Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

Selintas Pandang Tentang Sejarah Penerapan Shariah di Banten

Oleh: Mufti Ali, Ph.D.·

Mendiskusikan sejarah penerapan shariah pada abad ke-17, tidak bisa tidak harus merekam praktek dan kultur hukum pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, karena pada masa inilah Banten mengalami periode masa emas, dimana kedaulatan politik dan ekonominya benar-benar membawa kesultanan Banten menjadi salah satu kesultanan yang disegani dan berpengaruh di Asia Tenggara.

Dibawah ini digambarkan tentang pelaksanaan sharia terutama pelaksanaan hukum jinayat berupa hukuman potong tangan dan hukuman mati. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah apakah pelaksanaan hukuman potong tangan dan hukuman mati ini sepenuhnya diterapkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan oleh para penerusnya atau hukuman ini dikontekstualisasikan sesuai dengan kebutuhan praktis saat itu.

Sejumlah catatan resmi harian VOC di Banten menjelaskan tentang pola penerapan hukuman hudud bagi para pelanggar hukum mengalami variasi. Contoh-contohnya, sejauh penjelasan sumber VOC, hanya terbatas pada tindakan kriminal pencurian, pembunuhan pemakaian alkohol dan opium. Aspek jinayat lain, seperti perzinaan, tidak mendapatkan penjelasan. Namun demikian beberapa ilustrasi penerapan hukum di bawah ini menegaskan tentang kuatnya pengaruh shariah dalam kultur hukum (rechtscultuur) Banten pada abad ke-17, terutama pada masa Sultan Ageng Tirtayasa.

Potong Tangan

Shari’a, menurut Shrieke seperti dikutip Talens (1999: 134), memberikan pengaruh kuat pada kebudayaan hukum Banten pada abad ke-17, terutama pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Penerapan Shari’a tersebut menurut Talens dapat dilihat dari fakta bahwa hukuman berat ditimpakan kepada para pemakai opium dan tembakau. Hal ini dijelaskan dalam laporan pegawai VOC pada satu desember 1671: [Het] schynt, dat die Vorst [Ageng Tirtayasa] alle de amphioen sygers t’ eenemael in syn landt uytroeyen will; 4 daegen verleden heeft syn hoogheyd een Javaen, die van eygenste cruyt de waedye van 4 à 5 stuyvers vercoght heeft, beyde handen laten afkappen, soo naer Lampon laten verbannen, etc (Nampak jelas bahwa Sultan Ageng Tirtayasa akan membasmi semua pemadat opium; empat hari yang lalu ia juga telah memotong dua tangan seorang laki-laki jawa yang telah membeli opium itu seharga 4-5 sen, dan kemudian Sultan mengusirnya ke Lampung).

Merujuk kepada laporan pegawai VOC, Talens menjelaskan bahwa seorang pencuri dipotong tangannya oleh hakim di Kesultanan Banten akibat tindakan kriminal yang dilakukannya di pasar Karangantu. Menurut Talens, penerapan Shari’a juga berlaku diwilayah siyasah (politik Islam), di mana, Sultan Ageng Tirtayasa menolak, karena alasan kesesuaian dengan Shari’a, untuk memperpanjang perjanjian damai dengan non-Muslims (atau VOC) lebih dari 10 tahun.

Pendapat Shrieke tentang pelaksanaan Shari’a di Banten abad ke-17 ini kemudian dirujuk oleh para sejarahwan setelahnya: De Graaf (1970), Milner (1983), Watson Andaya (1992) dan juga Anthonie Reid (1993). Bahkan Reid seperti dikutip Talens menambahkan bahwa shari’a yang dilaksanakan oleh kesultanan Banten berdasarkan mazhab Shafi’i, yang pengaruhnya dapat dilihat dalam fakta bahwa hukuman hudud yang begitu keras dan rigid, terlihat dalam pelaksanaan hukum potong tangan (de verminking en amputatie van ledematen).

Denda

Pelaksanaan hukuman potong tangan dan hukuman-hukuman fisik lainnya mengalami pasang surut. Hal ini berlangsung terutama pada periode 1682-1750, yakni setelah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa berakhir. Kemungkinan pasang surut ini menurut Talens, diakibatkan oleh pilihan Sultan untuk menggantikannya dengan hukuman denda. Data tentang ini ditegaskan oleh laporan seorang pedagang Inggris, Edmund Scott yang menyatakan: ‘I will tell you the laws of our country, which is this: if one kill a slave, he must pay 20 ryales of 8; if a freeman, 50 ryals; if a gentleman, 100 ryals.’ (saya hendak memberitahukan kepada mu hukum yang berlaku di Negara kami, yang dinyatakan bahwa: jika seseorang membunuh seorang budak, ia harus membayar denda 20 rial; jika membunuh seorang laki-laki merdeka, ia harus membayar 50 rial; jika ia membunuh seorang laki-laki terhormat, ia harus membayar 100 rial).

Kerja Paksa

Bila melihat laporan VOC, potongan tangan bukan lah satu-satunya jenis hukuman yang diterapkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, terutama bagi jenis pelanggaran hukum tertentu, seperti konsumsi alkohol dan pemadat. Sultan Ageng Tirtayasa menetapkan hukuman bagi para pemadat dengan hukuman kerja paksa yang mengejawantah dalam beberapa jenis pekerjaan.

Dijelaskan misalnya bahwa pada tahun 1661, para pemadat diwajibkan untuk mengumpulkan bebatuan dari beberapa pulau diselat sunda, yang akan digunakan untuk membangun benteng kota. Pada akhir tahun 1660-an, para pemadat direkrut oleh Sultan untuk menjadi pembantu dan pelayan serta mengerjakan beberapa tugas di kapal-kapal perang Kesultanan.

Pada tahun 1671, juga dilaporkan bahwa Sultan memberi hukuman kepada ribuan pemadat (opium schuivers) dengan mewajibkan mereka turut serta dalam pembangunan apa yang dikenal dengan Kanal Sultan, saluran air yang memanjang antara Tirtayasa –Tanara dan Tirtayasa- Bendung, dan Tirtayasa – Pontang.

Hukuman Mati

Dalam buku yang ditulis oleh pengurus NZV pada tahun 1893 dilaporkan bahwa pada tahun 1704, terdapat seorang wanita keturuan Kesultanan Banten yang bernama Sangka di hukum mati oleh Sultan Banten. Hukuman mati ditimpakan kepadanya karena ia murtad, memeluk agama Kristen. Ia dibaptis dan kemudian berganti nama dengan Helena van Bantam. Karena kemurtadaannya dan untuk menghindari keberlakuan Jurisdiksi Kesultanan Banten, ia disebut-sebut pindah ke Batavia, tinggal di sana dan menikah dengan seorang Kristen.

Mengacu kepada Jurisdiksi (hukum positif) Kesultanan Banten dan Artikel no. 6, A, 1684, Sultan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kolonial untuk mengekstradisi Sangka (Helena van Bantam) dari Batavia ke Banten. Ekstradisi itu dimaksudkan agar Sultan Banten dapat memberlakukan Hukum Positif Kesultanan Banten yang akan menjatuhkan hukuman pidana karena kemurtadan wanita tersebut.

Merasa diancam hukuman shari’ah, Sangka alias Helena van Bantam, menurut van Höevel, mengajukan petisi kepada Pemerintah VOC berkenaan dengan status hukumnya, yang menurut Traktat yang ditandatangani VOC dengan Sultan Banten tahun 1684, disebutkan bahwa Jurisdiksi Sultan Banten berlaku hanya bagi penduduk Muslim di wilayah hukum Banten. Helena juga mengajukan permohonan perlindungan dari Pemerintah VOC untuk memberikan perlindungan hukum baginya dari ancaman hukum Sultan Banten.

Petisi tersebut diajukan karena ia diancam hukuman mati oleh Sultan Banten dan mengajukan nota keberatan, dengan penafsiran bahwa bahwa Jurisdiksi Sultan Banten, menurut Artikel no 6, tahun 1684, tidak berlaku bagi kasus Helena van Bantam yang sudah masuk Kristen dan tinggal di Batavia. Jurisdiksi tersebut, menurut Sangka, seperti dilaporkan oleh NZV, berlaku hanya bagi penduduk Banten yang beragama Islam.

Dengan merujuk kepada karya Valentijns, NZV kemudian menjelaskan bahwa kemudian Pemerintah VOC mengekstradisi Helena van Bantam ke Banten dan menyerahkannya kepada Sultan Banten yang kemudian menjatuhkan hukuman mati kepada Helena.


Konteks Penerapan Hukuman

Beberapa alasan tentang terjadinya peralihan aspek pelaksanaan hukuman jinayat dari hukum potong tangan kepada denda tentu saja tidak hanya harus diletakan dalam konteks doktrin shariah an sich, tetapi juga harus dilihat dalam kontek politik, ekonomi, dan bahkan militer kesultanan saat itu. Pembayaran denda tentu saja merupakan pemasukan (income) untuk kas Kesultanan. Di sisi lain, hukuman potongan tangan atau hukuman mati berarti akan mengakibatkan hilangnya potensi tenaga kerja. Pembangunan kanal air, sebagai upaya intensifikasi pertanian di wilayah utara Banten oleh Sultan, harus diletakkan dalam konteks upaya Sultan untuk memperkuat dan memperbesar income kesultanan dari pertanian. Pemberian hukuman kepada para pemadat dengan kerja paksa dalam pembangunan saluran air ini, tentu saja, menggambarkan aspek pragmatis ekonomis Sultan.

Disisi lain, program pengamanan jalur dagang selat Sunda dan penguatan atas kontrol atas wilayah laut Kesultanan Banten yang dicanangkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa memerlukan tenaga (pendukung) yang tidak sedikit. Konteks sejarah ini memberikan penjelasan terhadap kontekstualisasi penerapan hukuman sharia oleh Sultan bagi para pemadat.

Pasang surut pelaksanaan shariah ini dapat dimaklumi karena arah dan jalannya pelaksanaan hukum di kesultanan Banten sangat ditentukan oleh Sultan atau oleh para pegawai yang mewakili Sultan. Yang tentu saja barangkali juga terpengaruh oleh dinamika ekonomi dan politik kesultanan Banten.


Daftar Pustaka

Ali, Mufti, Misionarisme di Banten (Serang: Laboratorium Bantenologi, 2009)
Andaya, Watson, Barbara, ‘Religious Developments in Southeast Asia c. 1500-1800’
dalam Nicholas Tarling (ed.), The Cambridge History of Southeast Asia. Vol. one:
From Early times to c. 1800 (Cambridge: 1992), 508-571
Graaf, H.J. de, ‘South-East Asian Islam to the eighteenth century,’ dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam, vol. 2:
The Further Islamic Lands, Islamic Society and Civilization (Cambridge), 123-154
Milner, A.C., ‘Islam and the Muslim State,’ dalam M. B. Hooker (ed.), Islam in South-
East Asia (Leiden), 50-91
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Volume 2: Expansion and Crisis (New Haven: 1993)
------, ‘Islamization and Christianization in Southeast Asia: The critical phase, 1550-
1650,’ dalam Southeast Asia in the early modern era; Trade, power, and belief, idem
(ed.), (Ithaca: 1993), 151-179
Schrieke, B., Indonesian Sociological studies (The Hague: 1955-57), 2 vols
Talens, Johan, Een Feodale samenleving in koloniaal vaarwater. Staatsvorming,
koloniale expansie en economische onderontwikkeling in Banten, West-Java (1600-
1750) (Hilversum: Verloren BV, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan