Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

Banten dan Helenisme

Oleh: Mufti Ali, Ph.D

Makalah ini mencoba mengulas respon reaktif dan akomodatif ulama Muslim sepanjang sejarah terhadap Helenisme, tradisi intelektual dan kultural (ilmu, seni dan budaya) yang berasal dari, dan terpengaruh oleh, peradaban Yunani. Di beberapa bagian dari makalah ini juga akan disoroti secara lebih spesifik respon para ulama Muslim terhadap salah satu elemen dari Helenisme, yaitu Aristotelianisme, tradisi intelektual yang dibangun di atas, dan terinspirasi oleh, karya-karya-karya Aristoteles (w. 322 SM). Membahas respon ulama terhadap salah satu warisan intelektual Yunani ini menarik untuk dilakukan karena akan memperlihatkan sikap kultural ulama Islam terhadap segala sesuatu yang bersifat 'asing, barat, dan Yunani.'


Merujuk kepada statemen Peters bahwa meskipun tradisi Aristotelianisme hanyalah bagian dari beberapa warisan Yunani, namun tak ada bagian lain dari warisan itu yang diteliti dan dilestarikan serta besarnya efek yang ditimbulkannya daripada tradisi Aristotelianisme.1 Salah satu yang dikenal dari Aristoteles adalah bahwa ia pembangun pertama prinsip-prinsip logika yang di dunia Arab dikenal dengan ilmu Mantik.

Bagian pertama makalah ini akan menyoroti Aristotelianisme sebagai sebuah tradisi keilmuan yang bersumber dari karya-karya Aristoteles. Bagian kedua merekam sejumlah argumen para ulama klasik penentang Aristotelianisme. Bagian ketiga mendiskusikan berbagai cara menahan inflitrasi Helenisme. Pada bagian keempat didiskusikan tema tentang sikap kultural ulama klasik terhadap Aristotelianisme. Pada bagian kelima didiskusikan sekilas sikap ulama al-Azhar (1500-1900) terhadap logika Aristotelianisme. Bagian keenam menyoroti reformasi pendidikan al-Azhar oleh Muhammad Abduh, seorang yang akomodatif dengan Helenisme. Di bagian akhir makalah akan disoroti tema Banten dan Helenisme: kontak dan konflik.

1. Aristotelianisme Sebagai Sebuah Tradisi Keilmuan yang Bersumber dari Karya-karya Aristoteles

Menurut Peters, Aristotelianisme adalah sebuah tradisi intelektual yang dibangun dengan merujuk kepada karya-karya Aristoteles. Tradisi ini tidak hanya melahirkan sejumlah literatur yang ditulis untuk meringkas, menafsirkan, menginterpretasikan gagasan-gagasan Aristoteles, tetapi juga semua literatur yang merujuk kepada, dan dipengaruhi oleh, karya-karya yang menafsirkan dan meringkas karya-karya Aristoteles.2

Sebagai sebuah tradisi intelektual, Aristotelianisme menyebar ke berbagai penjuru dunia seiring dengan pertemuan peradabaan Yunani dengan peradabaan besar lainnya. Pertemuan ini kemudian melahirkan tradisi Helenisme yang menurut Peters memiliki dua arah: Helenisme arah Barat dan Henelisme arah Timur.

Helenisme arah Barat, menurut Peters, melahirkan sejumlah intelektual seperti Ennius, Vergil, Horace, Quintillian, Cassiodorus, Alcuin, John of Salisbury, Dante, Petrarch, Scaliger, Bentley, Jowett dan Jebb. Sementara Helenisme arah Timur, mempengaruhi sejumlah nama: Clement, Origen, Basil, Nemesius, John Philoponus, Sergius of Rish'ayna, Ibn al-Bitr?q, al-Kindi, Hunayn b. Ish?q, al-F?rab?, Ibn Sina dan Ibn Rushd.3

Penyebaran Helenisme ke dunia Islam paralel dengan penerjemahan tidak hanya karya-karya Aristoteles tetapi pseudepigraphs, komentar, pengantar, antologi, karya ringkasan (epitomes) dan catatan pinggir (glosses) terhadap karya-karya Aristoteles tersebut ke dalam bahasa Arab. Pengaruh gerakan penterjemahan ini membuka jalan kepada munculnya, apa yang disebut Nurcholis Madjid dengan teologi skolastik (kal?m), Aristotelianisme Islam dan Neo-platonisme (falsafa) di Dunia Islam.4

Tradisi Aristotelianisme yang diterima bangsa Arab adalah tradisi yang sudah mengalami 'pembentukan' selama lima abad di tangan para intelektual Yunani generasi setelah Aristoteles dan selama dua abad di tangan kaum intelektual Syria Kristen yang kemudian menjadi penerjemah karya-karya Aristoteles untuk bangsa Arab.5

Ketika Aristotelianisme masuk dunia Islam, ia memasuki era apa yang disebut Laughlin, sebagai 'Arabic Moment of Aristotelianism,' yang merentang lebih dari 4oo tahun. Dalam masa ini, muncul sejumlah ilmuwan Muslim yang menerjemahkan, memberikan komentar terhadap karya-karya Aristoteles.

Salah satu ilmuwan muslim yang paling gencar mempromosikan karya-karya Aristoteles ke Dunia Islam adalah Ibn Sina. Promosi Ibn Sina terefleksi misalnya dalam salah satu dari dua karya utama Ibn Sina, Kitab Shifa al-Nufus di samping al-Qanun fi al-Tibb, dua karya yang menempatkannya pada posisi 'guru' dalam bidang kedokteran, ilmu alam dan filsafat.6 Menurut YÁsÐn, karya ini ditulis oleh Ibn Sina karena (1) dorongan murid-muridnya yang memintanya untuk menulis sebuah ensiklopedia komprehensif dalam bidang filsafat, (2) keperluannya untuk membangun argumen yang digunakanan dalam debat intelektual yang dilakukannya terhadap lawan-lawannya; dan (3) kecenderungan dan kesungguhannya terlibat dalam studi ilmu-ilmu Yunani.7

Posisi Ibn Sina terhadap Aristotelianisme terefleksi dalam berbagai fakta. Pertama, dalam berbagai karyanya, Ibn Sina, misalnya, memberikan berbagai sebutan penghormatan dan pengakuan akan otoritas keilmuwan kepada Aristoteles. Dalam beberapa karyanya Ibn Sina merujuk kepada Aristoteles sebagai 'Guru Pertama' (al-mu'allim al-awwal) dan kepada karya-karya Aristoteles sebagai 'Pengajaran Pertama' (al-ta'lim al-awwal). Dalam karya lainnya, Ibn Sina menyebut Aristoteles sebagai 'Pemimpin yang bijak, Pemandu dan Guru para filosuf.'8

Kedua, Ibn Sina menyebut sebagian karya-karyanya sebagai komentar, interpretasi dan ringkasan terhadap karya-karya Aristoteles. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapannya berikut ini: “Orang yang pertama kali membangun ilmu logika adalah Aristoteles, seorang filosuf Yunani. Kita telah menulis banyak buku untuk memberikan sharah yang sangat mendetail dalam disiplin ilmu logika, dan kita juga telah menulis sejumlah ringkasan dan kompilasi tulisan (jawami' wa-mukhtasarat)…”9

Karena 'jasa-jasa'nya tersebut, tidak hanya membuatnya dijuluki 'the most effective promoter of Greek philosophy and Aristotle's work on logic,'10 tetapi mengantarkan kepada seperti yang diungkapkan Peters bahwa meskipun tradisi Aristotelianisme hanyalah bagian dari beberapa warisan Yunani, namun tak ada bagian lain dari warisan itu yang diteliti dan dilestarikan serta besarnya efek yang ditimbulkannya daripada tradisi Aristotelianisme.11

B. Argumen Para Penentang Aristotelianisme

Berikut ini argumen para sarjana penentang logika Aristoteles yang penulis urutkan secara kronologis:

1. Al-Shafi'i (w. 203/820)

Al-Shafi'i, peletak dasar mazhab shafi'i, dikenal sebagai pembaharu Islam abad ke-2 Hijriah dan penulis kitÁb al-Risalah yang menempati posisi istimewa karena karya ini dianggap meletakkan dasar-dasar deduksi hukum dalam metodologi hukum Islam (usul al-fiqh).12 Posisi al-Shafi'i dalam konteks oposisi terhadap logika Aristoteles penting karena ia dianggap penyusun manifes kebudayaan yang berisi credo anti Logika Aristoteles dan, dalam tahap tertentu anti khazanah intelektual Yunani, karena baginya bahasa Arab jika dipelajari dengan seksama akan menjadi sumber pencerahan intelektual kaum Muslim karena bahasa tersebut adalah bahasa al-Qur'an dan al-Sunnah, sumber otoritas tertinggi Umat Islam.

Kritik al-Shafi'i terhadap logika yang paling sering dikutip oleh para pengikutnya adalah ungkapan bahwa kebodohan umat dan diskusi kontroversial di antara mereka hanyalah disebabkan oleh karena mereka tidak mendalami bahasa Arab dan karena kecenderungan mereka untuk mempelajari bahasa Aristoteles.13 Menurut al-Shafi'i, kelalaian umat untuk mempelajari bahasa Arab dan kecenderungan mereka kepada bahasa Aristoteles menyebabkan munculnya perdebatan teologis tentang diciptakannya al-Qur'an, penolakan terhadap kemungkinan manusia melihat Tuhan, dan berbagai macam bentuk bid'ah lainnya.14

Al-Shafi'i juga berpendapat bahwa umat manusia tidak boleh menginterpretasikan teks-teks berbahasa Arab menurut bahasa orang-orang Yunani (the Greeks) dan menurut logika Aristoteles yang memiliki sistem bahasa dan logika yang berbeda dengan sistem bahasa Arab. Menurut al-Shafi'i, al-Qur'an dan al-Sunnah memakai terminologi bangsa Arab dan berdasarkan daya nalar mereka, bukan terminologi bangsa Yunani.15

2. Al-Shaykh Nasr al-Maqdisi (w. 490/1098)

Menurut al-Subki, Nasr ibn Ibrahim ibn Nasr ibn Ibrahim ibn Dawud al-Maqdisi adalah seorang tokoh shafi'i terkenal yang telah menulis sejumlah karya, antara lain al-Intikhab al-Dimashqi (10 vols.), al-Hujja 'ala Tariki-l-Mahajja, al-Tahdhib, al-Maqsud, al-Kafi, Sharhu-l-Ishara. Ia belajar sejumlah ilmu-ilmu Islam tradisional, fikih, nahwu, 'ulumu-l-qur'an kepada para ulama terkenal seperti 'Abd al-Rahman ibn al-Tubayz, 'Ali ibn al-Simsar, Muhammad ibn 'Auf al-Mizzi and Ibn Salwan.16

Al-Makdisi tidak langsung mengkritik logika Aristoteles, tetapi mencerca kontek budaya yang menyebabkan logika Aristoteles masuk ke dunia Islam. Ia mencerca Yahya ibn Khalid al-Barmaki, menteri masa Harun al-Rashid, yang bertanggung jawab mengimpor buku-buku Yunani dari Bizantium ke Dunia Islam. Kritik al-Makdisi tersebut bisa dibaca dalam sebuah narasi sejarah yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad 'Abd Allah ibn al-Walid ibn Sa'd al-Ansari dari Abu Muhammad 'Abd Allah ibn Abi Zayd, seorang ahli fikih Maliki di Qayrawan.17

Narasi al-Maqdisi dalam karyanya, al-Hujja 'ala Tariki-l-Mahajja (Argumen untuk orang yang Meninggalkan the Mahajja (Jalan Yang Terbukti Kebenarannya, viz. al-Qur'an dan al-Sunnah)) direkam oleh al-Suyuti dalam Sawn al-Mantiq.

Menurut al-Suyuti, al-Makdisi menuturkan bahwa “belum pernah ada seorang khalifah pada dinasti Bani Umayyah yang memperkenalkan bid'a dalam Islam. Sebagian besar gubernur dan pejabat pada dinasti Bani Umayyah adalah bangsa Arab. Namun ketika kekhalifahan jatuh ketangan dinasti Bani Abbasiah, para pejabat dinasti ini sebagian besar berasal dari bangsa Persia. Dalam hati sebagian para pejabat ini tersimpan kekufuran dan kebencian terhadap bangsa Arab dan dinasti Islam. Mereka membuat inovasi yang sangat berbahaya kepada ajaran Islam.

Inovasi (bid'a) pertama yang mereka lakukan adalah mengimpor buku-buku Yunani ke Dunia Islam. Mereka menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Arab. Akhirnya buku-buku tersebut tersebar di kalangan orang Islam. Orang yang bertanggung jawab dalam pengimporan

buku tersebut dari Bizantium ke Dunia Islam adalah Yahya b. Khalid ibn Barmak.18
Terdapat banyak buku-buku Yunani di Bizantium. Raja Bizantium khawatir bahwa jika orang-orang Bizantium mempelajari buku-buku Yunani, mereka akan meninggalkan ajaran Kristen dan memeluk ajaran agama bangsa Yunani. Karena buku-buku itu, orang-orang Bizantium mulai berselisih pendapat sehingga mengancam keutuhan mereka. Karenanya, Raja Bizantium mengumpulkan buku-buku Yunani tersebut di sebuah tempat yang dibangun di atasnya sebuah bangunan yang ditutup batu-batu dan gipsum. Ini dimaksudkan agar tak seorangpun bisa masuk ke dalamnya.

Ketika komando dinasti Bani Abbasiah jatuh ke tangan Yahya ibn Khalid, seorang ateis, ia mendapatkan khabar tentang buku-buku Yunani yang disimpan di sebuah bangunan di Bizantium. [Untuk mendapatkan buku-buku itu], ia menyuap Raja Bizantium dengan hadiah-hadiah tanpa meminta balasan apapun. Ketika ia mengirimkan banyak hadiah, Raja Bizantium mengumpulkan para uskupnya dan berkata kepada mereka: Tuan ini, seorang utusan Arab, telah memberiku banyak hadiah tanpa meminta apapun sebagai balasan. Namun saya yakin bahwa ia menginginkan sesuatu. Saya khawatir bahwa permintaannya akan membawaku kepada kesulitan. Kemudian, ketika utusan YaÎyÁ datang kepada Raja Bizantium, ia ditanya: Beritahukan kepada tuanmu, jika ia memiliki sebuah permintaan, katakan kepadaku.

Ketika seorang utusan itu datang kepada Yahya, Yahya berkata kepadanya: Yang saya butuhkan adalah bahwa buku-buku yang disimpan di bawah bangunan itu harus dikirimkan kepadaku. Saya akan mengambil sebagian buku-buku yang kuperlukan. Ketika Raja Bizantium membaca surat Yahya, ia berdansa kegirangan. Lalu ia mengumpulkan semua uskup dan pendeta dan berkata: Telah saya jelaskan bahwa utusan YaÎyÁ ternyata memang memiliki sebuah permintaan yang menurutku remeh. Saya memiliki sebuah gagasan. Semoga akan kalian dengarkan. Jika kalian setuju, akan saya putuskan. Namun jika kalian memiliki gagasan yang berbeda, akan kita musyawarahkan bersama-sama, sampai mencapai kesepakatan. Para uskup dan pendeta bertanya kepada Raja: Bagaimana jika ia [viz. utusan Yahya] menginginkan buku-buku Yunani. Ia akan mengambil buku-buku yang mereka sukai dan mengembalikan sebagian buku-buku yang tidak mereka sukai. Para uskup bertanya kepada Raja: Apa pendapatmu? Ia menjawab: Saya memahami bahwa leluhur kita membuat bangunan karena ia takut jikalau buku-buku tersebut dibaca oleh orang-orang Kristen, mereka akan menyebabkan kerusakan kepada ajaran Kristen dan menghancurkan kesatuan mereka. Karenanya saya memutuskan untuk mengirimkan buku-buku itu kepada Yahya dan memintanya untuk tidak mengembalikan dengan maksud agar mereka terkontaminasi oleh buku-buku tersebut dan kita selamat dari bahayanya.

Keputusan ini saya ambil, karena saya takut bahwa seseorang setelah saya akan berani menyebarkan buku-buku tersebut kepada rakyat Bizantium, sehingga umat Kristen jatuh ke dalam kondisi yang menakutkan mereka. Kemudian para uskup dan pendeta menimpali: Ya, kami setuju wahai Raja! Laksanakan keputusanmu!

Karenanya ia mengirimkan semua buku-buku Yunani itu kepada Yahya ibn Khalid. Ketika buku-buku itu sampai di tangannya, ia mengumpulkan semua ahli filsafat dan kaum zindiq. Ketika ia membuka sebuah buku berjudul Hadd al-Mantiq [definisi logika karya Aristoteles], Abu Muhammad ibn Abi Zayd berkata: Sedikit sekali orang yang telah membaca buku ini selamat dari perbuatan zindik. Kemudian Yahya mengorganisir diskusi dan perdebatan di rumahnya untuk membahas tema-tema yang tidak perlu (fima la yanbagi). Setiap pemeluk agama mengungkapkan kepercayaan agamanya dan mendiskusikannya, sementara keselamatan [pribadinya] dijamin.

Akhir cerita, bisa saya jelaskan bahwa peristiwa ini terjadi pada masa kekhalifahan al-Rashid,19 dan Yahya al-Barmaki adalah salah seorang menterinya. Saat hidupnya, al-Barmaki dipecat dari jabatannya. Ia dibunuh pada tahun 187 [H].”20

3. Al-Nasir li-l-Din Allah (w. 623/1225) dan al-Suhrawardi (w. 632/1234)

Aristotelianisme juga menjadi obyek oposisi dari Khalifah Abbasiah ke-34 yang dikenal sebagai seorang mujtahid dan ahli hadis, al-Nasr li-l-Din Allah (w. 620/1225) yang berkeyakinan bahwa disintegrasi internal umat Islam disebabkan oleh para filosuf dan para pengikutnya,21 dan dari seorang hakim agung yang diangkatnya, Abu Hafs 'Umar al-Suhrawardi al-Shafi'i (w. 632/1234), 'salah seorang ahli sufi Sunni Islam paling penting, yang dikenal karena kecamannya kepada Panteis Ibn 'Arabi karena ia mengkaitkan hubungan antara tasawwuf dan berbagai element filsafat Yunani.' Menurut Hartmann, al-SuhrawardÐ menulis satu karya polemis, Rashfu-l-Nasa'ih al-Imaniyya wa Kashfu-l-Fadaih al-Yunaniyya, 'untuk menolak argumen apologetik dialektika teologi (kalÁm), falsafah Islam dan sumber Yunaninya.'22

Oposisi al-Nasir terhadap Aristotelianisme terlihat dalam fakta bahwa ia memerintahkan pembakaran sejumlah perpustakaan yang mengoleksi buku-buku, antara lain, karangan Ibn Sina. Menurut Hartmann, perpustakaan Ruknu-l-Din ibn 'Abd al-Wahhab ibn 'Abd al-Qadir al-Jili, keponakan seorang ulama Hanbali terkenal 'Abd al-Qadir al-Jili dan anak seorang ahli fikih 'Abd al-Wahab, dibakar, karena didalamnya ditemukan buku-buku karangan Ibn Sina, i.e., Kitab al-Shifa', Kitab al-Najat, Ensiklopaedia Ikhwan al-Safa',23 sejumlah Karya filsafat, logika, astronomi, Niranjiyat24 dan risalah tuntunan menyembah bintang.25 Sementara oposisi Abu Hafs 'Umar al-Suhrawardi (w. 632/1234) terhadap Aristotelianisme terefleksi tidak hanya dalam fakta bahwa ia menulis satu karya untuk 'menguliti' semua argumen ahli filsafat tetapi juga bahwa ia sendiri, atas persetujuan al-Nasir li-l-Din Allah (w. 623/1225), menenggelamkan 10 jilid Kitab al-Shifa' karya Ibn Sina: “saya sudah menyelupkan buku-buku itu (viz. Kitab al-Shifa') atas izin (tawfiq) Allah.”26

Buku-buku karya Ibn Sina tidak hanya dibakar pada masa al-Nasir li-l-Din Allah, tetapi juga pada masa Khalifah al-Mustanjid(w. 884/1479). Menurut Hartmann, buku-buku Ibn Sina dibakar bersama dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Safa'.27

4. Ibn al-Salah al-Shahrazuri (d. 643/1254)

Taqi al-Din Abu 'Amr 'Uthman ibn 'Abd al-Rahman al-Kurdi al-Shahrazuri adalah salah seorang mujtahid mazhab shafi'i yang lahir di Distrik Irbil dekat kota Shahrazur pada tahun 577/1181 dan meninggal di Damaskus pada tahun 643/1254. Ibn al-Salah dirujuk oleh salah seorang muridnya, yang kemudian menjadi penulis biografi terkenal, Ibn Khallikan, sebagai salah seorang yang paling terkenal keahliannya pada zamannya pada bidang tafsir, hadis, fikih dan filologi.28

Selain mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk belajar filsafat dan logika serta untuk menggunakan istilah-istilah filsafat seperti al-Hadd (definisi) dan al-burhan (demonstrasi),29 Ibn al-Salah juga mengeluarkan cercaan terhadap Ibn Sina dan mengharamkan umat Islam untuk membaca karya Aristotelian-nya, salah satunya Kitab al-Shifa'. Hal ini terlihat jelas, misalnya, dalam kitab fatwa-nya:

“Pertanyaan: Apakah satu kelompok Muslim yang dianggap sebagai ulama ahli fikih dan ahli tasawuf dibolehkan untuk membaca karya-karya Ibn Sina dan mempelajari isinya? Apakah karenanya, mereka masih bisa disebut sebagai ulama?”30

5. Ibn Taymiyya (w. 729/1329)

Tokoh yang dijuluki sebagai salah seorang penulis abad tengah yang memberikan pengaruh terbesar kepada dunia Islam kontemporer ini31 lahir di Harran pada tanggal 10 Rabi' al-Awwal 661/22 Januari 1263 dan meninggal di Damaskus pada tanggal 20 Zulka'da 728/26 September 1328.

Menurut Laoust, Ibn Taymiyya adalah seorang 'teolog bermazhab Hanbali' yang berupaya lewat karya-karya memformulasikan doktrin sintesis atau konsiliasi dari tiga doktrin para ahli teologi, hadis dan tasawuf. Upaya ini dilakukan oleh Ibn Taymiyya karena ia melihat kecenderungan bahwa para teolog mendasarkan argumennya melulu pada akal, sementara para ahli hadis mendasarkan diri pada hadis (naql), dan di sisi lain para ahli tasawuf mendasarkan secara ekslusif pada kehendak bebas (free will/irada). Upaya integrasi tradisi, akal dan free-will dalam sebuah doktrin yang dikonstruksi secara solid disebut oleh Laoust dengan upaya 'reformasi konservatif' Ibn Taymiyya. Upaya tersebut, demikian Laoust, mewujud dalam upaya Ibn Taymiyya memformulasikan kembali credo Islam, merehabilitasi ijtihad dan merekonstruksi kembali konsep negara.32

Kritik monumentalnya terhadap logika dituangkan dalam karyanya yang ia sebut Nasihat Ahli-l-Iman fi Radd 'ala Mantiqi-l-Yunan, lebih dikenal di Indonesia dengan al-Radd 'ala-l-Mantiqiyyin.33 Dalam karya tersebut, Ibn Taymiyya memberikan kritik epistemologis terhadap logika Aristoteles. Ia mendekonstruksi empat prinsip logika yang menyatakan bahwa (1) al-tasawwur la yunalu illa bi-l-hadd (konsep dibangun hanya dengan menggunakan definisi); (2) al-hadd mufid tasawwura-l-ashya' (definisi berguna untuk mengkonsepsikan sesuatu); (3) al-tasdiq la yunalu illa bi-l-qiyas (penilaian terbentuk hanya dengan menggunakan analogi); (4) al-burhan yufidu-l-'ilm bi-l-tasdiqat (silogisme berguna untuk mengetahui penilaian).34

Dalam al-Radd 'ala-l-Mantiqiyyin, Ibn Taymiyya tidak hanya menguraikan kelemahan setiap prinsip logika Aristoteles, kekufuran bangsa Yunani tempat di mana logika Aristoteles diformulasikan, tetapi juga mencerca al-Ma'mun, seorang khalifah yang mengeluarkan kebijakan resmi dalam penerjemahan karya-karya orang Yunani ke dalam bahasa Arab. Cercaan Ibn Taymiyya tersebut terekam dalam Sawn al-Mantiq karya al-Suyuti: “Saya kira Allah tidak akan mengampuni dosa dari apa yang telah dilakukan al-Ma'mun kepada rakyatnya, yaitu bahwa ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu filsafat kepada masyarakatnya.”35

Ibn Taymiyya juga memberikan penilaian stereotifikal tentang bangsa Yunani. Menurutnya bangsa Yunani adalah bangsa kafir penyembah planet dan berhala. Mereka lebih buruk daripada bangsa Yahudi dan pemeluk agama Kristen yang telah mengubah ajaran [asli] mereka.36 Namun kritik stereotifikal paling tajam terhadap Aristotelianisme terlihat jelas dalam satu bait sairnya yang dikutip al-Suyuti:

“Jika anda diajak untuk ikut dalam satu urusan oleh seorang yang jahat # janganlah anda merasa malu atau terhina”

“Aristoteles dan anjing pemangsa sama saja dalam sifat dan prilakunya sebagai binatang.”37

6. Zayn al-Din al-Subki (w. 735/1335)

Zayn al-Din al-Subki adalah seorang yang dijuluki sebagai aqda-l-qudat, seorang hakim yang paling punya kualifikasi. Ia adalah kakek seorang penulis biografi abad tengah terkenal, Taj al-Din al-Subki dan anggota salah satu klan abad tengah termashur di Mesir dan Suriah, al-Subki serta ayah dari seorang anak yang menjadi shaykh al-IslÁm di Damaskus, Taqi al-Din al-Subki.38 Klan ini dikenal pengusung fanatis mazhab ShafiÝÐ dan pelaku upaya rekonsiliasi mazhab shafi'i dengan mazhab teologi ash'ari. Karena upaya terakhir, mazhab ini mendapat resistensi kuat dari kalangan penganut mazhab Hanbali yang antrofomorfis, termasuk dari Ibn Taymiyya.

Kritik al-Subki terhadap logika direkam dalam bait-bait puisi. Dalam puisi tersebut, al-Subki mewanti-wanti Muslim akan bahaya yang ditimbulkan karena membaca Kitab al-Shifa' karya Ibn Sina dan identifikasi al-Subki kepada para pengikut Ibn Sina sebagai pengikut agama Aristoteles. Puisi beliau direkam oleh cucunya, Taj al-Din al-Subki (w. 771/1370) dalam karyanya, Tabaqat al-Shafi'iyya:

“Kita putuskan hubungan persahabatan # dengan mereka yang terinfeksi penyakit yang ditimbulkan oleh Kitab al-Shifa'.

Mereka meninggal sebagai pemeluk agama Aristoteles, # Sementara kita meninggal sebagai pemeluk agama Muhammad.”39

7. Ibn al-Wazir al-San'ani (w. 840/1436)

Al-San'ani adalah seorang mujtahid Shi'ah Zaidiyyah mashur dari Yaman. Popularitasnya terefleksi dalam fakta bahwa biografinya ditulis secara ektensif oleh sejumlah penulis biografis terkenal: al-Qadi al-Hafiz AÎmad ibn Salih ibn Abi al-Rizal dalam Matali' al-Budur, al-Sayyid al-Hafiz Ibrahim ibn al-Qasim ibn. al-Muayyid al-Hasani al-Shuhara dalam Ruwwatu-l-Fiqh wa-l-Athar, al-Sakhawi dalam al-Daw' al-Lami', Taqi al-Din ibn Fahd dalam Mu'jam dan al-Hafiz Ibn Hajar al-'Asqalani (dalam al-Durar al-Kamina).40 Karenanya masuk akal bila al-San'ani mendapat julukan al-Imam al-Kabir al-Mujtahid al-Mutlaq dari al-Shawkani.41

Menurut Madelung, Ibn al-Wazir bahkan dianggap telah membangun mazhabnya sendiri. Ke dalam mazhab ini berafilisasi sejumlah tokoh dan penulis produktif Salih ibn Mahdi al-Maqbali (w. 1108/1696), Muhammad ibn Isma'il al-Amir (w. 1182/1768), and Muhammad ibn 'Ali al-Shawkani (w. 1250/1834).42

Peran yang paling menonjol dari al-San'ani sebagai seorang ahli fikih zaidiyyah kenamaan di Yaman adalah bahwa ia telah berperan memoderatkan ajaran-ajaran Shi'ah zaidiah sehingga bisa diterima oleh kalangan Sunni yang merupakan sekte yang pengikutnya penduduk mayoritas Yaman. Ia misalnya mengarang satu karya yang terdiri dari beberapa jilid, al-'Awasim wa-l-Qawasim untuk membela doktrin-doktrin Sunni dan mengkritik ajaran-ajaran zaidiah yang bertentangan dengan doktrin Sunni tersebut.43 Di samping itu, Ibn al-Wazir al-San'ani juga merujuk kepada koleksi hadis Sunni sebagai sebuah otoritas sumber hukum. Upaya dalam mendukung doktrin-doktrin mazhab neo-Sunni di Yaman memang bertujuan untuk mengakomodasi sentimen dan pandangan keagamaan mayoritas penduduk Yaman yang Sunni tetapi di bawah kontrol pemerintahan imamah zaydiah. Menurut Madelung, karena upayanya ini, maka pemerintahan imamah zaidiah di Yaman dapat bercokol selama berabad-abad sampai tahun 1382/1962.44

Kritik al-San'ani terhadap logika bisa dipahami secara eksplisit dalam karya Tarjih Asalibi-l-Qur'an 'ala Asalibi-l-Yunan45 (Memprioritaskan Prinsip-prinsip yang Dideduksi dari al-Qur'an di atas Prinsip-prinsip yang dideduksi dari Ilmu-ilmu Yunani). Al-SanÝÁnÐ, misalnya, menyatakan bahwa untuk mengetahui Tuhan, kita tidak harus mendasarkan diri pada premis-premis logika dan prinsip-prinsip rasional. Menurut al-San'ani, al-Hudhud mengakui ke-Esa-an Tuhan dan mengakui kebenaran kepercayaannya berdasarkan kepada keberadaan hujan dan tanaman yang keduanya selalu dibutuhkan hewan, al-Hudhud tidak membaca logika.46 Al-Hudhud, lebih lanjut, mengklaim bahwa, para ilmuwan terkenal Muslim dan amir al-mu'minin sama sekali tidak menggunakan premis-premis logika dan prinsip-prinsip para teolog.47

Oposisi Ibn al-Wazir al-San'ani terhadap logika terefleksi dalam anjurannya bahwa mencari ilmu agama dibolehkan meskipun harus pergi ke negeri Cina. Sebaliknya, mencari ilmu-ilmu rasional, termasuk logika, sama sekali diharamkan.48 Al-San'ani juga menganggap rendah para ahli logika. Menurutnya, para ahli logika tidak bisa dikategorikan sebagai ulama yang ahli di bidangnya, karena mereka tidak mampu melakukan apapun ketika berbicara mengenai masalah prinsip-prinsip agama.49

Menariknya, al-San'ani juga mengolok-olok Fakhr al-Din al-Razi (w. 604/1209), seorang penulis karya ensiklopedis filsafat abad ke-13, al-Mabahith al-Mashriqiyya, karya yang banyak dipengaruhi Kitab al-Shifa' karya Ibn Sina. Olok-olok al-San'ani tersebut tercermin ketika ia menceritakan kedatangan al-Shaykh 'Abd al-Qadir al-Jaylani ke kota Ray untuk mengunjungi para pengikut tasawufnya. Menurut al-San'ani, al-Jaylani dan para pengikutnya duduk di tempat terhormat. Para pengunjung menjambangi al-Jaylani untuk mendapat berkahnya. Ketika al-Razi menemui al-Jaylani, yang disebut terakhir tidak memberi tempat duduk terhormat kepada al-Razi, tidak seperti kepada tamu-tamu lainnya dan tidak memujinya di hadapan para pengikutnya.50

C. Menahan Infiltrasi Helenisme dalam Sejarah Islam

Ketika meneliti sejarah oposisi sarjana Muslim abad tengah terhadap logika (filsafat) dan teologi Yunani, penulis mendapatkan dua ahli sejarah (kurikulum) Pendidikan Islam, G. Makdisi dan Sonia Brentjes, menyatakan bahwa berbagai cara dilakukan oleh kaum Muslim untuk menahan laju infiltrasi kebudayaan helenisme (baca: Yunani) yang akan 'mengkontaminasi' ajaran Islam (ortodoksi).

Pertama, pembentukan mazhab-mazhab (hukum) pada abad ke II/VIII; Kedua, dibangunnya lembaga, yang disebutnya dengan mosque-inn, masjid berasrama, untuk studi hukum pada abad ke-III/IX dan ke-IV/X. Ketiga, pembangunan madrasah pada abad ke IV/X dan ke-V/XI. Keempat pembangunan berbagai lembaga yang bertujuan mempertahankan ortodoksi, seperti dar al-hadis pada abad ke-VI/XII.51

Brentjes menambahkan empat cara lain untuk menahan laju infiltrasi gelombang helenisme tersebut. Keempat cara tersebut menurut Brentjes adalah: Pertama, dibuat dikotomisasi antara ilmu-ilmu rasional (Yunani) dan ilmu-ilmu agama; Kedua, memarjinalkan relevansi ilmu-ilmu Yunani; ketiga, penetapan konsep bidah dan pengharaman melakukannya, sambil menegaskan pentingnya praktek sosial keagamaan yang dilandaskan atas ajaran-ajaran yang ortodok dan keempat, digesernya peran filsafat dengan kanun Islam sebagai sarana penyelamatan.'52

D. Aristotelianisme dan Sikap Kultural Ulama Muslim

Pertemuan peradaban Islam dan Helenisme lewat proses penerjemahan karya-karya Yunani sejak masa Yazid ibn Khalid al-Barmaki (viz. menteri masa khalifah Harun al-Rashid) dan kemudian melalui kebijakan politik eksplisit al-Ma'mun menumbuhkembangkan setidaknya dua sikap kebudayaan di kalangan umat Islam: Sikap oposisi dan sikap akomodatif

1. Sikap Oposisi

Sikap oposisi terhadap kebudayaan 'asing' ini menurut Von Grunebaum berasal dari keyakinan bahwa khazanah intelektual Islam sudah mencukupkan setiap kebutuhan intelektual umat Islam. Karenanya mereka tidak membutuhkan epistemologi yang dipinjam dan digali dari 'khazanah (intelektual) asing.'

Sikap ini tercermin misalnya dalam sebuah 'credo' yang sering dirujuk oleh para penganut mazhab Shafi'i penentang ilmu-ilmu 'asing.' Dalam credo tersebut dinyatakan bahwa kebodohan umat dan diskusi kontroversial di antara mereka hanyalah disebabkan oleh karena mereka tidak mendalami bahasa Arab dan karena kecenderungan mereka untuk mempelajari bahasa Aristoteles.53

Credo ini diformulasi pertama kali oleh al-ShafiÝi (w. 203/820), kemudian ditransmisikan dan dikonservasi oleh para ulama terkenal yang memiliki sikap sejalan dengan al-ShafiÝi kepada ilmu-ilmu Yunani. Untuk menyebut beberapa, credo ini dikutip oleh al-HarawÐ (w. 481/1088) dalam karya yang ia tulis untuk mengkritik teologi dan ahli teologi, Dhamm 'ilmi-l-Kalam,54 al-NawawÐ (w. 676/1277) dalam ÓabaqÁt al-Fuqaha,55 Qadi al-Muslimin al-Hafz 'lzz al-Din 'Abd al-'Aziz ibn Qadi al-Qudat Badr al-Din ibn Jama'a (w. 767/1366) dalam Tadhkira, dan oleh al-Suyuti (w. 909/1505) dalam karya yang ia tulis untuk menghantam logika Aristoteles dan Teologi, Sawn al-Mantiq wa 'l-Kalam.56

Sikap oposisi terhadap Aristotelianisme bisa diidentifikasi ke dalam dua sikap: Sikap oposisi pasif dan kritis. Sikap oposisi pasif direpresentasikan misalnya oleh para ulama yang menentang secara apriori semua elemen Aristotelianisme, tanpa terlebih dahulu meneliti dan menguji tesis-tesis dari tradisi Aristotelianisme tersebut apakah bertentangan dengan credo Islam atau tidak.

Ke dalam tipologi ini bisa disebut misalnya Ibn al-Salah al-Shahrazuri (w. 643/1254), Abu Nasr al-Qushayri (w. 469/1077), Ibn al-Qayyim al-Jawziyya (w. 751/1351), dan al-Nawawi al-Dimashqi (w. 676/1277). Para ulama yang beroposisi secara kritis kepada Aristotelianisme misalnya Abu Sa'id al-Sirafi (w. 368/979) seperti tercermin dalam perdebatan sengitnya menyangkut keabsahan status logika Aristoteles sebagai sarana untuk mencari kebenaran diperbandingkan dengan logika yang diderivasi dari Bahasa Arab.57 Ibn Taymiyya seperti tercermin dalam Nasihat Ahli-l-Iman fi Radd 'ala Mantiqi-l-Yunan (judul alternatifnya: al-Radd 'ala-l-Mantiqiyyin), dan Abu al-Naja al-Farid dalam karyanya Kasr al-Mantiq.58

2. Sikap Akomodatif

Sikap ini mengejawantah dalam bentuk menerima dan mengakomodasi Aristotelianisme sebagai satu epistemologi untuk mencari pengetahuan yang pasti. Sebanding dengan kelompok yang memiliki sikap oposisi terhadap Aristotelianisme, kelompok yang menerima dan menggunakan Aristotelianisme juga bisa dibedakan menjadi dua kelompok sikap: sikap akomodasi pasif dan kritis.

Sikap akomodasi pasif terhadap Aristotelianisme bisa diidentifikasi sebagai sikap menerima dan memakai semua elemen epistemologi yang diderivasi dari Logika Aristoteles. Kelompok ini menggunakan begitu saja semua prinsip-prinsip logika Aristoteles dan semua produk pemikiran yang dibangun di atas premis-premis logika Aristoteles.

Dalam menggunakan produk Aristotelianisme, sebagian ulama mengkritik dan bahkan memberikan penilaian terhadap epistemologi yang akan dipinjamnya dari Logika Aristoteles. Ulama kelompok ini sangat hati-hati dalam memakai epistemologi itu. Sejumlah ulama bisa diidentifikasi memiliki sikap seperti ini. Setelah mempelajari semua produk Aristotelianisme (falsafah, logika dan teologi diskursif), al-GazÁlÐ, misalnya, memilah-milah produk Aristotelianisme mana saja yang bebas nilai dan murni sebagai 'instrument of thought' dan mana produk Aristotelian yang tesis-tesisnya bisa membawa kekufuran dan ke-zindiq-an bagi Umat Islam.

Setelah melakukan penelitian mendalam, ia hanya mengadopsi Logika saja dan menolak filsafat. Sikap kritis ini tercermin dalam karyanya, Tahafut al-Falasifa yang ia buat untuk membeberkan tesis-tesis para filosuf yang bisa membawa Muslim kepada kekufuran. Dari 20 tesis kaum filosuf, tiga diantaranya: bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, menolak kebangkitan tubuh, dan keabadian alam, harus ditolak karena membawa kepada kekufuran dan tujuh di antaranya membawa Muslim kepada ke-zindiq-an.59

Sementara sikap akomodatifnya, dibuktikan dengan menggunakan logika Aristoteles sebagai sebuah organon (muqaddima) untuk mencari kebenaran ilmiah, seperti terlihat dalam kata pengantar bagi kitab usul al-fiqh-nya, al-Mustasyfa.

Sikap kritis terhadap produk Aristotelianisme tidak hanya ditunjukkan oleh al-GazÁlÐ, tetapi juga oleh seorang 'ahli fikih, teolog, filosuf dari al-Andalusia, salah seorang pemikir terbesar peradaban Arab-Muslim, pendiri mazhab ÛÁhiri,' Ibn Hazm (w. 456/1064).60 Sikap kritisnya tercermin dalam sejumlah fakta berikut ini:

Sikap kritis Ibn Hazm terhadap logika Aristoteles terlihat jelas misalnya ketika ia memahami perdebatan antara Abu Sa'id al-Sirafi, pengusung logika (bahasa) Arab, dan Matta ibn Yunus, pengusung logika Aristoteles. Menurutnya, al-Sirafi menolak logika Aristoteles karena logika tersebut berkaitan dengan bahasa Yunani dan tidak memberikan manfaat apapun bagi orang Arab. Dalam karya tersebut, Ibn Hazm juga menegaskan berkali-kali bahwa apa yang ia dapatkan dari Aristoteles adalah apa yang ia dapatkan juga dari bahasa-bahasa lainnya.

Benar fakta bahwa Ibn Hazm, seperti terlihat dalam karyanya, Kitab al-Taqrib meringkas dan memberi ulasan terhadap logika Aristoteles, tetapi haruslah diingat bahwa ia memahami logika tersebut bukanlah dalam spirit Aristoteles. Indikasinya adalah bahwa ia memberikan contoh-contoh dalam penjelasan logisnya dalam karya tersebut dengan mendeduksikannya dari al-Qur'an.

Dengan memahami logika Aristoteles, Ibn Hazm berusaha membangun sistem logika 'baru'. Sistem logika ini menetapkan bahwa meskipun akal mampu 'menetapkan' kebenaran, namun akal sebenarnya harus ditundukkan kepada ajaran Allah. Bagi Ibn Hazm, akal adalah pekerja (worker) bukan pengatur (ruler).

Sistem logika Ibn Hazm adalah sistem yang mampu menganalisa teks wahyu dan memahami esensi makna zahir wahyu tersebut tanpa mengurangi apresiasi kepada teks tersebut dengan cara menafsirkan apa yang Allah maksudkan dengan apa yang manusia ingin pahami. Karenanya, meskipun Ibn Hazm menguasai logika Aristoteles dan menguasai betul bagaimana cara menggunakan argumen-argumen logika Aristoteles tersebut untuk mematahkan argumen lawan-lawannya, namun ia memiliki kecenderungan untuk mengurangi peran penting dan jangkauan aplikasi prosedur logika yang dianggap sebagai instrumen akal independen.61

Sikap akomodasi kritis al-Gazali dan Ibn Hazm terhadap sebagian aspek dari Aristotelianisme, mengundang sikap oposisi dari sebagian ulama. Karena adopsi prinsip-prinsip logika Aristoteles yang al-Gazali lakukan dalam kitab usul fiqh-nya, al-Mustasyfa, menurut al-Nashshar, al-Gazali mendapat kritikan tajam dari sejumlah ulama: Abu Ishaq al-Marginani (d. 513/1119), al-Qushayri, al-Turtushi (d. 520/1127), al-Maziri, Ibn al-Salah (d. 643/1246) dan al-Nawawi (d.631/1238).62 Hal yang sama terjadi pada diri Ibn Hazm, beberapa karya logikanya dibakar oleh pengikut lawan-lawan polemiknya. 63
E. Sikap Ulama al-Azhar Mesir terhadap Adopsi al-Gazali terhadap, dan Oposisi Ibn Taymiyya kepada, Aristotelianisme (1500-1900): Jalan Tengah

Adopsi al-Gazali (w. 1111) dan oposisi Ibn Taymiyya (w. 1329) membuat rikuh para ulama al-Azhar berkenaan dengan status hukum ilmu mantiq (logika beranatomi logika Aristoteles dengan terminologi Arab). Pentolan mereka al-Akhdari menyusun buku standar pengajaran ilmu ini, al-Sullam al-Murawnaq fi Ilm al-Mantiq. Suara pro dan kontra terhadap disiplin ilmu ini terus bergaung di Suriah dan Mesir sampai menjelang awal abad ke-19.

Salah seorang rektor (shaykh) al-Azhar tahun 1846, al-Bajuri (w. 1860), akhirnya, berinisiatif mendamaikan kedua kubu ini dengan menyusun sebuah karya komentar terhadap al-Sullam al-Murawnaq karya al-Akhdari, Hashiya ala Sharh al-sullam al-Murawnaq al-Akhdari. Jalan tengah yang diambil Al-Bajuri mengemukakan bahwa logika Aristoteles yang diadopsi dan diadaptasi oleh Ulama Islam pada masa klasik mengalami fase transisional terutama pada abad ke 13, 14 dan 15 masehi.

Vis a vis logika Aristoteles dan unsur-unsur metafisik yang dikandungnya, ilmu Mantiq mengikuti dua tahap perkembangan: Pertama, ilmu Mantiq Mutaqaddimun, logika yang bercampur dengan ide-ide heretik para filosuf; logika ini murni Aristotelian dan karenanya umat Islam harus 'hati-hati'; dan kedua, ilmu mantiq Mutaakhkhirun, logika yang bersih dari ide-ide heretik dan karenanya perlu dipelajari.

Lewat karyanya ini al-Bajuri mengakhiri 'kerikuhan' sikap ulama al-Azhar yang berdiri di antara dua sisi sikap dua ulama besar yang sama-sama otoritasnya dihormati oleh mereka: sikap akomodatif al-Ghazali terhadap logika Aristotelesianisme vis a vis sikap oposisi Ibn Taymiyya terhadapnya.

Upaya untuk memberikan legitimasi posisi ulama al-Azhar terhadap logika Aristoteles di tengah-tengah dua posisi sikap al-Ghazali dan Ibn Taymiyya yang bersebrangan itu, dengan mengklasifikasikan mantiq menjadi dua tipe: mutaqaddimun dan mutaakhkhirun, sebenarnya sudah muncul sejak Shaykh (rektor) al-Azhar sebelumnya, yaitu Hasan al-Quwaysini (d. 1255/1839). Namun niat itu baru termanifestasi pada masa al-Bajuri dan terus menjadi concern ulama al-Azhar sampai akhir abad ke-19.64

Proyek 'pemberian legitimasi' ini dapat dikatakan berhasil. Oposisi ulama terhadap langkah Al-Ghazali mengadopsi logika Aristoteles dalam kitab usul al-fiqh-nya bisa di-moderat-kan. Logika menjadi bagian penting dalam kurikulum pengajaran ilmiah di madrasah-madrasah di dunia Islam. Akhirnya jumlah para pelajar logika Aristoteles menurut Khaled El-Rouayheb mencapai angka yang signifikan.65
F. Reformasi Kurikulum al-Azhar oleh Muhammad Abduh: Akomodasi terhadap Helenisme

Tindakan mengadopsi logika Aristoteles oleh al-Bajuri, al-Quwaysini, dan Syakh al-Azhar lainnya tentu saja tidak mencerminkan akan sikap akomadif mereka terhadap Hellenisme. Ilmu-ilmu modern non-keagamaan, falsafah dan teologi Mu'tazilah murni mendapatkan tempat dalam kurikulum pendidikan al-Azhar terutama ketika Muhammad Abduh melakukan reformasi pendidikan dan administrasi al-Azhar.66

Pendorong utama reformasi tersebut tentu saja berkaitan dengan concern M. Abduh terhadap tanggung jawab sosial dan kultural center of excellence ini dalam menjawab tantangan modernitas. Untuk itu ia menulis risalat al-Tawhid yang titik sentral pembahasannya sebenarnya adalah hubungan Islam dan ilmu-ilmu (Barat) modern (baca: Helenisme).67

Reformasi pendidikan yang dilakukan Abduh, dalam tingkatan tertentu, dapat dikatakan sebagai pergeseran sikap ulama al-Azhar terhadap ilmu-ilmu modern Barat (baca: Helenisme), yang dilatarbelakangi oleh berbagai konteks sejarah, dua konteks yang paling menonjol adalah invasi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte yang membawa serta ratusan ilmuwan Perancis (1798-1801) dan pendudukan Mesir oleh Inggris sejak tahun 1882.68

Periode Napoleon ini mengawali 'masa Alandalusia kedua.' Masa Alandalusia pertama ditandai penerjemahan karya-karya orang Muslim Arab ke bahasa Latin oleh orang Eropa, sebagian karya-karya tersebut adalah menjadi mata rantai penghubung terjadinya pencerahan di Eropa. Masa Napoleon di Mesir menandai penerjemahan karya-karya Eropa ke Bahasa Arab dan sebagian karya-karya itu adalah adaptasi dan terjemahan karya-karya Arab oleh orang Eropa.

Kebangkitan intelektual Arab akibat 'kontak' langsung dengan dua bangsa Eropa tersebut memunculkan kesadaran kultural dan intelektual di kalangan elit intelektual Suriah dan Mesir mengenai pentingnya 'meniru' kemajuan peradaban Barat dengan membangkitkan kebudayaan Islam klasik yang pernah berjaya sebelum mengalami masa stagnasi dan kolonialisme melalui gerakan penerjemahan dan reformasi sistem pendidikan.69

Reformasi kurikulum pendidikan al-Azhar yang dilakukan Muhammad Abduh mendapatkan tantangan yang tidak sedikit dari sebagian besar ulama al-Azhar, terutama dari kubu konservatif. Sebagai ketua panitia reformasi pendidikan dan administrasi al-Azhar, Abduh dicerca oleh mereka sebagai boneka Inggris dan seorang yang munafik.70

Namun di sisi lain, ia juga mendulang banyak simpatisan dan pembela. Jurji Zaydan,71 seorang jurnalis ternama Mesir, misalnya, menulis:

“Muhammad Abduh mengetahui bahwa pusat studi Islam masa ini adalah Mesir dan bahwa pusat pengetahuan di Mesir dan dunia Islam adalah Mesjid al-Azhar. Karenanya ia berpikir jika [administrasi dan kurikulum pendidikan] al-Azhar diperbaharui, [pemahaman orang terhadap ajaran] Islam juga akan turut terbaharui. Dan karenanya ia memfokuskan berbagai upaya kepada itu. Beberapa pembesar [al-Azhar] menentangnya, mereka lebih suka mempertahankan tradisi dan cara lama dari pada kemajuan...”72

G. Banten dan Hellenisme: Kontak dan Konflik
G. 1. Modernisasi atau Akomodasi terhadap Helenisme: Kasus Matla al-Anwar dan Al-Khayriyyah


Reformasi Pendidikan Islam di Timur Tengah memberikan efek reperkusi terhadap sejumlah lembaga pendidikan Islam di Nusantara dan Banten, yang kebetulan memiliki konteks historis yang sama, yakni kolonialisme. Para pembaru pendidikan di Indonesia menyadari bahaya kolonialisme Belanda dan 'kontaminasi' kebudayaannya lewat pendidikan juga harus dihindari dan diatasi. Latar belakang pendirian lembaga pendidikan Islam modern lewat organisasi Muhammadiyyah dan Sumatra Tawalib, misalnya, merefleksikan upaya tersebut.73

Agent of change para pembaharu lembaga pendidikan Islam adalah para alumni Timur Tengah yang well-informed dengan ide-ide pembaharuan dan modernisasi sistem administrasi dan kurikulum pendidikan. Madrasah Tawalib di Sumatra Barat, didirikan oleh Mahmud Yunus, alumni Al-Azhar Kairo, misalnya didirikan dengan adopsi kurikulum al-Azhar yang sudah 'moderat' dengan Helenisme. Di lembaga pendidikan ini tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional, tetapi juga ilmu Matematika, Geografi, Sejarah Dunia, dan beberapa ilmu-ilmu Alam.

Model Madrasah Tawalib kemudian direplikasi oleh para alumninya, salah seorang di antaranya adalah KH. Imam Zarkasy (w. 1985) dengan Pondok Modern Gontor, yang replikasinya didirikan oleh sejumlah alumninya di Banten, KH. Muhammad Arif (w. 1997) Pendiri Pondok Pesantren Dar al-Qalam.

Pada tahun 1916, Banten menyaksikan lahirnya lembaga pendidikan Islam modern, Mathla'ul al-Anwar (MA). Kelahiran lembaga pendidikan modern pertama di Banten ini dibidani, antara lain, oleh KH Mas Abdurahman, murid terakhir Syekh Nawawi al-Bantani yang tinggal 10 tahun di Mekah. Pada awal pendiriannya, di samping ilmu-ilmu Islam tradisional, seperti nahwu, saraf, fikih, balagah, ilm tajwid, hadis, dan tafsir, MA mengajarkan sebuah buku Logika Aristoteles, al-Sullam fi Ilm al-Mantiq karya al-Akhdari. Bahkan menjelang tahun 1930, lembaga ini melakukan pembaharuan kurikulum, dengan mengadopsi sejumlah ilmu-ilmu modern (baca: Barat, Helenis), seperti Geografi, Aritmetika, Sejarah Dunia dan pelajaran menulis huruf Latin.74

Pada tahun yang yang sama, Banten juga menyaksikan lahirnya sebuah perguruan islam yang kemudian pada tahun 1925 mengadopsi sistem pendidikan modern dengan sistem kelas dan memperhatikan penguasaan ilmu pengetahuan umum para santrinya. Inisiatif pendirian lembaga ini diambil oleh salah seorang putra terbaik Banten alumni Universitas al-Azhar Kairo, KH. Sham'un, sekembalinya ia menuntut ilmu di al-Azhar Kairo Mesir (1910-1915).75

Bahwa perguruan Islam modern terpengaruh oleh 'gerakan pembaharuan pendidikan'yang berlangsung di almamater pendirinya, al-Azhar Kairo, dinyatakan secara eksplisit oleh salah seorang alumninya: [Perguruan islam al-Khairiyah ini adalah] 'salah satu perguruan Islam yang mendapat pengaruh cukup besar dari gerakan pembaharuan Islam, yang berkembang di Timur Tengah khusunya Mesir.'76

Namun di sisi lain, beberapa elemen tradisi intelektual yang terpengaruh tradisi intelektual Helenisme dapat juga kita temukan jejak-jejaknya di Banten. Di Kresek Banten ditemukan sebuah salinan kitab muqaddima al-Mustasfa karya al-Ghazali yang menyimpan catatan pinggir penyalinnya, H. Muhammad Sulaiman tahun 1854.77 Catatan dan coretan terhadap kitab ini membuktikan digunakannya kitab ini sebagai teks ajar dalam diseminasi ilmu di sana. Seperti diketahui bahwa Muqaddima al-Mustasfa merekam tidak hanya diskusi komprehensif al-Ghazali tentang teori definisi (al-hadd) dan demonstrasi (al-burhan), dua elemen pembahasan penting dalam logika Aristoteles, tetapi juga pernyataan al-Ghazali tentang keharusan menguasai logika Aristoteles sebagai sebuah pengantar seluruh ilmu pengetahuan bila otoritas keulamaan seseorang ingin diakui.

G. 2. Dua Sekolah Swasta Pertama untuk Pribumi: 'Sekolah Agama Kristen di Jengkol' (1854) dan 'Sekolah Pangeran Soetadiningrat' di Pandeglang (ca. 1880)

Kapan pertama kali Helenisme diperkenalkan ke Banten melalui dua lembaga pengajaran tersebut adalah pertanyaan historis yang sulit dijawab. Namun sejauh bukti historis yang ada dapat disebutkan bahwa sebagai tempat pengajaran membaca dan menulis bahasa ilmu pengetahuan Barat/Yunani saat itu, bahasa Belanda, sekolah bagi kaum pribumi telah ada di Banten sejak tahun 1854.

Sekolah pertama untuk orang pribumi di Banten pertama kali didirikan di Jengkol pada tahun 1854, oleh seorang tuan tanah partikelir Belanda, Reesink, dan dibantu oleh seorang mandor berkebangsaan Belanda Jerman, Adolf Muhlnickel.78

Sekolah ini mengajarkan pelajaran membaca dan menulis bahasa Belanda. Meskipun sekolah ini didirikan untuk kepentingan, antara lain pengajaran injil kepada penduduk setempat, dilaporkan bahwa di sekolah ini diajarkan pelajaran membaca, menulis bahasa Belanda. Karena sekolah ini didirikan sebagai 'sekolah agama Kristen' pertama di Banten dan pendiri serta gurunya tidak memiliki latar belakang didaktik dan kompetensi profesional dalam bidang pengajaran, kecuali bahwa sebagian murid-murid sekolah ini berhasil 'dikristenkan' tidak ada informasi apapun mengenai bagaimana pendirian sekolah ini berpengaruh kepada cara pandang dunia (world vision) penduduk di sekelilingnya.

Bahwa sekolah ini memberikan pengaruh mobilisasi vertikal sebagian alumninya diafirmasi oleh beberapa fakta sejarah bahwa para alumni sekolah ini kemudian direkrut oleh para misionaris Belanda di Cianjur, Sumedang, Batavia, Tasikmalaya dan Sukabumi menjadi asisten misionaris.79

Namun perjumpaan Banten dengan budaya intelektual Barat/Yunani (Hellenisme) yang sesungguhnya bagaimanapun juga baru berlangsung pada tahun 1880, ketika Bupati Pandeglang, Pangeran Soetadiningrat (w. 1893) membuka sekolah swasta pertama di Banten untuk pribumi, di mana diajarkan pelajaran menulis dan membaca Bahasa Belanda. Guru sekolah tersebut adalah orang Belanda yang diundang dan digaji oleh Pangeran Soetadiningrat untuk mengajarkan membaca dan menulis bahasa Belanda tersebut kepada anak-anak, keponakan dan anak-anak sepupu Bupati tersebut. Salah seorang murid sekolah yang berlokasi di salah satu rumah Bupati tersebut, adalah keponakannya sendiri, Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (l. 1877), yang saat itu sedang merupakan seorang santri di sebuah pesantren di Karundang yang bertekad ingin menjadi seorang ulama.

Bagaimana ia menghentikan studi untuk menjadi guru agama karena hendak mempelajari ilmu Barat” dilukiskannya dalam narasi berikut ini:

“Kitab yang terakhir kupelajari di pesantren itu adalah kitab al-Ajurrumiyyah...tapi sebelum kitab itu selesai, saya terpaksa pulang karena sakit. Pada mulanya saya enggan meninggalkan pesantren itu karena hati amat melekat kepada ilmu yang sedang dipelajari. Belum juga sempat duduk di rumah [di Kramat Watu], tiba-tiba ayahku menerima surat dari saudaranya yang sulung, Raden Adipati Soetadiningrat, yang pada masa itu menjadi Bupati di Pandeglang. Ia menulis bahwa masa untuk sekolah bagiku sudah tiba. Oleh sebab itu saya selekas-lekasnya disuruh ke Pandeglang untuk mengunjungi sekolah yang akan dibukanya.”

Bagaimana beratnya perasaan seorang putra ningrat Banten ini meninggalkan pelajaran-pelajaran pesantren yang dicintainya, terefleksi dengan baik dalam ungkapan berikut: “Sesungguhnya amat berat bagiku untuk memutuskan ilmu yang sedang kutuntut, karena besar keinginanku untuk menjadi ulama besar yang terkenal. Tapi apa boleh buat, akhirnya saya tunduk kepada perintah ayah ibu. Pakaianku diganti pula. Pakaian di pesantren diberikan kepada seorang santri buta. Sebagai penggantinya, saya diberi pakaian seperti anak Eropa dengan kopiah Beludru hitam.”80

Tentu saja tidak hanya Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang belajar di sekolah swasta Belanda, salah seorang sepupunya, anak dari adik ayahnya, Jasien bin Aboe Bakar Djajadiningrat, seorang penerjemah untuk konsul Belanda di Jeddah juga belajar di sekolah swasta tingkat rendah untuk orang Belanda di Serang.

Pendirian sekolah oleh Bupati Adipati Soetadiningrat sebenarnya dilatarbelakangi oleh kesadaran akan pentingnya penguasaan membaca dan menulis dalam bahasa Belanda, yang dianggapnya sebagai kunci yang dapat membuka gudang ilmu pengetahuan. Kesadaran ini terefleksi dalam ungkapan Aria Ahmad Djajadiningrat:

“Bila bangsa Jawa memiliki bercita-cita hendak mencapai hasil besar dalam berbagai macam bidang, terlebih dahulu hendaknya ia berusaha menguasai ilmu pengetahuan, peradaban dan pemikiran bangsa Barat yang canggih…bahasa Belanda adalah ibarat kunci untuk membuka pintu gudang ilmu, peradaban dan pemikiran bangsa itu.81

G. 3. Sikap Kebudayaan orang Banten terhadap Pengaruh Helenisme: Kasus Keluarga Djajadiningrat

Bagaimana sikap kultural orang Banten terhadap pengaruh Helenisme (baca: Barat) terefleksi dalam pernyataan Bupati Serang pada tahun 1890-an kepada anaknya, Pangeran Aria Ahmad Djajadingrat yang sedang menempuh pendidikan HBS (setingkat SMA) di Gymnasium Batavia:

“Engkau tahu bahwa ayah sangat berkenan akan pendidikan dan tata cara Barat, itu sebabnya kau disekolahkan di sekolah Belanda, tapi Ayah sama sekali tidak setuju bahwa seorang pribumi hendak meniru cara Barat seluruhnya. Yang akan kita pakai hanyalah yang sesuai dengan keadaan kita saja dan yang berfaedah untuk kehidupan kita masa kini. Selain itu hendaklah kita memegang adat pusaka kita sendiri, karena adat pusaka itu...tidak sekalipun dapat dikatakan lebih rendah derajat atau kurang daripada adat pusaka bangsa lain...”82

Kutipan diatas berasal dari sepucuk surat yang dikirim oleh Bupati Serang Pangeran Bagoes Djajawinata kepada anaknya, Aria Ahmad, yang sedang menempuh pendidikan HBS (SMA) di Batavia Jakarta pada tahun 1897. Pangeran Aria Ahmad adalah seorang pribumi pertama yang mengenyam pendidikan Belanda tertinggi di Nusantara. Ia adalah kakak tertua Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar pendidikan tertinggi yang dapat dicapai oleh orang Indonesia saat itu pada tahun 1913 di Universitas Leiden, yang kemudian menjadi direktur Lembaga Urusan Agama pada masa Jepang (shumubu), lembaga yang bertransformasi pada masa kemerdekaan RI menjadi Departemen Agama.

Kesimpulan

Dari diskusi diatas dapat disimpulkan bahwa obyek yang menjadi kritik para Ulama Islam tidak hanya Aristoteles dan/atau logika Aristoteles per se, tetapi sebenarnya Aristotelianisme: Sistem intelektual yang dibangun diatas, dan terinspirasi oleh, karya-karya Aristoteles. Hal ini didasarkan kepada beberapa fakta bahwa argumen penentang logika diproyeksikan tidak hanya terhadap Aristoteles, sebagai tokoh yang pertama kali memformulasikan prinsip-prinsip logika, dan kritik terhadap Logika itu sendiri tetapi juga kepada (1) ulama yang mengadopsi Aristotelianisme seperti tersebut kepada al-Gazali dan Ibn Hazm, (2) kepada al-Ma'mun dan Yazid ibn Khalid al-Barmaki, dua pejabat Abbasiah yang memfasilitasi proses akuisisi dan penterjemahan naskah-naskah Yunani (Aristotelian) kedalam bahasa Arab, (3) kepada para penafsir, penterjemah dan pembuat ringkasan karya-karya Aristoteles untuk kontek budaya Islam: Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rushd, dst.

Dalam konteks perjumpaan peradaban Islam dan Helenisme, sikap-sikap terhadap Aristotelianisme tersebut diatas sebenarnya menggambarkan sikap kebudayaan sebagian umat Islam terhadap budaya asing dan produk intelektual yang dibawanya. Bagi sebagian ulama, interaksi peradaban Islam dan Helenisme lewat akuisisi berbagai naskah Yunani pada masa Yazid dan gerakan penterjemahan karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa al-Ma'mun, akan mengancam tidak hanya tradisi mapan yang merujuk kepada otoritas tradisional tertinggi al-Qur'an dan al-Sunnah tetapi juga akan mengeliminasi peran metode penafsiran akan dua sumber tradisi tersebut yang didasarkan kepada prinsip-prinsip bahasa Arab yang dianggap mencukupi kebutuhan epistemologis umat Islam ketika ingin melakukan abstraksi, deduksi dan generalisasi.

Meskipun interaksi Islam dengan produk intelektual Helenisme telah memberikan sumbangan intelektual yang sangat berharga bagi umat Islam seperti (a) “bentuk-bentuk pemikiran dan sistematisasi rasional,” (b) “prosedur-prosedur logis,” (c) “metode generalisasi dan abstraksi” dan, (d) “prinsip-prinsip klasifikasi,”83 yang dapat dipinjam untuk mencari 'kebenaran', seperti yang dilakukan oleh Ibn Rushd, al-GazÁlÐ, Ibn Hazm, dll, namun bagi sebagian (besar) ulama, eksistensi dan konservasi tradisi adalah diatas segala-galanya. Dalam konteks inilah resistensi sebagian ulama terhadap Aristotelianisme dan Helenisme (mungkin) harus dipahami (wa' allahu a'lam bi-l-sawab).

Daftar Pustaka

Abu-Rabi', Ibrahim M., Islam and the Search for a Social Order: an Intellectual Biography of Shaykh Abdul Halim Mahmud (Temple University: UMI, 1987)
Afif, A. Djalil et. al., Dinamika Sistem Pendidikan al-Khairiyah:Suatu Kajian tentang
Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan (Laporan Hasil
Penelitian Kelompok: Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Gunung Djati di Serang
(1996/1997)
Ali, Mufti, Muslim Opposition to Logic and Theology in the Light of the Works of
Jalal al-Din al-Suyuti (Leiden: Leiden University, 2008)
Arnaldez, R., R., “Ibn Íazm,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden&London:
E.J. Brill& Luzac & Co, 1971), ed. B. Lewis et al, vol. III, hal. 970-3
Baqir, Z. A., The Problem of Definition in Islamic Logic: A Study of AbÙ al-NajÁ al-FarÐd's Kasr al-ManÔiq in Comparison with Ibn Taimiyyah's KitÁb al-Radd alÁ al-ManÔiqiyyÐn (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998)
Bosworth, C.E., “al-Mutahhar b. al-Tahir,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden: E.J. Brill, 1991), ed. C.E. Bosworth et al, vol. VI, hal. 129
Brentjes, Sonja, “Orthodoxy”, Ancient Sciences, Power, and the Madrasa (“college”) in Ayyubid and early Mamluk Damascus (Max Planck Institute for the History of Science, preprint 77, Berlin, 1996)
Chaumont, E., “al-Shafi'i,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden: E.J. Brill, 1998), ed. C.E. Bosworth et al, vol. IX
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983)
Gesink, Indira Falk, Beyond Modernism: Opposition and Negotiation in the Azhar Reform Debate in Egypt, 1870-1911 (University Microfilm Institute: Washington University, 2000) Goichon, A.M., “Ibn Sina,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden&London: E.J. Brill& Luzac & Co, 1971), ed. B. Lewis et al, vol. III, hal. 941-7
Griffel, Frank, Apostasie und Toleranz im Islam: Die Entwicklung zu al-ÇazÁlÐs Urteil gegen die Philosophie und die Reaktionen der Philosophen (Leiden, Boston & Köln: E.J. Brill, 2000)
Gutas, D., Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna's
Philosophical Works (Leiden, New York, Kopenhagen & Koln: E.J. Brill, 1988)
Al-HamawÐ, Yaqut b. 'Abd Allah al-Rumi, Jacut's geographisches Wörterbuch, ed. F. Wüstenfeld (Leipzig : 1866-73)
Al-Harawi, Dhamm al-Kalam wa Ahlih (Beirut: DÁr al-Fikr al-LubnÁnÐ, 1994), ed. SamÐh Dugaym Hartmann, Angelika, “Al-Nasir li Din Allah,” The Encyclopaedia of Islam, New
Edition,(Leiden&New York: E.J. Brill, 1993), ed. C.E. Bosworth et al, vol. VII, hal. 96-9
------, an-Nasir li-Din Allah (1180-1225): Politik, Religion, Kultur in der späten 'Abbasidenzeit (Berlin & New York: Walter de gruyter, 1975)
Hillenbrand, Carole, “al-Rashid,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden: E.J. Brill, 1995), ed. C.E. Bosworth et al, vol. VIII, hal. 439-40
Ibn al-Salah, Fatawa ibn al-Salah fi 'l-Tafsir wa'l-Hadith wa'l-'Aqa'id (Cairo: IdÁra al-Tiba'a al-Muniriyya, 1348)
Ibn Taymiyya, Kitab al-Radd 'ala-l-Mantiqiyyin (Bombay: al-Matba'a al-Qayyima,1949)
Laughlin, Burgess, The Aristotle Adventure (Arizona: Albert Hale Publishing Flagstaff, 1995)
Laoust, H., “Ibn Taymiyya,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden&London: E.J.
Brill& Luzac & Co, 1971), ed. B. Lewis et al, vol. III, hal. 951-5
Madelung, W., “Zaydiyya,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden: E.J. Brill,
2002), ed. P. J. Bearman et al, vol. XI,hal. 477-81
Madjid, Nurcholish, Ibn Taymiyya in 'Kalam' and 'Falsafa' (A Problem of Reason
and Revelation in Islam) (Michigan: UMI Dissertation Services, 1997)
Makdisi, George, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West:With Special Reference to Scholasticism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990)
Memoar Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (Jakarta: Paguyuban Keturunan P.A.A.
Djajadiningrat, 1996)
Al-Nashshar, 'Ali Sami, Manahij al-Bahth 'inda Mufakkiri-l-Islam (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1978)
Al-Nawawi, Mukhtasar Tabaqat al-Fuqaha', ed. 'Adil 'Abd al-Mawjud (Beirut: Mu'assasat al
-Kutub al-Thaqafiyya, 1995)
Margoliouth, D.S., “The Discussion between Abu Bishr Matta and Abu Sa'id al-Sirafi on the Merits of Logic and Grammar”, Journal of the Royal Asiatic Society (1905), hal. 79-
129
Orgaan van Nederlandszending Vereeniging (Amsterdam: 1865-1923), majalah resmi Lembaga
Misionaris Belanda (NZV)
Peters, F. E., Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York & London:New York University Press & University of London Press, 1968)
Rescher, Nicholas, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh
Press, 1964)
Robson, J., “Ibn al-Salah,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, (Leiden&London: E.J. Brill& Luzac & Co, 1971), ed. B. Lewis et al, vol. III
Rosidin, Didin Nurul, From Kampung to Kota. A Study of the Transformation of Mathla'ul
Anwar 1916-1998 (Leiden University: 2007)
El-Rouayheb, Khaled, 'Sunni Muslim Scholars on the Status of Logic, 1500-1800,' Islamic Law and Society 11, 2 (2004), 213-32
al-San'ani, Ibn al-Wazir, Ithar al-Haqq 'ala al-Khalq fi Radd al-Khilafat ila Madhhab al-Haq (Cairo: Matba'a al-Ma'ahid, 1359/1941)
Shihab, Alwi, the Muhamadiyya Movement and its Controversy with Christian Mission in
Indonesia (Temple University: UMI, 1995)
Sourdel, D., [W. Barthold]., “al-Baramika,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition,
(Leiden&London: E.J. Brill& Luzac & Co, 1960), ed. H.A.R. Gibb et al, vol. I, hal. 1033-6
Al-Subki, Taj al-Din, Tabaqat al-Shafi'iyya al-Kubra (Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1970), ed.'Abd al-Fattah Muhammad al-Huluw & Mahmud Muhammad al-Tanakhi
Al-Suyuti, Jalal al-Din, Sawn al-Mantiq wa-l-Kalam 'an Fannay-l-Mantiq Wa-l-Kalam, ed. 'Ali Sami al-Nashshar (Cairo: Matba'a al-Sa'ada, 1947)
------, al-Qawl al-Mushriq fi Tahrim Ishtighal bi 'ilm al-Mantiq (Mss. Koleksi pribadi)
Al-Tawhidi, Abu Hayyan, al-Imta wa-l-Mu'anasa, ed. Ahmad Amin and Ahmad al-Zayn (Cairo:
Lajnat al-Ta'lif, 1953)
Ullmann, Manfred, Die Natur- und Geheimwissenschaften im Islam (Köln & Leiden: E.J Brill,
1972)
Von Grunebaum, Gustave E., Islam and Medieval Hellenism: Social and Cultural Perspectives
(London: Variorum Reprints, 1976)
Yasin, Ja'far 'Ali, Faylasuf 'Alim: Dirasa Tahliliyya li hayat ibn Sina wa Fikrih al-Falsafi (Beirut: DÁr al-Andalus, 1984/1404)
Al-Zaftawi, Anas, Mawqif 'Ulama' al-Azhar min al-Mantiq al-Aristi fi 'l-Fatra min 950-1300 H. www.esamanas.googlepages.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan