Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

AGAMA, KEPERCAYAAN & REZIM DINASTIK di Nusantara dan Nusa Jawa

Dalam struktur kekuasan rezim dinastik, kepemimpinan akan selalu berhubungan dengan agama ataupun kepercayaan yang dianut. Hal ini penting karena arah kebijakan rezim sangat bergantung pada otoritas Dewa-Kaisar ataupun Raja-Pandita sebagai inkarnasi Tuhan.[1] Misalkan saja Pharaoh, Alexander Agung, Julius Caesar maupun Kaisar Agustus. Berkenaan dengan hal tersebut, Kaisar Aurelia bahkan pernah mengatakan jika gambaran Dewa-Kaisar sudah tidak cocok dengan jaman. Oleh sebab itu ia mengangkat dirinya sebagai matahari abadi atau Sol Invictus, sebuah posisi dimana ia bukan sekedar dewa melainkan ‘wali, wakil tertinggi yang sah dari Allah di dunia ini’. Demikianpun yang terjadi di Jawa.

I. Animisme-Dinanisme di Nusantara

Sebelum masuknya Hindu-Budha, masyarakat Nusantara diyakini menganut animisme-dinamisme. Banyak kalangan menyebut mereka sebagai pagan atau kelompok penyembah berhala. Animisme berasal dari bahasa latin: anima atau arwah; menunjuk konsep penyembahan pada arwah nenek moyang atau roh leluhur. Sementara dinamisme merujuk dari bahasa yang sama (latin = dynamis), memiliki arti kekuatan.

Dinamisme menunjuk pada konsep mana atau energi potensial yang berisi kekuatan yang dimiliki tiap benda atau mahluk hidup. Beberapa praktik upacara dari ritual ini seringkali dianggap menyimpang karena mengedepankan sifat-sifat yang alamiah, yang hewani atau naluriah, walau secara obyektif anggapan itu patut diragukan.[2] Peninggalan dari uparaca pemujaan terhadap roh yang paling nyata hingga hari ini adalah nyadran, atau misalkan peringatan tujuh hari, seratus hari, seribu hari, dan seterusnya kepada roh leluhur. Dan boleh jadi setiap kelompok masyarakat pada masa itu memiliki ‘agama tanah’ yang berbeda-beda, walaupun secara konsepsi masuk dalam kategorisasi yang sama.

Walau menganut animisme-dinamisme bukan berarti kebudayaan tidak dikenal. Mengutip pendapat J. C. van Leur, Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro (1993: 175), mengatakan jika pada masa ini sebenarnya organisasi politik, pertanian dengan sistem irigasi, pelayaran dan pengelolaan logam sudah dikenal dengan baik.

Salah satu bukti material dari masa ini adalah Sendang Widara. Situs yang diyakini berasal dari jaman pra Hindu-Budha ini ditemukan kira-kira akhir tahun 2007 lalu di Desa Krinjing, Sumber, Merapi.Sendang berbentuk candi kecil yang masih terus mengeluarkan air sangat jernih ini diduga berasal dari jaman Prabu Dewangkara dari Negri Atas Angin. Prabu ini berkuasa sebelum adanya Gunung Merapi.Sendang Widara sendiri diduga hanyalah satu dari sekian candi yang ada di komplek tersebut. Karena sistem mancapat sudah dikenal pada masa ini, diduga komplek candi itu mengikuti rumus mancapat. Dilihat sekilas, bentuk arsitektur, ukiran sekaligus penataan ruang dan sistem pengairan SendangWidara, memang membenarkan pernyataan van Leur di atas.

II. Sistem Kerohanian Hindu-Budha[3]

Sistem kerohanian Hindu-Budha, pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh filsafat India. Hindu sendiri ditengarai telah masuk Nusantara sejak awal Masehi. Ajaran Hindu sendiri berpedoman pada lima keyakinan, yakni:

Panca Cradha: Brahman, percaya dewa dan berbagai bentuk perwujudan-Nya; atman, kepercayaan tentang jiwa yang abadi; karma phala, kepercayaan bahwa setiap tindakan akan berakibat pada pelakunya; punar bhawa, kepercayaan tentang reinkarnasi; dan moksa, kepercayaan tentang kebahagiaan tertinggi, yaitu bersatu dengan dewa” (Pitana dan Jay, 2002: 40).

Seluruh pemahaman di atas mengerucut pada perhitungan akan dharma, dimana manusia secara tegas wajib memenuhi seluruh kewajiban dalam karya kemanusiaannya. Pada gilirannya agama tersebut menyatu dengan agama asli penduduk setempat yang bersifat animis dan dinamis.

Budha sendiri secara ‘resmi’ masuk bersamaan dengan datangnya Gunawarman pada tahun 420. Aliran Budha yang dibawa Gunawarman adalah Hinayana sementara Budha Mahayana tiba kemudian, yakni pada awal abad ke-7 dan beraliran Yogacara. Pada prinsipnya baik Hindu maupun Budha berangkat dari akar Veda sehingga keduanya memiliki banyak persamaan. Perbedaan secara teknis terletak pada metodologi namun secara esensial ajaran Budha menempatkan manusia lebih ‘otonom’. Dengan demikian hubungan patron-client yang ‘cukup menindas’ dalam Hindu (baca: mempengaruhi arah kebijakan manusia secara massif) ‘dicuci’ Budha. Budha mengembalikan akal-budi manusia pada tempat dan harkat asalinya. Misalkan saja konsep perpindahan roh dalam Hindu berubah menjadi kepercayaan kepada kelahiran kembali. Perbedaan lainnya dapat diamati dari perbedaan simbol antara dewa-dewa Hindu (dalam kasus ini diwakili oleh agama Çiwa) dan mudra (posisi) Budha.

Seperti halnya agama lain, pemahaman penderitaan atau dukkha adalah sumber ajaran moral Budha. Ketika masih menjadi pangeran, Sidarta melihat empat tanda penderitaan manusia: lelaki tua, orang sakit, mayat dan pengemis. Sidarta rupanya sangat terganggu dengan hal itu sampai akhirnya ia pergi meninggalkan rumah dan bersemedi selama enam tahun lamanya. Ia pun menemukan jawaban bagi penderitaan tersebut dan ajarannya kemudian di kenal sebagai ajaran pokok Budha, Empat Kebenaran Agung—atau sering disebut Jalan Tengah karena selalu berusaha menghindari kutub ekstrem—danJalan Lapis Delapan.

Jalan Tengah terdiri dari tiga hal: panna, pencapaian kepada pengertian yang dalam atau kebijaksanaan; sila atau moral; & ketiga, samadi. Sementara Delapan Jalan itu adalah pengertian yang benar; pikiran, aspirasi, resolusi atau tujuan yang benar; tutur kata yang benar; tindakan & sikap yang benar; mata pencarian yang benar; bekerja atau berusaha yang benar; waspada dan mengendalikan pikiran secara benar; dan konsentrasi secara benar. Selain itu Budha juga mengajarkan untuk mengembangkan empat jiwa positif, yakni metta, mengasihi dengan sepenuh hati setiap mahluk yang memiliki perasaan; mudita, sukacita dalam kebahagiaan mahluk lain; karuna, berbagi penderitaan yang dialami mahluk lain; dan terakhir upheka, tetap bebas & damai (Brown: 2002: 48-49).

Penolakan terhadap yang ekstrem sendiri dapat terlihat dalam salah satu Kitab Budha Tantryana, Sang Hyang Kamahayanikan, yang sempat dihimpun di bawah kekuasaan Mpu Sindok, meskipun ia sendiri adalah penganut Hindu. Dalam kitab tersebut terdapat percakapan antara guru dan murid yang menjelaskan bagaimana Budha menolak penyangkalan diri yang asketis,

“Begitu pula djika ada dukatjita dalam tubuhmu, tidak berdosa kalau kamu menggunakan penawar. Pendek kata peliharalah tubuhmu, karena kesehatan tubuh adalah djalan untuk mendapat kebahagiaan, kebahagiaan adalah djalan untuk mendapat hati teguh, dan hati teguh adalah djalan untuk berhasilnja samadhi, dan samadhi adalah djalan untuk mentjapai moksha” (Wojowasita, 1954: 81-83).

Yang paling penting untuk diketahui adalah Budha tidak menekankan pada kekuatan gaib. Ia bahkan menolak pemikiran bahwa manusia hanya akan memiliki iman dan kepercayaan berdasar apa yang telah diajarkan. Manusia haruslah mengerti bahwa kebenaran dari dan untuk diri sendiri,

“Jangan percaya pada apapun hanya karena kau diberitahu, atau karena kebiasaan, atau karena adat, atau karena kau membayangkan. Janganlah engkau percaya kepada apa yang dikatakan gurumu hanya karena hormatmu. Apa pun, sesudah menguji dan menganalisis dengan benar, engkau akan menemukan arah kebaikan, kebajikan, kesejahteraan seluruh mahluk, percaya pada ajaran, setia pada, dan kau ambil sebagai pembimbingmu (Kalama Sutta)” (Budha dalam Brown, 2002: 49).

Sepanjang masuknya agama ini, Budha memang berhasil menjadi agama resmi namun demikian majoritas massa tetap memeluk agama Çiwa. Konsep Trimurti mengenalkan Brahma, Wishu dan Çiwasebagai dewa utama. Namun dalam pengertian Trimurti yang berkembang di Nusantara kedudukanÇiwa dianggap lebih tinggi dibanding dua dewa lainnya. Oleh karena itu Çiwa kerap menempati tempat di tengah lalu diapit oleh dewa-dewa lainnya. Brahma sendiri tidak dianggap sebagai pencipta melainkan Dewa Api dan justru Çiwa-lah yang dipercayai sebagai pencipta. Namun demikian ketiganya tetaplah dianggap sebagai jelmaan Dewa Surya yang diyakini sebagai dewa tertinggi.

Agama Çiwa sering juga disebut dengan Bhairawa (Çiwa raksasa yang menjadi pelindung para tantris) dan kadangkala Tantra. Namun pada Tantra, spesifikasi ritual lebih rumit dan tidak bersifat sekedarnya, hingga ia dianggap sebagai sekte rahasia. Salah satu penganut Budha-Çiwa denganyogacara adalah Kertanegara dan Adityawarman. Menurut Pararaton, Kertanegara kerap mengadakan ritual Tantra di Candi Singosari. Sementara itu, Adityawarman dalam salah satu cerita pernah digambarkan duduk diatas bangkai, meminum darah dan memakan tubuh manusia ketika ia ditasbihkan menjadi raja pada abad 14 dan sudah barang pasti ritual ini bersifat tertutup (Wojowasito, 1954: 129). Gambaran ini sebenarnya jelas terlihat dari patung pengejawantahan Adityawarman yang terdapat di Museum Nasional-Jakarta. Di sana Adityawarman dalam ukuran jumbo digambarkan berdiri di atas tumpukan tengkorak kepala manusia.

Mengenai Tantra, sebenarnya baik Hindu maupun Budha mengembangkan paham tersebut. Namun umumnya Tantra dianut oleh para pemeluk Budha Mahayana dan—waktu Hindu-Budha menyatu—penganut Wajranaya juga Siwa-Pasupata. Tantra adalah ‘the way of act and the way of thinking’. Sebuah laku yang bukan semata filsafat melainkan juga sebagai metoda yang bersifat sangat esoterik, intelek sekaligus elitis.

Tantra pertama kali masuk pada abad ke-11 pada masa Kerajaan Sriwijaya. Dipelopori oleh Pendeta Attica dari ‘Sekolah’ Wikramasila. Attica sendiri tinggal di Swarnadwipa selama 12 tahun dan mengajarkan aliran Kalacakra yang kemudian menyebar ke Jawa pada masa Kertanegara dari Kerajaan Singasari. Diduga aliran ini juga merambat masuk daerah Sunda pada jaman Darmasiksa (1175-1297) karena Raja tersebut menikahi puteri Sriwijaya.[4]

Tujuan Tantra adalah membebaskan diri dari beban masa lalu sekaligus membebaskan diri dari ingin / hasrat masa depan. Jivanmukta atau meraga suksma adalah capaian yang dapat dilakukan apabila seseorang mampu melakukan pembebasan diri dalam hidup yang sementara ini dengan usaha sendiri. Ritual kaum Tantris meliputi usaha mengaktifkan panca indera yang dapat dicapai melalui jalan: mantra(pernyataan magis yang diucapkan berulang)[5], mudra (sikap tangan pada saat semedi), yantra(gambar simbolik dari pusat meditasi; mandala) dan mandala.

Satu suku kata mistik sebagai mantra adalah Ong. Biasanya suku kata ini selalu diikuti oleh kata namahyang berarti hormat. Sebagai contoh simaklah satu mantra yang berisi tujuh hurup hidup dalam abjad Sangsekerta: Ong ang āng namah. Ong ing īng namah. Ong ung ūng namah. Ong rěng rěng namah. Ong ing eng namah. Ong eng aing namah. Ong ong aung namah. Ong ang ah namah.

Konsep Filsafat Agama-agama India

Konsep filsafat agama-agama India dirumuskan mengikuti logika ruang-waktu sebagai representasi sistem asosiasi dan emanasi yang kemudian diadopsi oleh Jawa. Rasionalisasi metakosmos ruang-waktu ini dengan demikian menjadi dasar yang sangat signifikan bagi tindakan praksis-aplikatif masyarakat Hindu.

Dalam perspektif ini pemahaman mengenai waktu terbagi dalam tiga derajat kepenuhan. Pertama yaknisakala atau waktu manusia, waktu empiris. Yang kedua, sakala-niskala yaitu waktu empiris sekaligus yang non empiris dan yang ketiga, niskala adalah hakikatnya waktu. Dan memiliki sifat non empirik secara mutlak.[6]

Dalam agama Çiwa, konsep tiga derajat kepenuhan tersebut masing-masing diisi oleh, sebutlah Dzat.Paramasiwa atau Suksma Sunya (sesuatu yang tidak dapat digambarkan; kosong; halus; mutlak) tinggal dalam niskala. Konsep ini begitu ‘besar’ dan sudah pasti ‘tak terjamah’. Karena itulah Paramasiwa atau Sang Hyang Suksma Sunya harus mengejawantah menjadi objek sekaligus subjek pada ruang sakala-niskala, agar ia dapat ‘dihubungi’ oleh manusia. Pada ruang ini ia disebut sebagaiSadasiwa atau Bayubuta dan mulai dapat ‘dijamah’ melalui pengalaman empirik sekaligus yang non empirik. Akhirnya, penjelmaan Trimurti terjadi. Brahma–sang pencipta, Wisnu–sang penyelenggara dan Çiwa–sang pembinasa berdiri di ruang sakala. Pada ruang ini segala sesuatunya menjadi paradoks dan relatif.[7]

Penciptaan manusia sendiri terbagi menjadi dua, yakni purusha atau aspek kejiwaan-badan halus yang berbentuk budhi/rasio, sejatinya/spiritual, aku/hasrat dan emosi yang merupakan bagian dari panca indera. Dan yang kedua adalah prakrti atau badan kasar, materi ether yang terdiri dari tanah, air, api dan angin.

Penempatan pemahaman atas waktu dalam bentuk tiga derajat diatas, dan penciptaan manusia akhirnya mengenjawantah dalam metode pembagian ruang. Ruang menjadi memiliki nilai. Katakanlah “nilai ruang”, nilai yang dilekatkan dalam tiap sudut satuan berdasar asumsi genetik masing-masing sudut. Nilai pada masing-masing sudut sendiri akhirnya akan membangun sebuah konsep kesatuan geografi yang kerap dimaknai sebagai lingkar geografi suci atau mandala.

Sumardjo mengatakan lingkar geografi suci dibangun di atas pertemuan waktu yang dilambangkan dengan lingkaran (), sesuatu yang esensi, bersifat spiritual (purusha). Kategori Ruang adalah yang material – substansi (prakrti) dan ia divisualisasikan dalam wujud persegi (). Oleh karena itu walau secara harafiah mandala memang berarti lingkaran namun konsep tersebut dapat dibaca sebagai ‘lingkaran dalam bujur sangkar’ atau ‘bujur sangkar dari lingkaran’. Konsep yang pertama mengandaikan hadirnya yang esensi di yang substansi sementara konsep kedua bermakna menyatunya yang esensi ke yang substansi. Yang esensi dan yang substansi ini bermulakan dari Yang Tunggal,

“Yang Tunggal memanifestasikan Diri dalam yang esensi (purusha) dan substansi (prakrti), waktu yang spiritual dan waktu yang material. Manusia tercipta oleh menyatunya purusha dengan prakrti. Pada dasarnya manusia adalah mandala… (dan) …dibaca secara ruang, mandala memiliki pusat persilangan keempat arah mata angin, yakni timur-barat, dan utara-selatan. Arah Timur-Barat adalah dualisme terestial manusia, yakni kelahiran (Timur) dan kematian (Barat). Sedangkan arah Utara-Selatan adalah dualisme celestial (surgawi), yakni Utara sebagai Dunia Atas dan Selatan sebagai Dunia Bawah. Dua pasangan dualistik ‘ruang’ (lahir-mati) dan dualisme ‘waktu’ (Dunia Atas-Dunia Bawah yang abadi, kesekarangan) bertemu di pusat, yakni totalitas transenden” (Sumardjo, 2002: 43 dan 47).

Pertemuan purusha dan prakrti kemudian di adopsi menjadi lingga-yoni. Sementara kenyataan yang dihasilkan oleh keduanya diklasifikasikan dalam lima anasir, yakni bumi, air, api, angin dan suasana.

“Adapun kelima anasir itu ialah wudjut segenap zat. Demikianlah uraiannja: Bumi sebagai daging, kulit, urat dan tulang. Air sebagai darah, lemak sumsum dan lendir. Api sebagai mata. Angin sebagai nafas. Suasana sebagai bagian-bagian badan jang halus dan sebagai roma. Demikianlah adanja kelima zat jang besar sebagai badan segenap machluk. Disamping itu kelima zat itu sebagai badan jang bermatjam-matjam sifatnja: bumi berbau, air berasa, api bertokoh, angin berperasa, suasana dapat berkata. Itulah sebabnja, maka manusia bertokoh, mempunjai rasa, mempunjai pentjiuman serta perasaan dan dapat berkata, sebab badannja terdiri atas kelima anasir” (Prijohutomo, 1953: 133).

Sudah barang pasti kedatangan agama-agama India membawa nuansa baru bagi iklim kerohanian di Nusantara. Logika diturunkan atau menarik turun yang sebelumnya digunakan masyarakat pra Hindu akhirnya dilengkapi dengan sebuah kemungkinan baru, yakni usaha menaikkan. Relasi naik ke atas menjadi dimungkinkan terutama melalui jalan tantra.

Laku sebagai usaha untuk naik ke atas dalam Tantrayana dapat dilakukan dengan 4 cara, yakni Jnana Yoga atau naik melalui jalan mempelajari dan memahami pengetahuan atau filsafat. Pencapaian pada cara ini berbentuk pertemuan diri atau ‘aku’ dalam… Yang kedua adalah Bhakti Yoga, sebuah usaha naik ke atas melalui jalan cinta. Pertemuan diri ‘aku’ dengan yang di luar atau alter ego-nya. Yang ketiga adalah Karma Yoga adalah usaha naik melalui cara kerja sementara yang terakhir adalah Raja Yoga. Cara ini bersifat paling esoterik karena harus dilalui melalui ‘kesendirian’ dalam semedi. Intinya pencapaian dalam Raja Yoga dianggap berhasil apabila manusia dapat secara penuh konsentrasi terhadap pengalaman (atau sebutlah teks) sekaligus berhasil mencapai ruang tak berbatas—justru—dalam batas objek (!) Kekosongan dalam damai dapat mawujud apabila kondisi persepsi dan non persepsi berhasil di capai. Dengan tiadanya persepsi seseorang diyakini akan menemukan kebenaran mutlak.

Laku pada Tantra dengan demikian membuat Dzat yang awalnya terkesan cenderung pasif mulai bergerak menjadi aktif – dinamis. Manusia bebas dari deistik dan seluruh konsep ini menjadi lebih dekat karena dapat dijelaskan secara antropormik.

Kedua metoda di atas pada dasarnya tetap merupakan usaha pencapaian menuju Yang Tunggal. Bedanya jika menurunkan berarti mengejawantahkan yang rohani ke yang material, sebaliknya menaikkan berarti melakukan dematerialisasi. Manunggaling kawula-gusti adalah contoh bagi proses dematerialisasi.

Dalam sejarah arkeologi, logika yang naik dan yang turun ini secara material membedakan pembangunan candi misalkan saja di Jawa bagian Tengah dan Jawa bagian Timur. Misalkan saja, candi-candi di Jawa Tengah cenderung di dominasi ruang yang memutar dari arah Timur, Selatan, Barat, Utara dan Pusat. Sumarjo menyebutnya, mengkanankan pusat. Candi jenis ini disebut denganpradaksina dan biasanya candi-candi jenis ini dibuat pada abad 8-10. Putaran mengkanankan pusat ini merupakan bagian dari usaha ‘menaikkan’ sehingga ia bersifat dematerial, bertolak dari yang plural ke yang tunggal dan dengan demikian meninggalkan keduniawian. Itulah mengapa banyak candi pradaksina dimaksudkan sebagai ruang semedi. Sebagai contoh adalah Candi Plaosan. Adapun candi-candi di jawa Timur bersifat sebaliknya. Mereka ‘menurunkan’ dan dengan demikian bersifat ‘mengkirikan yang pusat’. Gerak ini adalah gerak memanifestasikan waktu spiritual ke dunia materi. Yang tunggal menjadi plural atau bahkan dualistik. Candi-candi ini disebut dengan prasawya dan umumnya dibanggun selama rentang abad 11-16. Sifat mengkirikan ini dimulai dari arah Barat, menuju Selatan, Timur, Utara dan Pusat. Namun proses tidak berakhir di sana melainkan di belakang bangunan karena sistem mandala pada masa itu tidak dipahami dalam bentuk melingkar tetapi kembali kepada sistem yang lebih primordial, yakni depan ke belakang.

Demikian pula Raja sebagai pengejawantahan Dewa yang menempati poros mandala. Yang Pusat ini adalah personifikasi dari Yang Hakiki. Pada sekelilingnya, Yang Hakiki di jaga oleh beberapa titik. Biasanya titik itu berjumlah empat atau delapan. Itulah mengapa kemudian dikenal Dewa dalam klasifikasi Panteon Hindu. Tiap Dewa memiliki tugas dan kewajiban masing-masing. Pada gilirannya konsepsi titik itu dilekatkan pada ruang mata angin, sehingga pada tiap sudut mata angin terdapat satu Dewa penjaga. Walaupun ajaran ini berasal dari konsepsi Hindu-Jawa namun konsep ini tetap bertahan bahkan hingga masa Islam (di) Jawa namun nama-nama dewa kemudian diganti dengan nama para Nabi.

III. Islam di Nusantara

Asal kedatangan Islam, waktu kedatangan dan siapa yang membawa Islam masuk ke Nusantara selalu menjadi perbincangan menarik. Berbagai kalangan urun rembug dan para teoritisi mengajukan pendapat seraya mempertahankan tesis masing-masing. Hingga hari ini, minimal ada tiga kelompok besar yang berusaha menjawab dari mana kedatangan Islam: kelompok Arab / Persia sentris (didukung oleh Crawfurd, Keijner, Naimann, de Hollander, Hasjmi, al-Attas, HAMKA, Djajadiningrat, juga Mukti Ali), kelompok Gujarat (didukung oleh Pijnapel, Hurgronje, Morison, Kern, Winsted, Fatimi, Vlekke, Gonda dan Schrieke) dan kelompok Cina. Dominasi wacana hingga hari ini masih dikuasai kelompok Timur Tengah juga Gujarat.

Nurcholish Madjid, dalam pengantar Arus Cina-Islam-Jawa yang disusun oleh Sumanto Al Qurtuby, secara ringkas menjelaskan dasar-dasar pandangan masing-masing kelompok di atas.[8] Aliran Gujarat menggunakan data otentik makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik sebagai basis argumennya. Menurut kelompok tersebut, nisan Gresik sejenis dengan nisan yang ditemukan di Gujarat dan bahasa yang digunakan dalam nisan tersebut adalah bahasa tangan kedua, artinya bukan bahasa yang mengikut lafal Arab asli melainkan jenis bahasa Parsi dan bahasa dari daerah Asia Daratan yang menggunakan bahasa Parsi sebagai rujukan budaya leluhurnya, macam Urdu, Pushto, Turki, dll.

Namun jika mengikuti hukum Islam, kelompok Islam Nusantara yang didominasi Sunni-Syafi’i cenderung cocok dengan Muslim Yaman dan Hadramaut yang memang beraliran Sunni-Syafi’i, sementara Muslim Anak Benua bermazhab Sunni-Hanafi. Yaman dan Hadaramaut atau wilayah Arabia Selatan sendiri memang memiliki aktifitas perdagangan internasional. Pengaruh kelompok ini lumayan jauh, yakni hingga pesisir timur Afrika – Sawahili. Namun demikian, penganut kelompok Timur Tengah ini akan segera berhadap-hadapan dengan kenyataan adanya perbedaan bahasa yang digunakan antara Muslim Nusantara dengan Timur Tengah.

Berkenaan dengan periode masuknya Islam ke Nusantara sendiri berbeda bagi tiap kalangan. Namun pada umumnya berpendapat jika Islam dibawa masuk oleh pedagang Gujarat juga Timur Tengah, minimal sejak abad 11 dengan makam Leran sebagai bukti. Namun puncak konsolidasinya memang baru terjadi pada abad 15-16. Namun beberapa pihak juga mempercayai jika bibit Islam berkembang pagi-pagi, yakni sejalan dengan awal mula Islam di Timur Tengah tumbuh, abad 7.

Islam Nusantara sejak abad 18 tampaknya didominasi aliran Syafi’i yang kooperatif dengan sistem lama, walau awalnya diduga sempat bersinggungan dengan mahzab Hanafi yang rasionalistik yang dibawa oleh para Wali maupun Cina-Muslim yang memiliki kedekatan dengan aliran tersebut.[9] Walau demikian, masa-masa sebelum abad 18 sendiri sulit ditentukan apakah aliran yang mendominasi. Pada satu-dua kasus, terutama setelah berdirinya Mataram di bawah Senopati, yang kemudian dikukuhkan oleh Sultan Agung, Islam cenderung bersifat heterodoks, mengingat kuatnya pengaruh Hindu-Budha di wilayah pedalaman, tempat Mataram mengambil posisi kerajaan.

Qurtuby (2003: 191) menjelaskan jika pergantian aliran tidaklah menjadi masalah, terutama jika aliran sebelumnya dianggap tidak dapat menjawab persoalan yang ada. Pernyataan ini dengan demikian memberi gambaran bahwa boleh jadi Sunni-Hanafi yang awalnya, mungkin memang dibawa oleh para Wali maupun Muslim Cina, secara berangsur telah berubah wajah mengikuti kecenderungan corak yang ada di Jawa.

Masuknya Sunni-Syafi’i sendiri berasal dari banyaknya ulama Nusantara seperti cikal bakal Kyai Nu: Kyai Cholil Bangkalan, Mahfudz Termas, dan Hasyim Asy’ari yang berguru pada ulama Makkah beraliran Syafi’i seperti Salim Bin Sumayr, Sayid Usman dan Imam Nawawi. Dibukanya terusan Suez, 1870 rupanya menjadi pintu gerbang perkembangan Islam dunia, terutama kekuatan puritanisme Wahhabi yang memang sedang melakukan konsolidasi dan sosialisasi ke segala penjuru dunia. Puritanisme Wahhabi secara nyata diadopsi oleh Minangkabau dan secara lebih lunak diadopsi oleh Muhammadiyah dan Sarekat Dagang Islam yang seluruhnya cenderung anti-sinkretisme.

Qurtuby (2003: 110) menyebutkan jika pergerakan kelompok Islam dari community menjadi societybersifat sangat lamban. Di Sumatra hal itu terjadi pada abad 12 sementara di Jawa, ia bahkan tertinggal jauh, yakni pada baru pada abad 15. Boleh jadi hal ini terbentuk karena otoritas kekuasaan dan barganing position memang baru terbentuk pada masa-masa itu dan tidak sebagaimana Samudra Pasai, Islam (di) Jawa harus berhadap-hadapan dengan sistem (Hindu-Budha terutama) yang jauh lebih kompleks, mapan dan telah mengakar kuat.[10]

Pada puncaknya, Islam menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Nusantara dan hanya beberapa saja wilayah atau masyarakat saja yang ‘lepas’ ataupun sanggup bertahan darinya.

Sekelumit Sejarah dan Filsafat Agama Islam

Islam berarti ‘yang berserah’, hingga menurut Armstrong (2002: 6) Muslim dapat dipadankan sebagai, “Orang yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk Allah dan mentaati perintah-Nya agar umat manusia memperlakukan satu sama lain dengan keadilan, persamaan, dan perasaan kasih sayang”. Pengakuan terhadap agama ini dituangkan dalam syahadat yang wajib dikumandangkan oleh para umatnya, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya.”

Kaum Muslim hidup dari Al-Quran[11], Sunnah[12] dan Hadits[13]. Dalam bahasa Armstrong, Syariah ini disebut ‘Jalan menuju Oase’, yaitu pedoman pokok yang menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap keimanan itu diwujudkan dalam sujud yang harus dilakukan dalam tiap shalat, lima kali dalam sehari (awalnya dahulu tiga kali). Sujud sendiri adalah upaya untuk mengingatkan manusia bahwa dihadapan Allah mereka semua sama. Yang satu tidak boleh meninggikan Diri dari yang lain, lebih-lebih jika hanya mengikuti hasrat ego-nya. Untuk itu kelompok ini juga harus membayar zakat sebagai ‘infaq’ wajib yang diambil dari sepersekian pendapatan mereka (biasanya 2,5 persen) yang akan berguna bagi pembangunan bersama. Selain itu diwajibkan juga kepada mereka untuk menunaikan haji jika mampu dan berpuasa selama bulan Ramadhan untuk melatih diri tak berlebih, sabar, dan mengingat kaum yang tidak dapat memperoleh apa yang mereka ingin, pun sekedar memenuhi kebutuhan primer mereka.[14]

Ajaran Islam mempercayai semua perubahan bersifat alami dan mekanis, dengan demikian dunia ini memiliki satu prinsip, yakni gerak.[15] Sebagaimana peradaban Barat, mayoritas umat Islam mempercayai konsep waktu linear dan menolak konsep daur hidup. Hidup menjadi memiliki awal dan akhir dan barang siapa menunaikan kewajiban sebagai Muslim sejati ia berhak mendapat ganjaran pahala, yakni janji keselamatan agung yang dapat diterima seseorang, nanti (di ujung akhir), setelah kematian tubuh. Pembagian seperti ini menempatkan kutub-kutub yang ada (awal dan akhir) dalam polarisasi yang keras (karena keduanya sama-sama berada di medan terjauhnya).[16] Kecenderungan yang terjadi adalah pembacaan hitam-putih yang tidak memberi ruang pada fenomena gradasi.

Sebenarnya Ahli Sunnah wal Jama’ah atau Sunni (kelompok yang menghormati 4 Rasydun: Abu Bakar, Umar bin Ibn Khaththab, Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Talib) yang menyerap sari gagasan dari aliran Asy’ariyah yang dibangun oleh Abu Musa Al Asy’ari (873-935) telah bersikap cukup toleran. Dalam pandangan mereka baik atau buruk adalah berasal dari ketetapan Allah (sehingga lapar ataupun kenyang, menurut mereka tidak datang karena seseorang makan atau tidak, melainkan datang dari ketentuan Allah sendiri). Kelompok ini memang menolak dilebih-lebihkannya akal tetapi jika terdapat hukum yang belum dicontohkan Nabi, mereka sepakat untuk menggunakan ijma’ yang disempurnakan dengan pemahaman yang datang dari akal, pengamatan dan intuisi (mereka percaya pada sepenuhnya isi Qur’an dan Hadish, sementara akal hanyalah berfungsi sebagai penguat). Pada perkembangannya toleransi Sunni ini berubah menjadi gerakan syariat dan politik radikal dalam aliran Wahhabiah.

Mengenai hal ini Mulkhan (2002: 14) menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena derasnya dominasi kaum formalis Islam dalam sejarah perkembangan Islam. Fenomena ini mencapai puncaknya ketika Abdul Wahhab (1703-1792), seorang pembaharu Sunni yang berusaha mengembalikan pengaruh Islam formal, berhasil mencapai puncak kekuasaan. Atas dukungan amir Ar-Rasyid Muhammad bin Su’ud, penguasa negeri Dar’iyyah waktu itu dan pendiri daulah Su’udiyyah, kedudukan Wahhab dilegitimasi oleh konstitusi syariah (keduanya sepakat bekerjasama untuk mensyiarkan dakwah Tauhiddakwah Salafiyyah—dengan modal ilmu dan iman, serta akan mengibarkan bendera jihad kepada setiap penghalang dakwah). Dukungan tersebut tentu menguntungkan Wahhabiah (Arab Saudi adalah wilayah dimana satu pernyataan syariat dinyatakan, kewajiban naik haji jika mampu) dan membuat gerakan ini cepat menyebar kesegala penjuru Negeri Islam. Pada gilirannya, munculnya Terusan Suez meneguhkan keberhasilan syiar Wahhabi. Gerakan ini sendiri sebenarnya lahir sebagai reaksi atas kecenderungan bid’ah kelompok sufi yang terus meningkat. Mereka menolak digunakannya akal dan hanya menerima hukum yang berasal dari sumber harafiah dan tekstual.Fiqh atau syariat itu sendiri kemudian dilembagakan melalui sistem pendidikan maupun dakwah & pada gilirannya terus berkembang hingga masuk ke ranah politik.

Bagi kaum syariah, pemimpin yang baik adalah mereka yang menunaikan fiqh. Tidak penting kepada siapakah keberpihakan pemimpin diberikan. Tidak mengherankan jika pada banyak kasus, elite syariah, seperti halnya Ibn Taimiyah, tetap memberi dukungan kepada tiran yang tak adil sekalipun (Mulkhan 2002: 13-14). Sebenarnya, pada prinsipnya orientasi ke-Islaman menurut Abdurrahman Wahid dalam artikel Islam dan Formalisme Ajarannya, adalah pada perkara kepentingan orang kecil. Ini terlihat dari rumusan ‘maslahah ammah’ yang berarti kesejahteraan umum. Pemimpin, dalam ushul fiqh, dengan demikian memiliki amanah untuk mewujudkan hal tersebut dan segala “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan atau kesejahteraan mereka (tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah)”.

Pertentangan pertama mengenai kekuasaan pemimpin Islam sendiri terjadi pada tubuh Islam tak lama setelah Nabi wafat (632 M). Aisyah, isteri Nabi dibantu oleh Thalhah, dan Zubair melawan kekhalifahan ketiga Islam, Ali Ibn Abi Talib. Perlawanan ini terjadi karena Ali dianggap tidak menuntut balas kematian khalifah sebelumnya, Utsman ibn Affan (khalifah kedua) yang tewas ditangan tentara Muslim yang tidak puas pada kepemimpinannya. Perang Unta terjadi tahun 656 M dan dimenangkan oleh pihak Ali. Seterusnya, kaum Syi’ah pendukung Ali,[17] berpolemik dengan Muawiyah dan kaum Khawarij. Banyak aliran Islam lahir setelah masa pergolakan ini. Misalkan saja yang cukup populer adalah Khawarij, Murji’ah–yang akan melahirkan gagasan Asy’ariyyah sebagai bibit Sunni, maupun Qadariah–yang mendorong lahirnya aliran Mu’tazilah.[18]

Perbedaan pembacaan antar sesama kaum ini sebenarnya berangkat dari pembacaan metode ijtihad yang berhubungan dengan doktrin teologis mengenai kebebasan kreatif maupun perihal ketergantungan mutlak pada takdir Tuhan. Armstrong (2002: 237) mendefinisikan ijtihad sebagai “’dalil independen’ yang digunakan oleh ahli hukum untuk menerapkan syariah dalam kondisi terkini”. Dalam sejarah Islam sendiri, kaum Muslim Sunni, selama abad 14, telah mengatakan jika pintu ijtihad telah tertutup. Itu artinya keputusan para ahli yang kemudian hanya boleh disandarkan pada putusan legal terdahulu & harus mengesampingkan pandangan mereka sendiri.

Dalam tradisi Islam dikenal empat aliran besar (yang harus dibedakan dengan Syi’ah maupun sufism), yakni mahzab Hanafi yang digagas oleh Imam Abu Hanafiah (699-769), Maliki, dibentuk oleh Imam Malik Ibn Anas (713-795 M), Syafi’i dibangun oleh Imam Ahmad Idris Asy Syafi’i (767-802) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (780-855) yang mendirikan mahzab Hanbali. Secara sederhana dapat dikatakan jika Kaum Hanafi adalah mereka yang mempercayai jika hukum yang ditetapkan haruslah berasal dari qiyasatau analogi, sementara Maliki berpendapat jika hukum harus ditetapkan dengan ijma’ atau kesepakatan (konsensus) ulama fiqh. Syafi’i berpendapat jika hukum dapat ditetapkan dengan ijma’tetapi harus berdasar ijma’ yang disempurnakan (untuk itu disusun dalam ilmu ushul fiqh). Metode ini adalah sintesa dari qiyas (rasionalisme dengan menetapkan hukum berdasar arti bahasa dari Quran dan Sunnah) dan pendekatan tekstual harafiah Imam Ahmad Ibn Hanbal. Hanbali sendiri menolak qiyasdan cenderung berkesesuaian dengan para skriptualis (pemikir tekstualis).

Selanjutnya sejarah Islam terus berada dalam gesekan, baik ditingkat internal maupun dalam persinggungannya dengan liyan.Penulis : Cin P. Hapsarin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan