Kami adalah

Rabu, 12 September 2012

RELAWAN RUMAH DUNIA, DARI RUMAHAN MENUJU RELAWAN DUNIA



'

RELAWAN RUMAH DUNIA

DARI RUMAHAN MENUJU RELAWAN DUNIA

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya mendorong seseorang

menjadi layang-layang di ibukota

kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang

belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,

atau apa saja,

bila pada akhirnya,

ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :

“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

[WS Rendra, Sajak Seonggok Jagung]

Alien di Kampung Sendiri

Sepulangnya Saya kembali ke kampung halaman tercinta di Kota Serang, Propinsi Banten, kiranya Sajak Seonggok Jagung karya WS Rendra di atas, sangatlah tepat menohok kesadaran diri Saya yang binggung setelah beberapa tahun menimba ilmu di Kota Pelajar-Kota Budaya-Kota Miniatur Indonesia; Jogjakarta.

Sungguh kontras atmosfer kehidupan yang sebelumnya Saya jalani di Kota Jogjakarta dengan segudang aktifitas ajang kesenian, kebudayaan, perang puisi, bedah buku-novel, kritik karya para seniman di berbagai galeri-galeri, setiap sudut kota yang menyajikan kemerdekaan seniman jalanan berekspresi, berbagai forum terbuka diskusi berbagai macam pemikiran, bahkan agama pun sering kali diperdebatkan, demikian maraknya kehidupan di Kota Jogja.

Lalu apa yang Saya rasakan ketika pertama kali menjejakkan kaki ini di tanah para jawara? Demikian sepi, gersang dan begitu tak berwarnanya kampong halaman tercinta ini. Setelah memerlukan beberapa waktu untuk beradaptasi, Saya dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa warga Banten selama ini tak ubahnya seperti pejalan kaki yang tak tentu arah mencari tujuan.

Hal ini bisa jadi disebabkan karena tak mengetahui sedang berada di titik mana, ataukah tengah berada di persinggahan sementara, bisa jadi sedang menikmati titik nyaman (comfort zone) yang semu dalam kejemuan rutinitas, atau bahkan sama sekali tidak mengetahui dimana titik tujuan itu, hal ini dalam isitilah asing dikenal dengan fenomena ‘Broken Arrow’, anak panah yang patah namun tetap dipaksakan melesat dari busur yang sama rentannya.

Saya melihat, sebagian Orang Banten tak ubahnya seperti azriel zoeker (pencari suaka) yang merindukan tempat pengasingan, untuk berlindung dari teriknya matahari politik lokal yang hanya berjarak beberapa jengkal saja. Suhu politik keluarga itu-itu saja terasa membakar ubun-ubun hingga mendidihkan otak dan menyilaukan mata. Begitu juga ketika Saya melihat Barudak Banten disini seperti bocah-bocah petualangan yang sulit mencari tanah lapang wahana bermain, dimana di setiap jengkalnya telah dipagari kawat berduri dan diberi plang peringatan “Ieu Tanah Abah Aing, Minggat Daria, Geura!” (Ini Tanah Bapak Saya, Pergi Kalian, Cepat!), seolah tak ada tempat berproses tumbuh kembang karakter, memerdekakan diri dan pikiran.


Rumah Dunia, Bukti Masih Ada Harapan di Banten

Semangat hidup Saya untuk mendapatkan siraman air segar surga kesenian-kebudayaan-literasi kembali bergairah, BANTEN MASIH ADA HARAPAN!!! Demikian Saya memekikan asa kemerdekaan ketika melintas daerah Kemang. Di mulut gang jalan, sebelah kuburan umum, dekat tempat bus mangkal sejenak sebelum masuk pintu tol Serang Timur, terdapat sebuah plang dari besi, tertulis; ‘PUSTAKA LOKA RUMAH DUNIA’

Sewaktu di Kota Jogja, sempat beberapa kali Saya mendapat kabar dari beberapa kawan dan media on line, bahwa sastrawan senior Banten, Gol A Gong, tengah membangun peradaban di Banten lewat gerakan literasi. Gol A Gong beserta istrinya, Tias Tatanka dan dibantu oleh penyair senior, Toto St Radik, telah mendirikan sebuah rumah yang dibangun dari kata-kata, sebuah perjuangan mulia memindahkan dunia kedalam rumah, yang diberi nama; RUMAH DUNIA!



(berpose di gerbang Rumah Dunia bersama Kai dari Tokyo Jepang)

Nama besar Gol A Gong, tidak asing bagi kehidupan Saya sejak remaja SMP. Masih lekat di memori biologis Saya, setiap kali pulang sekolah selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Taman Bacaan ‘BANTEN MEMBANGUN’ untuk membaca novel-novel ‘BALADA SI ROY’ selalu Saya nantikan di salah satu bagian rak buku taman bacaan yang terletak di Toko Buku “Banten Membangun” tepatnya di lantai dua. Karakter positif Roy yang mandiri, teguh, kreatif, bandel namun sayang orang tua, mudah bergaul dan memiliki solidaritas tinggi terhadap sesama teman telah menjadi panutan remaja-remaja Banten saat itu, tentunya bagi Saya salah satunya.

Satu kebanggaan yang Saya dapatkan adalah ternyata Gol A Gong adalah senior Saya di SMPN 2 Serang, sekalipun terpaut angkatan yang jauh sekali. Sekolah yang berdekatan dengan Rumah Sakit Daerah Serang dan Alun-alun Kota Serang. Kemudian Saya pun mengetahui bahwa Saya juga menjadi adik angkatan di SMUN 1 Serang yang sama, Saya sudah merasakan sebuah koneksi tak kasat mata sejak saat itu.

Alhamdulillah, sepulang kuliah dari Jogja Tahun 2007, tangan misterius Tuhan mengarahkan Saya menuju Rumah Dunia. Begitu melihat gerbang dengan jenis font huruf khas itu, darah Saya berdesir, merinding, “inikah rumah yang dibangun dari kata-kata itu?”. “Ahhh, Kita seperti sedang berada di Jogja lagi, Kawan!” Komentar spontan Saya kepada seorang kawan yang Saya ajak serta, kawan sesama alumni dari kampus yang sama, beraktifitas teater di sanggar yang sama, bekerja di lembaga kemanusiaan yang sama bahkan satu kos yang sama. Kawan Saya pun berkomentar yang sama!

(perayaan hari Anak Nasional a la Rumah Dunia dengan menyelenggarakan Pesta Anak)

Terlibat dalam Kegiatan Rumah Dunia

Untuk beberapa waktu Saya hanya menjadi penikmat dari berbagai kegiatan kesenian, sastra dan diskusi yang sering digelar oleh Rumah Dunia. Namun pada satu titik, Saya mengambil suatu keputusan bahwa “SAYA HARUS MENJADI MURID GOL A GONG!” Maka Saya pun mendaftarkan diri pada kegiatan pelatihan menulis “BE A WRITER” karena semangat yang diusung dari setiap tulisan dan gerakan Rumah Dunia adalah semangat perubahan yang Saya dambakan. Tulisan-tulisan Gol A Gong, membakar semangat darah muda ini, mengingat Saya merupakan putera daerah yang dilahirkan, dibesarkan, hidup dan kelak mati di tanah leluhur bernama Banten ini. Saya harus ikut ambil bagian!

Beberapakali Saya sempat terlibat dalam kegiatan Rumah Dunia yang berkaitan dengan dunia anak-anak. Pada tahun 2010, ketika kawan blogger dari Jepang, Imelda Veronica Emma Coutrier, memberitahukan akan berkunjung ke Rumah Dunia, bersama kedua putranya; Kai dan Riku (separuh darah Indonesia-separuh darah Jepang), untuk bermain disini. Saya mengusulkan untuk membuat acara permainan anak-anak yang biasa dirayakan Anak-anak Indonesia dalam memperingati Hari Kemerdekaan. Saya juga menghubungi beberapa anak-anak berkebutuhan khusus lewat Guru-guru SLB yang Saya kenal, agar mereka pun turut merasakan kegembiraan yang sama, sekaligus memperkenalkan dunia anak Indonesia bagi tamu dari Jepang ini. Begitu bahagianya Saya ketika dapat menjadi fasilitator berbagai permainan anak-anak tersebut.



(Perayaan Hari Anak Nasional di depan Balai Belajar Bersama Rumah Dunia, Ciloang Serang)


Setiap kali Saya melihat kebahagian anak-anak, dalam hati Saya selalu berteriak, INDONESIA MASIH ADA HARAPAN, KAWAN!

Di tahun berikutnya, Saya merasa bersyukur karena dapat terlibat kembali dalam kegiatan anak-anak, tepat di hari raya mereka, HARI ANAK NASIONAL yang dirayakan oleh anak-anak Kampung Ciloang, tempat Rumah Dunia berada. Pengalaman Saya ketika beraktifitas dalam gerakan perlindungan anak sejak di Jogja dulu, akhirnya berguna kembali. Di saat yang bersamaan, sesungguhnya Saya tengah memendam rindu-dendam terhadap Lembaga Perlindungan Anak Propinsi Banten, dimana Saya juga terlibat di dalamnya sebagai pengurus, sama sekali tidak terpikir untuk merayakan Hari Anak Nasional yang nota bene adalah lebarannya bagi anak-anak. Saya tidak mau ambil pusing, Saya sudah sangat merdeka karena telah menjadi fasilitator pemercik stimulus senyum dan tawa ceria anak-anak Ciloang yang difasilitasi penuh oleh Rumah Dunia.

Selain itu juga, Saya beserta kawan-kawan Babad Banten Institute, sebuah forum kajian dan penggalian kearifan lokal Banten, menciptakan Komunitas Sejarah Banten yang mengajak serta peran aktif masyarakat khususnya generasi muda untuk peduli terhadap sejarah Banten. Kami sudah beberapa kali telah dibantu, difasilitasi oleh Rumah Dunia dalam berbagai kegiatan seperti; ekspedisi menuju situs-situs bersejarah dan mendiskusikan hasil ekspedisi tersebut bersama para relawan Rumah Dunia.


Relawan Rumah Dunia, Ujung Tombak Perubahan Banten

Kehadiran Rumah Dunia di Banten, bagi Kami dan sebagian warga, bisa menjadi ‘oase’ di tengah gersangnya gurun pasir literasi-kesenian-kebudayaan-peradaban, tapi bagi sebagian orang, mungkin bisa menjadi kawah Gunung Krakatau yang siap memuntahkan lahar panas dan gelontoran lahar dingin, mengancam singgasana dinasti mereka. Sementara bagi sebagian besar lainnya tidak berarti apapun karena belum/tidak mengetahui sama sekali, maka menjadi tantangan terbesar bagi Rumah Dunia adalah untuk menyebarluaskan informasi bahwa di Banten yang gersang ini terdapat titik teduh, wahana belajar dan bermain, berdiskusi dan pengembangan kreatifitas diri, berlokasi di Kampung Ciloang, Kota Serang. Tugas terberat ini berada di tangan para relawan.

Mengingat kembali pengalaman Saya yang sempat lima tahun menjadi relawan di sebuah lembaga kemanusiaan di Kota Jogja. Bagi Saya pribadi, menjadi Relawan adalah turut menjadi salah satu bagian terpenting dari sebuah pergerakan. Saya melihat beberapa relawan Rumah Dunia tengah beraktifitas saat itu, langsung menyadari bahwa mereka merupakan ujung tombak pergerakan yang tengah digulirkan oleh Rumah Dunia, selayaknya adalah mereka dengan sosok-sosok pribadi yang tangguh.

Meminjam filosofi tombak, maka sangatlah diperlukan mata tombak yang berasal dari campuran logam-logam yang kuat (karakter kepribadian yang tegar), ditempa dalam tungku bara api (iman-ilmu-pengabdian), tajam (memiliki kecerdasan berpikir), terasah dengan baik sehingga terlihat dari kilaunya yang bebas karat (terus meningkatkan kemampuan diri dengan membaca, menulis dan mentransformasikan pengetahuan, bersih dari godaan duniawi), selalu siap terhunus pada posisi terdepan atau teratas (memposisikan diri selalu siap di lini terdepan dan menjulang tinggi sebagai panji-panji kemenangan).

Saya berpikir, Rumah Dunia, selaku batang tombak, haruslah menjadi penyokong terkuat dari relawan-relawannya yang berada di ujung terdepan. Apalah gunanya mata tombak terkuat sekalipun, jikalau ditopang oleh batang tombak yang terbuat dari batang lidi? Rumah Dunia juga sekaligus harus menjadi semacam kawah candradimuka bagi para relawan. Bertugas membentuk, menggembleng, menempa, mengisi dengan segala perbekalan yang diperlukan bagi para relawannya.

Ketika mata tombak berhadapan dengan sasaran yang akan dituju, maka mata tombak tak pernah ragu untuk menembus karena ditopang oleh penyokong terkuat. Manakala tidak sedang dipergunakan dalam medan laga, ujung tombak ini selalu diberikan tempat terhormat, tidak ditancapkan dalam tanah.

Apalah gunanya ujung tombak yang terbuat dari segala campuran logam terkuat sekalipun, atau batang tombak dari kayu trembesi bahkan dari logam yang sama kuatnya, jika tombak ini hanya teronggok pada pojokan dinding, menjadi pajangan atau bahkan diberi sesaji, disembah karena ada karuhun yang bersemayam disitu? Harus ada kekuatan besar yang mampu mengangkat dan menghujamkan tombak pusaka ini, agar tombak berfungsi kembali pada fitrahnya. Lalu apakah kiranya kekuatan besar itu?

Perubahan! Yaa, perubahanlah yang menjadi energi besar yang seyogyanya memanfaatkan segala keunggulan tombak tersebut. Perubahan adalah sunatullah, tidak dapat terhindarkan atau dihindari, tak dapat dihentikan, tetapi perubahan bisa dirancang dan diarahkan sesuai kehendak kita. Tuhan telah nyata-nyata menyerahkan segalanya kepada umat untuk mengatur perubahan tersebut, maka ruh/nafas/energi/semangat dari Rumah Dunia dan relawan-relawannya adalah semangat perubahan perilaku masyarakat Banten dengan menghidupkan gerakan literasi yang nantinya menjadi pencerah bagi perubahan Banten di masa depan.


Peningkatan Kemampuan Diri Para Relawan, Suatu Keharusan

Begitu besarnya tantangan yang akan dihadapi oleh relawan dalam proses perubahan perilaku ini, maka seyogyanya perubahan ini harus dimulai oleh para relawan itu sendiri dengan diberikan terlebih dahulu ilmu-ilmu yang dapat membukakan mata bagi para relawan. Apalah jadinya ketika relawan bertugas menjadi penuntun masyarakat dari kondisi yang gelap ke arah yang terang sementara para relawan sendiri belum mampu membuka mata, mengenal medan dan melakukan survey rute/jalur perubahan yang dikehendaki?

Kalaulah Saya boleh urun usul, maka merupakan sebuah keperluan pertama dan mendasar bagi para relawan yaitu untuk terlebih dahulu melalui berbagai pelatihan pembangunan kapasitas diri (capacity building), agar mampu membaca ‘Peta Banten’ lebih awal. Mengetahui segala sumber daya kearifan lokal yang telah dimiliki yang nantinya dapat digunakan, mengenal seluk-beluk rute perubahan mana yang akan diambil, dan segala sesuatunya harus terukur dengan baik bahkan kalau bisa secara presisi, dalam dunia perubahan advokasi sosial hal ini disebut dengan Outcome Mapping.

Berbagai pelatihan yang dapat dirancang untuk peningkatan capacity building para relawan misalnya; pengenalan konsep diri (Who am I?), pelatihan menulis-jurnalistik, managemen organisasi (team work building), managemen konflik, teknik negosiasi-lobby, public speaking, pembangunan jejaring (net work building), kursus politik singkat, teknik perancangan kebijakan publik bahkan pelatihan penangulangan bencana dengan metode psikososial dan berbagai pelatihan lainnya, kiranya hal-hal ini perlu dilalui oleh seluruh relawan Rumah Dunia.

Saya sadari, hal ini memang menjadi berat, mengingat di Banten belumlah dapat terlihat lembaga/komunitas lain (jejaring) yang telah memiliki capacity building tersebut. Rumah Dunia harus bisa menjadi pelopor pencetak relawan yang mumpuni di berbagai aspek tersebut, relawan yang tidak hanya mahir di wilayah literasi belaka, jika Rumah Dunia bersedia menerapkan hal ini, maka bukanlah hal yang mustahil, Rumah Dunia bisa menjadi pusat rujukan perubahan yang kita inginkan. Terlebih yang dilakukan oleh Rumah Dunia adalah mempersiapkan generasi pengisi peradaban Banten yang lebih unggul.



(berkat pembangunan jejaring (network building) akirnya mendapatkan bantuan kawan-kawan di jejaring sosial seperti facebook dan blogger, aksi trauma healing Kounitas Relawan Banten menjadi sangat optimal hinggal dapat memberikan kebutuhan mainan, buku, pemenuhan gizi bagi adik-adik di Rangkas)


Dimulai dari pelatihan pertama (kemudian disusul pelatihan lainnya) yaitu; konsep diri (who am I), Saya dapat membayangkan, relawan akan diajak mengenal diri dengan segala potensi diri, menggugah kesadaran diri, rasa kemanusiaan, solidaritas, tanggung jawab dan pemahaman makna relawan itu sendiri. Bahwa relawan yang Saya pahami adalah orang yang dengan suka cita, segenap hati rela melakukan kerja-kerja penyadaran sosial, tanpa perlu berharap nilai-nilai materil. Adapun kemudian akan datang dengan sendirinya keuntungan materil tersebut, maka itu merupakan rejeki tambahan bagi dirinya, bukan dijadikan tujuan utama. Konsep relawan adalah padanan kata mujahid, berjuang untuk ammar mahruf nahi munkar, bukan membela yang bayar atau mengharap bayaran.


Selalu Ada Rejeki bagi Relawan

Sewaktu tinggal di Kota Jogjakarta, Saya melihat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) yang melibatkan mahasiswa dan pelajar sebagai bagian dari perubahan sosial, memasukkan relawan dalam struktur organisasinya. Ada kebanggaan tersendiri ketika kuliah, selain berstatus sebagai Mahasiswa tetapi juga menyandang gelar relawan. Terlebih sebagai Mahasiswa yang memiliki tanggungjawab Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang pengabdian terhadap masyarakat, pastilah senang jika dirinya telah terfasilitasi dengan ikut terlibat dalam setiap program kerja yang menyentuh langsung pada masyarakat yang membutuhkan.



(pelatihan singkat bagi relawan, hal ini yang pertama kali saya lakukan ketika pertama kali mendarat di lokasi Bencana Sumatera Barat. Kami datangi posko-posko relawan untuk diberikan pelatihan singkat mengenai trauma healing, say berani jamin hal ini bisa dilaksanakan dan dapat mudah diserap serta diterapkan karena pada prinsip adalah mengajak bermain kembali. terlihat relawan dari POSKO Kampus Univ Islam Riau di lokasi Agam Sumbar ini begitu ceria, apalagi jika bisa diterapkan bagi anak-anak korban gempa. Alhamdulillah setelah diberi pelatihan singkat para relawan ini keesokan harinya langsung menerapkan untuk beberapa minggu pendampingan di lokasi)


Istilah dari relawan itu sendiri menjadi beragam, bergantung pada lembaga dan program yang dikerjakan, sebutan lazimnya adalah; sukarelawan, volunteer, outreach officer, community organizer, peer educator, pendamping dan sebutan lainnya. Mahasiswa dan pelajar inilah potensi bangsa, calon-calon agen perubahan, sekalipun jangan pernah meragukan juga potensi dari pemuda-pemudi yang tak pernah mengenyam pendidikan.

Beberapa LSM dengan pendapatan besar dan funding luar negeri, biasanya menganggarkan ‘honor’ bagi para relawan. Sekalipun ada sokongan dana bagi para relawan akan tetapi hal tersebut hanya digunakan sebagai stimulus dari program kerja LSM tersebut, bukan dijadikan sebagai penghasilan tetap para relawan. Jangan sampai niatan suci ini menjadi rusak, manakala relawan menghadapi permasalahan ekonomi dalam kehidupannya sementara honor tak kunjung didapat, hingga akhirnya makna relawan melenceng menjadi rela-mela-wan.

Hal ini bukan berarti, ketika sebuah lembaga yang telah memiliki sumber penghasilan atau donasi besar dan telah mengalokasikan anggaran bagi relawannya, lalu dengan semena-mena menggunakan jargon; kerja sosial’, ‘jangan berharap keuntungan materil’ atau ‘iklas’ lantas kemudian relawan tersebut tidak dipenuhi hak-haknya yang telah teranggarkan. Walau bagaimanapun relawan juga manusia.

Saya yakini, Rumah Dunia yang telah mempersiapkan relawannya dengan berbagai pelatihan literasi-jurnalistik, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada akhirnya kemudian akan mendatang keuntungan materil bagi para relawan. Saya memperhatikan bahwa konsep unik dan menarik yang telah dilakukan oleh Rumah Dunia adalah tidak secara eksplisit menganggarkan sejenis ‘honor’ bagi para relawan. Selalu akan ada penghasilan pada saat menjadi relawan, mereka bisa mengirimkan berbagai karya (puisi, cerpen, essai) atau menjadi wartawan lepas dengan memberikan laporan kontributor kepada media massa, baik lokal maupun nasional sehingga dapat dijadikan tambahan uang jajan.

Ketakjuban Saya yang lainnya adalah terhadap managemen yang dijalankan oleh pasangan suami-istri, Gol A Gong dan Tias Tatanka ini, bahwa relawan masih bisa mendapatkan keuntungan materil dari kerja-kerja professional mereka. Contoh; ketika ada program kerja yang bekerjasama dengan pihak-pihak tertentu, baik yang telah nyata-nyata mencantumkan honor panitia atau pelaksana program, atau dengan strategi selisih laba yang ada.

Saya juga mendapatkan bocoran bahwa para relawan bisa mempunyai penghasilan tambahan lainnya yang bisa didapat dari honor sebagai editor, layouter, desainer cover, dan royalti sebagai penulis dalam buku-buku terbitan Gong Publishing yang merupakan lini usaha percetakan Rumah Dunia. Tentu untuk urusan kebutuhan pendidikan formal, pangan dan gizi sudah sejak awal telah diperhatikan, para relawan telah terjamin dalam hal ini. Inilah konsep kemandirian yang jauh lebih baik ketimbang lembaga sosial manapun yang pernah Saya ketahui semasa di Jogja dulu.

Manfaat masa depan terpenting bagi relawan Rumah Dunia adalah dunia kerja yang berkaitan dengan dunia literasi (ex: media cetak/televisi local, perusahaan percetakaan, dll) tidak akan ragu merekrut para relawan jebolan Rumah Dunia untuk menjadi pegawai dalam perusahaan mereka. Ini jaminan yang diberikan oleh Rumah Dunia bagi relawannya tanpa perlu menyodorkan ijazah. Kerja penyadaran sosial bisa tetap jalan terus tanpa perlu kekhawatiran pemenuhan kebutuhan hidup dan penyiapan tabungan untuk masa depan.



(anak-anak Indiana Jones dari Rangkas Banten, mereka adalah anak-anak Indonesia yang bersemangat untuk belajar sekalipun jembatan menuju sekolah mereka putus diterjang banjir)

Selamatkan Anak-anak Banten, Ciptakan Lingkungan Layak Anak

Tabungan masa depan Banten adalah anak-anak, remaja dan pemuda putera daerah Banten. Anak-anak adalah generasi yang harus kita selamatkan dari lingkungan Banten yang tidak ramah bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Miris rasanya setiap kali Saya melintasi Alun-alun Kota Serang yang menjadi wahana bermain sementara bagi anak-anak dengan kondisi sedemikian tidak layaknya. Tidakkah pemerintah kita melihat begitu besarnya keinginan anak-anak Banten untuk mendapatkan lingkungan yang layak bagi mereka untuk bermain, belajar, tumbuh dan berkembang, bahkan hal ini telah dijamin dalam Undang-undang Perlindungan Anak.



(Hak anak untuk bermain dan kembali ceria tidak terbatas dalam keadaan normal maupun paska bencana. Terlihat semangat adik-adik SDN Pasir Tanjung Rangkas Banten kembali bersemangat saat mengikuti trauma healing bersama Kakak-kakak dari Komunitas Relawan Banten)


Relawan Rumah Dunia juga harus memiliki keprihatinan, sensitifitas dan berani menjadi pelopor dalam urusan ini. Menjawab tantangan lingkungan di hampir seluruh wilayah Banten yang tidak layak bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, maka menjadi sebuah kegelisahan bagi para relawan Rumah Dunia untuk meningkatkan pembangunan kapasitas diri dengan berbagai pelatihan-pelatihan yang sempat Saya singgung di atas.


(remaja dan pemuda adalah potensi bangsa yang bertanggungjawab untuk mengembalikan senyum dan keceriaan anak-anak di lokasi bencana. Photo saat aksi trauma healing bersama adik-adik SDN Sangiang Tanjung yang dikenal dengan ' Indiana Jones van Banten' )


Sebagai contoh, ketika relawan melakukan kerja-kerja pengorganisasian terhadap anak-anak/remaja pelajar maka metode peer educator (pendidik sebaya) adalah strategi paling tepat. Perlu kita pahami karakter psikologis para remaja yang berada dalam fase peralihan dari fase anak menuju pra dewasa, lebih cenderung untuk mendengarkan atau mengikuti ucapan teman seusianya. Remaja jaman sekarang tidak lagi patuh terhadap orang dewasa yang terkesan memaksakan kehendak.


(pemuda setempatlah yang kemudian menjadi tumpuan bagi adik-adik di tengah lokasi bencana. alhamdulillah sebelum kembali ke Banten, kami sempat memberikan pelatihan trauma healing bagi pemuda-pemudi Lubuk Basung, Agam-Sumatera Barat, aksi trauma healing dapat diterapkan secara kontinyu, inilah salah satu model pembentukan peer educator (pendidik sebaya) meskipun dlam waktu singkat)


Strategi penciptaan peer educator akan memudahkan gerakan perubahan sosial yang kita dambakan, dengan cara menyiapkan sumber daya remaja-remaja yang paham dengan kondisi sosial yang ada dan mau bergerak sesuai dengan kemampuan mereka miliki, kelak remaja-remaja ini akan menyampaikan kepada teman-teman seusianya, baik di lingkungan sekolah, teman sepermainan, friendlist dalam face book dan peluang-peluang lainnya. Metode getok-tular dirasakan masih efektif untuk dapat diterapkan, Kita dapat menerka hasil ini akan jauh lebih optimal dan massif.




(Sekolah adalah salah satu lokasi yang harus menerapkan Lingkungan Ramah Anak, tidak hanya di waktu normal tetapi ketika terjadi gempa. Photo saat aksi trauma healing untuk anak-anak korban angin puting beliung di Desa Tangkurak, Pontang - Serang (atas). aksi Trauma healing di halaman SDN Sangiang Tanjung 2 Rangkas-Banten)


Perjuangan terwujudnya Lingkungan Layak Anak harus dimulai dari mereka sebagai bukti bahwa ini merupakan metode pergerakan partisipatoris, bahwa kita yang dewasa-dewasa ini hanya menjadi fasilitator. Segala keinginan, usulan, rancangan, penentuan titik lokasi dan bahkan batas waktu penciptaan lingkungan layak anak, semuanya harus didorong dari keinginan murni dari anak-anak dan remaja. Jangan sampai kita membentuk desain Lingkungan/ Kota Layak Anak sementara anak-anak tidak dilibatkan sama sekali.



(simulasi pengetahuan gerakan tanah saat gempa bumi, lewat permainan anak-anak mendapatkan pengetahuan sekaligus tidak lagi takut terhadap gempa karena terbawa suasana permainan)


Penyelamatan Anak-anak Ketika Bencana Terjadi

Diatas adalah cara-cara pendampingan terhadap anak pada situasi dan lingkungan aman, perlu juga diperhatikan dan dipersiapkan penanganan terhadap anak ketika bencana terjadi. Mengingat Negara kita masih sering terjadi bencana alam maupun tingginya potensi konflik sosial, perlu dipahami bahwa relawan juga dimaknai sebagai orang yang siap dan tanggap dalam berbagai kondisi dan situasi. Tentu kita tidak akan tinggal diam ketika bencana alam atau konflik sosial berkepanjangan terjadi di daerah kita atau daerah lainnya, tapi apa yang terjadi biasanya adalah tanggap menjadi ‘peminta-minta iba’ dengan melakukan penggalangan dana di jalanan atau penggumpulan pakaian layak pakai.


(Salah satu metode trauma healing bisa menyalurkan minat bakat anak, hal ini pernah kami lakukan dengan cara bermain musik dengan alat alakadarnya saat pendampingan trauma healing bagi korban gempa bumi di Jogjakarta)

Masih ada satu metode yang bisa diterapkan oleh relawan Rumah Dunia dalam menjawab tantangan ini, yaitu Metode Psikososial, penanganan trauma psikologis bagi anak-anak yang menjadi korban bencana alam maupun terjebak dalam konflik sosial berkepanjangan. Saya siap berbagi pengalaman kepada seluruh relawan Rumah Dunia ketika Saya dan kawan-kawan melakukan proses pendampingan terhadap anak-anak korban bencana sewaktu di Jogja, Cianjur, dan Sumatera Barat beberapa tahun silam.



(aksi trauma healing untuk anak-anak korban gempa bumi dan longsor di Desa Cikangkareng - Cianjur, bersama team mahasiswa UNTIRTA)

Saya berani jamin, metode ini tidak membutuhkan banyak orang, peralatan sekedarnya saja dan dana yang tak besar, karena hakikatnya metode psikososial ini adalah mengajak anak-anak kepada dunia mereka kembali yaitu bermain dan belajar, karena bermain adalah hak bagi mereka sekaligus mampu mengalihkan perhatian mereka dari tekanan psikologis.


(anak-anak korban gempa bumi di Bantul-Jogjakarta kini terlah berani bermain kembali sekalipun di bekas reruntuhan rumah mereka yang rata dengan tanah)

Psikososial yang diterapkan kepada anak-anak ibarat ‘satu peluru, dua target’, ketika menangani trauma anak dengan cara mengajak bermain maka para orang tua akan memantau dari dekat, mana kala anak-anak kembali ceria maka orang tua akan merasa tentram dan bisa jadi menghilangkan trauma pada orang tua. Setelah anak-anak merasa aman, metode belajar informal lainnya bisa dilakukan, kita juga bisa mengajarkan anak-anak untuk sigap terhadap bencana atau konflik yang akan datang di kemudian hari.



(agar adik-adik dapat mengikuti setiap permainan dalam aksi trauma healing, diharapkan kakak-kakak fasilitator mampu memberikan instruksi yang mudah dipahami dengan cara memberikan contoh agar dapat diikuti anak-anak. Photo saat aksi trauma healing di SDN TanjungSani, di tepian Danau Maninjau Sumatera Barat)

Penanganan bencana ini, jika dapat dilakukan oleh relawan Rumah Dunia, selain menyelamatkan sebuah generasi, juga dapat dijadikan tamparan pembelajaran bagi Lembaga Kemanusiaan yang berada dalam naungan Dinas Sosial yang ada di Banten ini. Mereka mengklaim sebagai pihak yang paling awal tanggap terhadap bencana, tapi buktinya justru mereka menjadi pelindung politik bagi pemerintah kita yang telah melakukan kesalahan. Akhirnya menjadi gagap bencana alam tapi tanggap bencana politik yang mengancam keluarga dinasti.

Saya rasa dalam proses perubahan perilaku/sosial di Banten ini, maka sudah tak dapat ditawar lagi, relawan Rumah Dunia kiranya tak hanya bergerak di seputar permasalahan literasi saja tetapi harus lebih dari itu. Masyarakat Banten memerlukan pencerah/penuntun/pendamping/pengorganisir dalam menghadapi permasalahan sosial yang sudah diracuni oleh tindakan para pemimpin, anggota dewan, ulama dan jawara yang tidak layak lagi dijadikan panutan karena mereka sudah sangat merugikan masyarakat.

Begitu muaknya Saya melihat kondisi ini setiap hari, hingga Saya bertekad; sudah tinggalkan saja generasi tua yang terkontaminasi oleh racun keduniawian itu. Sasaran utama kita adalah anak-anak, remaja dan pemuda Banten yang kelak menjadi penerus peradaban ini, mereka inilah yang harus kita selamatkan, dituntun, dibimbing dan diorganisir bersama-sama untuk menggalang gerakan perubahan sosial Banten ke arah yang lebih baik. Bersih dari praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme, komersialisasi pendidikan, politisasi simbol-simbol agama, dan jauh dari ancaman jawara-jawara perusak kearifan lokal, menuju kondisi merdeka yang kita dambakan.

Impian relawan Rumah Dunia menjadi RELAWAN DUNIA dapat terwujud mana kala para relawan selalu menempa diri dalam berbagai pelatihan pembangunan kapasitas diri yang mumpuni hingga mampu mentransformasikan pengetahuannya bagi Banten dan Dunia.

-Koelit Ketjil-

*salah satu Pendiri Babad Banten Institut
*Simpatisan Rumah Dunia

*Mantan Relawan PKBI DIY dan Community Organizer UNICEF untuk program penanganan gempa bumi di Jogjakarta

*** tulisan ini pernah dimuat dalam buku RELAWAN DUNIA, seri RUMAH DUNIA, Penertbit Kepustakaan Gramedia (KPG)***



Senin, 10 September 2012

Nike Agustina Ramadhan Berhak Untuk Sehat dan Ceria Kembali


*** sebuah catatan dan refleksi terhadap kasus Dik Nike, pasien hydrocephalus yang Hak untuk sehatnya terabaikan. Tercatat pada tanggal 6 Maret 2012 untuk diunggah ulang di blog ini.
by Aliyth Prakarsa (Koelit Ketjil) ****


 

(Nike, pasien hydrochefallus dari Anyer-Banten, foto courtesy FesbukBantenNews)



Hak anak untuk sehat dan kembali ceria tidak dapat dihalangi oleh siapapun dan dengan dasar alasan apapun! Hal ini berlaku juga bagi seorang bocah bernama Nike Agustina Ramadhan berusia berusia 6 bulan penderita hydrocephalus asal Cilegon, Banten.


Sungguh malang nasib seorang bocah bernama Nike Agustina Ramadhan (6 bulan) penderita Hidrocephalus anak dari pasangan Muksin (35) dan Rohayati (23) warga tidak mampu asal kampung Pasir Seureuh, Desa Gunung Sugih, Kecamatan Ciwandan-Cilegon, ini. Ketika pertamakali ditemukan oleh beberapa orang relawan yang bergerak di Fesbuk Banten News (FBN), Nike yang masih bayi terlihat sangat memprihatinkan dengan kondisi lingkaran kepalanya sudah sangat membesar, ukurannya sudah melebihi 2 kali kepala orang dewasa, serta urat-urat di seputar kepalanya terlihat menonjol. Bahkan dua kelopak matanya seakan tertarik oleh urat-urat kepalanya, sehingga kedua bola matanya tidak bisa melihat dengan sempurna. Akibat latarbelakang ekonomi yang kesusahan Nike tinggal bersama Ibunya, Rohayati, di sebuah rumah kontrakan di Desa Anyer, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, ibu Nike mengatakan, mulai merasakan perbedaan pada kepala anaknya semenjak Nike berusia dua bulan, sebagaimana dilansir oleh Banten Pos Online[1] dan Fesbuk Banten News[2].


Dalam perjalanannya kawan-kawan Relawan dari FBN terus melakukan advokasi dengan melakukan pendekatan secara langsung kepada pihak keluarga, dinas-dinas terkait serta melakukan jejaring gerakan sosial kepada masyarakat luas melalui berbagai media massa dan jejaring sosial di dunia maya. Segala upaya telah dilakukan mulai dari pencarian rumah Nike, membujuk pihak keluarga agar Nike bisa dilakukan upaya pengobatan yang layak, menghubungi Dinas Sosial setempat, mengupayakan JAMKESDA dan persyaratan administratif lainnya, hingga aksi penggalangan kepedulian bagi Nike.


Upaya tersebut setidaknya membuahkan titik terang bagi upaya pengobatan Nike hingga mendapatkan rujukan kepada Yayasan Sayap Ibu yang berlokasi di daerah Bintaro, Tangerang. Pada hari Rabu malam, 29 Februari 2011, dihantarkan oleh Relawan FBN, Nike diterima dengan baik, bahkan pihak yayasan yang konsern terhadap kesehatan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu ini, menyatakan bersedia memfasilitasi segala bentuk penanganan medis hingga sampai tahap operasi.


Kerja keras kawan-kawan Relawan FBN cukup membuat puas dan bangga dalam diri para relawan malam itu karena Nike telah berada dalam penanganan yang tepat, namun ketika keesokan harinya, salah seorang relawan dihubungi oleh Muksin (35), ayah kandung Nike. Nada keras, lontaran kekecewaan disertai ancaman diucapkan oleh Muksin yang merasa tidak terima dan seolah dilecehkan dianggap tidak diakui keberadaannya karena tidak dimintai izin perihal penanganan anaknya bahkan para relawan akan dituntut untuk dimintai pertanggungjawaban jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terkait keselamatan hidup Nike. Hal ini sesungguhnya hanya karena kesulitan berkomunikasi antara Relawan dengan Muksin dikarenakan Muksin tengah berhadapan dengan hukum, sehingga sulitnya akses komunikasi sementara jeda waktu yang ada setidaknya dalam pandangan para relawan ‘dituntut’ untuk melakukan tindakan cepat. Melihat kondisi yang memprihatikan dan telah mendapatkan izin dari ibunda Nike, bahkan Kakek dan Nenek dari Nike memberi restu maka berangkatlah mereka ke Yayasan Sayap Ibu yang berlokasi di Bintaro, Tangerang, tapi apa mau dikata, sepertinya harapan Nike untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan yang layak hanya akan menjadi mimpi.



Emosi dan kekhawatiran Muksin selaku orang tua bisa saja dianggap sebagai hal yang wajar, akan tetapi jika melihat manfaat yang lebih besar lagi demi kepentingan kesehatan terbaik bagi Nike, sudah selayaknya, Muksin harus menyadari hal ini dan turut merelakan, mendukung, mendoakan serta seharusnya berterimakasih karena masih ada pihak lain yang peduli terhadap kondisi anaknya. Saya yakin para relawan bergerak tanpa berharap pamrih atau imbalan apapun, cukup melihat Nike tertangani oleh pihak yang tepat, itu saja. Sementara di sisi lain, keadaan ekonomi dan posisi Muksin yang tengah berhadapan dengan hukum maka secara otomatis dapat menghambat segala upaya penanganan perbaikan kesehatan bagi Nike, sekalipun Muksin beralasan bahwa Dia tengah mengupayakan cara alternatif yang sulit untuk diterima oleh akal sehat di jaman modern seperti sekarang ini, yaitu MEMINDAHKAN PENYAKIT NIKE KEPADA SEEKOR AYAM!



Sesungguhnya saya secara pribadi sangat memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh semua pihak yang terlibat dalam upaya advokasi kesehatan bagi Nike, karena hal ini juga pernah saya alami ketika berupaya melakukan hal serupa bagi Alenta (3 tahun) yang juga menderita penyakit hydrocephalus yang berasal dari daerah Rangkasbitung, Banten. Saya juga pernah membuat catatan pengalaman mengenai upaya ini.[3]




( foto  almh. Alenta (3 thn) penderita hydrocephalus yang sempat dirawat di Yayasan Sayap Ibu, namun orangtua menarik pulang Alenta, tak lama kemudian Alenta kembali kepangkuan Yang Maha Merawat)



Hak Nike dan Anak-anak Indonesia Dilindungi oleh Hukum


Hak Nike untuk sehat dan kembali ceria merupakan hak anak bangsa yang harus diberi perlindungan hukum sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999 (UUHAM), dalam konsideran huruf b;

“Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.”


Hak asasi manusia merupakan hak yang kodrati memiliki sifat non derogable human right yang mengandung arti tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Pengertian HAM tersebut tidaklah terbatas oleh usia, jenis kelamin maupun kondisi ekonomi bahkan kesehatan seseorang, terlebih seharusnya perlindungan HAM lebih ditingkatkan lagi bagi mereka yang terabaikan atau diabaikan, terlemahkan atau dilemahkan oleh kondisi ekonomi.


Spirit HAM tersebut kemudian diadopsi dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), jika menilik batasan usia yang diatur dalam undang-undang ini maka Nike sebagai Warga Negara yang baru berusia sekitar 6 bulan, tentunya berhak dilindungi oleh hukum, sebagaimana diatur oleh Pasal 1 (12);

“Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.”

(Almh Alenta ketika diterima dan dijamin layanan kesehatan, perawatan dan operasi oleh Yayasan Sayap Ibu. Entah kemana peran negara ini)


Pengaturan dari kedua Undang-undang yang saling terkait ini lantas menimbulkan konsekuensi bahwa segala bentuk dan proses perawatan serta pelayanan kesehatan bagi Nike adalah hak kodrati yang tidak dapat simpangi oleh siapapun (non derogable human right) sebagaimana hal ini diperkuat/diatur dalam UUPA, Pasal 8;

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”


UUPA yang memiliki semangat dasar diantara adalah; “kepentingan terbaik bagi anak”, memberikan perhatian khusus untuk anak-anak seperti Nike ini, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 (15) dan Pasal 59, diantaranya memberikan perlindungan khusus yang diberikan kepada anak dalam situasi;
anak korban kekerasan,
anak yang menyandang cacat,
anak korban perlakuan salah dan
anak korban penelantaran.

(Almh. Alenta ketika diterima dan diberikan penjelasan perawatan oleh pengurus Yayasan Sayap Ibu. 30 Januari 2011 )


Melihat begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak dan amanat undang-undang ini maka Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA) menganggap perlu dibuatnya sebuah pedoman yang diperkuat dengan Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.


Dalam pedoman ini terdapat pengertian mengenai Kekerasan Terhadap Anak, yaitu; setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya;.[4]
kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis,
penelantaran dan
perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.


Siapa sajakah yang berpotensi melakukan kekerasan tersebut?
orang tua,
keluarga dekat,
guru, dan
pendamping.

yang merupakan pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya.


Demikian jelasnya segala upaya perlindungan harus diberikan kepada Nike, mengingat nyata-nyata bahwa Nike berada diposisi sebagai anak korban kekerasan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya dengan menarik kembali Nike dari tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang jauh lebih layak dan terjamin serta dilakukan oleh pihak-pihak professional yang kompeten di bidangnya bahkan siap difasilitasi hingga operasi, namun hal ini ditolak oleh Ayah Nike sehingga dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, serta mengancam integritas tubuh Nike.


Tindakan penolakan dari Ayah Nike ini tergolong dalam perbuatan penelantaran dan perlakuan buruk, tragisnya hal ini dilakukan oleh orang tuanya memiliki kuasa asuh atas anak tersebut. Hal ini dipertegas dalam Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan diatas yang memberikan batasan bahwa; “Perlakuan salah terhadap anak adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab dan/atau mereka yang memiliki kuasa atas anak, yang seharusnya dapat dipercaya yaitu orang tua, keluarga dekat, guru, pembina, aparat penegak hukum, pengasuh dan pendamping”. Demikian halnya bahwa; “Penelantaran anak adalah tindakan sengaja atau tidak sengaja yang mengakibatkan tidak terpenuhi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang secara fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.” Kedua batasan ini mengadopsi dari ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang telah diakui oleh seluruh dunia.


Penelantaran; merupakan tindakan kekerasan yang dialami anak baik disengaja atau tidak sengaja yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang secara fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dari orang yang memiliki kewenangan atas anak tersebut. Adapun bentuk penelantaran tersebut antara lain pengabaian terhadap kebutuhan dan keinginan anak, membiarkan anak melakukan hal-hal yang akan membahayakan anak, lalai dalam pemberian asupan gizi atau layanan kesehatan, pengabaian pemberian pendidikan yang tepat bagi anak, pengabaian pemberian perhatian dan kasih sayang dan tindakan pengabaian lainnya.


Tindakan penolakan Muksin atas upaya perawatan dan pengobatan Nike yang akan difasilitasi lembaga yang kompeten yakni RS Fatmawi, bahkan Muksin akan mengupayakan pengobatan alternatif oleh seorang tabib dengan metode pemindahan penyakit Nike kepada ayam, jelas-jelas merupakan perlakuan yang salah dan dengan sendirinya Muksin juga telah melakukan penelantaran terhadap Nike karena telah dengan sengaja atau tidak sengaja yang mengakibatkan tidak terpenuhi kebutuhan dasar Nike yaitu untuk hidup sehat!


Penyakit yang diderita oleh Nike terjadi akibat akumulasi abnormal cairan cerebrospinal di dalam otak. Cairan ini sering meningkatkan tekanan sehingga dapat memeras dan merusak otak. Pada normalnya cairan otak itu diproduksi dan diserap dengan seimbang. Jadi, begitu serapannya terganggu akibat suatu proses, seperti penumpukan cairan di otak, sehingga terjadi pembesaran di sekitar kepala atau lazim dikenal dengan Hydrocephalus. Penyakit ini sering ditemukan (90 persen) pada anak berusia di bawah 6 tahun yang hidup dalam keadaan keluarga yg tidak mampu secara ekonomi. Penyebab penyakit ini bermacam-macam, dapat berhubungan dengan beberapa sebab termasuk cacat sejak lahir, pendarahan di otak, infeksi, meningitis, tumor, atau cedera kepala.[5]


( foto Nike saat ditemukan oleh relawan FBN. courtesy FBN)


Melihat kondisi Nike yang baru berumur sekitar 4 bulan dan tanda-tanda penyakit ini mulai terlihat sejak usia 2 bulan maka besar kemungkinan penyakit ini merupakan cacat sejak lahir. Undang-undang Perlindungan Anak memberikan perhatian khusus bagi anak yang memiliki kecacatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 (7) Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Begitu juga dalam UUPA Pasal 1 (15), Pasal 9 (2), Pasal 12, Pasal 51, Pasal 59, Pasal 62, Pasal 70.


Hal ini bukan permasalahan sepele yang dapat diabaikan begitu saja karena prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak ini telah berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahkan turut memasukkan prinsip-prinsip dasar universal sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak-hak Anak.


Adanya hukum yang merupakan perwujudan kesepakatan bersama yang memiliki tujuan luhur agar terciptanya ketertiban (order), perlindungan masyarakat (social defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) maka mau-tidak mau, suka-tidak suka, hukum akan melakukan intervensi kepada ranah pribadi dan domestic setiap orang sesuai dengan koridor yang telah ditentukan. Begitu juga halnya di bidang perlindungan anak, kekuasaan hukum bahkan dapat membatasi hak dan kewenangan orang tua terhadap anak yang hidup bersama mereka, ini menunjukkan bahwa anak yang hidup dalam sebuah rumah tangga tidak mutlak ‘milik’ dari orang tua yang membesarkan anak.


Hal ini bukan semata-mata dilakukan oleh Negara Indonesia yang seolah menunjukkan kekuasaannya yang tak terbatas di hadapan Warga Negara, melainkan pengaturan ini sudah menjadi consensus (kesepakatan) masyarakat dunia, misalnya lewat Konvensi Hak-hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1987. Indonesia sebagai anggota peserta pada tanggal 25 Agustus 1990, telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child, sehingga konsekuensinya adalah turut membuat segala kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak, sebagaimana amanah KHA pada Pasal 4; “Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah legislatif dan administratif, dan langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini…”

(Kondisi Nike ketika pertama kali dijenguk oleh Komunitas Relawan Banten, 3 maret 2012)


Bahkan secara spesifik jika kita kaitkan dengan kondisi Nike yang menurut pandangan saya yang telah dipaparkan di atas dengan pendekatan beberapa ketentuan hukum, bahwa Nike merupakan korban kekerasan, penelataran dan salah perlakuan ketika dalam pengasuhan orang tua, kiranya hal ini juga menjadi amanah dari KHA khususnya pada Pasal 19 (1); “Negara-negara Peserta akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah, luka (injuiry) atau eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak.”

(Komunitas Relawan Banten bersama Nike dan Ibunda.
Dokumentasi ini sebagai bukti bahwa kami hanya menjadi perantara tali kasih kawan-kawan facebook yang dermawan dan mempercayai kami untuk menyampaikan langsung. Semoga menjadi amal ibadah bagi kawan-kawan semua. Amieeenn)


Segala kebutuhan Nike pun sesungguhnya sudah diakui oleh masyarakat internasional dan diberikan pengaturan agar diperhatikan bagi setiap Negara peserta, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 (3); “Mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus anak cacat, bantuan yang diberikan sesuai dengan ayat 2 dari pasa ini akan diberikan secara cuma-cuma, bilamana mungkin dengan memperhatikan sumber-sumber keuangan orang tua atau orang lain yang memelihara anak yang bersangkutan, dan akan dirancang untuk menjamin bahwa anak-anak cacat bisa memperoleh dan menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemulihan,

Tidak hanya perjanjian internasional yang memberikan amanah perlindungan bagi anak-anak seperti Nike, para founding father kita juga berpesan kepada penerus bangsa ini lewat Undang-undang Dasar yang pada saat itu sudah berpihak kepada ‘wong cilik’ bahwa; “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”.

(Begitu derasnya perhatian kawan-kawan, hingga Komunitas Relawan Banten menjenguk kedua kalinya untuk menyampaikan amanat talikasih kawan-kawan untuk Dik Nike. 16 Maret 2012)


Kiranya para penerus bangsa ini tidak hanya puas dengan ‘pesan agung’ tersebut yang dalam pelaksanaanya hanya menjadi slogan belaka dari pemerintah yang masih tidak peduli dengan kondisi rakyatnya. Saya jadi teringat kalimat dari Soe Hok Gie dalam catatannya pernah menulis; “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat…”


Maka pada tanggal 10 Agustus 2002, sejak 19 Oktober 1999 telah beberapa kali dilakukan perubahan atas UUD 1945 bahkan menjadi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang sebelumnya merupakan hal yang sakral, bahwa tidak ada satu pihak pun yang boleh merubah UUD. Hingga pada Perubahan IV, khususnya pada Pasal 34 menjadi;

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.



(Jika negara belum mampu menjamin kesehatan dan kesejahteraan anak-anak bangsa ini, maka kami dan jutaan rakyat Indonesia masih mampu menunjukkan kepedulian, inilah bukti dari kawan-kawan jejaring di facebook yang cinta kasihnya telah berubah menjadi berbagai kebutuhan bagi Nike, siap kami salurkan)


Sekalipun dalam pelaksanaanya sulit sekali diterapkan, tapi setidaknya Negara telah ‘gentle’ atau berani menyatakan kesanggupan bertanggung jawab akan hal ini, maka selayaknya rakyat menuntut ‘pesan agung’ yang terpahat dalam Undang-undang Dasar ini, sehingga orang tua Nike (dan jutaan rakyat lainnya) tidak perlu lagi khawatir anaknya tidak terobati dengan layak.


 

Siapa sajakah yang Seharusnya Bertanggung jawab Atas Perawatan Nike?


If children live with security, they learn to have faith in themselves.

If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.

(Jika anak dibesarkan dengan keamanan, mereka belajar untuk memiliki kepercayaan dalam diri mereka sendiri

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, mereka pun belajar menemukan cinta dalam kehidupan)


[Dorothy Law Nolte, Ph. D]


Petikan kalimat dari Dorothy Law Nolte dari beberapa preposisi yang beliau tuliskan tersebut sering kali dijadikan semacam ‘kitab kuning’ atau ‘patokan’ bagi pergerakan advokasi anak atau bagaimana seharusnya penanganan terbaik bagi anak. Anak adalah amanahTuhan yang kebetulan dititipkan dalam rahim seorang perempuan dan kehidupan pasangan suami-istri. Anak memiliki kehidupan sendiri sekalipun belum mampu bertindak atau hidup mandiri namun anak bukan ‘hak milik’ yang dapat disamakan dengan ‘barang pribadi’ lalu kemudian para orangtua bisa sekehendak hati menentukan kehidupan sang anak.


Anak yang hidup dalam kondisi normal saja perlu diberikan jaminan perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 4; “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”



(Komunitas Relawan Banten dan kawan-kawan dermawan di facebook, adalah salah satu wujud peranserta masyarakat turut bertanggungjawab bagi perlindungan anak. Kunjungan kedua KRB, 16 Maret 2012)


Merujuk pada ketentuan UUPA Pasal 20 maka para pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, adalah;
Negara,
Pemerintah,
Masyarakat,
Keluarga, dan
Orang tua.”


Maka tidaklah berlebihan jika kondisi Nike yang sedemikian lemah dan tak berdaya perlu mendapatkan perhatian lebih serius lagi dari berbagai kalangan.



Lalu Bagaimana Caranya?
 



(berkat bantuan jejaring alhamdulillah Babad Banten Institut berhasil menghantarkan Alenta ke Yayasan Sayap Ibu, Bintaro ditemani oleh Bu Bilqis Ketua FKKDAK. 30 Januari 2011)



Saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas segala upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan Relawan FBN, segala daya dalam upaya melakukan advokasi bagi rakyat tidak mampu telah mereka lakukan, dimulai dari tergugahnya hati mereka, menaikan kadar kepedulian dari tingkat simpati hingga ‘empati level akut’ (demikian istilah Kang Iip Syafrudin, Kordinator Relawan FBN), melacak keberadaan Nike dan keluarga, melakukan kampanye kepedulian (awareness) lewat berbagai media hingga penggalangan dana, memfasilitasi pembuatan berbagai fasilitasi administrasi pendukung (ASKESKIN, JAMKESMAS, dll) bahkan sampai pada mendapatkan jejaring rujukan yayasan yang kompeten dalam melakukan tindak medis yang sangat layak bagi kepentingan terbaik untuk Nike.


Hal ini menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap perbaikan kesehatan Nike bukan semata-mata menjadi beban tanggungan keluarga, peran serta masyarakat juga dapat dituntut pertanggunggjawabannya. Jika tidak percaya, silakan cermati kembali isi UUPA Pasal 20; “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”


(Generasi muda harus ambil bagian dalam perlindungan anak. Komunitas Relawan Banten pada kunjungan kedua di rumah Nike. 16 Maret 2012)


Bukankah segala upaya yang telah dilakukan oleh kawan-kawan Relawan FBN dan Komunitas Relawan Banten serta kawan-kawan dermawan di jejaring sosial ini menunjukkan bahwa INDONESIA MASIH ADA! Bahwa Pak Muksin tidak sendiri memikul beban berat ini!


Selayaknya anak dapat hidup berada di dalam lingkungan keluarga utamanya sendiri, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, namun jika melihat kondisi yang dialami oleh Nike dimana karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam UUPA Pasal 7.


Kondisi kesehatan Nike yang memprihatikan sangat perlu dilakukan berbagai upaya pengobatan, dalam hal ini seharusnya sudah masuk dalam tahap pengobatan kuratif , dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dijelaskan bahwa;

“Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.”


Banyak pihak yang mengatakan bahwa penderita penyakit hydrocephalus tidak memiliki umur yang panjang, tapi saya berkeyakinan bahwa persoalan umur adalah sepenuhnya Kuasa Tuhan, manusia boleh saya mempridiksi dengan melihat kasus-kasus sebelumnya, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting dalam kasus Nike yaitu pengurangan penderitaan akibat penyakit bahkan jika bisa hingga taraf penyembuhan penyakit. Saya jadi teringat ungkapan kesedihan hati dari Nenek yang mengurus (almh) Alenta, bocah berusia 3 tahun penderita hydrocephalus dari Rangkasbitung, setiap hari Alenta selalu menangis menahan rasa sakit bahkan jika sudah menangis bisa sampai 4 hingga 5 jam tanpa henti, dan kemungkinan pada saat berhenti menagis pun akibat rasa sakit itu hilang dengan sendirinya, menyerah atau air mata itu sudah habis terkuras. Hanya Alenta yang dapat merasakan, wallahualam.


Pemerintah lewat salah satu Menteri dalam kabinetnya pun patut kita mintai pertanggungjawaban, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang telah membuat Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan, diantaranya memaparkan Mekanisme Upaya Penanganan Anak Korban Kekerasan, yang siap menjadi salah satu pihak sebagai garda terdepan dengan langkah-langkah penanganannya yang tergabung dalam Pusat Pelayanan Terpadu, yaitu; unit kerja fungsional yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk korban. Pusat Pelayanan Terpadu sendiri dapat berupa tempat yang bernama shelter/rumah aman, RPTC, RPSA, P2TP2A maupun Pusat Pelayanan Terpadu yang ada dan berbasis di Rumah Sakit Bhayangkara dan sebagainya.


Pelayanan terpadu diawali dengan identifikasi korban untuk memastikan seseorang adalah korban kekerasan atau bukan. Identifikasi ini dilakukan dengan melakukan interview terhadap korban guna memastikan bantuan apa yang diperlukan oleh korban. Apakah memerlukan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum. atau langsung dipulangkan ke keluarga, atau keluarga pengganti.[6]



Ancaman Sanksi


Tujuan dari segala upaya perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.


Mengapa amanah dari Pasal 3 ini perlu dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu melihat kembali hakikat atau fitrah dari anak. Dalam agama, kepercayaan dan budaya manapun di muka bumi sudah pasti memberikan anak berada pada posisi yang penting karena merupakan titipan Tuhan, anak merupakan generasi penerus yang akan menjalankan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini, saya tidak perlu menjelaskan satu persatu bagaimana setiap agama, kepercayaan dan budaya mengatur mengenai hal ini karena pada dasarnya pasti memiliki kesamaan makna.


Namun karena Negara kita adalah Negara Hukum yang berasaskan Pancasila maka kiranya posisi penting anak perlu diatur oleh hukum, hal ini dapat dilihat dalam konsideran UUPA, bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Demikian pentingnya keberlangsungan hidup anak bagi eksistensi bangsa dan Negara ini, maka tidak ada lagi alasan bagi trhalanginya hak-hak dasar anak dalam kehidupannya.


Bertolak kembali dari prinsip non derogable human right bahwa hak Nike untuk kembali sehat tidaklah dapat disimpangi oleh siapapun, maka bagi mereka yang berani menghalangi hak tersbut harus siap dengan sanksi tegas yang telah diatur dalam hukum positif Negara kita.


Ancaman pidana dapat saja dikenakan kepada orangtua Nike dan Tabib (dukun) yang berupaya melakukan cara-cara alternatif yang tidak tepat dalam menangani proses kesembuhan Nike. Hal ini dapat dilihat dalam aturan;


UUPA Pasal 13;

“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang

bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

c. penelantaran;

f. perlakuan salah lainnya.

“(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.”


Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 191;

“Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).”




**** BERSAMBUNG ****



[1] http://bantenpos-online.com/2012/02/08/nike-butuh-uluran-tangan/


[2] http://www.fesbukbantennews.com/2012/02/meski-kondisi-bayi-hidrocephalus-sangat-memprihatinkandinkes-cilegon-belum-turun-tangan/


[3] http://timoerlaoetnoesantara.blogspot.com/2011/01/mencuri-mimpi.html


[4] Periksa; Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan, Bab I Pendahuluan, Bagian E, dijelaskan pengertian Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak yang dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, guru, dan pendamping.


[5] Baca artikel mengenai penyakit hydrocephalus salah satunya di ; http://www.smallcrab.com/anak-anak/853-sekilas-mengenal-hydrocephalus



[6] Lebih lanjut, silakan baca; Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan, Bab IV mengenai Mekanisme Upaya Penanganan Anak Korban Kekerasan



*** Ditulis oleh Aliyth Prakarsa (Koelit Ketjil) ***