Oleh: Mufti Ali, PhD
Ketika ditanya oleh beberapa mahasiswa IAIN “Sultan Maulana Hasanudin” Banten, negeri mana yang penulis ingin kunjungi untuk melihat dan mendapatkan naskah Islam klasik yang belum dikatalogkan dan bersifat unik, jawaban penulis adalah Mauritania, negeri sebelah selatan Maroko dan Sahara, sebelah utara Senegal, sebelah timur lautan Atlantik dan sebelah barat AlJazair. Sebuah negeri berpenduduk kurang dari 2 juta orang yang empat perlimanya disebut bangsa Moor (Arab Berber) yang berbahasa Arab dialek Hassaniya. Sebuah negeri bercuaca sangat kering dan panas, yang sebagian besar daerahnya ditutupi gurun pasir. Negeri yang curah hujannya rata-rata pertahun dibawah 100 mm, pohon tumbuh kecil dan jarang, rerumputan terbakar sinar mentari dan hanya sedikit sumur air.
Meskipun negerinya ‘gundul’ dan panas, serta bahasa sehari-hari penduduknya sulit dipahami, keinginan penulis untuk ‘berburu’ naskah ke negeri yang dikenal di negeri-negeri Arab sebagai negeri naskah (manuscript) tersebut tetap membara karena empat alasan:
Pertama, Mauritania adalah negeri kaya manuskrip Islam yang sebagian bersifat unik dan tidak ada copy-nya ditempat lain di negara manapun di seluruh dunia. Meskipun negerinya secara geografis dan demografis kecil, di Mauritania terdapat lebih dari 40 ribu naskah/manuskrip Islam klasik yang disimpan di lebih dari 300 perpustakaan umum maupun pribadi. Karena kekayaannya ini, orang Timur Tengah menyebutnya dengan negeri naskah.
Kedua, penduduknya bangga dengan perpustakaan dan koleksi naskah yang disimpannya. Direktur Naskah di Institut Mauritanien de Recherche Scientifique, Ahmad Ould Mohamed Yahya menyatakan: “Kapanpun saya pergi ke negeri-negeri Arab lainnya, Saya hanya harus mengatakan satu kata – Mauritania – dan setiap orang antusias berbicara dengan saya tentang manuskrip-manuskrip yang kami miliki. Topik pembicaraan yang membuat para kaum intelektual asing antusias berbicara dengan saya. Manuskrip benar-benar buat kami merupakan kartu panggil negeri kami.”
Ketiga, sebagian naskah disana belum dikatalogkan sehingga memungkinkan para peneliti (sejarah) mendapatkan naskah yang unik dan menemukan data-data baru sehingga memungkinkan memberikan kontribusi baru dalam ilmu tentang berbagai aspek sejarah (literatur) Islam. Yang menggegerkan peneliti naskah Islam Klasik dari Mauritania, misalnya ditemukannya satu karya Ibn Rushd tentang Grammatika Arab, dengan naskah yang masih utuh. Naskah itu berjudul al-Daruri fi sina’at al-Nahwi (Hal yang prinsipil dalam pembentukan Ilmu Gramatika Arab) karya Ibnu Rushd (di Barat dikenal dengan Averoes). Disamping itu di Mauritania juga ditemukan sebuah naskah ditulis diatas kulit rusa yang berjudul Muruj al-Zahab wa MaÝadin al-Jawhar (lapangan emas, dan tambang mutiara) ditulis oleh seorang ulama abad ke-10 terkenal, al-MasÝudi (w. 345/956) dan satu salinan naskah Sahih Bukhari karya seorang ahli hadis legendaris, Imam Bukhari (w. 256/870).
Keempat, bila tradisi salin menyalin karya dengan tulis tangan adalah fenomena masa lalu di negeri-negeri (Muslim) lain, di Mauritania tradisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Ribuan karya disalin ulang oleh para pencinta ilmu dan menjadi pekerjaan rumah para murid di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional (sering disebut Mahadhra). Karena tradisi ini, maka kemudian Mauritania disebut-sebut memiliki tradisi literasi Islam terkaya di Afrika Barat selama tiga abad terakhir.
Perpustakaan Pribadi di Mauritania
Ada tiga perpustakaan milik Keluarga yang sangat dikenal di Mauritania. Nama masing-masing perpustakaan itu diberi menurut nama pendirinya: Al Habot, Al Ahmad Mahmoud, dan Ould Ahmad Sherif.
Dari ketiga perpustakaan tersebut, Al Habot-lah yang paling mashur tidak hanya di Mauritania, tetapi di Timur Tengah dan bahkan beberapa negara Eropa. Biaya operasional perpustakaan-perpustakaan ini disebut-sebut berasal dari dana yang dikumpulkan dari dana yang dipungut dari para pengunjung dan wisatawan yang bertandang ke Perpustakaan tersebut dari dalam maupun luar negeri Mauritania. Sebagian besar koleksi naskahnya sudah dikatalogkan.
Perpustakaan ini di didirikan oleh Sidi Muhammad Ould Habot (1784-1869), salah seorang keturunan Khalifah Abu Bakr. Perpustakaan iini mengkoleksi lebih dari 2000 naskah yang umurnya bervariasi dari tahun 1088 sampai tahun 1980. Salah satu naskah unik yang disimpan didalam perpustakaan pribadi adalah salinan naskah karya seorang pengarang dari Granada (Spanyol Islam) yang sangat terkenal Tashih al-Wujuh wa al-Naza’ir (Pembetulan Penampakan dan Pandangan) karya Abu Hilal al-Askari (W. 400/1010).
Sementarra perpustakaan Al Ahmad Mahmoud memiliki 400 naskah Arab dan 1400 dokumen yang berkaitan dengan sejarah keluarga lokal. Di perpustakaan Al Ahmad juga pernah tersimpan sebuah naskah doa berbahasa Ibrani. Sayangnya, naskah unik ini sekarang sudah berpindah tangan dan disimpan di Perpustakaan Kremlin (Rusia). Sementara perpustakaan Ould Ahmad Sherif menyimpan lebih dari 600 naskah Islam klasik.
Mahadhra dan Konservasi Naskah Islam Klasik
Seperti pesantren di Indonesia, Mauritania pun memiliki lembaga pendidikan Islam tradisional yang dikenal dengan Mahadhra, tempat naskah Islam klasik dipelajari, disalin dan disebarkan ke seantero negeri Mauritania. Ketika sebagian besar lembaga pendidikan agama di hampir seluruh negeri Muslim memanfaatkan naskah Islam klasik yang sudah dicetak, baik cetak batu (lithography), maupun tangan dan mesin (press), ‘civitas academica’ lembaga pendidikan ini masih menggunakan naskah-naskah Islam yang di salin tangan (copy).
Para guru dan professor di Mahadra berperan sebagai ‘mesin cetak’ dan sekaligus pengajar. Mereka memberikan tugas kepada (maha)siswa-(maha)siswanya untuk menyalin ulang naskah-naskah Islam klasik. Para (maha)siswa yang belajar di Mahadhra ini berasal dari berbagai pelosok negeri Mauritania dan bahkan dari beberapa negara seperti Mali, Pakistan, Bangladesh, dll. Maka tak aneh bila Mahadhra dianggap sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyebaran buku-buku (Islam) keseluruh bagian negeri Mauritania dan ke beberapa negara asal para alumni lembaga pendidikan ini. Karena sistem belajar semacam ini, maka tidak aneh bila tradisi keilmuan di Mauritania dianggap paling kaya di Afrika Barat terutama dalam tiga abad terakhir.
Mauritania: Penduduk yang Bibliophile
Kecintaan penduduk Mauritania akan ilmu, buku dan perpustakaan terlihat jelas dalam karya-karya sastra yang sangat terkenal di sana, khususnya dalam al-Rihla (Perjalanan) karya Ahmad Ould T’Wayr al-Janna. Dalam buku tersebut, al-Janna menceritakan kisah perjalanannya dari tahun 1829 dan 1834 dari tanah kelahirannya, Wadan, ke Mekah. Ketika singgah di Marakes, sebuah kota budaya di Maroko, ia dikira raja Mauritania oleh Gubernur Jenderal Inggris di Gibraltar, bagian utara Maroko. Kemudian ia diundang oleh Sultan Maroko dan diberi uang yang sedemikian banyak sehingga ia bisa membeli naskah sebanyak yang ia suka. Saking banyaknya naskah yang ia borong, ia harus menyewa 30 unta untuk mengangkut naskah-naskah yang ia beli dari Fez, Maroko. Semua orang yang dilalui rombongan unta yang mengangkut naskah-naskah al-Janna hanya tercengang dan mendoakan, semoga harapan dan cita-cita pemiliknya untuk membangun Mauritania terpenuhi.
Ahmad Ould T’Wayr al-Janna dan Syekh Nawawi al-Bantani
Bila para pelajar (Muslim) Mauritania memiliki cerita heroik al-Janna seperti tersebut diatas, para santri di Pesantren-pesantren (Salafiah di Banten pun) sering mendengar cerita heroik tentang kecintaan menulis syekh Nawawi al-Bantani. Diceritakan bahwa ketika sedang asik menulis, lampu (teplok) yang biasa dipakai untuk menerangi kamar kerjanya padam. Ia menorehkan telunjuknya sehingga menyala. Kemudian ia meneruskan kegiatan tulis menulisnya sampai selesai sehingga separuh telunjuknya terbakar.
Meskipun cerita ini tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya, yang pasti Syekh Nawawi memang seorang penulis produktif yang telah mengarang 40 buku (baca kitab kuning) dalam berbagai bidang ilmu keislaman tradisional: fikih, tasawuf, tafsir, hadis dan tata bahasa. Tiga puluh tujuh dari karya tersebut dicetak oleh beberapa percetakan besar di Mesir dan Mekah saat Begawan literasi ini masih hidup. Tiga lainnya dicetak setelah Syekh Nawawi meninggal. Sebagian besar dari karyanya dicetak berulang-ulang sampai saat ini bahkan ada yang dicetak lebih dari 26 kali di Mesir, Suriah, Libanon, Arab Saudi dan tak terkecuali di Indonesia.
Ketokohan Syekh Nawawi dan kedalaman ilmunya tidak hanya diakui oleh umat Islam di berbagai negeri Muslim tetapi juga oleh para orientalis. Kebesaran dan ketokohannya diabadikan dalam sebuah entry (judul kepala) ensiklopedi para Orientalis, The Encyclopaedia of Islam (11 volum) yang diterbitkan E.J. Brill di Belanda. Rasa hormat para orientalis kepada ulama Jawa ini ditunjukkan oleh fakta bahwa dewan editor ensiklopedi ini bersepakat untuk mempercayakan penulisan artikel tentang Syekh Nawawi dalam ensiklopedi tersebut kepada seorang orientalis Jerman terdepan awal abad ke-20, Carl Brockelmann.
Bagi pelajar Muslim asal Banten di Timur Tengah dan Eropa, Syekh Nawawi al-Bantani adalah calling card (kartu panggil) yang membuat lawan bicara kita antusias mendengarkan tentang sejarah intelektual Muslim di Banten. Hanya sayangnya, sampai sekarang kita hanya mempunyai satu calling card.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan