minangkabau (Sumatera Barat), Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), dan Banten (ujung Barat Pulau Jawa). Pernyataan ini menarik, terutama pada penyebutan Banten sebagai salah satu setting budaya yang termasuk kategori lebih kuat memegang Islam. Ciri ini tentu ada indikatornya sebagaimana layaknya fenomena sosial. Secara teoritis, suatu nilai (termasuk agama) akan menjadi efektif dipegangi oleh masyarakat apabila memberikan keuntungan praktis (sekarang) bagi pendukungnya. Logikanya, jika agama memberikan keuntungan-keuntungan praktis pada masyarakat pemeluknya, maka agama itu dengan efektif akan kuat dipegangi/dipertahankan. Hal-hal yang praktis itu biasanya larut dalam kebudayaan pendukungnya yang berarti pula ada “benang merah” antara kesejarahan Islam dan dinamika kebudayaan masyarakat.
Banten: Agama dan Kebudayaannya.
Islam yang mentas dalam kenyataan sosial, dinilai kuat oleh Jones di tempat-tempat tersebut, mungkin karena masyarakat Islam melarutkan ajaran agama dengan kebudayaan mereka sehingga apa yang sedang terjadi, sebetulnya perlindungan kebudayaan atas ajaran agama, sehingga perilaku dan pengetahuannya (kebudayaannya) itu terasa ada nuansa suci (sakral). Karena itu bisa dipandang sebagai indikator bahwa sakralisasi kebudayaan masyarakat dan kulturisasi agama dalam masyarakat, adalah penyebab kuatnya Islam di tempat-tempat tersebut. Pandangan seperti ini dapat diperlihatkan melalui cermatan unsur-unsur kebudayaan yang memiliki potensi ketahanan tersebut.
Indikator sakralisasi kebudayaan dan kulturisasi agama yang diperkuat tersebut, di empat tempat (wilayah kebudayaan) tersebut dapat ditelusuri lewat nilai-nilai yang mungkin menjadi inti kekuatan Islam di tempat-tempat tersebut. Islam yang digambarkan lebih kuat di Aceh misalnya, karena ada peran ulama yang amat besar dalam masyarakat aceh, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ulama adalah personifikasi dari Islam itu sendiri. Karena ulama yang besar itu tidak terbatas pada aspek keagamaan tetapi juga pada aspek politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Ada pepatah Aceh yang berbunyi: Hukom ngo adat lagu Zat ngo sipheuet (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). Yang dimaksud dengan hukum di sini ialah hukum Islam yang diajarkan oleh para ulama (Ismuha, 1983:6). Bahkan disebutkan pula dalam pepatah yang lain: Adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala (Adat pada Poteu Meureuhom, hukum pada Syiah Kuala) (Baihaqi, 1983:130). Yang dimaksud Poteu Meureuhom ialah Iskandar Muda, dan yang dimaksud Syiah Kuala ialah Syiah Ulama (Ismuha, 1983:7). Ungkapan (pepatah) tersebut mengandung nilai perpaduan yang amat kental antara adat dengan agama yang dipersonifikasikan dengan Iskandar Muda dan Syiah Ulama. Kekuatan adat-agama inlah yang kemudian tampil dengan amat berkesan sebagai Islam yang kuat.
Bagi orang Minangkabau di Sumatera Barat, agama Islam yang dalam ungkapan puitisnya Kitabullah, menjadi sumber adat. Dinyatakan dalam tradisi orang Minangkabau bahwa: Adat basandi Syara’, Syara basandi Kitabullah (Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah). Syara’ (agama) sebagai sumber adat bahkan dikatakan: Syara’ yang mengatu, adat yang memakai (Hamka, 1982:116). Pengertian idealnya, agama sebagai ajaran itu menjadi sumber bagi “ajaran” adat; sedangkan pengertian sosiologisnya, adat yang berlaku bagi orang Minangkabau itu adalah penampilan Syara’ (agama) dalam bentuk nyata (faktual). Karena adat memperoleh “sakralisasi” dari agama, maka pendukung adat (kebudayaan) itu terikat pada kesadaran agama yang akibatnya agama terus dipegang, dan secara legitimate terus menjadi identitas. Inilah rupanya yang menjadi pendorong terhadap orang Minangkabau untuk dikatakan sebagai kuat Islamnya.
Dalam kultur orang Bugis-Makassar terdapat suatu nilai yang disebut Siri’. Secara harfiah, Siri’ itu sama artinya dengan “harga diri”. Sedangkan secara kultural, Siri’ merupakan hal yang memberikan identitas sosial dan martabat kepada seseorang Bugis-Makassar (Suyono, 1985:374). Siri’ yang telah tersosialisasi turun temurun, merasuk pula pada aspek keagamaan yang menurut orang Bugis-Makassar disebut Sara. Sebutan bukan Islam kepada seseorang adalah identifikasi Sara, dan sebutan tidak ada Siri’ adalah identifikasi adat. Apabila dua hal yang sederajat ini serentak disebutkan kepada seseorang, itu pastilah merupakan suatu penghinaan yang berat. Nasehat orangtua yang diterima dari mubaligh, kemudian diajarkan kepada anak cucunya bahwa orang yang bukan Islam itu adalah laksana binatang, begitupula orang yang tidak ada siri’-nya, karena binatang tidak tahu siri dan tidak beragama (Hamid, 1983:362-3). Siri’ yang semula berkenaan dengan adat, kemudian memperkuat agama sehingga agama dikawal atau dibela oleh siri’. Memegang simbol-simbol agama sama artinya dengan memegang siri’, dan mengganggu atau menodai agama berarti berurusan dengan siri’. Orang Bugis-Makassar merasa terhina (Siri’) jika agamanya diganggu. Karena agama mereka Islam maka siri’ yang berkenaan dengan agama adalah agama Islam. Inilah yang rupanya menjadi sumber kekuatan islam mereka.
Untuk melihat indikator atau penyebab kuatnya Islam di Banten, tentu mesti mempertimbangkan bagaimana orang Banten memandang dan memfungsikan agama islam itu. Dalam cerita (babad) Banten yang dituturkan turun temurun, ada yang menarik yaitu proses penaklukan Prabu Pucuk Umun dan peng-islaman orang Banten yang didahului dengan adu kesaktian. Diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah bersama puteranya Hasanuddin, menaklukkan Prabu Pucuk Umun penguasa Banten, dengan mengadu kesaktian yaitu adu ayam jantan. Pucuk Umun menantang Syarif Hidayatullah untuk mengadu ayam, jika ayamnya kalah ia akan menyerahkan Banten ini kepada Syarif Hidayatullah, tetapi jika ayamnya menang maka Syarif Hidayatullah mesti tunduk kepadanya. Menghadapi pertandingan itu, Pucuk Umun mempersiapkan ayam jantan yang amat sakti; tulang-tulangnya dibuat dari baja, otot-otot dan dagingnya dibuat dari besi, sayapnya dibuat dari sutera, jenggernya dibuat dari emas dan perak, paruh dan jalunya dibuat dari baja dan api, sedang semangat dan nyawanya dibuat dari dan atas bantuan Jin (Setan). Sedangkan ayam Syarif Hidayatullah dan puteranya, Hasanuddin, hanya ayam biasa tetapi semangat dan nyawanya dibuat dari dan atas bantuan malaikat. Panampilan ayam Pucuk Umun sangat gagah sedang penampilan ayam Syarif Hidayatullah biasa-biasa saja. Ketika pertarungan terjadi ternyata ayam Pucuk Umun dapat dikalahkan dengan hanya dalam tempo sekali gebrakan.
Cerita tersebut menggambarkan adanya dua simbol kesaktian yaitu yang bersumber dari kesaktian setan dan yang bersumber dari kesaktian malaikat. Kesaktian yang bersumber dari malaikat itu selalu menang. Malaikat adalah simbol atau pengertian lain secara kultural, agama Islam. Karena itu salah satu aspek atau bahkan dipandang sebagai aspek penting dan inti dari agama Islam adalah kekuatan supernatural yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Agama secara fungsional dipandang sebagai formula-formula yang berhubungan dengan kekuatan supernatural itu. Formula-formula itulah yang dapat membuktikan bahwa agama juga dapat memenuhi umatnya akan kebutuhan-kebutuhan praktis (sekarang), bukan hanya nanti di akherat. Secara kultural, inilah yang dapat dikatakan unsur “magis” yang dalam bahasa agama disebut hikmah, atau potensi magis dalam agama yang difungsikan oleh masyarakat pendukungnya (Tihami, 1992:222).
Dalam babad Banten juga dikatakan bahwa proses penyebaran Islam di Banten menjadi sangat efektif karena Syarif Hidayatullah dan Hasanuddin dapat mengislamkan 80 (delapan puluh) orang Ajar (Pendeta Hindu) melalui pendekatan mistis yang dalam bentuk lahirnya berupa magis. Dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan Adu Kadigjayaan (kesaktian) misalnya mencabut tongkat yang ditanam di tanah. Kemenangan Syarif Hidayatullah dan Hasanuddin terhadap para Ajar tersebut mendorong para Ajar untuk memeluk Islam yang kemudian mentransfer kekuatan magis tersebut, yang pada gilirannya justeru para (bekas) Ajar itulah yang menyebarkan Islam.
Pada perjalanan sejarahnya, cerita-cerita orang Banten selalu dihiasi dengan nuansa magisnya. Cara Sultan membangun masjid yang konon hanya beberapa waktu saja karena dibantu oleh kekuartan supernatural, konflik antar jawara yang disebut amprak sebagaimana diceritakan oleh Loze (1933) dan Meijer (1949) dengan kekuatan magisnya. Upaya Islamisasi oleh para Kiayi yang berhadapan dengan tantanga magis selalu diimbangi atau dibalas dengan kekuatan magis pula, adalah contoh-contoh pengetahuan masyarakat tentang agama dalam fungsi magis. Demikian pula ketika terjadi perlawanan orang Banten di Cilegon terhadap Kolonial Belanda, atau yang dikenal dengan pemberontakan (geger) Cilegon. Kartodirdjo (1966) menyebutkan bahwa pemberontakan itu digerakkan dan dipimpin oleh kiyai-kiyai tarekat. Kiayi-kiayi itulah yang diceritakan oleh Hamid (1987) sebagai yang memiliki kekuatan-kekuatan hikmah, misalnya kekuatan Kiayi Wakhia tidak tembus peluru ketika memimpin pemberontakan di Waringin Kurung pada tahun 1820.
Perjalanan sejarah seperti itu nampaknya semakin menandai kekhasan Islam di Banten yang memandang agamanya secara fungsional juga menjadi sumber kekuatan magis. Akibatnya, tokoh-tokoh agama yang dalam bahasa lokal disebut kiayi, secara fungsional bukan saja pemimpin atau pembimbing agama tetapi juga pihak yang bersedia menolong masyarakat yang ingin sembuh dari penyakit, ingin mencapai tujuan, terhindar dari bahaya, dan memecahkan masalah-masalah. Dalam fungsi yang kedua ini, kiayi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut yang tentu saja dengan formula-formula agama. Karena itu sudah terbiasa jika kiayi dipandang sebagai pihak yang mempunyai kemampuan magis yang kemudian mendorong masyarakat (orang) Banten untuk tetap memegangi agamanya (Islam) karena agamanya itu bukan saja memberikan tuntunan untuk akherat tetapi juga memberikan jalan keluar kini dan di sini. Pengetahuan masyarakat tentang fungsi agama yang seperti itulah yang mendorong budaya Banten mencapai ketahanannya, yaitu unsur-unsur yang meliputi sistem nilai budaya dan sistem keyakinan yang secara praktis bermakna magis.
Unsur lain dari kebudayaan yang dipandang mempunyai ketahanan ialah bahasa yang menurut Patmadiwiria (1977:1) disebut bahasa (dialek) Jawa Banten. Bahasa ini mencapai ketahanan yang kuat karena disosialisasikan amat dini, yaitu sejak orang masih dalam usia bayi (bayi sudah diajak bicara). Bahasa Jawa Banten adalah suatu dialek Jawa yang tumbuh dan berkembang sejak permulaan abad ke-17 Masehi, ketika terjadi penyebaran agama Islam oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya Sultan Maulana Hasanuddin. Karena itu pada taraf permulaannya, bahasa Jawa di Banten tumbuh dan berkembang bersamaan dengan penyebaran agama Islam oleh orang-orang Jawa. Dengan adanya keraton (kesultanan) Islam di Banten Utara itu, maka bahasa Jawa mendapatkan dasar berpijak yang kuat sebab ia dipergunakan sebagai bahasa resmi keraton, karena memang Sultan dan orang-orangnya berasal dari Jawa. Menurut Patmadiwiria (1977:1), sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah menyebabkan bahasa Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan demikian lambat laun pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa Jawa.
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa bahasa sebagai salah unsur kebudayaan yang sulit untuk berubah atau mempunyai ketahanan yang amat tinggi disebabkan karena disosialisasikan secara dini, maka inti dari ketahanan itu ialah sosialisasi dini. Logika yang dapat dirumuskan ialah, jika bahasa Jawa Banten - mungkin juga bahasa Sunda Banten – disosialisasikan tidak secara dini, apalagi tergeser dengan sosialisasi bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia), maka ketahanannya akan segera turun. Karena itu upaya mempertahankan bahasa Jawa Banten terletak pada upaya sosialisasi. Demikian pula unsur-unsur kebudayaan yang lain, misalnya adat istiadat yang secara fungsional mempunyai jaringan amat luas di masyarakat, mempunyai daya tahan yang baik. Di antara adat istiadat seperti ini misalnya simbol-simbol sakral pada kepemimpinan kiyai yang memunculkan kategori kiyai dan bukan kiyai. Secara tradisional kiyai merupakan kedudukan sakral sehingga ia secara luas difungsikan oleh masyarakat sedemikian rupa. Adat istiadat ini akan bertahan lama (mempunyai daya tahan) jika posisi sakral itu tetap dipertahankan oleh kiyai, sementara masyarakat memperoleh keuntungan dari posisi tersebut.
Unsur lain dari kebudayaan ialah kesenian sebagai refleksi simbolik pengetahuan masyarakat tentang kehalusan, keindahan, dan gambaran perjalanan hidup. Menurut data pariwisata Serang, di Banten terdapat duabelas macam kesenian khas. Dalam semua kesenian dimaksud terdapat nuansa spiritual yang unik, bahkan ada atau sebut saja didominasi, oleh formula-formula magis, mislanya Debus, Sulap, Syaman, dan lain-lain. Dominasi nuansa magis itu sulit disebarkan secara massal karena karakteristik magis amat rahasia dan tertutup. Karakteristik inilah yang menghambat kelancaran sosialisasi sehingga pada gilirannya penerima sosialisasi menjadi langka, dan itu sebagai pertanda kepunahan. Karena itu nuansa magis dalam kesenian Banten diperlukan redefinisi atau reposisi sebagai wahana yang menguntungkan pendukungnya.
Penutup
Hal yang paling pasti dalam kehidupan masyarakat adalah perubahan. Dalam kontek interaksi sosial ada perubahan sosial dan ada perubahan kebudayaan. Dalam teori cybernatic, kedua perubahan tersebut saling mempengaruhi, sedangkan faktor yang mempengaruhi perubahan terhadap salah satu dari keduanya adalah persentuhan atau kontak dengan (sistem) budaya lain. Peluang untuk kontak itu amat besar pada jaman global ini, sebab sekat-sekat budaya hampir tidak ada atau dengan mudah dapat ditembus. Demikianlah, kontak budaya Banten dengan budaya bukan Banten amat mudah yang karenanya ketahanan suatu kebudayaan, termasuk kebudayaan Banten, akan ditentukan oleh ketangguhannya ketika mengadakan kontak.
Unsur-unsur kebudayaan yang tidak mudah berubah, barangkali merupakan harapan dari ketahanan itu. Tetapi daya tahannya tergantung pada proses dimana unsur-unsur kebudayaan itu didukung oleh pendukung-pendukungya. Dukungan bagi pendukung-pendukung suatu kebudayaan, berkenaan dengan pengetahuan mereka mengenai inti dari suatu kebudayaan yang menggambarkan kekhasannya. Kiranya yang menjadi inti kebudayaan Banten seperti tersebut di atas adalah magis yang dikonstribusikan lewat agama, baik dalam sosialisasi maupun dalam pandangan dan (pola) kelakuan.Serang, 29 Nopember 2002
Kelompok Pengajian Al-Hukama
Disalin ulang pada 25 Januari 2010 untuk _Pendidikan Kader Ulama (PKU) Banten.
DAFTAR BACAAN
1. Baihaqi, “Ulama dan Madrasah di Aceh” dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta, rajawali), 1983.
2. Gazalba, Sidi’, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Djakarta, Pustaka Antara), 1967.
3. Geertz, Cliford, Islam observed, (New York: Mc Millan Pub), 1987.
4. Hamid, A, Tragedi Berdarah di Banten, (Cilegon: Yayasan Kiyai Haji Wasid), 1987.
5. Hamid, Abu, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Potensi di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali), 1983.
6. Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda), 1982.
7. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, (Jakarta: Pustaka panjimas), 1982.
8. Haroenadjaja, Toebagoes, Parimbon dari Babad Pemerintahan Negeri-negeri di Banten, Rangkasbitung, Sirnarasa), 1936.
9. Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Syari’ah”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta, rajawali), 1983.
10. Kartodirdjo, Sartono, The Peasents’ Revolt of Banten in 1888, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff) 1966.
11. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: U.I. Press). 1990.
12. Leirissa, R.Z., Emperium Banten: Suatu Kajian Historiografi, Makalah Simposium Internasional Kedudukan dan Peran Bandar Banten dalam Perdagangan Internasional, (Serang, Pemda Tk. II Kabupaten Serang), 1995.
13. Loze, TH.H.M., “Iets Over Eenige Typisch Bantamche Instituten”, dalam Kolonial Tijdsehrief vol. 23, hal. 171-173, 1933.
14. Mathulada, “Islam di Sulawesi Selatan”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali), 1983.
15. Meijer, D.H., “Over het Bendewezen op Java”, dalam IndonesiĆ« No. 1 hal. 178-189, (‘s-Gravenhage: N.V. Uitgeverij W. van Hauve), 1949.
16. Patmadiwiria, Munadi, Kamus Dialek Jawa Banten – Indonesia, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Dikbud), 1977.
17. Pemda Kab. Dt. II Serang, Mengenal Kabupaten Serang, (Serang, Humas Pemda), 1985.
18. Suparlan, Pasudi, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”, dalam Pasudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya, Ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama, hal. 76-91, (Jakarta: Puslitbang Agama Dep. Agama R.I.), 1981.
19. Suyono, Ariyono, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo), 1985.
20. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten, (Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan), Jakarta: Thesis M.A. U.I.), 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan