SETELAH penduduk Majapahit memeluk agama Islam, mereka masih terus merayakan pesta Srada yang telah berubah nama menjadi Nyadran. Kendati ritusnya sudah dikemas dalam nuansa Islami, tetapi masih memberi kesan bahwa nyadran tetap berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah. Karena, ritualnya masih berupa kenduri di kuburan. Apalagi masyarakat juga masih melaksanakan upacara untuk para arwah leluhur yang disebut nyekar, mengunjungi makam dan meletakkan kembang kanthil, telasih, kenanga, melur dan melati di batu nisan para tetua dan kerabat dekat yang dikubur di sana diiringi pemanjatan do'a. Dengan masih dilaksanakannya ritual yang berkaitan dengan alam roh ini seolah-olah Islam mengizinkan pemujaan terhadap arwah. Benarkah demikian ?
Menurut Prof Dr Slamet Moeljana dalam bukunya "Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, tahun 1968, pada masa kesultanan Pajang, diantara berbagai aliran agama Islam, aliran Syi'ah yang disebarkan oleh Sjeh Siti Jenar paling bisa diterima masyarakat. Hal tersebut dikarenakan Islam Syi'ah punya laku batin yang hampir mirip dengan agama sebelumnya agar bisa mencapai tataran 'manunggaling kawula gusti', Islam Syiah merumuskan sebagai ana al haq, terjemahan harfiahnya saya adalah Tuhan. Syi'ah juga tidak melarang ziarah kubur, baik makam kerabat maupun para tokoh suci. Bahkan masyarakat Islam Syi'ah juga merayakan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husein secara besar-besaran dan makamnya dijadikan tempat ziarah.
Karena ada kesejajaran faham antara masyarakat Hindu-Jawa dan masyarakat Islam aliran Syi'ah, maka aliran inilah yang paling bisa diterima masyarakat Hindu-Jawa. Secara tidak sadar faham Islam aliran Syi'ah masih banyak mempengaruhi faham Islam yang ada saat ini sehingga upacara pemujaan arwah para leluhur, Nyadran dan ziarah kubur disertai nyekar masih mewarnai aktivitas ritual sebagian kaum muslim, bahkan ada juga yang menerjemahkan sebagai ritual keagamaan.
Sementara itu ada pemikiran lain terhadap Islam berkaitan dengan nyadran dan nyekar. Bersenyawanya ritus magis peninggalan peradaban alam pikir mistis tersebut merupakan strategi kebudayaan 'Wali Sanga' terutama Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Sunan Kalijaga yang berilmu batin setaraf resi tersebut memilih cara damai untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Strateginya menunjukkan kedalaman berfikirnya dan kematangan ilmunya yang sangat luar biasa. Agar masyarakat yang sudah lama memeluk salah satu agama tersebut dapat menerima ajaran agama Islam secara sukarela, Sunan Kalijaga memasukkan ajaran Islam melalui upacara-upacara ritual yang dilaksanakan masyarakat, termasuk upacara Srada.
Sunan Kalijaga mengemas upacara Sradha (Nyadran) dalam nuansa islami yang dijatuhkan setiap bulan Ruwah sebelum bulan Puasa. Kegiatan Nyadran bukan lagi untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi, tetapi lebih bersifat acara silaturahmi yang diisi kegiatan bersih-bersih makam, pesta dan pemanjatan doa sesuai ajaran agama Islam.
Sesaji dalam kenduri merupakan bahasa symbol. Ketan, kolak, dan apem yang menjadi makanan khas saat Nyadran memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotan), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem (afwam) sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam setiap upacara/slametan.
Nyadran, nyekar dan kenduri, termasuk penggunaan sesaji memang masih dibiarkan oleh Sunan Kalijaga, karena jika dilarang, jelas akan menimbulkan gejolak yang bisa berakhir dengan penolakan ajaran agama Islam. Hanya semangatnya yang digeser, bukan untuk memuja roh, apalagi meminta pertolongan, tetapi untuk berdzikir atau mengingat Allah dengan segala ciptaan-Nya dan sifat-sifat-Nya, terutama ingat akan kematian dan pertanggungjawabannya di hari akhir nanti. Sedangkan untuk arwah leluhur, dimintakan ampunan dan dikirim do'a melalui tahlil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan