Dalam ranah pendekatan kualitatif, pandangan Arysio Santos yang
menganggap Indonesia sebagai sisa-sisa Benua Atlantis yang tenggelam,
dapat dinilai sebagai pandangan bersifat etic, yakni pandangan orang
luar terhadap subyek yang diteliti, yaitu pandangan orang Brazilia yang
tidak pernah ke Indonesia dan tidak mampu menangkap makna di balik yang
difahami orang-orang Indonesia. Oleh karena bersifat etic, maka menjadi
wajar jika pemaknaan-pemaknaan dan penafsiran-penafsiran linguistik
yang dilakukan Arysio Santos kelihatan sekali selalu sepihak dan
bersifat sewenang-wenang dan coersive, mengabaikan pandangan emic
orang-orang Indonesia, atau sedikitnya orang-orang India yang usia
peradabannya jauh lebih tua dibanding peradaban Yunani kuno dalam
memandang Indonesia. Secara common sense, jika 6000
tahun sebelum Masehi di India sudah muncul peradaban neolithik
pegunungan Vindhyan di selatan Uttar Pradesh, Koldihwa di dekat
Allahabad, yang disusul Chiran di Bihar, Orissa dan Chotanagpur sampai
ditemukannya kota purba Mohenjodaro dan Harappa, dipastikan
bangsa-bangsa tua itu akan mencatat atau setidaknya mengabadikan
keberadaan benua “luar biasa” Atlantis yang letaknya tidak jauh dari
negeri mereka. Di dalam Indian Mythology, misal, Donald
Mackenzie tidak sedikit pun menemukan legenda dan mitos tentang benua
yang tenggelam di dekat India. Legenda Kumari Kundam yang tenggelam di
selatan India, adalah legenda tenggelamnya sebuah pulau kecil yang
tidak sedikit pun dihubungkan dengan bangsa berperadaban tinggi. Bahkan
Mackenzie mendapati mitologi India tertua, menyebut wilayah Nusantara
sebagai wilayah Dewa Laut Varuna, yang secara mitologis digambarkan
tinggal di istana Varunai di Varunadwipa (nama purba Kalimantan yang
bermakna pulaunya Sang Baruna, yang dilafalkan keliru oleh lidah
Belanda sebagai Borneo-pen). Mitologi India menggambarkan Dewa Baruna
sebagai asura (musuh para sura, dewa) penguasa samudera raya.
Anak-anak keturunan Baruna yang menghuni lautan disebut bangsa
Kalakeya. Berkali-kali bangsa Kalakeya dari lautan itu naik ke daratan,
menyerbu kota-kota dan desa-desa bahkan beberapa kali menggempur
Indraloka di Amaravati, demikian mitologi India merekam keberanian
sekaligus kebrutalan raksasa-raksasa laut yang disebut Kalakeya. Di
samping Kalakeya, muncul pula para Danawa keturunan Danu dan para
Daitya keturunan Diti. Itu artinya, ingatan purba orang-orang India
kuno tentang Indonesia beserta penduduknya adalah ingatan tentang
lautan dan sekali-kali bukan benua besar yang tenggelam karena banjir
besar. Menurut asumsi Arysio Santos, Gunung Krakatau adalah pilar milik Varuna yang saat meletus menjadi agnishvattha, ‘api
yang memurnikan’ ras-ras Timur Jauh (Indonesia) yang berkulit merah
dan putih lainnya, terutama orang-orang Tocharia (bangsa kuno yang
mendiami Tarim Basin di Asia Tengah), yaitu sebutan untuk “orang-orang
Cina berambut pirang”, justru bertentangan dengan teks-teks kitab Veda
dan pandangan emic orang-orang Hindu. Sebab di dalam Rigveda Samhita
Mandala IV Sukta 1 digambarkan bahwa Agni sebagai kekuatan api berbeda
dengan saudaranya, Varuna, kekuatan air:
sa bhrataram varunam agna
a vavrtsva devam accha sumati yajnavanasam jyestharh yajnavanasam,
rtavanam adityam carshanidhrtam rajanam carshanidhrtam (wahai Agni
[api ilahi] semesta, bawalah saudaramu yang mulia, Varuna [air ilahi],
pada kehadiran para pemuja. Dia sangat suka ikut serta dalam
penciptaan alam semesta ini, setia pada hukum yang ditegakkan sebagai
salah satu prinsip penciptaan yang tidak terbatas dan pemelihara umat
manusia, ia laksana kekuasaan tertinggi yang dihormati umat manusia).
Jelas sekali Veda membedakan Agni sebagai api ilahi dan Varuna sebagai
air ilahi. Tidak pernah kekuatan Varuna menjadi agnishvattha, karena agnishvattha
itu berkaitan dengan Dewa Agni. Bahkan sekalipun Krakatau berada di
tengah laut, sepanjang sejarah belum pernah ada dongeng atau mitos yang
diyakini penduduk Nusantara yang mengaitkan gunung berapi itu dengan
Varuna, kecuali Prof Arysio Santos tentunya. Dalam
pandangan emic penduduk Nusantara sendiri, sedikit pun tidak
terlintas bahwa mereka pernah tinggal di sebuah benua besar yang
kemudian tenggelam. Orang-orang yang menyebut diri Jawa, misal,
mengakui keberadaan mereka sebagai orang-orang yang hidup di perairan
di mana nama Jawa berasal dari suku kata “Ja” (keluar, lahir) dan “Wa”
(air, sungai), yang bermakna ‘orang-orang yang lahir dari sungai, di
mana kata “Ja-wah” yang bermakna hujan, juga berkaitan dengan air.
Kata Sunda, dalam bahasa Jawa Kuno dan Sunda Kuno, juga bermakna
“air”. W.J.van der Meulen dalam Indonesia Di Ambang Sejarah
(1988) menyatakan bahwa sejumlah bangsa yang bertempat tinggal tersebar
di sepanjang pantai Laut Tiongkok Selatan menyebut dirinya
“PUTERA_PUTERA SUNGAI”, sebutan yang mungkin sekali semula berhubungan
dengan sungai pedalaman, akan tetapi kemudian pengertiannya dihubungkan
dengan Laut Tiongkok Selatan. Hendaknya kita ingat bahwa menurut
pendapat umum, bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai
besar ke pantai; mereka adalah bangsa-bangsa sungai sebelum menjadi
bangsa-bangsa lautan. Sebutan “putera sungai” ini
(atau “putera-putera air”), masih menurut Van der Meulen, diwakili
dengan jelas oleh nama-nama Tagalog (Taga-ilog) di Filipina dan Galuh
(merga atau aga-lwah) sepanjang pantai utara Jawa. Pun pula ternyata
nama bangsa Ambastai, yang disebut Ptolemaeus dalam Chryse Chersonesos, yang bertempat tinggal di sepanjang Sungai Ambastai, karena kata Sansekerta “ambhastas”
tidak lain bermakna “(lahir) dari air”. Bahkan kerajaan tertua di
Indonesia, Kutei, menyisakan prasasti Mulawarman yang berbunyi: “Sang Mulawarna seperti Raja Bhagiratha dilahirkan dari sagara… (Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia, 1952).
Keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa laut tidak perlu diragukan
lagi. Orang-orang asal laut selatan yang disebut orang-orang Cina
dengan sebutan “Kun lun”, dikenal sebagai bangsa pelaut. Pada akhir
abad ke-3 Masehi, sebagaimana dicatat oleh seorang pegawai daerah
Nanking bernama Wan Zhen, kapal-kapal dari selatan ukurannya 200 kaki
(60 m) panjang, 20-30 kaki (7-10 m) tingginya, bisa dimuati 600 – 700
orang, dan muatan seberat 10.000 hou…(Wang Gungwu, Nanhai Trade. A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea,
1958). Kapal ukuran besar asal Jawa ditulis pula dalam catatan Fa Hien
sewaktu ia pulang dari India, berlayar dari Srilangka dengan sebuah
kapal besar berpenumpang sekitar 200 orang. Kapalnya diserang badai
besar, terdampar di Ye-po-ti (Yawadi), yaitu Jawa. Ia tinggal di Jawa
selama lima bulan dari Desember 412 sampai Mei 413, sebelum membangun
sebuah kapal yang sama besarnya untuk berlayar kembali ke Cina
(H.Giles, The Travel of Fa-hsien – 399-414 A.D,1956), di mana
dengan berita Fa Hsien ini kita ketahui bahwa orang-orang Jawa pada
abad ke-5 Masehi membuat kapal ukuran besar dalam tempo kurang dari
lima bulan. Identitas kelautan orang-orang
Nusantara sedikitnya dicatat oleh kesaksian seorang saudagar Arab
bernama Ibnu Lakis yang mencatat bahwa pada tahun 334 H (945 / 946 M),
ia mendapati kira-kira 1000 perahu yang dinaiki orang Waqwaq, di daerah
“sofala-nya kaum Zenggi”, yaitu di pantai Mozambique, Afrika. Orang
Waqwaq itu – yang “kepulauannya terletak berhadapan dengan Negeri Cina”
– menegaskan sendiri bahwa mereka “datang dari jarak yang memerlukan
setahun pelayaran”. Mereka mendatangi pantai-pantai Afrika untuk
mencari “bahan yang cocok untuk negeri mereka dan untuk Cina, seperti
gading, kulit kura-kura, kulit macan tutul, ambar”. Yang terutama
mereka cari adalah budak Zanggi,”karena orang Zanggi itu dengan mudah
menanggung perbudakan dan karena kekuatan fisik mereka” (R.Mauny, The Wakwak and the Indonesia Invasion in East Africa in 945,
1965). Kesaksian Ibnu Lakis itu sedikitnya bisa dibuktikan secara
faktual seputar keberadaan penduduk Madagaskar – sebuah pulau besar di
Afrika timur – yang penduduknya bukan ras negro tetapi ras Austronesia
– Melayu dengan bahasa campuran yang banyak menggunakan kosa kata Jawa
Kuno dan Melayu. Mengapa sumber-sumber emic tentang orang-orang
Indonesia yang menganggap dirinya bangsa laut tidak sedikit pun dikutip
oleh Arysio Santos? Apakah buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization) yang ditulis Arysio Santos benar-benar berlatar penelitian murni tanpa hidden agenda di baliknya? Konsekuensi Menerima Hipotesa Arysio Santos Pernyataan Prof Arysio Santos dalam pendahuluan buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization)
yang menyatakan bahwa dengan mengikuti teorinya di mana Indonesia
adalah Atlantis yang tenggelam akan berakibat pada perlunya dilakukan
revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan
sejarah, disiplin ilmu-ilmu pendukung, misalnya, linguistik, arkeologi,
evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama, jika
dicermati lebih mendalam ternyata berakibat lebih luas dan lebih
mengerikan daripada sekedar revisi besar-besaran bidang ilmu humaniora.
Sebab dengan diterimanya hipotesis Arysio Santos, secara common sense
yang mula-mula wajib direvisi adalah sejarah Indonesia dan khususnya
identitas penduduknya. Sebab jika hipotesa Arysio Santos yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah bekas Atlantis dan orang-orang Saka,
Yava, Yavana, Ionia, adalah keturunan Dravida Chamite kulit merah,
penghuni awal Yavadvipa, maka keharusan fundamental yang wajib
diterima adalah : “Pulau Jawa adalah tanah asal ras Arya yang bertubuh
tinggi, berambut pirang, berkulit putih, dan bermata biru, yaitu ras
keturunan Dravida Chamite berkulit merah dan putih asal Jawa .”
Dengan asumsi dasar yang disepakati bahwa Pulau Jawa adalah tanah asal
ras Arya kulit putih, maka sesuai teori mainstream disiplin ilmu
antropologi-fisik dan etnologi bahwa penduduk yang menghuni Pulau Jawa
dewasa ini adalah orang-orang Deutro-Melayu yang berasal dari ras
Austronesia yang asalnya dari Indo Cina dan bermigrasi ke Sumatera,
Jawa, Bali, dan Sulawesi, setelah orang-orang Proto-Melayu, maka
kedudukan orang-orang Jawa Deutro-Melayu harus digolongkan sebagai
warga pendatang baru. Orang-orang Dravida Chemit berkulit merah dan
putih, leluhur ras kulit putih, jauh lebih dulu tinggal di Jawa
dibanding orang-orang Proto-Melayu apalagi Deutro-Melayu. Dan jika
asumsi dasar ini sudah berkembang menjadi pandangan dogmatis dan
doktriner dalam ilmu antropologi-fisik dan etnologi, tentu akan
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis tersendiri yang bisa membawa
akibat serius, terutama jika ini dihubungkan dengan kecenderungan
ras kulit putih untuk menghegemoni segala hal atas ras lain yang
kulitnya berwarna. Fakta sejarah telah menggoreskan
tinta merah darah tentang bagaimana saat ras kulit putih datang ke
Afrika untuk merampok dan menjajah dan menjadikan orang-orang Afrika
sebagai bangsa jongos, kacung, babu, dan budak belian. Fakta sejarah
telah menggoreskan tinta darah tentang bagaimana ras kulit putih yang
datang ke Amerika -- yang semula bertujuan mencari India – telah
melakukan perampokan, penjarahan, pembantaian, dan penghancuran
peradaban bangsa-bangsa asli penghuni benua Amerika seperti Aztec,
Inca, Maya, dan membinasakan sampai ke akar-akarnya bangsa bangsa
Navayo, Apache, Commanches, Iroquis, Mohican, Chirichahua, dan
lain-lain sampai bangsa ini menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.
Fakta sejarah juga menggoreskan tinta darah ketika ras kulit putih
menanamkan kekuasaan atas benua Australia dengan membinasakan penduduk
pribumi Aborigin lewat etnic-cleansing, salah satunya lewat
pengabsahan undang-undang berburu orang Aborigin tahun 1893.
Etnic-cleansing serupa dilakukan ras kulit putih atas orang-orang Maori
pribumi New Zealand yang jadi minoritas dan terasing di tanah airnya
sendiri. Yang paling kolosal adalah saat ras kulit putih di bawah rezim
Nazi Jerman membasmi etnik Yahudi selama perang dunia II. Dan tentu,
kita tidak boleh lupa dengan pembantaian sekitar 40.000 orang penduduk
sipil Sulawesi selatan oleh tentara Belanda di bawah komando Raymond
Westerling. Pengalaman Pahit Bangsa Indonesia
Sejarah panjang kolonialisme kulit putih Belanda di Nusantara, telah
memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana ras kulit putih itu
dengan penuh tipu muslihat menelikung tokoh-tokoh pemimpin bangsa
Nusantara untuk kepentingan mereka. Kisah berdirinya benteng Speelwijk
yang terletak tepat di depan benteng Surosowan, Banten, adalah fakta
sejarah yang tidak boleh dilupakan sebagaimana petuah Founding Father
Bung Karno tentang Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).
Sebagaimana diketahui, karena Belanda sudah diijinkan Sultan Banten
untuk mendirikan kantor di Kalapa (Jakarta), maka keinginan Belanda
mendirikan kantor di pelabuhan Banten ditolak. Berbagai upaya yang
dilakukan utusan Belanda untuk membujuk sultan, tidak membawa hasil
sampai satu saat utusan Belanda membawa selembar kulit kerbau kering
dan meminta tanah selebar kulit kerbau untuk kantor VOC.
Sultan Banten yang berpikiran polos mengabulkan permohonan utusan VOC
yang membawa selembar kulit kerbau kering itu sambil menunjuk ke arah
pantai di seberang benteng Surosowan. Sultan berpikir, apa yang bisa
dilakukan Belanda dengan tanah selebar kulit kerbau? Ternyata, saat
para nayaka menunjukkan tanah yang dimaksud sultan, utusan Belanda itu
mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Lalu dengan lihai, ia
mengiris kulit kerbau itu secara melingkar sehingga menghasilkan
semacam tali kulit yang sangat panjang. Lalu dengan tali kulit itu sang
utusan mengukur tanah pemberian sultan untuk kantor VOC itu.
Demikianlah, meski sangat kecil untuk ukuran benteng, kantor VOC yang
ternyata berbentuk benteng dan dinamai Speelwijk itu dilengkapi dengan
meriam-meriam ukuran besar. Dan saat terjadi perselisihan antara sultan
dengan putera mahkota, VOC memihak putera mahkota dan menyingkirkan
sultan yang telah memberinya tanah. Dan untuk selanjutnya, putera
mahkota yang dinobatkan VOC sebagai sultan, hanya jadi boneka yang bisa
dipermainkan untuk kepentingan Belanda. Kasus
hubungan baik antara Pakubuwono III dengan VOC, ternyata juga
dimanfaatkan oleh mereka. Sewaktu Pakubuwono III gering dan akan
meninggal, sebagaimana lazimnya orang Jawa, kepada VOC yang dianggap
sahabat itu Pakubuwono berpesan “hanitipaken praja” untuk putera-putera
keturunannya. Ternyata, kata-kata “hanitipaken praja” yang diucapkan
Pakubuwono III ditafsirkan VOC sebagai “menyerahkan negara” kepada VOC.
Demikianlah, semenjak itu para sunan di Surakarta diangkat atas
perkenan VOC karena Kerajaan Surakarta secara sah sudah menjadi milik
VOC karena diberikan secara sukarela oleh Pakubuwono III. Yang menolak
ketentuan, dibedhil dan ditembak dengan meriam.
Telikungan kulit putih yang tak kalah menyakitkan, sewaktu Belanda
dengan gigih menolak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam berbagai usaha diplomatik
yang selalu dicederai Belanda, pihak Indonesia selalu dikalah-kalahkan
dan disalah-salahkan mulai perundingan Roem-Royen, Linggarjati,
Renville, dan baru pada perundingan KMB – Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference)
yang dimoderatori USA, perwakilan RI benar-benar kena telikung secara
menyakitkan. Dalam KMB itu, kemerdekaan bangsa Indonesia baru mendapat
pengakuan setelah RI mau menanggung utang luar negeri lama yang dibuat
pemerintah Hindia Belanda sebesar US$ 4 miliar dan ditambah utang luar
negeri baru sebesar Rp.3,8 miliar, di mana utang luar negeri warisan
rezim kolonial Belanda itu disepakati dibayar selama 35 tahun terhitung
sejak 1968, sehingga lunas tahun 2003. Jadi semenjak 1950, yaitu saat
KMB diselenggarakan, pemerintah RI yang menerima hasil KMB harus
menanggung utang yang dibuat rezim kolonial Belanda.
Sejak menanggung utang rezim kolonial dan membuat utang luar negeri
baru, pemerintah RI tidak bisa menghindar dari tekanan pihak pemberi
utang. Presiden Soekarno yang marah kepada delegasi RI karena telah
menerima utang warisan rezim Hindia Belanda dan membuat utang baru,
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melampiaskan kekesalan kepada
kapitalisme global. Tahun 1957, misal, Soekarno melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Ini memicu pecahnya pemberontakan
PRRI/Permesta, yang terbukti diback-up Amerika. Soekarno makin tidak
suka dengan praktek-praktek neo-kolonialisme imperialisme yang
dikembangkan negara-negara kampiun kolonial untuk “menjajah”
negara-negara yang baru merdeka dari jajahan ras kulit putih. Latar
historis yang sangat difahami Soekarno itulah yang melatarinya
menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, dalam konferensi
Asia-Afrika di Bandung 1955. Tidak cukup Asia-Afrika, Soekarno
menggagas Gerakan Non-Blok yang diikuti negara-negara berkembang
sedunia. Bahkan belakangan, Soekarno membentuk NEFO - New Emerging
Force – negara-negara kekuatan baru – yang dibuktikan dengan
terselenggarakanya Ganefo di Jakarta. Bahkan semakin tahu kebusukan
PBB yang jadi alat Barat untuk melegitimasi kejahatan-kejahatannya,
membuat Soekarno meninggalkan lembaga perserikatan bangtsa-bangsa itu:
Indonesia keluar dari PBB. Tragedi jatuhnya
Soekarno, perlahan-lahan membawa negara Indonesia sebagai berkah
terbesar bagi kapitalisme global, sampai Presiden USA Richard Nixon
pada tahun 1967 – pasca jatuhnya Soekarno – mengatakan bahwa Indonesia
adalah ” the greatest prize” di Asia Tenggara. Demikianlah,
sepanjang era Orde Baru yang disusul era reformasi – yang ditandai
momen-momen penting seperti Pakto 1988, pembentukan PKLN (Panitia
Kredit Luar negeri) 1992, penerimaan penjadwalan globalisasi dalam KTT
APEC 1994, Krismon 1997, gelombang reformasi hingga jatuhnya Soeharto
1998, euforia reformasi munculnya neoliberalisme 1999, jatuhnya
presiden Abdurrahman Wahid 2001, amandemen UUD 1945 pada 2001 pasca
jatuhnya Abdurrahman Wahid sampai selesai 2004, lahirnya UU Naker, UU
PMA, UU PSDA, UU Agraria, dsb -- telah menjadikan Indonesia bagian
dari pasar global; di mana ide-ide, gagasan-gagasan,
pandangan-pandangan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma yang
dianut warga didasarkan pada pasar bebas; warga negara yang tidak sadar
bahwa semua nilai kemasyarakatan yang disepakati para founding father
telah berubah jauh di luar asumsi yang mereka fahami, kehilangan
orientasi terhadap norma-norma yang mereka pegang selama itu, sehingga
dalam kacamata Emile Durkheim dan Robert K. Merton, warga negara
Indonesia dewasa ini bisa dikatakan sedang berada pada keadaan anomie;
sementara meminjam kacamata James Petras dan Henry Veltmeyer, bangsa
Indonesia dewasa ini berada di bawah bayang-bayang globalisasi, yang
jika dibuka topengnya adalah New imperialism in 21st century! Kemungkinan Terjadinya Pengulangan Sejarah
Berdasar paparan di muka, rangkaian tragedi kemanusiaan yang pernah
menimpa ras kulit berwarna yang dilakukan ras kulit putih itu, bukan
hal mustahil bisa menimpa orang-orang Indonesia – terutama orang-orang
Jawa – yang menurut teori etnologi dan antropologi-fisik adalah
orang-orang Deutro-Melayu, penduduk pendatang asal Indocina. Itu
artinya, orang-orang Deutro-Melayu (Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bali,
Bugis) adalah orang-orang asing yang tanpa hak telah mendiami tanah
air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih, yaitu
leluhur ras kulit putih Saka, Yava, Yavana, Ionia. Bahkan pada masa
depan, bukan tidak mungkin orang-orang Deutro-Melayu, terutama
orang-orang Jawa akan didudukkan pada status Warga Negara Asing karena
leluhurnya dari Indocina, yaitu warga Negara Asing yang sah diusir
dari tanah leluhur ras kulit putih. Jika
kemungkinan-kemungkinan tragis di atas dinilai terlalu paranoid dan
berlebihan, setidaknya konsekuensi penerimaan hipotesa Arysio Santos
harus diikuti revisi atas sejarah Indonesia. “Paling tidak,” kata Guru
Sufi menegaskan, “Dengan diakuinya bahwa Indonesia terutama Pulau Jawa
sebagai tanah asal ras kulit putih, maka sejarah kolonialisme Belanda,
Inggris dan Portugis di Nusantara wajib direvisi. Maksudnya, asumsi
kolonialisme yang diberikan kepada Belanda, Inggris dan Portugis selama
ini harus direvisi. Sebab baik Belanda, Inggris dan Portugis sejatinya
bukanlah bangsa pendatang dari Eropa yang kemudian menjajah bangsa
Indonesia, melainkan mereka itu kembali ke tanah air asal leluhur
mereka: tanah air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih.
Bahkan kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang-orang kulit putih
selama menjajah bangsa Indonesia, harus dibenarkan sebagai tindakan
yang pantas dilakukan oleh pribumi kuno atas para pendatang baru asal
negeri asing dari Indocina itu.” Farel menarik nafas
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tavip Terbatuk-batuk.
Sukirin geleng-geleng. Selama beberapa jenak, semua terdiam seperti
sedang berpikir. Namun setelah itu, Tavip tiba-tiba bertanya,”Tapi
mungkinkah skenario seperti itu bisa dijalankan, Pak Kyai?” “Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Semua serba mungkin,” kata Guru Sufi.
“Apakah mereka akan mengulangi sejarah lama ethnic-cleansing yang
kelam di era masyarakat dunia sudah mengenal HAM?” tanya Tavip.
“Pengulangan bisa saja terjadi, tapi tentu tidak dengan cara-cara lama
yang kasar, tetapi bisa dengan cara yang sistematik dan lebih halus
seperti lewat penyebaran kuman-kuman, bakteri-bakteri, virus-virus,
narkoba, miras, konflik horisontal, anarkisme,” kata Guru Sufi. “Apakah hanya itu kemungkinannya, Mbah Kyai?” tanya Farel penasaran.
“Bisa saja skenario Neo-imperialisme yang mereka gunakan,” sahut Guru
Sufi,”Yaitu, menguasai sumber-sumber daya alam di negeri ini dan
mengubah sumber-sumber daya alam itu sebagai komoditas yang
didistribusikan ke seluruh dunia. Juragan-juragan kulit putih cukup
menunjuk kuli-kuli, jongos-jongos, kacung-kacung, centeng-centeng, dan
babu-babu sebagai karyawan-karyawan untuk mengelola sumber daya alam
dan produk komoditas yang sudah mereka kuasai. Itu artinya, sumber daya
alam negeri ini habis terkuras, semua keuntungan mengalir ke gudang
juragan kulit putih, sedang penduduk negeri ini hanya berstatus kacung,
jongos, kuli, centeng, dan babu.” “Apakah kasus
debt-collector Citibank membunuh nasabah bisa disimpulkan sebagai skala
gurem dari fenomena ke depan yang lebih luas yang Pak Kyai sebut
sebagai Neo-imperialisme?” tanya Tavip. Guru Sufi
tidak menjawab. Ia diam. Namun sejenak setelah itu, ia berkata
lantang,”Bukankah Founding Father, Proklamator bangsa, Presiden pertama
kita Ir Soekarno sudah mengingatkan tentang bahaya Nekolim – Neo
kolonialisme imperialisme? Bukankah James Petras dan Henry Veldmeyer
sudah blak-blakan mengungkapkan bahwa Globalization Unmasked: A New Imperialism in 21st century?
Apalagi yang belum jelas wahai saudara-saudaraku?” lalu dengan mengucap
salam penutup, Guru Sufi pergi mengambil wudhu untuk mendirikan shalat
malam.*Penulis : AGUS SUNYOTO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan