Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

Memahami Nusantara Secara Emic

Dalam ranah pendekatan kualitatif, pandangan Arysio Santos yang

menganggap Indonesia sebagai sisa-sisa Benua Atlantis yang tenggelam,

dapat dinilai sebagai pandangan bersifat etic, yakni pandangan orang

luar terhadap subyek yang diteliti, yaitu pandangan orang Brazilia yang

tidak pernah ke Indonesia dan tidak mampu menangkap makna di balik yang

difahami orang-orang Indonesia. Oleh karena bersifat etic, maka menjadi

wajar jika pemaknaan-pemaknaan dan penafsiran-penafsiran linguistik

yang dilakukan Arysio Santos kelihatan sekali selalu sepihak dan

bersifat sewenang-wenang dan coersive, mengabaikan pandangan emic

orang-orang Indonesia, atau sedikitnya orang-orang India yang usia

peradabannya jauh lebih tua dibanding peradaban Yunani kuno dalam

memandang Indonesia. Secara common sense, jika 6000

tahun sebelum Masehi di India sudah muncul peradaban neolithik

pegunungan Vindhyan di selatan Uttar Pradesh, Koldihwa di dekat

Allahabad, yang disusul Chiran di Bihar, Orissa dan Chotanagpur sampai

ditemukannya kota purba Mohenjodaro dan Harappa, dipastikan

bangsa-bangsa tua itu akan mencatat atau setidaknya mengabadikan

keberadaan benua “luar biasa” Atlantis yang letaknya tidak jauh dari

negeri mereka. Di dalam Indian Mythology, misal, Donald

Mackenzie tidak sedikit pun menemukan legenda dan mitos tentang benua

yang tenggelam di dekat India. Legenda Kumari Kundam yang tenggelam di

selatan India, adalah legenda tenggelamnya sebuah pulau kecil yang

tidak sedikit pun dihubungkan dengan bangsa berperadaban tinggi. Bahkan

Mackenzie mendapati mitologi India tertua, menyebut wilayah Nusantara

sebagai wilayah Dewa Laut Varuna, yang secara mitologis digambarkan

tinggal di istana Varunai di Varunadwipa (nama purba Kalimantan yang

bermakna pulaunya Sang Baruna, yang dilafalkan keliru oleh lidah

Belanda sebagai Borneo-pen). Mitologi India menggambarkan Dewa Baruna

sebagai asura (musuh para sura, dewa) penguasa samudera raya.

Anak-anak keturunan Baruna yang menghuni lautan disebut bangsa

Kalakeya. Berkali-kali bangsa Kalakeya dari lautan itu naik ke daratan,

menyerbu kota-kota dan desa-desa bahkan beberapa kali menggempur

Indraloka di Amaravati, demikian mitologi India merekam keberanian

sekaligus kebrutalan raksasa-raksasa laut yang disebut Kalakeya. Di

samping Kalakeya, muncul pula para Danawa keturunan Danu dan para

Daitya keturunan Diti. Itu artinya, ingatan purba orang-orang India

kuno tentang Indonesia beserta penduduknya adalah ingatan tentang

lautan dan sekali-kali bukan benua besar yang tenggelam karena banjir

besar. Menurut asumsi Arysio Santos, Gunung Krakatau adalah pilar milik Varuna yang saat meletus menjadi agnishvattha, ‘api

yang memurnikan’ ras-ras Timur Jauh (Indonesia) yang berkulit merah

dan putih lainnya, terutama orang-orang Tocharia (bangsa kuno yang

mendiami Tarim Basin di Asia Tengah), yaitu sebutan untuk “orang-orang

Cina berambut pirang”, justru bertentangan dengan teks-teks kitab Veda

dan pandangan emic orang-orang Hindu. Sebab di dalam Rigveda Samhita

Mandala IV Sukta 1 digambarkan bahwa Agni sebagai kekuatan api berbeda

dengan saudaranya, Varuna, kekuatan air:

sa bhrataram varunam agna

a vavrtsva devam accha sumati yajnavanasam jyestharh yajnavanasam,

rtavanam adityam carshanidhrtam rajanam carshanidhrtam (wahai Agni

[api ilahi] semesta, bawalah saudaramu yang mulia, Varuna [air ilahi],

pada kehadiran para pemuja. Dia sangat suka ikut serta dalam

penciptaan alam semesta ini, setia pada hukum yang ditegakkan sebagai

salah satu prinsip penciptaan yang tidak terbatas dan pemelihara umat

manusia, ia laksana kekuasaan tertinggi yang dihormati umat manusia).

Jelas sekali Veda membedakan Agni sebagai api ilahi dan Varuna sebagai

air ilahi. Tidak pernah kekuatan Varuna menjadi agnishvattha, karena agnishvattha

itu berkaitan dengan Dewa Agni. Bahkan sekalipun Krakatau berada di

tengah laut, sepanjang sejarah belum pernah ada dongeng atau mitos yang

diyakini penduduk Nusantara yang mengaitkan gunung berapi itu dengan

Varuna, kecuali Prof Arysio Santos tentunya. Dalam

pandangan emic penduduk Nusantara sendiri, sedikit pun tidak

terlintas bahwa mereka pernah tinggal di sebuah benua besar yang

kemudian tenggelam. Orang-orang yang menyebut diri Jawa, misal,

mengakui keberadaan mereka sebagai orang-orang yang hidup di perairan

di mana nama Jawa berasal dari suku kata “Ja” (keluar, lahir) dan “Wa”

(air, sungai), yang bermakna ‘orang-orang yang lahir dari sungai, di

mana kata “Ja-wah” yang bermakna hujan, juga berkaitan dengan air.

Kata Sunda, dalam bahasa Jawa Kuno dan Sunda Kuno, juga bermakna

“air”. W.J.van der Meulen dalam Indonesia Di Ambang Sejarah

(1988) menyatakan bahwa sejumlah bangsa yang bertempat tinggal tersebar

di sepanjang pantai Laut Tiongkok Selatan menyebut dirinya

“PUTERA_PUTERA SUNGAI”, sebutan yang mungkin sekali semula berhubungan

dengan sungai pedalaman, akan tetapi kemudian pengertiannya dihubungkan

dengan Laut Tiongkok Selatan. Hendaknya kita ingat bahwa menurut

pendapat umum, bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai

besar ke pantai; mereka adalah bangsa-bangsa sungai sebelum menjadi

bangsa-bangsa lautan. Sebutan “putera sungai” ini

(atau “putera-putera air”), masih menurut Van der Meulen, diwakili

dengan jelas oleh nama-nama Tagalog (Taga-ilog) di Filipina dan Galuh

(merga atau aga-lwah) sepanjang pantai utara Jawa. Pun pula ternyata

nama bangsa Ambastai, yang disebut Ptolemaeus dalam Chryse Chersonesos, yang bertempat tinggal di sepanjang Sungai Ambastai, karena kata Sansekerta “ambhastas

tidak lain bermakna “(lahir) dari air”. Bahkan kerajaan tertua di

Indonesia, Kutei, menyisakan prasasti Mulawarman yang berbunyi: “Sang Mulawarna seperti Raja Bhagiratha dilahirkan dari sagara… (Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia, 1952).

Keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa laut tidak perlu diragukan

lagi. Orang-orang asal laut selatan yang disebut orang-orang Cina

dengan sebutan “Kun lun”, dikenal sebagai bangsa pelaut. Pada akhir

abad ke-3 Masehi, sebagaimana dicatat oleh seorang pegawai daerah

Nanking bernama Wan Zhen, kapal-kapal dari selatan ukurannya 200 kaki

(60 m) panjang, 20-30 kaki (7-10 m) tingginya, bisa dimuati 600 – 700

orang, dan muatan seberat 10.000 hou…(Wang Gungwu, Nanhai Trade. A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea,

1958). Kapal ukuran besar asal Jawa ditulis pula dalam catatan Fa Hien

sewaktu ia pulang dari India, berlayar dari Srilangka dengan sebuah

kapal besar berpenumpang sekitar 200 orang. Kapalnya diserang badai

besar, terdampar di Ye-po-ti (Yawadi), yaitu Jawa. Ia tinggal di Jawa

selama lima bulan dari Desember 412 sampai Mei 413, sebelum membangun

sebuah kapal yang sama besarnya untuk berlayar kembali ke Cina

(H.Giles, The Travel of Fa-hsien – 399-414 A.D,1956), di mana

dengan berita Fa Hsien ini kita ketahui bahwa orang-orang Jawa pada

abad ke-5 Masehi membuat kapal ukuran besar dalam tempo kurang dari

lima bulan. Identitas kelautan orang-orang

Nusantara sedikitnya dicatat oleh kesaksian seorang saudagar Arab

bernama Ibnu Lakis yang mencatat bahwa pada tahun 334 H (945 / 946 M),

ia mendapati kira-kira 1000 perahu yang dinaiki orang Waqwaq, di daerah

“sofala-nya kaum Zenggi”, yaitu di pantai Mozambique, Afrika. Orang

Waqwaq itu – yang “kepulauannya terletak berhadapan dengan Negeri Cina”

– menegaskan sendiri bahwa mereka “datang dari jarak yang memerlukan

setahun pelayaran”. Mereka mendatangi pantai-pantai Afrika untuk

mencari “bahan yang cocok untuk negeri mereka dan untuk Cina, seperti

gading, kulit kura-kura, kulit macan tutul, ambar”. Yang terutama

mereka cari adalah budak Zanggi,”karena orang Zanggi itu dengan mudah

menanggung perbudakan dan karena kekuatan fisik mereka” (R.Mauny, The Wakwak and the Indonesia Invasion in East Africa in 945,

1965). Kesaksian Ibnu Lakis itu sedikitnya bisa dibuktikan secara

faktual seputar keberadaan penduduk Madagaskar – sebuah pulau besar di

Afrika timur – yang penduduknya bukan ras negro tetapi ras Austronesia

– Melayu dengan bahasa campuran yang banyak menggunakan kosa kata Jawa

Kuno dan Melayu. Mengapa sumber-sumber emic tentang orang-orang

Indonesia yang menganggap dirinya bangsa laut tidak sedikit pun dikutip

oleh Arysio Santos? Apakah buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization) yang ditulis Arysio Santos benar-benar berlatar penelitian murni tanpa hidden agenda di baliknya? Konsekuensi Menerima Hipotesa Arysio Santos Pernyataan Prof Arysio Santos dalam pendahuluan buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization)

yang menyatakan bahwa dengan mengikuti teorinya di mana Indonesia

adalah Atlantis yang tenggelam akan berakibat pada perlunya dilakukan

revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan

sejarah, disiplin ilmu-ilmu pendukung, misalnya, linguistik, arkeologi,

evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama, jika

dicermati lebih mendalam ternyata berakibat lebih luas dan lebih

mengerikan daripada sekedar revisi besar-besaran bidang ilmu humaniora.

Sebab dengan diterimanya hipotesis Arysio Santos, secara common sense

yang mula-mula wajib direvisi adalah sejarah Indonesia dan khususnya

identitas penduduknya. Sebab jika hipotesa Arysio Santos yang

menyatakan bahwa Indonesia adalah bekas Atlantis dan orang-orang Saka,

Yava, Yavana, Ionia, adalah keturunan Dravida Chamite kulit merah,

penghuni awal Yavadvipa, maka keharusan fundamental yang wajib

diterima adalah : “Pulau Jawa adalah tanah asal ras Arya yang bertubuh

tinggi, berambut pirang, berkulit putih, dan bermata biru, yaitu ras

keturunan Dravida Chamite berkulit merah dan putih asal Jawa .”

Dengan asumsi dasar yang disepakati bahwa Pulau Jawa adalah tanah asal

ras Arya kulit putih, maka sesuai teori mainstream disiplin ilmu

antropologi-fisik dan etnologi bahwa penduduk yang menghuni Pulau Jawa

dewasa ini adalah orang-orang Deutro-Melayu yang berasal dari ras

Austronesia yang asalnya dari Indo Cina dan bermigrasi ke Sumatera,

Jawa, Bali, dan Sulawesi, setelah orang-orang Proto-Melayu, maka

kedudukan orang-orang Jawa Deutro-Melayu harus digolongkan sebagai

warga pendatang baru. Orang-orang Dravida Chemit berkulit merah dan

putih, leluhur ras kulit putih, jauh lebih dulu tinggal di Jawa

dibanding orang-orang Proto-Melayu apalagi Deutro-Melayu. Dan jika

asumsi dasar ini sudah berkembang menjadi pandangan dogmatis dan

doktriner dalam ilmu antropologi-fisik dan etnologi, tentu akan

menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis tersendiri yang bisa membawa

akibat serius, terutama jika ini dihubungkan dengan kecenderungan

ras kulit putih untuk menghegemoni segala hal atas ras lain yang

kulitnya berwarna. Fakta sejarah telah menggoreskan

tinta merah darah tentang bagaimana saat ras kulit putih datang ke

Afrika untuk merampok dan menjajah dan menjadikan orang-orang Afrika

sebagai bangsa jongos, kacung, babu, dan budak belian. Fakta sejarah

telah menggoreskan tinta darah tentang bagaimana ras kulit putih yang

datang ke Amerika -- yang semula bertujuan mencari India – telah

melakukan perampokan, penjarahan, pembantaian, dan penghancuran

peradaban bangsa-bangsa asli penghuni benua Amerika seperti Aztec,

Inca, Maya, dan membinasakan sampai ke akar-akarnya bangsa bangsa

Navayo, Apache, Commanches, Iroquis, Mohican, Chirichahua, dan

lain-lain sampai bangsa ini menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.

Fakta sejarah juga menggoreskan tinta darah ketika ras kulit putih

menanamkan kekuasaan atas benua Australia dengan membinasakan penduduk

pribumi Aborigin lewat etnic-cleansing, salah satunya lewat

pengabsahan undang-undang berburu orang Aborigin tahun 1893.

Etnic-cleansing serupa dilakukan ras kulit putih atas orang-orang Maori

pribumi New Zealand yang jadi minoritas dan terasing di tanah airnya

sendiri. Yang paling kolosal adalah saat ras kulit putih di bawah rezim

Nazi Jerman membasmi etnik Yahudi selama perang dunia II. Dan tentu,

kita tidak boleh lupa dengan pembantaian sekitar 40.000 orang penduduk

sipil Sulawesi selatan oleh tentara Belanda di bawah komando Raymond

Westerling. Pengalaman Pahit Bangsa Indonesia

Sejarah panjang kolonialisme kulit putih Belanda di Nusantara, telah

memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana ras kulit putih itu

dengan penuh tipu muslihat menelikung tokoh-tokoh pemimpin bangsa

Nusantara untuk kepentingan mereka. Kisah berdirinya benteng Speelwijk

yang terletak tepat di depan benteng Surosowan, Banten, adalah fakta

sejarah yang tidak boleh dilupakan sebagaimana petuah Founding Father

Bung Karno tentang Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).

Sebagaimana diketahui, karena Belanda sudah diijinkan Sultan Banten

untuk mendirikan kantor di Kalapa (Jakarta), maka keinginan Belanda

mendirikan kantor di pelabuhan Banten ditolak. Berbagai upaya yang

dilakukan utusan Belanda untuk membujuk sultan, tidak membawa hasil

sampai satu saat utusan Belanda membawa selembar kulit kerbau kering

dan meminta tanah selebar kulit kerbau untuk kantor VOC.

Sultan Banten yang berpikiran polos mengabulkan permohonan utusan VOC

yang membawa selembar kulit kerbau kering itu sambil menunjuk ke arah

pantai di seberang benteng Surosowan. Sultan berpikir, apa yang bisa

dilakukan Belanda dengan tanah selebar kulit kerbau? Ternyata, saat

para nayaka menunjukkan tanah yang dimaksud sultan, utusan Belanda itu

mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Lalu dengan lihai, ia

mengiris kulit kerbau itu secara melingkar sehingga menghasilkan

semacam tali kulit yang sangat panjang. Lalu dengan tali kulit itu sang

utusan mengukur tanah pemberian sultan untuk kantor VOC itu.

Demikianlah, meski sangat kecil untuk ukuran benteng, kantor VOC yang

ternyata berbentuk benteng dan dinamai Speelwijk itu dilengkapi dengan

meriam-meriam ukuran besar. Dan saat terjadi perselisihan antara sultan

dengan putera mahkota, VOC memihak putera mahkota dan menyingkirkan

sultan yang telah memberinya tanah. Dan untuk selanjutnya, putera

mahkota yang dinobatkan VOC sebagai sultan, hanya jadi boneka yang bisa

dipermainkan untuk kepentingan Belanda. Kasus

hubungan baik antara Pakubuwono III dengan VOC, ternyata juga

dimanfaatkan oleh mereka. Sewaktu Pakubuwono III gering dan akan

meninggal, sebagaimana lazimnya orang Jawa, kepada VOC yang dianggap

sahabat itu Pakubuwono berpesan “hanitipaken praja” untuk putera-putera

keturunannya. Ternyata, kata-kata “hanitipaken praja” yang diucapkan

Pakubuwono III ditafsirkan VOC sebagai “menyerahkan negara” kepada VOC.

Demikianlah, semenjak itu para sunan di Surakarta diangkat atas

perkenan VOC karena Kerajaan Surakarta secara sah sudah menjadi milik

VOC karena diberikan secara sukarela oleh Pakubuwono III. Yang menolak

ketentuan, dibedhil dan ditembak dengan meriam.

Telikungan kulit putih yang tak kalah menyakitkan, sewaktu Belanda

dengan gigih menolak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang

diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam berbagai usaha diplomatik

yang selalu dicederai Belanda, pihak Indonesia selalu dikalah-kalahkan

dan disalah-salahkan mulai perundingan Roem-Royen, Linggarjati,

Renville, dan baru pada perundingan KMB – Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference)

yang dimoderatori USA, perwakilan RI benar-benar kena telikung secara

menyakitkan. Dalam KMB itu, kemerdekaan bangsa Indonesia baru mendapat

pengakuan setelah RI mau menanggung utang luar negeri lama yang dibuat

pemerintah Hindia Belanda sebesar US$ 4 miliar dan ditambah utang luar

negeri baru sebesar Rp.3,8 miliar, di mana utang luar negeri warisan

rezim kolonial Belanda itu disepakati dibayar selama 35 tahun terhitung

sejak 1968, sehingga lunas tahun 2003. Jadi semenjak 1950, yaitu saat

KMB diselenggarakan, pemerintah RI yang menerima hasil KMB harus

menanggung utang yang dibuat rezim kolonial Belanda.

Sejak menanggung utang rezim kolonial dan membuat utang luar negeri

baru, pemerintah RI tidak bisa menghindar dari tekanan pihak pemberi

utang. Presiden Soekarno yang marah kepada delegasi RI karena telah

menerima utang warisan rezim Hindia Belanda dan membuat utang baru,

tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melampiaskan kekesalan kepada

kapitalisme global. Tahun 1957, misal, Soekarno melakukan nasionalisasi

perusahaan-perusahaan asing. Ini memicu pecahnya pemberontakan

PRRI/Permesta, yang terbukti diback-up Amerika. Soekarno makin tidak

suka dengan praktek-praktek neo-kolonialisme imperialisme yang

dikembangkan negara-negara kampiun kolonial untuk “menjajah”

negara-negara yang baru merdeka dari jajahan ras kulit putih. Latar

historis yang sangat difahami Soekarno itulah yang melatarinya

menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, dalam konferensi

Asia-Afrika di Bandung 1955. Tidak cukup Asia-Afrika, Soekarno

menggagas Gerakan Non-Blok yang diikuti negara-negara berkembang

sedunia. Bahkan belakangan, Soekarno membentuk NEFO - New Emerging

Force – negara-negara kekuatan baru – yang dibuktikan dengan

terselenggarakanya Ganefo di Jakarta. Bahkan semakin tahu kebusukan

PBB yang jadi alat Barat untuk melegitimasi kejahatan-kejahatannya,

membuat Soekarno meninggalkan lembaga perserikatan bangtsa-bangsa itu:

Indonesia keluar dari PBB. Tragedi jatuhnya

Soekarno, perlahan-lahan membawa negara Indonesia sebagai berkah

terbesar bagi kapitalisme global, sampai Presiden USA Richard Nixon

pada tahun 1967 – pasca jatuhnya Soekarno – mengatakan bahwa Indonesia

adalah ” the greatest prize” di Asia Tenggara. Demikianlah,

sepanjang era Orde Baru yang disusul era reformasi – yang ditandai

momen-momen penting seperti Pakto 1988, pembentukan PKLN (Panitia

Kredit Luar negeri) 1992, penerimaan penjadwalan globalisasi dalam KTT

APEC 1994, Krismon 1997, gelombang reformasi hingga jatuhnya Soeharto

1998, euforia reformasi munculnya neoliberalisme 1999, jatuhnya

presiden Abdurrahman Wahid 2001, amandemen UUD 1945 pada 2001 pasca

jatuhnya Abdurrahman Wahid sampai selesai 2004, lahirnya UU Naker, UU

PMA, UU PSDA, UU Agraria, dsb -- telah menjadikan Indonesia bagian

dari pasar global; di mana ide-ide, gagasan-gagasan,

pandangan-pandangan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma yang

dianut warga didasarkan pada pasar bebas; warga negara yang tidak sadar

bahwa semua nilai kemasyarakatan yang disepakati para founding father

telah berubah jauh di luar asumsi yang mereka fahami, kehilangan

orientasi terhadap norma-norma yang mereka pegang selama itu, sehingga

dalam kacamata Emile Durkheim dan Robert K. Merton, warga negara

Indonesia dewasa ini bisa dikatakan sedang berada pada keadaan anomie;

sementara meminjam kacamata James Petras dan Henry Veltmeyer, bangsa

Indonesia dewasa ini berada di bawah bayang-bayang globalisasi, yang

jika dibuka topengnya adalah New imperialism in 21st century! Kemungkinan Terjadinya Pengulangan Sejarah

Berdasar paparan di muka, rangkaian tragedi kemanusiaan yang pernah

menimpa ras kulit berwarna yang dilakukan ras kulit putih itu, bukan

hal mustahil bisa menimpa orang-orang Indonesia – terutama orang-orang

Jawa – yang menurut teori etnologi dan antropologi-fisik adalah

orang-orang Deutro-Melayu, penduduk pendatang asal Indocina. Itu

artinya, orang-orang Deutro-Melayu (Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bali,

Bugis) adalah orang-orang asing yang tanpa hak telah mendiami tanah

air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih, yaitu

leluhur ras kulit putih Saka, Yava, Yavana, Ionia. Bahkan pada masa

depan, bukan tidak mungkin orang-orang Deutro-Melayu, terutama

orang-orang Jawa akan didudukkan pada status Warga Negara Asing karena

leluhurnya dari Indocina, yaitu warga Negara Asing yang sah diusir

dari tanah leluhur ras kulit putih. Jika

kemungkinan-kemungkinan tragis di atas dinilai terlalu paranoid dan

berlebihan, setidaknya konsekuensi penerimaan hipotesa Arysio Santos

harus diikuti revisi atas sejarah Indonesia. “Paling tidak,” kata Guru

Sufi menegaskan, “Dengan diakuinya bahwa Indonesia terutama Pulau Jawa

sebagai tanah asal ras kulit putih, maka sejarah kolonialisme Belanda,

Inggris dan Portugis di Nusantara wajib direvisi. Maksudnya, asumsi

kolonialisme yang diberikan kepada Belanda, Inggris dan Portugis selama

ini harus direvisi. Sebab baik Belanda, Inggris dan Portugis sejatinya

bukanlah bangsa pendatang dari Eropa yang kemudian menjajah bangsa

Indonesia, melainkan mereka itu kembali ke tanah air asal leluhur

mereka: tanah air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih.

Bahkan kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang-orang kulit putih

selama menjajah bangsa Indonesia, harus dibenarkan sebagai tindakan

yang pantas dilakukan oleh pribumi kuno atas para pendatang baru asal

negeri asing dari Indocina itu.” Farel menarik nafas

menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tavip Terbatuk-batuk.

Sukirin geleng-geleng. Selama beberapa jenak, semua terdiam seperti

sedang berpikir. Namun setelah itu, Tavip tiba-tiba bertanya,”Tapi

mungkinkah skenario seperti itu bisa dijalankan, Pak Kyai?” “Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Semua serba mungkin,” kata Guru Sufi.

“Apakah mereka akan mengulangi sejarah lama ethnic-cleansing yang

kelam di era masyarakat dunia sudah mengenal HAM?” tanya Tavip.

“Pengulangan bisa saja terjadi, tapi tentu tidak dengan cara-cara lama

yang kasar, tetapi bisa dengan cara yang sistematik dan lebih halus

seperti lewat penyebaran kuman-kuman, bakteri-bakteri, virus-virus,

narkoba, miras, konflik horisontal, anarkisme,” kata Guru Sufi. “Apakah hanya itu kemungkinannya, Mbah Kyai?” tanya Farel penasaran.

“Bisa saja skenario Neo-imperialisme yang mereka gunakan,” sahut Guru

Sufi,”Yaitu, menguasai sumber-sumber daya alam di negeri ini dan

mengubah sumber-sumber daya alam itu sebagai komoditas yang

didistribusikan ke seluruh dunia. Juragan-juragan kulit putih cukup

menunjuk kuli-kuli, jongos-jongos, kacung-kacung, centeng-centeng, dan

babu-babu sebagai karyawan-karyawan untuk mengelola sumber daya alam

dan produk komoditas yang sudah mereka kuasai. Itu artinya, sumber daya

alam negeri ini habis terkuras, semua keuntungan mengalir ke gudang

juragan kulit putih, sedang penduduk negeri ini hanya berstatus kacung,

jongos, kuli, centeng, dan babu.” “Apakah kasus

debt-collector Citibank membunuh nasabah bisa disimpulkan sebagai skala

gurem dari fenomena ke depan yang lebih luas yang Pak Kyai sebut

sebagai Neo-imperialisme?” tanya Tavip. Guru Sufi

tidak menjawab. Ia diam. Namun sejenak setelah itu, ia berkata

lantang,”Bukankah Founding Father, Proklamator bangsa, Presiden pertama

kita Ir Soekarno sudah mengingatkan tentang bahaya Nekolim – Neo

kolonialisme imperialisme? Bukankah James Petras dan Henry Veldmeyer

sudah blak-blakan mengungkapkan bahwa Globalization Unmasked: A New Imperialism in 21st century?

Apalagi yang belum jelas wahai saudara-saudaraku?” lalu dengan mengucap

salam penutup, Guru Sufi pergi mengambil wudhu untuk mendirikan shalat

malam.*Penulis : AGUS SUNYOTO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan