Kami adalah

Selasa, 19 Juli 2011

Membangun (Kembali) Budaya Maritim

Oleh : Yanwar Pribadi

Sungguh mengenaskan membaca tulisan Gatot Widakdo di harian Kompas (15/9/2006) yang memuat judul “Pelayaran Nasional Perlu `Angin`”. Rupanya memang benar, ungkapan “di laut kita jaya” hanyalah cerita buat romantisme belaka. Mengapa mati angin dan oleh karenanya memerlukan angin? Tampaknya pemerintah tidak berkaca pada sejarah. Dalam pidato pengukuhan guru besar tetapnya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi merujuk pada karya John Tucker tentang usaha pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam mempersatukan kepulauan dari Sabang sampai Merauke melalui kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang berlayar dari ujung barat dan timur ke segenap penjuru wilayah yang disebut Pax Neerlandica. Bahkan, lebih lanjut John Tucker mengatakan bahwa empire is a matter of transportation.


Jika pemerintah kolonial begitu menganggap penting transportasi laut sebagai upaya menyatukan pulau-pulau di Nusantara, mengapa pemerintah Indonesia tidak? Justru dengan membiarkan pelayaran nasional dikuasai asing, kita hanya akan melihat pada akhirnya kapal asing merajai angkutan laut kita. Apa ini yang kita inginkan? Tentu saja tidak! Sebagaimana AB Lapian, “nahkoda” sejarawan maritim Asia Tenggara memandang konsep archipelago Indonesia dari pengertian dasarnya sebagai “laut yang ditaburi sekumpulan pulau”, maka sudah sepantasnya jika acuan lama kita tentang archipelago tidak lagi merujuk kepada negara kepulauan, melainkan sebagai sebuah negara maritim.

Dengan cara pandang yang membuat laut adalah yang terpenting bagi negara ini, maka dapat dipastikan cara pandang “daratan” akan tergantikan. Konsekuensi logisnya, laut dijadikan sebagai sebuah sistem. Ini membuat suatu jaringan yang mengintegrasikan pulau-pulau di Indonesia. Laut bukan lagi sebuah penghalang, tapi sebuah pemersatu, sehingga secara otomatis, pelayaran nasional akan bangkit kembali.

Mungkin buku Afred Thayer Mahan (1840-1914), “The Influence of Sea Power upon History 1660-1783” yang terbit pada 1890, perlu banyak dibaca pihak-pihak yang terkait dengan dunia maritim di Indonesia, sehingga pemahaman akan pengembalian cara pandang sesungguhnya tentang kekuatan laut dapat lebih komprehensif dan menyentuh aspek-aspek maritim yang selama ini terabaikan.

Kita dapat berkaca pada Inggris atau bahkan Amerika Serikat yang berorientasi maritim dan mementingkan perdagangan ke daerah seberang laut. Amerika Serikat begitu tertarik dengan ide brilian Mahan ini, sehingga pada akhir abad ke-19 mereka mulai membangun angkatan lautnya. Politik ekspansi menyebrangi lautan yang mulai dianut Amerika Serikat waktu itu dapat dicocokkan dengan teori kekuatan laut Mahan, sehingga pemerintah mendapat dukungan rakyat untuk melaksanakan politik ini. Bahkan, pengaruh Mahan ini berlanjut ke negara-negara lain. Di Jerman, Jepang, Prancis, Italia, Rusia, dan Spanyol terjadi dorongan yang kuat untuk membangun kekuatan lautnya.

Mediterrania adalah bukti kompleksitas laut. Ia bukanlah laut tunggal, it is a complex of seas; and these seas are broken up by islands, interrupted by peninsulas, ringed by intricate coastlines. Demikianlah yang dikatakan Fernand Braudel dalam pengantar bukunya yang terkenal itu, “The Mediterranean; and the Mediterranean World in the Age of Philip II”. Kebudayaan Mediterrania begitu maju, termasuk tentunya kehidupan perekonomiannya, karena dianggap sebagai pemersatu tiga benua dan beberapa negara di sekitarnya, bukan dianggap sebagai penghalang yang memisahkan mereka.

Mungkin itu pula pandangan para pelaut Bugis yang lebih dulu menyentuh Australia sebelum James Cook, atau para pelaut Aceh yang sering “singgah” di India, sehingga dapat kita katakan sebagai penelusuran pelayaran masa lalu? Sungguh menyedihkan jika tradisi kelautan bangsa kita ini berbanding terbalik dengan keadaan riil para penganut kehidupan laut. Kemiskinan masyarakat nelayan banyak dijumpai di pesisir pantai negeri kita. Masihkah kita perlu diingatkan, bahwa menurut Azyumardi Azra, kemakmuran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional lewat laut, telah memberikan kesempatan kepada masyarakat Muslim Melayu untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah.

Atau mungkin kita masih perlu merujuk Anthony Reid, bahwa di Nusantara, perkembangan kota-kota emporium di pantai utara Jawa menduduki tempat penting dalam hubungan dengan perkembangan perekonomian Nusantara. Kota-kota pelabuhan tersebut telah berperan sebagai pelabuhan perantara internasional yang menghubungkan Jawa dan daerah produsen rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku yang ada di ujung timur Nusantara dan daerah Nusantara yang ada di ujung barat. Periode ini disebut oleh Reid sebagai masa “kurun niaga” Asia Tenggara.

Masih banyak contoh kejayaan masa lalu kita yang berasal dari dunia maritim. Untuk hal tersebut, bukankah sudah ada lembaga pemerintah yang mengurusi masalah kelautan? Lalu kenapa masih saja laut itu terpinggirkan? Apakah konsep “pinggiran” dan “pusat” yang memandang laut sebagai pinggiran masih terus dijalankan, sehingga laut dan budaya maritimnya selalu terpinggirkan? Tampaknya kita perlu mereorientasi sistem kelautan kita dan mulai membangun kembali budaya maritim, sehingga bukan hanya pelayaran nasional saja yang mendapat angin, melainkan lebih luas lagi, yaitu unsur-unsur yang bermata pencaharian hidup dan masyarakat pendukung budaya maritim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan