Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

‘Melibatkan kaum Tionghoa dalam Membangun Banten’

Tak sedikit orang yang masih berpikiran bahwa keanekaragaman membuat masyarakat kita rentan didera konflik. Keanekaragaman pula yang dipandang sebagai penghalang bagi pembangunan dan kemajuan bangsa. Tetapi pandangan ini segera ditepis oleh Mufti Ali, doktor bidang sejarah-kritis lulusan Universitas Leiden.

Didapuk sebagai pembicara dalam Pelatihan Pendidikan Multikultural yang diselenggarakan Yayasan PARAS dan Yayasan TIFA, 29 Februari-1 Maret 2009 lalu, Mufti Ali menelusuri jejak-jejak multikulturalisme sejak abad ke-16 pada masa kejayaan Kesultanan Banten hingga abad ke-20 yang ditandai oleh sikap anti-multikulturalisme yang berkembang kemudian. Menurut pria kelahiran Serang, 6 Agustus 1972 ini, Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1683) mampu mengantarkan Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya berkat kemampuannya dalam mengelola masyarakat Banten dengan latar belakang budaya yang beragam.

Masa Sultan Tirtayasa adalah sebuah preseden sejarah di mana orang dari berbagai bangsa hidup berdampingan di Banten Lama. Pedagang-pedagang Eropa (Denmark, Perancis, Inggris, Portugis, Belanda) mendapatkan izin dari Sultan untuk mendirikan barak (loji) perdagangan mereka yang dapat menampung ratusan para pegawai Eropa bekerja dalam perusahaan dagang mereka. Demikian pula orang Keling (Tamil), Benggala, India, Arab, Persia, IndoChina, Melayu, dan Moro mendirikan komplek perumahan mereka karena mendapatkan izin dan perlindungan Sultan. Berbagai suku yang berasal dari Nusantara juga tinggal di wilayah Kesultanan Banten ketika itu, orang Bali, Jawa, Madura, Aceh, Bugis, Mandar, Makassar, Palembang dan Lampung karena Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan ekonomi perdagangan kesultanan Banten.

Lebih lanjut Mufti memperlihatkan betapa multikulturalisme benar-benar menjadi asset penting bagi kemajuan dan kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan sebagai ‘mesin uang Kesultanan’ selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing. Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam pembuatan masterplan istana dan proyek perumahan masa itu diserahkan kepada orang Tionghoa.

Kebudayaan Banten yang multikulturalis ini juga tercermin dalam interaksi masyarakat Banten dengan para pedagang Eropa Kristen. (Sebagian) dari pedagang yang berasal dari Portugis, Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis, disebut-sebut dalam sumber-sumber Eropa melakukan acara kebaktian yang diadakan rutin di tempat-tempat ibadah (baca: kapel atau gereja kecil) yang ada di dalam loji perdagangan mereka. Sejumlah pendeta didatangkan dari Eropa untuk melayani orang-orang Kristen yang tinggal di loji-loji mereka di Banten. Bahkan di loji dagang Prancis, disebut-sebut didirikan tempat ibadah orang-orang Katolik yang terlibat dalam misi dagang Perancis.

“Pembangunan kapel atau gereja kecil tentu saja tidak akan berlangsung bila tidak mendapatkan izin dari Sultan Ageng Tirtayasa yang meyakini bahwa multikulturalisme merupakan modal ideologis dan politik bagi Kesultanan Banten,” kata dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanudin ini.

Berkat kecerdikan sang Sultan ini, lanjut Mufti, Banten mampu mempertahankan hegemoni dan politik di Asia Pasifik, bahkan disegani oleh berbagai bangsa. “Karena itu Banten Lama menjadi salah satu pelabuhan penting di dunia,” ujarnya.

Banten Kini

Wajah kosmopolitanisme yang hilang dan kecenderungan lahirnya sikap yang anti-multikulturalis pada abad ke-20 yang semakin meningkat akhir-akhir ini adalah kenyataan yang patut disesalkan. Menurut Mufti, selain mengisyaratkan minimnya kesadaran kesejarahan para pemimpin, kenyataan ini menunjukkan semakin pudarnya spirit multikulturalisme yang pernah mengantarkan kejayaan Banten selama ini.

“Makanya ketika berbicara dengan asistennya Bu Atut (Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten –red), saya tanyakan mengapa Banten sekarang tidak melibatkan kaum Tionghoa untuk berpartisipasi membangun Banten, padahal mereka punya kompetensi, kekuatan ekonomi, jaringan, dan sebagainya.”
Secara historis,kejayaan Banten memang selalu berhubungan positif dengan pemberdayaan Banten bersama orang-orang dari etnis lain, negara lain, dan ras lain. Semua kelompok ikut serta membentuk peradaban Banten yang multicultural. “Oleh karena itu, sekali sebuah negara anti-multikulturalis, kecenderungan negara itu akan kontraproduktif dengan kemajuan,” tegas Mufti yang kini sedang mempersiapkan beberapa buku tentang multikulturalisme Banten ini.

Penegasan Mufti ini juga didukung dengan bukti-bukti sejarah di dunia Islam pada masa lalu. Kebesaran Kerajaan Damaskus misalnya, adalah hasil dari pertemuan dua peradaban besar Islam dan Helenisme atau budaya Yunani. Damaskus adalah pemerintahan yang terbuka dan multikultural yang terbukti pada masanya ratusan atau ribuan seminari atau pesantren Kristen berdiri menjadi pusat-pusat pembelajaran dan pengajaran teologi Kristen.

“Kemajuan yang sama juga berlangsung di Baghdad dan Kordoba,” ujar Mufti Ali yang menulis disertasi tentang perjumpaan peradaban Arab dan Helenisme dalam sejarah Islam ini.

Jika sejarah masa lalu Banten dan sejarah dunia Islam maju berkat penghargaan terhadap keanekaragaman, mengapa Banten kini dan masa depat tak memanfaatkan multikulturalisme sebagai modal politik dan ekonomi? Sebuah pertanyaan besar yang harus kita renungkan.

Supplemen, Parasnews (2009, 20-21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan