Sunan Gunung Djati (SGD) historis mungkin memang pernah, atau mungkin juga tidak, mengunjungi Mekkah dan Madinah. Namun laporan tentang usahanya menuntut ilmu di sana, terlepas dari kebenaran historisnya, memberikan beberapa isnformasi berharga tentang Islam Indonesia abad ke-17 (Bruinessen, 1999:223). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Cirebon edisi Brandes (BC-Br) diceritakan bahwa SGD belajar kepada Najmuddin al-Kubra, dan kemudian selama dua tahun belajar kepada ‘Athaillah al-Iskandari al-Syadzili di Madinah—yang menurut Bruinessen (1999:224) dia menerima pembai’atan menjadi penganut tarekat Syadziliyyah, Syattariyah, dan Naqsyabandiyah.
CPCN halaman 31 baris ke lima sampai dengan halaman 32 baris ke empat menjelaskan.
…/ i telasira Sarif Hidayat yuswa
taruna akara ruwang dasa warsa ya dharmestha
muwang hayun dumadi acariyeng agama Rasu-
l / mathang ika lunga ta ya ring Mekah//
engke sira maguru ring Seh Tajmuddin a-
l-Kubri lawasiara ruwang warsa / irika ta
ya ring Seh Ataulahi Sajili ngaranira
kang panutan Imam Sapi’I ika / ri huwus la-
wasira ruwang warsa // I telas ika
Sarip Hidayat lunga umareng kitha Bagda-
Dengke sira maguru tasawup Rasul /
Lawan tamolah ing pondhok (w) wang pasanak rama-
Nira / sampun ika kretawidya tumuli
mulih (a) ring nagarinira // (Atja, 1986:128)
Terjemahan (Atja, 1986:165)
…/Setelah sarip Hidayat berusia
remaja, kira-kira dua puluh tahun, ia seorang yang
saleh dan berhasrat menajdi guru agama Is-
lam. Oleh akrena itu ia pergi ke Mekkah. Di
sini ia berguru kepada Seh Tajmuddin al-
Kubri, lamanya dua tahun. Setelah itu ia (berguru)
Kepada Seh Ataulahi Sajili namanya,
yang penganut Imam Sapi’i, lamanya
Dua tahun, sehabis itu
Sarip Hidayat pergi menunju kota baghdad.
Di sini ia berguru tasawuf Rasul
Dan tinggal di pondok paman ayah-
Nya. Setelah pelajarannya selesai, kemudian
Ia kembali ke negerinya…
BC-Br pupuh ke tigabelasa Kinanti, bait pertama dan kedua (Brandes, 1911:66) juga menginformasikan hal yang sama.
Siad Kamil loentaipoen
Njanteri ing Sjech Agoeng Wacil
Ana ing negara Mekah
Ingkang nama Sjech Tajmoe’ddin
Al-Koebri Molana Akbar
Sampoen toetoeg anglebeti
Be’at dzikir lawan soeghoel
Moesafahah lawan talqin
Woes ing sampoerna abe’at
Noeli ika njanteri maning
Maring Sjech agoeng nama
‘Ata’oellahi Sadzili
Terjemahan:
Said Kamil berangkatlah
Belajar di Syekh Agung
Yang ada di negara Mekah
Yang bernama Syekh Tajmuddin
Al-Kubri Molana Akbar
Telah masuk
Baiat, zikir, sughul,
musafahah, talqin
telah sempurna baiat
lalu berguru lagi
kepada Syekh Agung yang bernama
Atau’llahi Sazili
Jarak ruang dan wktu yang memisahkan SGD dengan orang-orang yang dikatakan gurunya, Ibn ‘Athaillah Sadzili dan Najmuddin al-Kubra menimbulkan kronologis yang a-historis dari sumber di atas. Sebab hasil penelitian Bruinessen (1999:224) menyebutkan bahwa Ibn ‘Atha’illah adalah orang terkemuka di Mesir pada abad ke-13 dan bukan di Madinah pada abad ke-16. Demikian juga Najmuddin al-Kubra, bahkan lebih jauh lagi; Kubra menyebarkan ajarannya di Khawarizm (Asia Tengah dan wafat di sana pada tahun 1221.
Munculnya kedua nama ini dimungkinkan karena tarekat Syatariyah dan Naqsabandiyah telah tersebar ke Nusantara selama abad ke-17 melalui Madinah, dan sangat mungkin bahwa tarekat Syadziliyah pun menyebar pada masa yang sama. Nama-nama tersebut muncul menunjukkan adanya pengetahuan yang cukup memadai tentang Kubrawiyah, tarekat yang dihubungkan dengan nama Najmuddin al-Kubra.
Hipotesis paling sederhana yang diajukan Bruinessen (1999:225) menerangkan rujukan-rujukan kepada tarekat Syatariyah, Naqsabandiyah, dan Kubrawiyah yang muncul dalam naskah-naskah tradisi Cirebon sejauh ini adalah bahwa lingkungan istana, yang darinya teks-teks tersebut berasal, pada abad ke-17 sudah berkenalan dengan berbagai tarekat melalui seorang atau lebih murid al-Syinawi atau penggantinya—mungkin orang Indonesia asli yang menunaikan ibadah haji atau orang luar yang datang ke Indonesia.
*Penulis : DADAN WILDAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan