Kami adalah

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kembali Ke Titik Nol "The Groot Postweg"



(Catatan Perjalanan dan Perenungan dari Prasasti 0 KM Jalan Pos Anyer-Panarukan yang dibuat oleh Herman Willem Daendels )






Demi Kejayaan Keraton Surosowan, Leluhur kami bersabda;
Gawe Kuta baluwarti bata kalawan kawis*

Demi Kemerdekaan, Pejuang kami berteriak;
Pertahankan Banten dengan iman dan semangat juang

Demi apa entahlah? Kami, generasi muda
(seharusnya) melanjutkan kejayaan dan perjuangan
Tapi kami tak tahu harus memulai dari mana...

(Koelit ketjil, 12 Agustus 2009)




Rencana telah disepakati, titik dan waktu pertemuan telah ditentukan. Dimulai dari Pos I Jakarta, dua kawan bergerak menuju Kota Serang mengendarai sepeda motor, Saya di Kota Serang sebagai Pos II siap menanti, setelah kawan-kawan Jakarta singgah sejenak melepas lelah, perjalanan kami selanjutnya menuju Cilegon yang kami tunjuk sebagai titik tunggu (Pos III) tepat di simpang jalan keluar tol Jakarta-Merak. Tiga kawan lama telah menanti, meski terjadi sedikit kesalahan kordinasi dan perubahan waktu sesuai rencana, kesepakatan kecil dibuat kembali tanpa kawan kami si ’juru kunci’ atau ’yang punya Anyer’ maka kami pun bersiap menuju lokasi tujuan; Mercusuar Cikoneng Anyer.

Rencana yang kami rancang bukanlah agenda ekspedisi besar, sekedar mengulang kembali betapa berwarnanya memori persahabatan kami semasa sekolah dulu. Penentuan lokasi Anyer bukanlah lokasi alakadarnya atau sekedar menikmati suasana pantai untuk melepas kepenatan kami setelah beraktifitas masing-masing tapi Pantai Anyer merupakan titik ’bersejarah’ bagi kami. Proses perkembangan masa remaja dan rekatnya persahabatan kami banyak terjadi di pantai Anyer, salah satunya Mercusuar Anyer menjadi saksi proses tersebut.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009)

Menara Suar Cikoneng DSI 2260 (istilah dari Departemen Perhubungan) atau Mercusuar Anyer menjadi salah satu ’tonggak sejarah’ dalam persahabatan kami, setidaknya ada dua momen tak terlupakan bagi kami. Pertama, berkat Mercusuar Anyer inilah pertama kalinya Guru Matematika kami yang dikenal sebagai ’Guru Killer’ bernama Pak Edi tertawa terbahak-bahak setelah mendapat jawaban polos dari salah satu kawan kami yang berasal dari Anyer terkait dengan tinggi Mercusuar Anyer.

Betapa terkejutnya kami melihat fenomena langka ini, dalam kelas yang selalu dicekam suasana seram dengan gaya mengajar Guru yang terbiasa dengan didikan semi-militer ini (konon beliau pernah menjadi pengajar di STPDN), jika kami telat masuk kelas maka hukuman berupa push up, squash jump atau bending adalah hal biasa terjadi, belum lagi jika ada gerakan murid yang dia anggap aneh (misalnya; menggoyang-goyangkan kaki dibawah meja) maka detik itu juga eksekusi hukuman dilaksanakan (aneh bukan?). Kawan kami yang membuat Guru Killer itu sampai tertawa terbahak-bahak menjadi bingung dan kikuk dengan fenomena ini, begitu juga kawan-kawan satu kelas tak tahu harus bereaksi seperti apa? Harus ikut tertawakah atau cukup diam atau menyuruh agar diam guru yang tertawa itu?

Catatan kedua adalah ketika kami menjadi saksi pergantian tahun 1996-1997, tidak ada fenomena yang begitu menarik saat itu memang, hanya malam tahun baru seperti biasanya tepat dibawah menara putih menjulang tinggi di tepi Pantai Anyer yang berkarang yang terbentuk dari sisa lahar yang membeku bukti kedahsyatan Gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1883. Konon katanya efeknya dapat terasa hingga Australia bahkan Eropa sempat diselimuti awan (debu) hitam yang terbawa angin.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009)

Saat masa sekolah dulu tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya dan kawan-kawan untuk mengetahui cerita apa di balik Mercusuar itu? atau bagaimana sejarah kejayaan Kesultanan Banten dahulu kala? Tragisnya sampai dengan detik ini saya masih juga belum mengenal dan memahami bagaimana sejarah kejayaan dan apa yang menjadi ciri khas Banten dalam perkembangannya sebagai kampung kelahiran saya ini? bisa jadi karena saya kurang mengenal jati diri Banten akibat sifat apatis saya selama hidup di Banten? atau boleh jadi karena saya tidak mendapatkan pengetahuan ini sejak di bangku sekolah? atau bisa juga karena orang tua saya yang tidak menceritakan seperti apakah sejatinya Banten itu sendiri? sehingga menciptakan kondisi ahistoris (tidak mengenal sejarah) tapi keyakinan saya, orang tua saya pun tidak mendapatkan cerita tersebut dari nenenda begitu juga leluhur saya sebelumnya.

Lalu yang kemudian menjadi pertanyaan dalam batin saya, apakah leluhur saya juga apatis terhadap sejarah dan perkembangan Banten hingga menjadi enggan untuk menceritakan kepada keturunannya? Sebagai manusia yang diberkahi rasa penasaran, saya sering berdiskusi dengan beberapa kawan dengan tema ‘seberapa kita mengenal kampung halaman kita?’ hasil dari diskusi panjang yang menghabiskan puluhan batang rokok, beberapa bungkus kacang garing dan bergelas-gelas kopi panas tersebut sampai pada kesimpulan ternyata kami tidak mengenal lebih dalam mengenai Banten bahkan mungkin yang kami ketahui hanya pada permukaannya saja, bisa jadi hanya serupa lapisan debu pada permukaan meja yang belum dibersihkan sejak pagi tadi. Apakah leluhur kami (saya dan kawan-kawan diskusi) juga apatis?

Tamparan kesadaran bagi saya pribadi kemudian adalah; “apakah kami dibentuk sebagai generasi apatis terhadap sejarah kampung halaman kami?” Saya masih ingat ajaran dari orang tua yang konon juga diajarkan dari nenenda bahwa jika kehilangan benda yang sedang kita cari maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah DIAM terlebih dulu lalu kemudian BERGERAK menuju pada tempat pertama kali yang diingat lalu MENCARI secara perlahan, teliti dan sabar artinya hikmah yang saya dapatkan adalah jika saya kehilangan gambaran sosok Banten maka pertama kali yang harus saya lakukan adalah merenung (diam) -bukan diamnya pikiran- tetapi kemudian menuju titik awal kesadaran maka berarti saya harus menuju titik nol dari sejarah peradaban Banten dalam hal ini sebagai contoh saya membuat rencana berkunjung menuju Banten Girang, Keraton Tirtayasa, Keraton Surosowan dan situs-situs bersejarah lainnya sebagai titik awal proses pencarian jawaban kegelisahan saya. Salah satunya adalah TITIK NOL KILO METER ANYER-PANARUKAN.

Historia docet! Begitu pepatah lama mengingatkan kita bahwa sejarah itu memberikan pelajaran. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer lewat tokoh Minke dalam salah satu karya tetraloginya dalam novel Jejak Langkah; "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,” Kesimpulan singkat yang dapat saya ambil dari dua wejangan itu saja, bahwa saya bukanlah generasi pembelajar, maka gambaran generasi pecinta negeri sangatlah jauh dari harapan.
Pucuk di cita, ulam pun tiba! Beberapa hari setelah diskusi-diskusi malam bersama kawan-kawan (kami tengah merintis sebuah embrio Komunitas/Forum Kajian yang kami beri nama Babad Banten) ternyata dilain kesempatan beberapa kawan lama semasa sekolah menghubungi saya dan mengusulkan reuni kecil khusus kawan-kawan akrab saja, lokasi yang dituju sudah dapat diterka; PANTAI ANYER. Titik spesifik: MERCU SUAR ANYER.













(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, perjalanan (menuju-sampai) MercusuarAnyer)

Rombongan motor kami sampai pada lokasi, saya tidak tahu secara pasti jarak dari Kota Serang menuju Mercusuar ini, namun jika diperkirakan sekitar satu setengah jam saja waktu tempuhnya dengan gaya berkendaraan touring santai (kecepatan tidak lebih dari 70 km/jam), setelah membayar tiket parkir per motor sebesar Rp. 5.000,- kami langsung menuju kaki menara suar tersebut namun sayang saat itu pintu menara terkunci. Beberapa foto kami abadikan lewat jepretan kamera digital, bisa kami gunakan sebagai bukti sejarah pertemuan-persahabatan ini untuk anak keturunan kami kelak. Dekat kaki mercusuar itu teronggok sebuah benda menarik, unik, eksentrik berupa sebuah motor honda 70 (honda pitung) dengan sejenis ’gerbong’ berupa rumah sementara (caravan) beratapkan daun sirap yang ditarik motor tua itu, namun ada kekaguman yang muncul dalam benak kami ketika kami melihat tepat di bagian depan motor itu terdapat plang bertuliskan; ”LUKIS JALAN KAKI TAHAP II JAKARTA-ANYER-PANARUKAN ROUTE JALAN DEANDELS; 1300 KM SEDEKAH UNTUK SEJARAH KI JOKO WASIS. MENGISI & MENGHIASI 100 TH KEBANGKITAN NASIONAL. MOHON DUKUNGAN DAN DOA RESTU”.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada kendaraan yang digunakan Ki Joko Wasis)


Tulisan yang sama juga dapat dilihat pada bagian atas ’caravan’ sementara hampir seluruh bagiannya terdapat karya-karya lukisan dan potongan berita dari beberapa media cetak yang meliput gerakan luar biasa yang dilakukan Seniman Ki Joko Wasis ini. Subhanallah... luar biasa! Setiap orang memang mempunyai cara tersendiri untuk ambil bagian. Tidak hanya penyair saja, gerakan ini berarti menolak tegas klaim yang dilontarkan oleh Chairil Anwar ”yang bukan penyair tidak ikut ambil bagian”.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada kendaraan yang digunakan Ki Joko Wasis)

Konon lokasi berdirinya menara suar ini sengaja dipilih pemerintah Hindia-Belanda saat itu salah satunya adalah sebagai penanda bahwa dari titik itulah mega proyek pembuatan jalan Anyer-Panarukan yang diprakarsai oleh HW Daendels. Banyak informasi sejarah terkait pembangunan jalan ini, tidak sedikit juga yang membuat bingung bagi siapa saja yang coba mencari tahu sejarah dibalik proyek jalan ini, namun sejauh usaha saya (yang kurang telaten ini) yang penasaran untuk mengetahui perihal menara suara hanya sedikit orang yang mengetahui sejarah menara suar ini.

Sebagaimana sempat saya singgung sedikit mengenai lokasi berdirinya menara suar, tak jauh dari titik berdirinya terdapat sejenis prasasti/tugu kecil terbuat dari semen yang bertuliskan ”0. KM ANYER-PANARUKAN 1806” saya ambil beberapa foto disini. Saya perhatikan sejenak ternyata prasasti kecil ini tepat berada dalam lingkaran berlantaikan batu bata, ketika saya tanyakan kepada kawan saya, menurut dia sebenaranya disinilah letak menara suar pertamakali yang pernah ada, hal ini juga diperkuat dengan informasi dari salah seorang penjaga menara suar hanya saja dari keduanya saya tidak mendapatkan informasi yang lengkap.

Sepulang dari Anyer, rasa penasaran saya semakin memuncak lalu kemudian saya berusaha mencari informasi mengenai menara suar ini lewat bantuan piranti pencari Google, maka saya mendapatkan beberapa artikel mengenai hal ini. Salah satunya yang saya dapatkan dari website Harian Radar Banten http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=1910, dari artikel ini saya ketahui bahwa mercusuar ini merupakan hadiah dari Raja Belanda ZM Willem III, pada 1885. Hadiah ini diberikan untuk mengganti mercusuar lama yang hancur akibat terjangan letusan Gunung Krakatau pada 1883. Mercusuar yang hingga kini masih berfungsi dengan baik itu dibangun L I Enthoven & Co, sebuah perusahaan konstruksi Belanda.



(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada pintu mercusuar)

Saya bisa menerka informasi ini didapatkan dari prasasti berbahasa Belanda yang menempel pada dinding menara ini tepat diatas pintu masuk, tertulis; ”ONDER DE REGEERING VAN Z.M WILLEM III KONING DER NEDERLANDEN... dst... DE RAMP VAN KRAKATAU VERNIELD. 1885” meskipun saya tidak paham bahasa Belanda namun jika saya perhatikan tulisan pada prasasti itu terdapat kata Z.M WILLEM III merupakan Raja Belanda saat itu dan pada kalimat terakhir disebut-sebut Gunung Krakatau yang telah menghancurkan mercusuar yang semula pada Tahun 1883 kemudian digantikan dengan mercusuar yang saat ini masih berdiri kokoh sejak Tahun 1885.

Upaya pencarian singkat saya lewat internet tidak memuaskan rasa penasaran saya, dari beberapa artikel yang didapati mengenai info mercusuar nampak terlihat informasi copy paste saja. Isinya seputar perancang mercusuar yang tidak diketahui dan berbentuk persegi 12 ini. Mercusuar ini setinggi 75,5 meter terdiri atas 18 lantai. Dinding mercusuar terdiri atas lempengan baja dengan ketebalan 2,5 – 3 cm, juga sedikit informasi insiden yang menjadi bukti sejarah perihal lubang pada lantai 2 dan 12 yang terkena peluru meriam saat penjajahan Jepang

Setelah membaca artikel ini kemudian saya lihat kembali dokumentasi foto ternyata benar adanya bahwa sisa pondasi batu bata berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 4-5meter ini dengan sejenis prasasti kecil ditengahnya merupakan penanda titik nol proyek pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang fenomenal itu. Baru saya sadari dari titik inilah sejarah peradaban dan perkembangan Banten dan Indonesia bermula, betapa tidak, meskipun pembangunan jalan ini pada awalnya untuk kepentingan penjajah namun dalam perkembangannya banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan demi pembangunan Indonesia.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada tugu ”Titik Nol” dapat terlihat lingkaran sisa pondasi mercusuar lama)

Saya berimaginasi seolah-olah saya menjadi Indiana Jones atau Lara Croft yang berpetualang dalam situs-situs peninggalan peradaban luhur dan berhasil mengungkap misteri dari lembaran-lembaran naskah manuskrip dan catatan-catatan sejarah, hanya saja dengan keterbatasan diri maka ‘petualangan’ itu hanya dapat dilakukan dengan cara melompat dari satu buku ke buku lainnya hasil terbitan percetakan modern dan penjelajahan situs-situs maya (website internet atau blog) serta mendengarkan paparan kejayaan Banten masa silam lewat diskusi dengan beberapa kawan diskusi dan rekan kerja, namun keinginan pribadi saya ini ternyata juga di-amin-i oleh beberapa kawan untuk melakukan gerakan budaya-ilmiah dengan terjun langsung pada simpul-simpul sejarah itu secara langsung. Selain dari Titik Nol Daendels ini saya bersama seorang kawan juga pernah datang langsung pada sisa puing-puing Keraton Surosowan Banten, InsyaAllah dalam kesempatan lainnya akan saya ceritakan.

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari satu titik ini saja, karenanya dalam kesempatan ini saya ingin mencoba menceritakan kembali secara ringkas hasil temuan saya yang sembrono ini, namun karena kelemahan saya dalam penggalian sejarah semoga dapat dimaklumi dan semoga menjadi berkah kesempatan berdiskusi bagi siapapun yang membaca tulisan ini. Selain (sangat) sedikit informasi mengenai mercusuar diatas, dari titik nol yang sama dapat kita ketahui sejarah dibalik itu.

Mengutip pemikiran Hegel bahwa ide dianggap sebagai sebab utama timbulnya proses sejarah dan kondisi materiil (sosial, ekonomi, teknologi dan militer) masyarakat dianggap berasal dari dan disebabkan oleh ide besar, bahwa ide tak hanya menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya. Kiranya ada korelasi (benang merah) pendapat tersebut dengan fenomena bersejarah pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang diperkirakan berjarak 1.000 km. Tujuan awal pembangunan jalan ini sudah dapat dipastikan demi keuntungan pemerintahan kolonial saat itu, terutama jika kita cermati dengan melihat kembali pada sejarah kehadiran Herman Willem Daendels di Banten ini sebagai perwakilan dari pemerintahan kolonial.


(logo diambil dari http://kompas.com Ekspedisi/Napak Tilas Kompas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan”)


Menurut sejarawan Joko Marihandono yang dikutip dalam Kompas, 15 Agustus 2008, (lebih lengkap silakan kunjungi http://kompas.com/read/xml/2008/08/15/07535978/daendels.pun.mendarat.di.anyer.) sejarah ini berawal dari ide HW Daendels yang dituangkan dalam proposal tentang rancangan kebijakan yang akan diterapkan dalam Nusantara (Hindia Timur) yang diajukan dihadapan Napoleon Bonaparte di Paris sebagai pemimpin tertinggi karena saat itu Belanda telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan Perancis, beralih sistem menjadi Republik Bataaf (1795-1806) dan dipimpin oleh Louis Napoleon atau orang Belanda menyebutnya sebagai Lodewijk Napoleon. Rancangan itu disepakati maka HW Daendels setelah mendapatkan restu dan promosi kenaikan pangkat dari Kolonel Jenderal menjadi Marsekal kemudian Daendels berlayar menuju Banten, namum perjalanan ternyata tidak semulus yang diharapkan karena saat itu dalam eksalasi perpolitikan dunia terjadi pem-blokade-an laut yang dilakukan oleh armada perang Inggris, sehingga Daendels pun harus melakukan berbagai trik agar bisa mendarat di Banten.

Daendels memulai perjalanan dari Eropa tanggal 18 Februari 1807, secara singkat rute yang diambil dimulai dari pelabuhan Bordeaux lalu mencari jalur alternatif ke Lisabon di Portugal kemudian menuju Maroko namun dia tertimpa masalah kehilangan semua dokumen karena dirampok bajak laut. Berhasil meloloskan diri ke Kepulauan Kanari hingga menyewa kapal Amerika, Virginia yang mengantarnya menyelinap ke Pulau Jawa. Perjalanan panjang yang memakan waktu 10 bulan ini mengantarkan Daendels di Pulau Jawa pada tanggal 1 Januari 1808.

(foto diri HW Daendels diambil dari http://kompas.com Ekspedisi/Napak Tilas Kompas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan”)


Paparan sejarawan Joko Marihandono yang telah melakukan penelitian komprehensif mengenai Daendels ini kiranya dapat meluruskan ’prasasti’ Titik Nol KM yang terletak tepat di sisa pondasi mercusuar lama karena disitu tertulis angka tahun 1806, sementara jika kita bandingkan dengan pemaparan diatas bahwa Daendels mendarat tepat pada tanggal 1 Januari 1808 maka sangat tidak mungkin mega proyek tersebut dimulai pada tahun 1806, saya rasa ketidaktepatan penentuan tahun dalam ’prasasti’ ini wajar saja terjadi karena jika melihat secara fisik maka dapat disimpulkan bahwa ’prasasti’ ini belum lama dibuat dan tidak digarap secara serius karena tidak diperkuat dengan patokan sejarah, namun cukup berguna bagi saya sebagai generasi muda yang ahistoris ini setidaknya mengingatkan bahwa di titik inilah penanda tonggak sejarah besar peradaban modern Indonesia dimulai.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, tugu ”Titik Nol” yang juga dikenal sebagai tugu tanam paksa)

Media besar seperti Kompas pun telah melakukan inkonsistensi dalam pengutipan waktu sejarah, dapat dilihat pada http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/14/06221595/ekspedisi.daendels.belajar.dari.sejarah.sebuah.jalan, tertanggal 14 Agustus 2008 yang merupakan kumpulan artikel berseri ini adalah upaya Kompas melakukan Napak tilas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan” sebagai salah satu tonggak sejarah ini, dari artikel tertanggal 14 Agustus 2008 tersebut tertulis ”5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer, Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra dari negeri Belanda” bandingkan pada artikel berikutnya http://kompas.com/read/xml/2008/08/15/07535978/daendels.pun.mendarat.di.anyer, hanya berselang tepat satu hari setelahnya, tertanggal 15 Agustus 2008; ”Herman Willem Daendels memulai jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat dia menapak Pulau Jawa, tanggal 1 Januari 1808 dengan menumpang kapal Virginia.” jadi terdapat dua patokan tanggal yang berbeda (selang 4 hari) dari kedua artikel tersebut.

Hal ini mungkin sekilas dianggap sebagai remeh-temeh namun dapat berimbas pada generasi berikutnya yang akan diombang-ambing dengan kebimbangan sejarah, sebagai contoh besar yang bisa kita lihat dalam buku pegangan sejarah yang ada sejak jaman saya sekolah dasar yang dikenal dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang tertanam dalam pikiran saya adalah citra heroik Soeharto dalam menumpas gerakan G 30/S/PKI maupun kontroversi SUPERSEMAR kemudian baru-baru ini muncul sejarah dengan versi yang berbeda yang dapat dilihat dari acara telusur sejarah dalam berbagai stasiun televisi.

Terlepas dari itu semua era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang relatif singkat ini, hanya tiga tahun (1808-1811), membawa dampak yang sangat besar
(Semoga masih kuat bikin sambungan tulisan ini)

(Koelit ketjil, 12 Agustus 2009)


also posted in ; http://timoerlaoetnoesantara.blogspot.com/2009/10/kembali-ke-titik-nol-de-groot-postweg.html

1 komentar:

  1. salute tuk orang orang seperti anda, orang yang mengagumi sejarah bangsanya sendiri : )

    BalasHapus

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan