Naskah Wangsakerta adalah naskah yang ditulis berdasarkan hasil gotrasawala (semacam seminar) yang diselenggarakan di Cirebon dan diikuti oleh para empu yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang diketuai oleh Pangeran Wangsakerta. Salah satu dari sekian banyak naskah Wangsakerta adalah Nagarakertabhumi I.5. Naskah yang masih menjadi polemik di kalangan sejarawan ini dijual oleh seseorang yang berasal dari Cirebon kepada Drs. Atja yang pada waktu itu masih menjabat sebagai kepala Museum Negeri Jawa Barat (Museum Sri Baduga).
Menurut keterangan yang tertulis di dalam naskah, Pustaka Nagarakretabhumi parwa (bagian) 1 sargah (buku) 5 dikarang atau disusun oleh Panembahan Tohpati, Pangeran Wangsakerta di Keraton Cirebon pada 14 paruh bulan gelap (kresnapaksa), masa catra 1619 Saka (1697 M). Naskah ini ditulis di atas kertas daluang, menggunakan aksara cacarakan, berbahasa Jawa-Cirebon, berbentuk prosa dan terdiri dari 142 halaman. NKB I.5 berukuran 28,5 x 37 cm, bagian yang ditulisi berukuran 16,5 x 26 cm. Naskah ini ditulis sebagaipanyangkep (pelengkap) dari naskah-naskah NKB sebelumnya.
Pustaka NKB baru ditemukan dengan bantuan masyarakat semenjak tahun 1974 secara bertahap dan berasal dari luar keraton.NKB I.5 diterima Museum Negeri Jawa Barat pada 30 Mei 1978 serta diterbitkan pada tahun 1986 dalam proyek Sundanologi (Pengkajian Kebudayaan Sunda) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Edi S. Ekadjati. Naskah ini diterjemahkan dan disunting oleh Drs. Atja dan Dr. Ayatrohaedi. Menurut mereka, ada keistimewaan yang dimiliki NKB, ukuran (fisik) naskahnya melebihi ukuran naskah-naskah Cirebon, bahkan naskah-naskah Sunda pada umumnya.NKB I.5 ditulis sebagai naskah Rajaparwawarnana atau bagian yang menguraikan raja-raja.Isi NaskahIsi dari NKB I.5 diantaranya adalah riwayat tewasnya orang-orang Sunda di Bubat; berdirinya Kerajaan Wilwatikta (Majapahit) dan urutan raja-raja yang berkuasa yang selanjutnya digantikan oleh Demak, Pajang dan Mataram; riwayat nenek moyang Raden Wijaya sampai Ken Arok; eksistensi kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara seperti Kediri, Singhasari, Galuh, Keling, Mataram, Sriwijaya, Tarumanagara dan Salakanagara beserta raja-raja yang berkuasa juga intrik dan konflik yang ada dalam kerajaan-kerajaan tersebut.
Pada bagian akhir, diuraikan mengenai sumber-sumber bacaan, seperti Pustaka Nagara Nusantara, Pararatwan Sunda Wamsatilaka, Serat Galuh I Bhumi Sagandhu, Serat Parahyangan, Serat Rajarsi Saunggalah, Serat Pasunda Bubat, Pustaka Raja-Raja Jawadwipa dan Pustaka Tarumarajya Parwawarnana.Keseragaman Historiografi TradisionalDalam historiografi tradisional Indonesia, terdapat beberapa keseragaman, diantaranya adalah genealogi, asal usul rajakula, legenda permulaan kerajaan, tendensi menjunjung tinggi rajakula, legenda pembuangan anak serta mythe Melayu-Polinesia. Sedangkan pada naskah NKB I.5 hanya terdapat keseragaman dalam genealogi, asal usul rajakula, tendensi menjunjung tinggi rajakula dan legenda permulaan kerajaan saja. Pada halaman 30-32 tercantum genealogi dari raja Wiwatikta pertama, yaitu Raden Wijaya. Isinya adalah sebagai berikut : Raden Wijaya atau Nararya Sanggramawijaya yaitu keturunan Ken Arok yang bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Ken Arok putra Ken Endok yang tinggal di Dukuh Pangkur, Ken Arok beristri Ken Dedes namanya, putra Mpu Purwa yang tinggal di Dukuh Panawijen. Selanjutnya Ken Arok menjadi akuwu Tumapel menggantikan Tunggul Ametung, suami Ken Dedes yang dibunuh oleh Ken Arok. Dari pernikahannya, Ken Arok dan Ken Dedes berputra empat orang, masing-masing ialah Mahisa Wongateleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rambi. Mahisa Wongateleng berputra Mahisa Cempaka. Mahisa Cempaka perputra wanita, Dyah Lembu Tal namanya.
Selanjutnya Dyah Lembu Tal berputra Raden Wijaya. Adapun istri Ken Arok yang kedua adalah Ken Umang. Dari pernikahannya, berputralah empat orang, masing-masing ialah Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola dan Dewi Rimbu. Adapun Ken Dedes sebelum menjadi istri Ken Arok, ia menjadi istri Akuwu Tunggul Ametung. Dari pernikahannya, berputra laki-laki seorang, Anusapati namanya. Anusapati berputra Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana. Lalu ia berputra Kertanegara namanya. Kertanegara berputra empat orang wanita, masing-masing ialah Sang Prameswari Tribhuwana, Mahadewi Narendraduhita, Sri Prajnyaparamita dan Dyah Gayatri. Keempatnya dijadikan idtri oleh Raden Wijaya. Asal muasalnya nenek moyang raja Wilwatikta adalah demikian. Adapun Hayam Wuruk adalah cucu dari Raden Wijaya dari istrinya yang lain adalah Sri Rajapatni.
Ia memiliki putra wanita yaitu Tribhuwanatunggadewi Wisnuwardhani yang menikah dengan Raden Caskreswara (Prabhu Kertawadhana). Mereka berputra Hayam Wuruk (Prabhu Rajasanegara) yang menjadi raja Wilwatikta pada saat Perang Bubat berlangsung. Keseragaman yang lain tertera pada halaman 94-95, mengenai asal usul rajakula. Isinya adalah sebagai berikut : demikianlah adalah ratu Jawa Barat yang pertama bernama Sang Dewawarman yang menjadi ratu pada tahun 52 Saka (130/31 M), asal negerinya ialah Negeri Bharata sebelah selatan. Mula-mula ia datang ke Jawa Barat bersama pengikutnya dengan tujuan berdagang barang hasil bumi. Kemudian (ia) menikah dengan seorang putri penghulu masyarakat di desa itu yang bernama Sang Aki Tirem, Sang Aki Luhurmulya.
Akhirnya diangkat jadi ratulah ia dengan gelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara menjadi raja pada tahun 52 Saka ( 130/31 M) hingga tahun 90 Saka (168/69 M). Adapun kerajaan Sang Dewawarman disebut Kerajaan Salakanagara dengan ibukotanya bernama Rajatapura, terletak di pinggir laut. Ia dianggap sebagai nenek moyang wangsa Dewawarman yang ada di Jawa Barat di bumi Pulau Jawa. Berikutnya adalah keseragaman dalam legenda asal mula kerajaan yang tercantum pada halaman 66-69. Isinya adalah sebagai berikut : Prabhu Dewa Singha dari Kerajaan Keling saling bermusuhan dengan Sang Prabhu Wirawairimathana dari Sanghyang Hujung Medini.
Pada waktu itu bumi dalam musim kemarau, tahun pengungsian besar Kerajaan Keling ke Jawa Timur. Masing-masing ada yang naik kereta, menunggang gajah, naik kuda, naik pedati dan berjalan kaki. Hutan, gunung, pedesaan telah mereka lalui. Kemudian mereka tiba di sebuah wilayah yang tanahnya subur dan tumbuh-tumbuhannya menghijau serta jernih airnya. Disitu dipandang sebagai tempat tinggal yang baik untuk dijadikan istana baru. Sejak itu berdirilah Kerajaan Keling baru di Jawa Timur di bumi Pulau Jawa. Adapun Sang Prahbu Dewa Singha menjadi raja mulai tahun 664 Saka (742/43 M). Terakhir, dicantumkan pula keseragaman dalam tendensi menjunjung tinggi rajakula yang terdapat pada halaman 14-18. Isinya adalah sebagai berikut : semua asal mula peristiwa tewasnya orang-orang Sunda di Bubat adalah akibat tindakan Sang Patih Mada yang tidak menaruh belas kasihan. Semua dibinasakan oleh kesatuan angkatan bersenjata Wilwatikta yang besar yang dipimpin oleh Patih Mada. Pekerti dan tindakan Sang Patih Mada tidak patut dan kejam, tidak ada rasa belas kasihan dan jahat, karena ia telah melakukan perbuatan tercela.
Keharuman serta kehormatannya sebagai pahlawan memudar. Semua keluarga, sanak saudara menyarankan supaya Patih Mada dihukum sebagai orang yang bersalah. Ia lalu mengembara dan bersembunyi di hutan dalam ketiadaan. Angkatan bersenjata Wilwatikta telah menjelajahi hutan, gunung, pantai, laut, candi dan biara. Mereka telah menyebar ke utara, barat, selatan dan timur tetapi tidak menemukannya. Beberapa tahun kemudian Sang Mahapatih Gajah Mada diampuni oleh Prabhu Hayam Wuruk serta kembali menjadi Patih Amangkubhumi Wilwatikta.Unsur HistoriografiKeempat keseragaman tersebut masuk ke dalam unsur sejarah karena memiliki tiga aspek, yaitu fungsional, spasial dan temporal. Sedangkan unsur sastra tercantum pada halaman 57-58, yang isinya adalah sebagai berikut : mengenai raja-raja di bumi Mataram di tanah Jawa, ada dua wangsa besar , yaitu wangsa Sanjaya dan wangsa Sailendra.
Begini asal mula riwayat nenek moyang wangsa Sanjaya. Sang Resiguru Sempakwaja tinggal di Galunggung wilayahnya. Ia beristrikan Pohaci Rababu namanya, seorang wanita yang sangat mempesona rupanya, bagaikan bulan paruh tanggal 14 paruh bulan terang. Demikian hal ihwal mengenai kecantikannya. Mengenai unsur mitos, sama sekali tidak tercantum dalam pustaka Nagarakertabhumi I.5 ini. Bila kita bandingkan (koroborasi) dengan naskah lain seperti Carita Parahyangan, Pararaton dan Kidung Sundayana maka akan terdapat beberapa persamaan isi/ cerita dari naskah-naskah tersebut.Nagarakertabhumi I.5Dua hal menarik dari naskah ini adalah kisah tentang Perang (Pasunda) Bubat, yaitu peperangan antara Kerajaan Sunda dan Kerajan Majapahit di lapangan Bubat serta kisah perselingkuhan Mandiminyak (Galuh) dengan Pohaci Rababu. Pertama, ternyata dalam naskah ini masalah tersebut telah diselesaikan. Dalam hal ini, pihak Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk telah menyatakan penyesalannya atas terjadinya peristiwa tersebut yang telah menewaskan Prabu Linggabhuwana dan Puteri Dyah Pitaloka.
Mereka menyampaikan permohonan maafnya serta berjanji tidak akan menggangu Kerajaan Sunda ; pihak Sunda telah menerima permohonan maaf tersebut dengan lapang dada, walaupun dengan perasaan sedih. Jadi, masalahnya telah selesai. Hal tersebut tercantum pada halaman 6-7, yang isinya sebagai berikut : Diriwayatkan bahwa dalam waktu sebulan setelah peristiwa tewasnya orang-orang Sunda di Bubat, maka Bhre Wilwatikta mengajukan permintaan maaf atas semua tingkah laku dan kejahatan yang telah diperbuat oleh angkatan bersenjata Wulwatikta yang menyebabkan wafatnya Prabhu Maharaja Sunda. Oleh sebab itu, dengan hati yang bersih Bhre Prabhu berjanji bahwa Wilwatikta tidak ingin meyerang negeri Sunda di bumi Jawa Barat tapi ingin saling membantu, saling bersahabat, masing-masing menjadi negara merdeka.
Agar tidak bermusuhan, Bhre Prabhu berjanji tidak ingin memberikan kesedihan dan keaiban untuk kedua kalinya kepada rakyat negeri Sunda.Kedua, mengenai kisah perselingkuhan Mandiminyak dengan Pohaci Rababu yang tercantum pada halaman 58-59. Isinya adalah sebagai berikut : mengenai raja-raja di bumi Mataram di tanah Jawa, ada dua wangsa besar , yaitu wangsa Sanjaya dan wangsa Sailendra. Begini asal mula riwayat nenek moyang wangsa Sanjaya. Sang Resiguru Sempakwaja tinggal di Galunggung wilayahnya. Ia beristrikan Pohaci Rababu namanya, seorang wanita yang sangat mempesona rupanya, bagaikan bulan penuh tanggal 14 paruh bulan terang. Demikian hal ihwal mengenai kecantikannya. Adik Sempakwaja ialah Prabhu Mandiminyak namanya, menjadi raja di Galuh di bumi Jawa Barat..
Pada waktu Sang Mandiminyak usianya remaja, ia dijadikan putera mahkota. Ia dengan Pohaci Rababu saling jatuh cinta. Oleh karena itu, Sang Mandiminyak dengan Rababu bersetubuh, karena keduanya telah benar-benar cinta dan tidak diketahui oleh suaminya. Kemudian Rababu mengandung lalu melahirkan seorang putera laki-laki, yaitu Sang Senna namanya. Sesungguhnya dari perkawinan Pohaci Rababu dengan Sempakwaja telah terlebih dahulu berputera dua orang laki-laki, diantaranya masing-masing ialah Sang Demunawan dan Sang Purbasora namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan