Kami adalah

Kamis, 20 Agustus 2009

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Propinsi Banten

Penting nih klik disini

kalau PERDA EMBANGUNAN JANGKA PANJANG PROPINSI BANTEN klik disini

Kemana Nasib Masa Depan Pasar Tradisional?

Kemana Nasib Masa Depan Pasar Tradisional?

di copy dari

http://indocashregister.com/2009/08/18/kemana-nasib-masa-depan-pasar-tradisional/

Agustus 18, 2009 · 2 Komentar

Stigma dan konotasi bahwa pasar tradisional adalah becek, kumuh, kotor, dan semrawut belum juga sirna hingga kini. Pasar tradisional juga identik dengan banyaknya pedagang kakilima, preman pasar, atau tempat parkir yang tidak teratur.
Kondisi itu membuat banyak kalangan khawatir pasar tradisional bakal semakin ditinggalkan pembeli. Terlebih kini semakin banyak pasar ritel modern yang bertebaran di berbagai sudut kota, atau juga gerai ritel mini yang mulai menyerbu sampai tingkat kecamatan serta membuka cabang di berbagai kompleks perumahan di kota-kota.
Pasar Induk Beringharjo Yogyakarta

Pasar Induk Beringharjo Yogyakarta

Dari sisi harga jual barang pun, banyak item yang ditawarkan pasar tradisional kini tak lagi lebih murah dibanding gerai ritel modern, khususnya kategori hipermarket yang memang menawarkan barang dengan harga sangat kompetitif. Bila seabrek kelemahan ini dibiarkan terus, kematian pasar tradisional hanya tinggal tunggu waktu.
Kenyataannya, ada sejumlah pasar tradisional yang gulung tikar, termasuk di lingkup DKI Jakarta. Tak sedikit pula pasar tradisional yang terbakar, entah disengaja atau tidak, karena penataannya yang semrawut.
Pasar tradisional tak boleh dibiarkan mati. Sebab, pasar tradisional adalah representasi dari ekonomi rakyat, ekonomi kelas bawah, serta tempat bergantung para pedagang skala kecil-menengah. Pasar tradisional menjadi tumpuan bagi para petani, peternak, atau produsen lainnya selaku pemasok.
Benar bahwa secara nasional omzet pasar tradisional masih mendominasi. Dari omzet perdagangan ritel hampir Rp 100 triliun selama 2008, pasar tradisional menguasai 80%. Namun, dari tren beberapa tahun terakhir, pangsa pasar itu terus menyusut.
Itulah sebabnya, pasar tradisional harus diselamatkan. Pasar tradisional yang umumnya berada di bawah pembinaan pemerintah daerah harus dibenahi. Pembenahan tidak semata pada penampilan fisik atau desain kios-kios yang ada, tapi menyangkut semua aspek yang selama ini menghambat kemajuan pasar tradisional.
Di antaranya adalah pembenahan manajemen. Manajemen pasar tradisional perlu lebih profesional. Dalam konteks ini, pemda bisa menggandeng institusi lain untuk memberi pelatihan bagi para pedagang. Selain itu, perlu peninjauan ulang berbagai kebijakan soal retribusi yang dinilai memberatkan. Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia beberapa kali mengeluh sikap pemda yang hanya cenderung mengeksploitasi pasar tradisional dengan memungut retribusi, tapi kurang peduli pada upaya-upaya perbaikan.
Pasar tradisional perlu dibersihkan dari preman yang ikut-ikutan menarik pungutan liar, pedagang kali lima, atau parkir-parkir liar yang memperburuk kenyamanan konsumen untuk berbelanja.
Di lain sisi, para pedagang pasar tradisional juga perlu lebih jujur dan profesional. Ada kesan, karena sifat pasar tradisional yang memungkinkan adanya tawar menawar harga, pedagang suka menipu konsumen. Atau, mereka bertindak tidak jujur dengan mempermainkan timbangan yang tidak semestinya.
Sudah saatnya pasar tradisional bangkit dan berbenah, agar tidak kian terpinggirkan dan ditinggalkan konsumen. Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan terhadap pasar tradisional. Perlindungan tidak dilakukan dengan membatasi ritel modern. Di sini peran pemerintah sangat penting dengan menerapkan peraturan secara konsisten yang tidak saling merugikan.
Langkah Departemen Perdagangan merevitalisasi pasar tradisional di berbagai provinsi dan kabupaten patut diapresiasi. Swasta juga perlu dilibatkan dalam pembenahan pasar tradisional. Sejumlah pengembang swasta kini membangun pasar tradisional bergaya modern yang nyaman dan bersih.

Pasar tradisional adalah salah satu jantung dan pilar ekonomi rakyat, yang mampu menyerap setidaknya 12,5 juta tenaga kerja. Biarlah pasar tradisional dan modern hidup berdampingan secara harmonis dan tidak saling mematikan, tapi justru saling melengkapi. ( Investor)

Kategori: artikel · bisnis

Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan II 2008 dari Bank Indonesia

utk lihat file penting ini klik disini
atau lihat websitenya BANK INDONESIA

Carrefour Sudah Monopoli

di copy dari:
http://antinekolib.blogspot.com/2008/09/carrefour-sudah-monopoli.html

Carrefour Sudah Monopoli

Tim Riset Partisipasi Indonesia menemukan bahwa pasar ritel Indonesia sudah ‘dikuasai’ oleh Carrefour setelah perusahaan itu mengambil alih Alfa. Akibatnya para pemasok ditekan semikian rupa, sehingga Carrefour mengambil untung sebanyak-banyaknya. Berikut hasil penelitian tersebut.

Dengan mengakuisisi Alfa, berarti Carrefour sudah memiliki 58 gerai, sebuah kekuatan besar dalam industri ritel Indonesia. Bila digabungkan dari segi pendapatan, Carrefour sebesar Rp 7,2 triliun dan Alfa sebesar Rp 2 triliun, itu sudah menjadi Rp 9,2 triliun. Sedangkan jumlah gerai hypermarket Giant adalah setengah dari jumlah outlet Carrefour dan Hypermart.

Paska akuisisi Alfa oleh Carrefour, kesenjangan omzet Carrefour melampaui sangat jauh dari pesaingnya, yakni Ramayana yang hanya memiliki omzet Rp 4,8 triliun pada tahun yang sama.

Menurut data AC Nielsen per November 2007, sebelum mengakuisisi Alfa, pangsa pasar produk makanan Carrefour hanya 5 persen dan setelah akuisisi, diperkirakan pangsa pasar yang akan dikuasai adalah 7 persen (Koran Tempo, 23/1/08).

Dengan Mengakuisisi Alfa Retalindo, Carrefour sudah memperkuat posisinya di segmen gudang rabat, karena posisi sebelumnya ditempati oleh Alfa sendiri.

Memasukkan penjualan yang dihasilkan oleh pelaku usaha di pasar minimarket, ternyata tidak mengubah posisi dominan Carrefour di pasar penjualan, yakni dengan pangsa pasar 31,1 persen dengan nilai Rp 10,5 triliun di tahun 2007, diikuti oleh PT Sumberjaya Alfaria Trijaya dengan minimarket Alfamart yang menghasilkan penjualan sebesar Rp 5 triliun tahun 2007, atau dengan kata lain kurang lebih 50 persen dari penjualan yang dihasilkan oleh Carrefour.

Carrefour juga mendominasi dalam periklanan produk. Belanja iklan Carrefour meningkat 35,2% menjadi Rp 18,5 miliar di 2003, dan menempatkan Carrefour sebagai peritel terdepan dalam belanja iklan. Gempuran iklan Carrefour menyebabkan mereka menguasai brand imagekonsumen.

Secara nasional, Carrefour telah menjadi pelaku usaha dominan sebelum terjadinya akuisisi. Sebelum akuisisi, Carrefour telah memiliki pangsa pasar 42,3%.

Pangsa pasar ini adalah 23,2% lebih tinggi atau lebih dari dua kali lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar Hero, yang merupakan pesaing terdekat Carrefour. Akusisi menyebabkan Carrefour mampu menguasai hampir 50% dari pasar bersangkutan. Gerai-gerai Carrefour yang tersebar di beberapa kota di Indonesia berada pada posisi yang cukup strategis.

Carrefour memberlakukan trading term yang memberatkan pemasok yaitu meraih pendapatan lain-lain (other income) hingga Rp 40,19 miliar. Perolehan dari listing fee terbesar, mencapai Rp 25,68 miliar. Sedangkan dana dari kepesertaan minus margin (jaminan pemasok bahwa harga jual produk paling murah) Rp 1,98 miliar, dan sisanya Rp 12,53 miliar berasal dari pembayaran syarat dagang.

Carrefour memiliki bargaining power terhadap pemasok dalam menegosiasikan item trading terms. Fakta yang didapatkan dalam penelitian, bahwa Carrefour menggunakan bargaining power-nya untuk menekan pemasok agar mau menerima penambahan item trading terms, kenaikan biaya dan persentase fee trading terms.

Bentuk tekanan yang dilakukan antara lain berupa menahan pembayaran yang jatuh tempo, memutuskan secara sepihak untuk tidak menjual produk pemasok dengan tidak mengeluarkan purchase order, mengurangi jumlah pemesanan item produk pemasok.

Keberanian Carrefour dalam menerapkan strategi ‘harga miring’, harus dibayar mahal oleh para pemasoknya, lewat trading term yang merugikan.

Carrefour sering memberlakukan produk Private label kepada para pemasoknya, terutama dari jenis produk lokal seperti cotton bud, kecap pedas, gula pasir, dan lain-lain. Private label tersebut dijual dengan harga cukup murah untuk menarik pembeli.

Paska Akuisisi Alfa, Carrefour memperlakukan besaran trading term yang sama terhadap pemasok alfa, padahal level kemampuan mereka sangat berbeda.

Dampaknya terhadap sektor Ritel Indonesia, adalah tidak adanya equal playing field, menyebabkan penyalahgunaan posisi dominan (Abuse of dominant power), sehingga mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat.

Dengan mencermati sepak terjang Carrefour sekarang ini, kelihatan kecenderungan tingkat konsentrasi dan pangsa pasar yang cukup dominan. Meskipun market share Carrefour belum mencapai 50%---seperti yang disebutkan oleh UU tentang posisi dominan, tetapi di lapangan sudah kelihatan pertarungan tidak berimbang antara Carrefour dengan pesaingnya, ataupun antara Carrefour dengan pemasok.

Karena itu, KPPU harus melakukan monitoring secara aktif terhadap dampak-dampak yang timbul dalam persaingan usaha paska akuisisi Alfa oleh Carrefour. Jika terbukti mengarah pada praktek monopoli, maka KPPU berhak membatalkan akuisisi tersebut.

Tim Riset Partisipasi Indonesia
http://www.inilah.com/berita/citizen-journalism/2008/09/11/49015/carrefour-sudah-monopoli/

Selasa, 18 Agustus 2009

Realitas Dinasti Rawu Chasan Sochib Di Banten

Dikutip dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2009/06/14/dinasti-rawu-yang-fenomenal/

Malam ini saya diajak kembali berdiskusi merevieuw ulang perjalanan sejarah yang telah dilewati bersama kawan-kawan. Secarik catatan yang tersisa dan semangat yang sempat hilang dan patah arang, kembali dibuka kembali malam ini disebuah warung jagung bakar lesehan di alun-alun kota Serang. Bersama seorang kawan yang datang dari jauh untuk tujuan penelitian dan seorang sobat muda, diskusi dibuka dan kembali mengkaji fenomena yang kini terjadi di Banten.

Banyak yang telah dilalui sebagai catatan sejarah yang menarik ketika awal Propinsi Banten berdiri hingga saat ini, sehingga tak heran banyak peneliti baik warga asing maupun local tertarik melakukan penelitian. Saya teringat Clifford Gertz ketika meneliti Mojokuto menghasilkan tesis yang sangat terkenal sekali, yaitu kaum priyayi, abangan, dan santri. Barangkali juga di Banten ini menghasilkan tesis baru, yaitu metamorfosa kaum Jawara (stratitifikasi tradisional lama; ulama, umaro dan jawara) dalam hal ini Klan H. Hasan Sochib dan kekuatan dinasti keluarga yang dibangun adalah fenomena sosial menarik yang tidak terdapat di daerah lainnya di Indonesia.

Simbol-simbol budaya jawaraisme klasik telah ditinggalkan berganti baju dengan modernisme budaya pop kapitalisme feodal berbaju baru, hal yang dahulu dengan sangat sukses pula dimainkan dimasa orde baru yaitu penguatan negara dalam bidang ekonomi (mengatur bukan mengawasi regulasi ekonomi), dan dekonstruksi budaya (phsyical violence).

Sejak tahun 1998 hingga kini diwarnai oleh tiga kecenderungan arus utama yaitu demokrasi liberal, civil society organization (CSO) yang bertujuan melakukan advokasi pemberdayaan masyarakat, dan kekerasan politik serta sosial di berbagai daerah.

Implikasi lainnya dari reformasi adalah dampak dari desentralisasi wilayah dan otonomi daerah adalah bagaimana mempertahankan komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD dengan advokasi, akses pada bantuan teknis (technical assitance), akuntabilitas (tanggung gugat) pembelanjaan/pengeluaran, dan evaluasi / tecnical audit berdasarkan indikator kinerja (performance indicators).

Bersambung …………

Dinasti Klan Hasan Sochib

Prof.DR(HC). H.Hasan Sochib
Hj.Ratna komala sari (CALEG)
RT.Hj.Atut Choisiyah, SE

Drs.H. Hikmat Tomet (Caleg DPR RI)
Hj. Ratu Tatu Hasanah (Adik Atut) (Caleg DPRD)
H. Aden Abdul Khalik (ipar Atut) (Caleg Juga)

H. Haeuruj Jaman ( Wakil Walikota Serang)
H. TW (Tubagus Wawan) (ipar atut) (PENGUSAHA BESAR)
H. Andika Azrumy (Calon DPD)

Hj. Ade Rosy (Caleg DPRD Kab/kota)


Suara Rakyat


Sabtu, 08 Agustus 2009

JALAN PERGERAKAN PEMUDA KONSOLIDASI KERAKYATAN MENUJU KONSOLIDASI NASIONAL MEMBANGUN KEKUATAN KAWASAN MELAWAN NEO-KOLONIALISME IMPERIALISME

Kutipan dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/08/16/elan-spirit-pemuda-revolusioner/#more-1823

Eman Sulaiman

SEBAGAI AWALAN

Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat.
Situasi nasional saat ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa global yang langsung maupun secara tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap perkembangan ekonomi politik di Indonesia. Bangkitnya faksi baru dalam pertarungan hegemoni global Modal Internasional dan mulai tertatanya ekonomi politik kawasan khususnya di Asia memberi pemahaman baru terhadap kita bahwa, peristiwa perang dingin yang melahirkan dua kekuatan besar dunia antara Blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet telah bergeser jauh.
Tesis baru yang ditelorkan oleh Samuel F Huntington yang kemudian dikuatkan oleh pemikiran filosofis Franscis Fukuyama tentang akan munculnya benturan peradaban baru yang tidak lagi diwakili oleh pertarungan antar dua kekuatan negara adidaya melainkan didasari oleh pertarungan kepentingan Ideologi atau lebih tepat disebut pertarungan sentimen agama yang secara historis dilegitimasi oleh sejarah benturan di masa Perang Salib.

Pertarungan Blok Barat antara Amerika dan sekutunya serta Blok Timur yang diwakili oleh Irak dan Iran serta beberapa negara Islam lainnya mulai memuncak di penghujung tahun 2001 tepatnya 11 September ketika diledakannya gedung WTC yang mengorbankan ribuan orang, telah menjadi tonggak baru pertarungan global. Sehingga secara cepat Amerika kemudian melahirkan Resolusi untuk memerangi Terorisme. Osamah Bin Laden sebagai tokoh sentral dijadikan entry point untuk menyerang Afganistan dan selanjutnya menyulut perang di Irak dengan meruntuhkan Rezim Saddam Husein. Belum berhenti di tahap tersebut serangan akan dilanjutkan ke Iran akan tetapi karena Iran sebagai salah satu negara penghasil minyak dunia serta memiliki angkatan perang kuat juga telah mempersiapkan diri dan bahkan berani menyulut peperangan dengan mengalihkan konsolidasi ekonomi politiknya dengan Rusia dan Korea Utara. Namun yang harus dicatat, tesis besar Huntington tentang benturan peradaban mulai diragukan, bangkitnya Cina dan Jepang sebagai kekuatan utama perekonomian Asia bahkan dunia tidak saja mengancam eksistensi Amerika dan Eropa sebagai kekuatan besar dunia tapi juga mulai mempengaruhi pranata dan keseimbangan tatanan ekonomi politik di kawasan.
Korea Utara sebagai salah satu kekuatan baru yang sedang tumbuh di Asia juga menjadi ancaman yang cukup besar, selanjutnya kebangkitan beberapa negara-negara berkembang yang sering disebut negara dunia ke III seperti kebangkitan India, Vietnam, dan SriLanka menjadi inspirasi baru dalam lahirnya kekuatan baru dunia yang tidak lagi “menghamba” terhadap kekuatan Amerika melainkan mulai bergerak maju dan coba menisbatkan diri sebagai kekuatan dalam kancah pertarungan global. Di lain sisi. kebangkitan beberapa kekuatan di Asia juga disertai konsolidasi efektif beberapa kekuatan Negara Dunia ke III di daratan Amerika Latin bahkan di dekade akhir abad ke-20 kekuatan Amerika Latin telah bangkit disertai berkuasanya kekuatan-kekuatan sosialisme yang dilatar belakangi oleh perjuangan Nasional masing masing negara, seperti Argentina, Chili, Bolivia, Venezuela, Brazil dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Fenomena kebangkitan beberapa kekuatan negara-negara yang tidak pernah diprediksi sebelumnya telah menggeser pertarungan Ekonomi Politik global tidak lagi pada dua kekuatan blok dunia baik pasca perang dingin maupun pasca Black September, kebangkitan tersebut memberi sinyalemen pertarungan global lebih didasari oleh kekuatan-kekuatan kawasan yang sedang mempertaruhkan harga diri kebangsaan mereka sebagai wujud kebangkitan dari sebuah kekuatan dunia yang tidak lagi di bawah dominasi salah satu negara maupun blok yang bertarung. Sesungguhnya fenomena kemunculan kekuatan yang terus berkembang secara signifikan didasari oleh menguatnya paradigma penguatan Nasional sebagai alat pertarungan di wilayah kawasan maupun dunia secara global, selanjutnya kita secara kritis bertanya lalu Indonesia sebagai salah satu negara Dunia ke III di kawasan Asia telah bergerak kemana atau sedang melakukan strategi kebangkitan seperti apa dalam kancah pertarungan antar kawasan dan jerat pertarungan global?

INDONESIAKU:
ANTARA BUAIAN SOFT POWER DAN JEBAKAN HEGEMONI GLOBAL

Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan
garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme?
Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia.
Polarisasi yang sedang berkembang dalam faksi modal internasional yang disertai dengan kebangkitan negara-negara berkembang telah merubah beberapa kebijakan Ekonomi Politik Negara-Negara Modal khususnya Amerika, wacana Soft Power sebagai kebijakan luar negeri Amerika merupakan efek langsung dari kemajuan mendasar yang ditunjukan negara-negara berkembang, sebenarnya wacana Soft Power merupakan alternatif kebijakan yang lahir dari ketidak sepakatan beberapa negara yang ditujukan bagi kebijakan Hard Power Amerika yang melakukan ekspansi kekuatan miuliter di Afganistan dan Irak atau dengan kata lain pengendoran kebijakan tidak serta merta dipandang sebagai melemahnya kekuatan besar Amerika melainkan bisa jadi sebagai strategi hegemoni negara tersebut terhadap negara “jajahannya”.
Wacana istilah soft power sesungguhnya telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye, Guru Besar Kennedy School of Govertmen University Hardvard, AS. Dalam dua karyanya: Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Nye lalu mengembangkan ide soft power ini dan merelevankannya dengan kebijakan Amerika Serikat. Akan tetapi, penjelasan Nye yang lebih terperinci mengenai soft power ditulisnya secara komprehensif dalam karyanya :Soft Power: The Means to Succes in World Politics (2004). dalam buku tersebut, Nye mendefinisikan dimensi ketiga kuasa ini sebagai ”kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni memikat dan mengkooptasi pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.”(Nye, 2004). Nye menyebutkan bahwa soft power suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negerinya.
Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen, dan implikasinya. Soft power berciri mengkooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan dan kebijakan, sementara hard power antara lain berupa militer, sanksi, uang, suap, dan bayaran. Karenanya tidak seperti soft power yang berimplikasi mengkooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.
Kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Modal Internasional sesungguhnya tidak semata-mata lahir akibat dari mulai massifnya perkembangan negara-negara dunia ke III maupun konsolidasi kawasan yang terus digerakan oleh kekuatan besar dunia seperti Cina dan Jepang di Asia maupun Iran dan Libanon di Timur Tengah. Rentetan peristiwa besar telah menjadi pelajaran yang cukup membekas bagi kebijakan politik luar negeri Amerika, dari kegagalan menangkap Osamah Bin Laden sebagai kambing hitam peristiwa Black September di Afganistan yang malahan berujung meluasnya perang saudara di sana dan kemudian merembet ke kedaulatan negara Irak yang menjadi negara bulan-bulanan serangan Amerika berikutnya, dengan dalih untuk menciptakan stabilitas ekonomi politik dan penegakan demokrasi serta untuk menghancurkan rezim otoriter Saddam Husein di Irak, begitupun ancaman senjata nuklir yang disinyalir oleh AS sedang dikembangkan oleh Irak, namun sampai detik ini ternyata sama sekali tidak bisa terbukti secara kongkrit. Runtuhnya Saddam hanya menambah luka bagi rakyat sipil di Irak dan memperluas konflik berdarah di sana, senjata nuklir yang menjadi alasan mendasar AS ternyata hanya menjadi sumbu penyulut dari ekspansi Amerika semata.
Peristiwa tersebutlah yang mendorong konsolidasi beberapa kekuatan negara-negara di dunia untuk meninjau kembali posisi pertarungan di kancah globalnya, ancaman AS yang akan menyerang Iran bukannya membuat Iran surut malah melakukan Apel Siaga penyambutan serangan dan hal serupa juga terjadi pada ancaman penyerangan AS ke Korea Utara dengan alasan pengembangan senjata Nuklir ternyata juga malah dijawab dengan pembentukan barikade pasukan siap perang di Korut.
Betulkah alasan klasik negara AS menyerang beberapa negara yang telah disebutkan di atas merupakan tujuan utama dari ekspansi kekuatan militer atau sesungguhnya bagian dari pembaharuan atas krisis Minyak dunia yang sedang terjadi di tingkatan Global, kita mengetahui secara bersama bahwa ketergantungan negara barat terhadap Minyak untuk lahan pengembangan industri mereka sangatlah tinggi oleh karena itu apapun akan dilakukan untuk mempertahankan dominasi tersebut. Ternyata dibalik situasi tersebut AS tidak menghitung secara matang bahwa dengan semakin gencarnya mereka melakukan ekspansi secara langsung berakibat menguatnya resistensi bebrapa negara yang menganggap kebijakan luar negeri AS adalah arogan dan akan menghancurkan tatanan dunia dan kemanusiaan, lihat saja bagaimana timpangnya keberpihakan AS terhadap serangan rudal Israel ke Palestina dan Libanon serta semena-menanya menata infrastruktur ekonomi negara berkembang dengan jerat Hutang Luar Negeri.
Hal tersebutlah menjadi pelajaran kenapa Amerika Latin berani mengkonsolidasikan diri sebagai wujud resistensi perlawanannya terhadap kebijakan Neo Liberalisme yang diterapkan AS dan sekutunya maupun kebangkitan Malaysia, India dengan teknologi IT-nya dan Vietnam yang mulai bergerak menuju negara maju. Lain halnya dengan apa yang terjadi dengan kebijakan Indonesia yang tidak segera berbenah secara mandiri dan berdaulat untuk segera keluar dari kungkungan kapitalisme internasional melainkan semakin terjerumus ke jurang ketergantungan yang entah kapan muaranya akan berakhir.
Berubahnya paradigma politik luar negeri AS yang dipandang sebagai rekonstruksi politik pasca perang Irak dengan lebih menekankan kebijakan populis dan pendekatan Soft Power. Sangat disayangkan beralihnya kebijakan tersebut tidak segera disambut oleh Indonesia dengan penataan dan pranata yang kuat dalam menyambut pertarungan globalnya.
Kebangkitan India dan Vietnam sendiri cukup menjadi referensi bagaimana Cina dan Jepang sebagai dua kekuatan besar Asia dengan agresifnya merubah kebijakan luar negeri mereka dengan coba mulai mengkonsolidasikan India, Korea Utara Vietnam dan Sri Lanka untuk meninjau ulang posisi kawasan Asia dalam kancah pertarungan globalnya. Cina yang sejak dulu menyatakan perang dingin terhadap India dan larinya masyarakat komunitas Tibet di Cina yang dipimpin Dalailama beberapa waktu terakhir mulai mencair dan akan dengan sesegera mungkin merubah pola hubungan bilateral mereka dan lebih mengefektifkan kembali kerjasama ekonomi, politik, budaya dan pendidikan kedua negara (Baca: Kunjungan Hu Jintao ke India beberapa waktu lalu di penghujung bulan November ini).
Iran sebagai kekuatan besar negara di Timur Tengah juga mulai membangun kekuatan nasionalnya dan bahkan kekuatan di sektor kawasan Asia Tengah kita lihat bagaimana perkembangan Iran di sektor persenjataan dan minyak bumi memberi alasan yang kuat Rusia, Cina dan beberapa negara Eropa merubah kebijakan untuk mengembargo Iran seperti penekanan embargo yang dilakukan oleh AS terhadap Iran. Begitupun dengan Korea Utara yang terus membuka konsolidasi efektif dengan beberapa kekuatan kawasan seperti Rusia dan Cina sendiri. Di sisi lain kemajuan dinamika politik di kawasan Amerika Latin juga menambah corak perkembangan baru di konteks globalnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Indonesia menyikapi peristiwa – peristiwa besar yang telah banyak merubah beberapa negara yang dulunya sejajar dengan Indonesia kini mulai bergerak maju meninggalkan kita, dependencia politik terhadap Amerika jelas menjadi situasi yang cukup mendasar bagi keberlangsungan dan perubahan kebijakan nasional dan luar negeri Indonesia. Coba kita perhatikan bagaimana ketergantungan besar Indonesia terhadap Amerika yang demikian kuatnya sehingga dalam penyambutan Bush kemarin harus membuang uang sebesar Rp 6 Miliyar dan teramat ironis landasan yang dibuat di Kebun Raya Bogor ternyata malah tidak dipergunakan.
Dan yang lebih ironis lagi bahwa keberadaan Amerika di Indonesia dipercaya akan membawa perubahan yang signifikan di sektor Pendidikan, Kesehatan, Bio Energi dan Investasi. Kita masih percaya bahwa Amerika akan memberikan stimulus baru bagi kemajuan Indonesia jika itu benar ini sama halnya di masa Sukarno sebelum kemerdekaan yang terus menunggu kemerdekaan yang dijanjikan Jepang sedang situasi globalnya telah mensyaratkan Revolusi 45 menjadi jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
Kita juga patut membedakan kedatangan AS di Vietnam, Rusia, Singapura dan beberapa negara lainnya di dunia akan memberi implikasi yang sama di Indonesia, sebab kebutuhan pokok AS di Indonesia adalah untuk menata ulang eksplorasi sumberdaya yang mereka miliki di Indonesia seperti Freeport, Exxon Mobile, Blok Cepu, Newmont dll, sebagai fungsi pertahanan bagi basis produksi industri di negara Amerika, sehingga secara tidak sadar kita dipaksa bersikap bahwa kebijakan Soft Power lewat pendidikan adalah niatan murni negra digdaya tersebut untuk memajukan Indonesia. Jika kita belajar dari sejarah sesungguhnya kebijakan tersebut tidak ada ubahnya sebagai sebuah selubung hegemoni untuk kesekian kalinya yang dilakukan negara Amerika untuk mempertahankan dominasinya di Indonesia dan kawasan Asia secara khusus.
Sesungguhnya soft power merupakan leksikon lain dari apa yang telah telah dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891- 1937) tentang hegemoni. Soft Power merupakan upaya halus suatu mekanisme ajakan yang dilakukan secara simpatik. Baik soft power maupun hegemoni merupakan bentuk mengkooptasi melalui instrumen – instrumen seperti kebudayaan, kebijakan, nilai, dan institusi.
Perbedaan kontras antara soft power dan hegemoni ialah latar belakang pemikirnya: hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan seorang marxis italia dengan upaya melakukan perjuangan kelas, namun soft power muncul dari akademisi AS dengan intensi memberikan strategi-strategi jitu AS agar tetap melestarikan hegemoni dan dominasinya selama ini.
Dengan istilah soft power, Nye sebenarnya ingin menunjukan kenetralan konsepnya itu dan berupaya seakan-akan terbebas dari stigma menghegemoni yang sejak gramsci telah dipandang peyoratif.

Tereduksi AS

AS memang kerap menghegemoni masyarakat dunia dengan jargon membela hak- hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Sebagian besar masyarakat dunia pun tampak oleh nilai- nilai yang kerap diklaim AS sebagai nilai mereka itu. Layaknya alexis detocqueville pada abad ke-19 yang terpesona oleh ”demokrasi di Amerika”, sebagian mereka yang pernah studi di AS pun cenderung akan “terseduksi” AS.
Mantan menteri luar negeri AS, Colin Powel pun pernah mengakui kenyataan ini. Menurutnya, proses pertukaran budaya melalui program beasiswa belajar merupakan aset yang sangat besar bagi negerinya, terutama sebagai sarana menjadikan para “alumni AS” sebagai “diplomat AS” kelak (Nye, 2004: 44).
Tokoh politik Perancis, Hubert Verdin dan Dominique Moisi, dalam France in an Age of Globalization (2001), juga mengakui efek “tocqueville” dalam program beasiswa ini, yang menjadikan AS mudah menciptakan hasrat-hasrat masyarakat dunia melalui citra globalnya.
Penyebaran hasrat dan upaya penciptaan citra juga dilakukan pusat-pusat kebudayaan asing di negeri kita, seperti CCF (Perancis), Goethe Institut (Jerman), British Council (Inggris), Erasmus Huis (Belanda) dan lain-lain. Pusat-pusat kebudayaan ini berkepentingan mensosialisasikan budaya, seni, citra, nilai, dan kebijakan negerinya kepada masyarakat kita.
Dengan berbagai cara, lembaga- lembaga tersebut melakukan “seduksi budaya”: kursus bahasa, pemutaran film, pertunjukan seni, pemberian beasiswa, dan sebagainya. Selain itu, media-media mereka memainkan peran penting dalam “menggiring opini” publik seperti yang dilakukan CNN, BBC, VOA, DW, dan lainnya.
Lalu sesungguhnya kita (baca: Indonesia) sedang hendak bergerak seperti apa dalam konteks pertarungan globalnya? Ketertundukan negara terhadap Modal Internasional semestinya sudah mulai ditinjau ulang. Ketakutan atas krisIs ekonomi politik dan bahkan lebih jauh fenomena Balkanisasi yang akan terjadi haruslah kita ukur sebagai efek yang bisa saja terjadi tapi lebih mulia dibandingkan kita harus terus tunduk dibawah ketiak Neo Klonialisme Imprealisme Modal.
Kekuatan besar yang Indonesia miliki mestinya menjadi basis struktur penguat bagi terbentuknya kedaulatan ekonomi politiknya. Sumber daya alam yang melimpah tidak harus dibungkus dengan ketergantungan terhadap ekperimentasi Bio Energi yang sedang dikembangkan AS untuk menutupi kebutuhan pasar minyak dunia, sumber daya manusia yang melimpah juga bagian dari aset besar yang semestinya dikelola untuk membangun negara dan masyarakat Indonesia.

OLIGARKI POLITIK DAN PROBLEM KERAKYATAN

Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
Terpolanya kekuatan politik nasional ke dalam banyak faksi sangat jelas terlihat, faksi politik (baca: Oligarky Politik) terus bergeser dan mengkonsolidasikan diri sebagai proyek besar menyambut Pemilu 2009. Main mata beberapa orang dan kelompok terus terjadi, kerapnya PAN yang diwakili Sutrisno Bachir menemui presiden dan konsolidasi bawah tanah yang terus gencar dilakukan oleh PKS sebagai salah satu partai yang bercorak Islam Identity maupu so apourrch yang dilakukan kekuatan ”Politik Kanan” (Baca : Gemuruh Aksi menolak Bush oleh FPI, MMI, HTI, dan PKS) adalah kecenderungan yang mencolok dalam peta oligarki politik nasional kita, yakni semakin dekatnya perselingkuhan politik antara Militer dan kekuatan Politik Identitas yang secara umum juga diketahui sebagai bagian dari bentukan Tentara.
Sebagai sebuah perbandingan bangkitnya Rezim Fasis di Jerman maupun di Italy adalah juga merupakan dukungan penuh oleh Partai Konservatif dan Politik Identitas yang diwakili oleh Partai Katolik yang ada di sana. Bisa jadi hampir sama corak perkembangan politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini terus dipeliharanya kekuatan Politik Identitas dalam konteslasi pertarungan politik nasional tidak serta dibaca kasat mata melainkan bisa jadi desain untuk mempertahankan dominasi kekuatan militer saat ini yang terus mengkonsolidasikan diri. Di sisi lain kebijakan populis yang terus ditunjukan oleh Rezim SBY bukanlah bagian yang signifikan dari pembangunan infrastruktur sosial melainkan desain perebutan citra di tengah kesadaran sosial yang sedang tertidur. Kita bisa menyaksikan bagaimana pergerakan neraca kemiskinan yang terus berkembang dan peristiwa sosial yang terus terjadi, kejahatan, kematian yang tidak wajar, kerusuhan dan persitiwa sosial lainnya yang merupakan bagian dari tidak tertatanya dengan baik pranata politik maupun ekonomi masyarakat di Indonesia..
Di lain sisi Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden juga terus mengkonsolidasikan diri dengan kekuatan Borjuis Nasional (baca:Bakrie dkk), kekuatan Islam “Fundamentalis” (FPI,MMI,HTI,PKS,Muhammaiyah) serta beberapa komponen TNI yang pro terhadap modal. Konsolidasi yang dibangun JK lewat sentimen kederahan merupakan corak yang terus dikembangkan, konsolidasi yang hanya semata-mata merupakan pragmatisme politik tidak menghitung biaya politik yang akan terjadi. Tidak menutup kemungkinan Etno Chauvinisme akan semakin menguat dengan latar belakang identitas masing-masing atau ancaman yang cukup mengerutkan kening adalah bangkitnya semangat federalisme yang dibarengi dengan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh, Papua, Ambon, Poso , Sulawesi Merdeka, Minahasa Raya merupakan BOM WAKTU yang siap-siap meledak entah lewat latar belakang kepentingan politik maupun spontanitas sosial yang telah direkayasa sedemikian rupa.
Fenomena beralihnya Modal Internasional menanam investasi besar-besaran di bagian timur nusantara tidaklah tanpa maksud, seperti yang telah diutarakan diatas bahwa indikator yang paling jelas dari kehendak Modal adalah eksploitasi sumber daya alam khususnya Minyak Bumi yang mana tidak lagi bisa diperoleh secara massif di pulau Jawa (Lapindo Brantas, Blok Cepu dll), yang lebih ironis lagi adalah pesatnya penetrasi tersebut malah didukung oleh mainstream politik lokal yang juga pro terhadap Modal bahkan tiga kekuatan besar modal di Sulawesi (BUKAKA, BAKRI, BOSOWA) ikut serta terlibat dalam perselingkuhan tidak suci dengan modal internasional dan sedang mempersiapkan proyek mega tambang yang rencana eksplorasi awalnya akan dimulai tahun 2008. Meskipun di beberapa wilayah Sulawesi Selatan (Selayar, Bone, Palopo, Toraja Segi Tiga Emas Industri Gowa, Maros, Makassar dan bebrapa daerah lainya), Sulawesi Barat (Mamasa, Polewali Mandar, Majene, Mamuju, da Mamuju Utara), Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Toli-Toli) Sulawesi Utara (Manado, Minut, Minas, Bitung) Gorontalo, Sulawesi Tenggara (Kendari dan Kolaka) telah dimulai proyek besar tambang tersebut, dan yang lebih mengenaskan lagi adalah modus peralihan tanah di masyarakat kepada modal seringkali menggunakan pola-pola lama (baca: konflik horisontal dengan isu Agama, Ras, Suku, perkelahian antar kelompok).
Di balik mentalitas orang timur dan kondisi geografis yang mempengaruhi ruang psikologis menjadi data awal bagi modal untuk mempersiapkan ruang geraknya, situasi masyarakat yang gampang tersulut betul-betul dimanfaatkan secara massif dengan memobilisasi situasi sosial dengan didukung TNI/POLRI sebagai anjing penjaga modal. Kasus Mahdi Di Palu, Kasus Tibo di Poso, Kasus korban tailing di Mainahasa Utara, kasus sentimen Cina di Makasar adalah bagian dari motif atau cara kerja modal dalam menjalankan agenda Devide at Impera (Politik Adu Domba).
Di sisi lain tidak munculnya kekuatan progresif revolusioner di tingkatan gerakan yang seyogyanya menjadi katalisator gerakan sosialnya juga menjadi persoalan baru, fenomena intelektual yang terjebak pada kesadaran –maaf- “Barbarianisme” merupakan fenomena yang kerap muncul, tawuran antar mahasiswa seakan menunjukan kegagalan pendidikan memberi orientasi bagi masyarakat terdidiknya, terjebaknya kekuatan gerakan dalam logika pragmatisme politik juga menambah daftar panjang kegamangan gerakan disana. Situasi itu pulalah yang mungkin melahirkan apatisme bahkan frustasi sosial di masyarakat dan gerakan sosialnya sendiri.
Selain frustasi sosial yang semakin mewabah, gerakan juga mulai terlibat dalam pola pembangkitan gerakan Etno-Nasionalisme serta munculnya gerakan federalime dan cikal bakal disintegrasi semata-mata hanya didasari oleh kekecewaan politik terhadap penguasa dan elit-elit oligarkis di Jakarta, sehingga gerakan pembentukan Sulawesi Merdeka, Gerakan Minahasa Raya, Gerakan Front Pembebasan Sulawesi dan gerakan-gerakan pemekaran yang berujung pada pemisahan diri dari integritas nasional menambah PR panjang dari NKRI ini. Kecenderungan pemisahan diri bisa jadi merupakan bagian dari provokasi global yang hendak memecah belah gerakan perjuangan menuju kemerdekaan 100%.
Di tingkatan internal Partai Golkar sendiri, beberapa kekuatan juga sedang mengkonsolidasikan diri dan cenderung untuk meninggalkan JK sendiri. Agresifitas sikap politik yang ditunjukan JK menjadi alasan yang cukup kuat dan mendasari beberapa kekuatan untuk mengalihkan pusat konsolidasi. Golkar sebagai representasi salah satu kekuatan partai terbesar di Indonesia mulai menunjukan perpecahannya. Rapimnas yang terpecah pada 2 opsi mendukung kekuasaan dan yang hendak beroposisi adalah realitas politik yang terus mengkristal di tubuh partai berlambang pohon beringin ini. Di lain hal, Agung Laksono yang juga memegang posisi strategis di dalam kekuasaan negara dan di tubuh Golkar terus bermanuver dan bahkan indikasi yang terlihat dia sedang membangun komunikasi efektif dengan SBY, sedangkan kekuatan lama seperti Akbar Tanjung juga sudah mulai start dengan mengkonsolidasikan kekuatan pro-demokrasi yang dimotori Amin Rasik, Emha Ainun Najib dan beberapa kelompok Sos-dem.
UKP3R yang telah disahkan melalui keputusan Presiden adalah ruang yang dibangun oleh kekuatan Sosialis seperti Marsilam Simanjutak, Wimar Witular, Bintang Pamungkas, Joko Suyanto dan kekuatan PSI lama mulai membangun kekuatan. Tahun 2009 seakan menjadi bola kristal yang terus mengental dan bola liarnya akan terus menggelinding konsolidasi kekuatan politik yang sudah tidak terpola menjadi alasan cukup kuat akan muncul kekacauan sosial maupun politik jika salah satu kekuatan tidak terakomodir kepentingan politiknya berarti lagi-lagi politik dagang sapi akan menjadi jawaban atas persoalan-persoalan politik di negeri ini dan sangat jauh dari harapan untuk membangun kesejahteraan rakyat. Di sisi lain kekuatan Cendana masih sangat kuat mendominasi percaturan politik nasional, mereka membangun kekuatan hampir di seluruh partai yang hari ini bertarung bahkan mereka sedang mencoba membangun kekuatannya di dalam tubuh ”Politik Identitas”. Munculnya polarisasi politik yang semakin kabur dalam ranah kekuatan politik oligarki dan jika pemilu 2009 menjadi ekspresi puncak politik kekuatan oligarki maka kita akan bisa secara dini menebak siapa-siapa saja kekuatan yang akan berkuasa selama kekuatan tersebut mampu mempertahankan dominasi modal internasional di Indonesia.
Berkembangnya polarisasi kekuatan di tingkatan elit juga ikut serta mempengaruhi situasi sosial politik di masyarakatnya, sentimen anti jawa, isu federalisme (baca; disintegrasi), serta selubung palsu paradigma masyarakat tentang politik semakin memperkeruh situasi yang hari ini ada, belum lagi problem-problem kerakyatan yang hingga saat ini tidak pernah terselesaikan bahkan semakin membuka jurang kesenjangan di dalam masyarakat sendiri.
Di nasional, ketidakjelasan sistem pemerintahan yang tidak presidensial dan bukan parlementer menjadi awal dari rusaknya posisi negara. Hal itu mengakibatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak konsisten, menguatnya oligarki politik dan pertarungan kepentingan antar perangkat kenegaraan semakin menguat.
Ditambah lagi dengan kuatnya pengaruh modal asing yang mampu mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Hal ini nampak dalam paradigma penyelenggaraan negara yang bukan untuk melayani tetapi untuk menguasai. Dalam situasi ini, tidak ada supremasi hukum karena hukum dapat diperjualbelikan dan memihak pada kelompok yang berkuasa.
Kekerasan menjadi semacam mekanisme pertahanan diri (defense mechanisme) dari masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya. Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah membuat masyarakat terjebak pada cara berfikir dengan pola interpretif yang ditandai dengan gagalnya masyarakat melihat pilihan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan tindakan. Masyarakat menjadi frustasi atas hidupnya, ketika melihat berbagai macam aset yang merupakan hak dan harapan hidupnya terampas oleh pihak pemodal (asing) yang dijamin oleh regulasi pemerintah. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan penggunaan cara-cara kekerasan dan politisasi lewat tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk melegitimasi kekuasaan.
Sementara media masih saja efektif digunakan untuk membuat ilusi demokrasi.

MAJU ATAU HILANG SELAMANYA

Teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia.
Pembacaan di atas mengenai analisa kekuatan politik yang sedang bertarung hari ini, sekalipun itu masih bisa berubah dalam hitungan sekian detik. Namun, dari situ kita bisa mengambil beberapa garis benang merah yang kemudian bisa kita untai menjadi sebuah kesimpulan bahwasanya karakter kekuasaan yang sedang bertarung hari ini masih saja bersifat oligarkis. Sedari awal pun kita telah sadar, bahwa ketika tumbangnya rezim fasis militer Orde Baru, dimana tirani sebagai model/bentuk kekuasaanya dan mode of production colonial sebagai cara produksinya. Ternyata angin segar reformasi 98 itu pun tidak cukup bisa menjadi sebuah transisi menuju bentuk/kekuasaan yang bersifat demokratis (yang tentunya seharusnya juga bisa diikuti oleh perubahan pada cara produksi masyarakatnya). Progresifitas atas terbentuknya konsolidasi demokrasi baru paska reformasi ternyata malah menjadi sumbu dinamit yang sewaktu-waktu bisa di-remote control untuk menyulut konflik horisontal di level civil society nya. Ini sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konflik elit politik dalam memperebutkan kursi kekuasaannya. Ironisnya lagi perpecahan di dalam masyarakat sipil malah dipertajam dengan menguatnya politik identitas dengan selalu mengunggulkan kejayaan sejarah masa lalunya atau pendekatan dalam sentimen SARAnya. Menjadi tepat kemudian, jika kita tetap mensaratkan untuk waspada dan selalu mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik. Ini berarti seluruh problem kerakyatan harus segera menjadi obrolan sehari-hari di parlemen dan badan eksekutif negara ini dari pagi setelah tidur sampai malam menjelang tidur lagi
Menjadi sebuah keniscayaan bahwasanya transisi menuju demokrasi seharusnya tidak bisa mengikut sertakan Orde Baru lagi. Sebab, mereka adalah penyakit bagi tumbuh berkembangnya demokrasi dan cita-cita masyarakat mandiri. Pada konteks itulah garis politik gerakan pemuda tak kan pernah berubah. Garis politik gerakan pemuda pada konteks itu niscaya harus diterjemahkan secara lebih riil, yaitu; mutlak bagi rezim mana pun untuk menjalankan reformasi agraria/landreform, nasionalisasi aset bagi para pejabat dan mantan pejabat korup guna menguatkan survival mechanism bagi ketertindasan ekonomi rakyat, penghapusan hutang luar negeri, dicabutnya regulasi yang mengatur lembaga teritorial TNI/Polri, diadilinya para pelanggar HAM, dianggarkannya biaya pendidikan yang tinggi bagi semurah-murahnya biaya pendidikan untuk rakyat, dibukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya, dinaikkannya upah bagi keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran hidup para buruh demi kemajuan industri nasional, sekaligus memerdekakannya dalam berserikat dan mogok kerja, Sementara tugas besar gerakan adalah mempelopori terbentuknya serikat-serikat petani dan buruh yang progresif dan yang terakhir adalah meradikalisir seluruh keniscayaan di atas.

KEMANA KITA HARUS MELANGKAH !!!
Berpisah Kita Berjuang !! Bersatu Kita Memukul !! (Tan Malaka)

Harus dicatat oleh sejarah, ideologi revolusioner perjuangan nasional yang hanya terjebak dalam pencukupan diri pada pemahaman monolitik kondisi internasional bakal mengalami kemerosotan menjadi semata-mata gagasan reaksioner.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama ketika Kapitalisme melahirkan antitesa Sosialisme, demikian halnya imperialisme kemudian melahirkan ide tentang nasionalisme. Maka kemudian revolusi di dunia ketiga tidak hanya bisa berupa revolusi nasional yang berupa kemerdekaan, akan tetapi juga revolusi sosial sebagai upaya perlawanan atas Kapitalisme dan sisa feodalisme. Sebab sejarah juga pernah memberi kita pelajaran berharga bahwa ternyata produk kemerdekaan di dunia ketiga tidak cukup berhasil membawanya ke dalam kemerdekaan 100% dari penindasan Kapitalisme.
Gagasan dari dunia ketiga tentang perlawanan terhadap Kapitalisme Global terus bergulir dalam perjalanan sejarah, mulai dari Nasionalisme Arab yang digagas Gamal Abdul Nasser, penyatuan New Emerging Forces yang digagas Soekarno, hingga solidaritas internasional yang digagas Che Guevara. Muncul juga ide tentang ekspor revolusi seperti yang diserukan Ayatullah Khomeini maupun yang dipraktekan Che Guevara di Bolivia. KTT Asia Afrika, Gerakan Non Blok dan pertemuan selatan-selatan adalah upaya kerja sama sesama negara dunia ketiga. Namun, perlawanan tersebut mengalami kegagalan karena terkadang hanya selalu didasarkan pada persoalan politik semata, sementara pemulihan krisis ekonomi dan jebakan hutang melilit dunia ketiga sering terabaikan. Solidaritas Internasional juga kemudian sering mengalami kegagalan akibat hegemoni yang ditebar Amerika.
Menjadi jelas bahwa kebutuhan bagi Republik ini adalah bagaimana membangun gerakan ekonomi-politik dalam rangka perang posisi dengan Kapitalisme internasional untuk merebut wilayah hegemoni sehingga tata ekonomi-politik yang timpang dapat diakhiri.
Nasional Demokrasi Kerakyatan yang coba saya hadirkan adalah suatu ide dalam rangka perang posisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan menyandarkan pada gerakan ekonomi politik berbasiskan emansipasi massa. Sehingga menjadi penting apa yang telah dikemukakan Marx bahwa pengertian nasional harus dimaknai sebagai sebuah modal dagang di mana dependencia harus dipahami dalam pengertian politik: negara dalam pengertian nation bukanlah terjebak dalam bentuk konsolidasi primitif semata sehingga kemerdekaan 100% yang kita yakini harus dapat diidentifikasikan dalam pengertian produksi, dimana negara dan rakyat akan menggunakan menjadikan air, udara tanah beserta isinya sebagai alat produksi dan menciptakan cara produksi yang mampu menciptakan pemerintahan demokratik dalam pengertian anti imperialisme dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Untuk itu kita mampu segera membuat stimulus agar terciptanya seperangkat aturan yang menguntungkan produksi rakyat dan menciptakan investasi dan tenaga ahli (baca: intelektual organik) guna memberdayakan ekonomi-produksi rakyat. Maka ada beberapa hal yang bisa coba kita upayakan kembali secara optimal di lingkungan pendampingan sektoral kita serta khususnya di lingkungan kampus, yang sampai saat ini masih menjadi lahan pengorganisiran kita yang paling masif:

Ranah Perjuangan Mahasiswa dan Gerakan Dunia Pendidikan
Merebut Alat Produksi Pengetahuan
Revolution is an Extraodinary education Process
(Revolusi adalah Pendidikan di Luar Kelaziman)

Membaca derasnya arus liberalisasi yang masuk ke dalam institusi pendidikan serta mewabahnya penyakit apatisme-hedonisme yang menjangkiti mahasiswa Indonesia pada hari ini, mensaratkan kita untuk menyajikan kembali kebenaran sejarah pendidikan yang sesungguhnya ke dalam jamuan mahasiswa masa kini. Apa yang kita miliki sekarang di kampus, lembaga kemahasiswaaan, kurikulum dan hubungan belajar mengajar adalah wujud konkrit dari kekalahan independensi mahasiswa setelah diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Menteri fasis, Daoed Joesoef. Konsep Link and Match adalah upaya penyeragaman berpikir yang telah dilakukan oleh negara – yang berkembang dengan berlebihan (overdeveloped state) – dalam rangka rekayasa sosial dengan asumsi tentang modernisasi sebagai syarat dari terselenggaranya developmentalism (baca: pembangunanisme) yang “diajarkan” oleh Amerika, sebuah hubungan antar Negara yang menunjukkan praktek neo kolonialisme-imperialisme di satu sisi dan posisi semikolonial di sisi lain.
Tugas pokok dalam peperangan gerilya di sektor mahasiswa pada dasarnya adalah mendemokratiskan kampus dan menjadikan kampus sebagai basis perlawanan yang revolusioner. Memori kolektif kawan-kawan mahasiswa harus dibangkitkan bahwa, setelah pembubaran DEMA (Dewan Mahasiswa) oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Laksamana Soedomo lewat pendudukan militer atas sejumlah kampus dan lewat SK. 02/KOPKAM/1978 serta pemberlakuan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus–Badan Koordinasi Kampus) lewat Keputusan Mendikbud (SK. 156/U/1978), aktivis mahasiswa banyak mendirikan komite aksi (komite van aksi/comites d’action) yang bersifat ad hoc dalam rangka advokasi untuk ‘berbicara langsung dengan rakyat’.
Belum lagi, praktek kapitalisasi pendidikan yang telah menggadaikan hakekat pendidikan menjadi komoditas bisnis semata. Untuk itu perlu kerja keras dan kesabaran untuk mengeliatkan kembali khazanah pergerakan dan kritisisme dalam lingkungan kampus. Tentu saja, ini semua tidak bisa dibangun dengan pendekatan heroisme semata namun yang harus dibutuhkan saat ini adalah bagaimana kader kita bisa mempunyai kreativitas dan improvisasi yang tinggi dalam melakukan penggalangan masyarakat kampus seluas-luasnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang bisa segera dilakukan, seperti:

1. Kampanye mengenai Anti Liberalisasi Pendidikan (isu-isu BHMN, kurikulum, hak-hak mahasiswa, dll)
2. Gencarkan propaganda REVOLUSI PENDIDIKAN!!!
3. Membuat atau terlibat dalam kelompok-kelompok minat bakat sebagai sarana pengorganisiran dan pencitraan organisasi yang lebih luas.
4. Membuat atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan intelektual sebagai inovasi baru bagi pensemestaan gagasan Nademkra serta wahana untuk pencitraan organisasi yang lebih elegan.
5. Memetakan serta mengelola sumber daya kampus sebagai media pengorganisiran atau pensemestaan gagasan nademkra seperti lembaga penelitian kampus, pusat studi kampus, dll
6. Melakukan Penggalangan Opini yang terbentuk akibat kerja propaganda agar terjadi perbaikan kondisi maupun institusionalisasi program perjuangan dalam REVOLUSI PENDIDIKAN

Ranah Perjuangan Pemuda

Para Pemuda —satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimipin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan; satu-satunya tenaga yang tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan.
Pemuda sebagai entitas sosial mempunyai dimensi yang luas dengan keberadaannya dalam struktur sosial baik sebagai the have (kelas atas; pemodal) maupun sebagai the have not (kelas bawah; tertindas) maupun tersebar diberbagai lapangan pekerjaan/penghidupan (sering disederhanakan namun tidak begitu tepat menjadi sektor) ini bisa terbagi menjadi petani, buruh, PKL, usaha mandiri, anak jalanan, kaum miskin kota, mahasiswa dan lain sebagainya.
Dengan persebaran pemuda dalam berbagai kenyataan sosial dan teridentifikasi dalam identitas-identitas baru mengharuskan kita untuk menghubungkan sekian kenyataan dan memompakan semangat, sikap dan orientasi kolektif dalam ranah perjuangan masing-masing sesuai dengan konteks lokalitasnya yang sesungguhnya tersambungkan dalam problem yang sama yaitu kekuatan pembentuk yang menempatkan pemuda kehilangan akses menuju penghidupan yang layak akibat pekerjaan, pendidikan, nutrisi serta lingkungan sosial akibat terhisap oleh derasnya arus dehumanisasi.
Orde baru sukses meletakkan pembagian sektoral sebagai sekat-sekat yang menahan terbangunnya solidaritas. Seperti terpisahnya kaum tani dari massa buruh perkotaan, terpisahnya kaum buruh dengan buruh lainnya akibat perbedaan hasil produksi maupun kondisi kerja, atau terpisahnya kaum pekerja dengan kaum pengangguran membuat antagonisme justru hidup secara horisontal. Belum lagi kondisi ini diperparah oleh politik identitas maupun etno nasionalisme yang semakin menguat. Sesungguhnya kita memiliki modal sosial untuk menerobos sekat-sekat peninggalan orde baru ini. Latar belakang kita yang kaya akan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dengan konteks ketertindasan masing-masing akan membuat kader berbasis massa menemukan pasangannya; ranah sosial pemuda.
Sebagai penutup ada sebuah puisi “Penindasan adalah kebisuan yang diidap oleh setiap orang. Dan pemberontakan terhadapnya adalah bahasa semua bangsa”.
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucap selamat datang
Aku mengucap selamat pagi kepada hidup yang jelata
M E R D E K A !!! ***

Ditulis dalam Pojok Kampus

Seribu Lebih Transaksi Uang Di Daerah Mencurigakan

Sumber: http://www.kompas.com Hari/tgl: Selasa, 26 Agustus 2008

Modus Rekening Pribadi Paling Sering dilakukan

JAKARTA – Pemerintah harus berhati-hati jika ingin memacu kemampuan daerah mengelola keuangan. Pasalnya, dalam tempo delapan bulan saja, periode Januari 2008 hingga 22 Agustus 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima sekitar 375 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM). Kepala PPATK Yunus Husein mengungkapkan, jika dihitung sejak 2002 hingga 2008, maka temuan LKTM yang terkait dengan keuangan daerah semakin banyak. Jumlahnya sudah mencapai lebih dari 1.000 LKTM.
Laporan itu tidak hanya berasal dari bank pembangunan daerah (BPD) tetapi juga bank-bank umum yang ada di daerah. “Pengalaman kami dengan pengelolaan dana pemda ini sungguh luar biasa. Selama periode 2002 sampai 2008, sudah mencapai lebih dari 1.000 LKTM,” ujar Yunus dalam seminar tentang keuangan daerah dan tata kelola pemerintahan daerah di Jakarta kemarin. Yunus menyebutkan, modus yang paling sering dilakukan dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga menjadi transaksi yang dicurigai adalah menggunakan rekening pribadi.
“Caranya, dana APBD dipindahkan ke rekening pribadi PNS di daerah bersangkutan, setelah itu uangnya dipakai untuk kepentingan pribadi. Dana itu akan tercampur dengan dana pribadi sehingga akan sulit dipertanggungjawabkan,” paparnya.
Modus lainnya adalah dana APBD digunakan untuk membeli produk-produk jasa keuangan melalui unit link misalnya membeli produk reksadana. “Modus yang juga sering dilakukan adalah pemindahan dana APBD ke rekening pribadi melalui beberapa kali surat perintah pencairan dana (SP2D), kemudian dana yang sudah masuk ke rekening pribadi itu dikirim ke saudara-saudaranya, ada juga yang ditarik sendiri.” katanya. Kepala Humas PPATK M. Natsir Kongah menambahkan, di antara 585 kasus yang dilimpahkan PPATK ke kepolisian dan kejaksaan tahun ini, hanya 18 perkara yang sudah diputus pengadilan menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. ”Selama ini memang hanya segitu yang diputus. Namun, pantauan kami baru sebatas yang dijerat Undang-Undang Pencucian Uang,” jelasnya. Selama ini, hasil penelusuran PPATK memang selalu diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan. Sebab, undang-undang memang mengamanatkan seperti itu.
Sementara itu, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Natsir, pihaknya tidak bersifat aktif menyerahkan laporan. Namun, PPATK akan turun tangan selama KPK meminta. ”Kami selama ini justru aktif diminta KPK. Terutama menelusuri transaksi keuangan yang diindikasi korupsi,” jelasnya. Dia mengungkapkan, hingga akhir Juli 2008, pihaknya telah menerima18.008 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), 5.854.743 laporan transaksi keuangan tunai (LTKT), dan 2.452 laporan pembawaan uang tunai. Di antara jumlah itu, yang terbanyak merupakan laporan pedagang valuta asing, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi. Natsir juga membeberkan soal perhatian bank terkait dengan transaksi mencurigakan. Selama ini, menurut dia, 61 bank swasta sudah melaporkan 5.542 laporan transaksi mencurigakan tersebut. Sementara itu, untuk bank pemerintah, hanya ada empat bank yang mengadukan 4.240 laporan. ”Semua terus kami analisis. Nanti kalau ada yang mencurigakan, kami tindak lanjuti,” tegasnya. (git/nw)

Banten Butuh Reformasi

Kutipan dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/03/dinasti-chasan-sohib-digugat/

Radar Banten Selasa, 26-Agustus-2008

SERANG – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa (FAM) Untirta menggelar aksi di perempatan Ciceri, Serang, Senin (25/8).
Mereka mengimbau masyarakat untuk mewaspadai bangkitnya Orde Baru (Orba) di Banten.
“Salah satu ciri khas politik Orba adalah menempatkan sanak keluarga, kerabat, teman dekat, dan kroni-kroninya pada sektor-sektor strategis,” tandas Wirawan, koordinator lapangan.Sektor-sektor strategis, lanjut dia, baik dalam struktur pemerintahan, ekonomi, maupun politik di Banten sudah mulai terkena virus penyakit Orba. “Mulai dari olahraga sampai calon legislatif dikuasai orang-orang dekat dan keluarga penguasa yang sedang berkuasa saat ini,” katanya.
Dimas Pradipta, salah satu orator mengatakan, masyarakat Banten butuh perubahan dan reformasi. “Selama ini, Banten hanya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil. Sangat disayangkan,” tandasnya. FAM Untirta mendesak para pemimpin dan penguasa di kabupaten/kota dan Provinsi Banten untuk segera sadar bahwa amanah yang diembannya adalah dari rakyat bukan dari sanak keluarga, teman dekat, atau kroninya. (mg-inna) Sumber : Radar Banten

Mahasiswa Sandera Mobil Dinas
SERANG – Sikap ngotot pejabat Pemprov Banten untuk merealisasikan pengadaan mobil dinas mendapat reaksi keras mahasiswa.
Selasa (28/7), mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa (FAM) Untirta Serang, berunjuk rasa di depan Kampus Untirta, Jl Raya Serang-Jakarta, menuntut agar pengadaan mobil dinas bagi pejabat pemprov dan anggota DPRD Banten itu dibatalkan.
Aksi tersebut sempat diwarnai penghentian kendaraan berplat nomor merah yang melintas di ruang jalan yang menjadi lokasi aksi mereka.
Menurut para mahasiswa, pembelian mobil dinas yang akan menelan biaya Rp 10 miliar itu merupakan penghamburan dana.Koordinator Dewan Presidium FAM Untirta Serang Satria Agung Pratama dalam orasinya mengatakan, Pemprov Banten semestinya bisa mengoptimalkan kendaraan dinas yang ada saat ini.
“Pengadaan mobil dinas harus dibatalkan. Semua itu hanya untuk memanjakan pejabat dan keluarganya saja. Padahal kinerja mereka (pejabat-red) masih jauh dari optimal,” ujar Satria.
Dadan Sumarna, peserta unjuk rasa lainnya mengatakan, pengadaan mobil dinas bukan persoalan yang mendesak, karena mobil dinas yang kini digunakan para pejabat Pemrov Banten masih layak digunakan. “Pemerintah mencoba menipu rakyat dengan kebijakan yang tidak konsisten. Sebab sebelumnya Pemprov Banten pernah menyatakan membatalkan rencana pembelian mobil dinas untuk pejabat. Namun ternyata hanya upaya mengelabui semata. Karena saat ini, dana untuk pengadaan mobil dinas yang dimaksud telah dianggarkan,” kata Dadan membacakan pernyataan tertulis yang mereka sebarkan kepada para pengguna jalan dan mahasiswa di sekitar kampus.
Di tengah orasi, tiba-tiba puluhan pengunjuk rasa langsung menuju jalan raya menghalangi laju mobil operasional milik Dispenda Provinsi Banten dengan nomor polisi A 8004 yang dikemudikan Abas. Bahkan, mahasiswa sempat menyandera mobil itu dan menaiki bagian atap mobil. Namun, atas kesigapan anggota kepolisian berpakaian preman, akhirnya mobil tersebut diperbolehkan meneruskan perjalanan.
Beberapa menit kemudian, beberapa pendemo pun sempat mengejar sebuah mobil dinas jenis Daihatsu Zebra bernomor polisi A 334. Seketika mobil itu langsung tancap gas, hingga tak terkejar para pengunjuk rasa. (day)

Ditulis dalam Social Capital and Movement

Situs Kerajaan Banten Lama Yang Membingungkan

Kutipan dari : http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/20/banten-lama-milik-siapa/

Iman Nurasyadi

SEDERHANA sekali pertanyaan anakku ketika kubawa ke reruntuhan keraton di Desa Banten, 10 kilometer sebelah utara Kota Serang, Provinsi Banten, Selasa (16/10-2007). Pertanyaan itu adalah siapakah yang punya keraton ini sekarang? Aku terdiam sejenak, tak langsung menjawab pertanyaan sederhana yang memerlukan jawaban yang rumit.
Anakku, Abdul Hadi yang baru belajar di kelas 3 SDN Bhayangkara dan Abdurrahman berumur 4 tahun sengaja kubawa ke lokasi reruntuhan keraton Kerajaan Banten yang berjaya abad ke-16. Dengan menggunakan sepeda motor jenis bebek, aku dan anakku menelusuri reruntuhan itu saat suasana masih diwarnai Hari Raya Idul Fitri 1428 H. Lokasi itu penuh sesak orang dari berbagai daerah untuk berziarah ke makam para raja, terutama Panembahan Maulana Hasanudin yang berada dalam kawasan Masjid Agung Banten.
Kumulai penjelasanku ketika bertemu dengan makam-makam raja di luar kawasan reruntuhan seperti Maulana Yusuf yang juga banyak diziarahi. Anakku langsung kebingungan ketika kusebutkan bahwa makam Maulana Yusuf juga ada di Afrika Selatan. Maulana Yusuf dibuang oleh Belanda ke Afrika Selatan. Di sana, dia mengajarkan Islam dan dikenal sebagai syekh. Bahkan dia dianggap salah satu wali. Hingga sekarang, orang-orang yang mengaku keturunan Syekh Maulana Yusuf sering datang ke Banten untuk berziarah ke tanah leluhurnya.
Aku benar-benar terjebak dan tak bisa memberikan penjelasan yang rasional ketika berkisah soal Pangeran Sabrang Lor yang makamnya berada di hamparan tambak, dekat Pelabuhan Karanghantu. Menurut kisah yang beredar, Pangeran Sabrang Lor tewas ketika berperang di lautan. Dengan lugunya anaknya bertanya, jenazahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sini? Dengan terpaksa, aku menganggukan kepala.
Di reruntuhan Keraton Kaibon dan Surosowan, aku hanya bisa mengatakan, Keraton Kaibon dibangun untuk dipersembahkan kepada ibunda Maulana Hasanudin yang tercinta. Sedangkan Keraton Surosowan didirikan sebagai tempat panembahan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan air, kerajaan membangun sebuah tempat penampungan air yang besar, sekarang tempat itu diberi nama Tasik Kardi. Air di sana dikirim melalui kanal-kanal buatan, dipompa dengan teknologi yang sederhana yang mengandalkan gaya gravitasi bumi. Kuperlihatkan bak-bak penampungan yang dibuat dari bata merah dan karang yang berada di sebelah selatan reruntuhan Keraton Surosowan.
Lagi-lagi aku kebingungan untuk memberikan penjelasan dengan bahasa sesederhana mungkin dan logika yang mudah diterima ketika anakku menanyakan soal papan yang terpampang. Papan itu berisi “Tanah Ini Milik Masyarakat”. Kupandangi papan itu seraya berpikir apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya, bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk penyerobotan dan pelanggaran berat yang dilakukan sekelompok masyarakat di Desa Banten terhadap aset-aset milik negara. Akankah kuceritakan bahwa tanah tersebut sudah dibeli / dibebaskan pemerintah pusat pada tahun 1970-an. Pemerintah pusat juga memberi tanah penggantinya. Bahwa masyarakat memperkarakan ke pengadilan 10 tahun kemudian. Keputusan pengadilan justru memenangkan pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Purbakala. Dalam suasana reformasi dan Otonomi Daerah (Otda), kelompok itu kembali mengklaim kepemilikannya. “Jadi keraton ini punya siapa?” tanyanya. “Punya pemerintah,” ujarku.
“Kok ada itunya, tanah milik pemerintah. Berani sekali orang yang pasang itu. Apa pemerintah enggak marah? Kok didiamkan saja, kok polisi diam aja,” kata Abdul Hadi, anakku dengan wajah yang polos.
“Iya, mereka pada berani ya,” kataku dengan mengembangkan senyum getir.
Kuurungkan niat bercerita soal kejanggalan yang selama ini terjadi di situs purbakala Banten Lama. Bahwa menurut undang dan peraturan, situs ini milik pemerintah. Sebab tak ada ahli waris yang sah dari bekas-bekas kerajaan, termasuk sawah seluas 500 hektare yang membentang keraton ke Tasik Kardi. Selain itu, pemerintah pusat juga telah menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk menggali reruntuhan ini dan dimunculkan kembali ke permukaan bumi. Khusus pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Banten dan Pemkab Serang telah mengeluarkan dana Rp 14 miliar lebih untuk penataan situs Banten Lama untuk dijadikan obyek wisata ziarah. Siapakah yang menikmati keuntungan dari semua itu? Ternyata bukan pemerintah pusat maupun daerah, tetapi sekelompok orang yang mengaku sebagai keturunan para sultan. Hingga sekarang tak ada pajak pusat dan retribusi atau pajak daerah yang masuk ke kas negara. Lalu untuk apa? Dan milik siapa situs ini?
Soal ketuurunan sultan, benarkah silsilah yang disebarkan kelompok ini, termasuk orang yang mengaku sebagai Sultan Muda? Bukankah ketika Gubernur Jenderal, Daendels berserta pasukannya menghancur leburkan kota, para petinggi kerajaan ditangkap dan dibuang ke tempat-tempat pengasingan. Ada raja yang dibuang ke Surabaya (Sultan Rafiudin), dibuang ke Afrika Selatan, Digul dan berbagai daerah lainnya. Lalu siapakah yang tersisa dari orang-orang di sana? Yang pasti bukan para bangsawan. Karena kalau mereka bangsawan, mereka akan ditangkap dan dibuang. Adakah mereka para jongos (maaf kasar) atau orang yang tak punya pangkat di lingkungan kerajaan? Mengapa sekarang ini mengaku sebagai pewaris yang sah dari keraton ini?
Saat pusat kota dipindahkan dari Banten ke Serang, maka Kota Banten terkubur secara perlahan-lahan, hingga punya warga hanya ratusan keluarga. Dan, situs itu tetap terkubur jika tak ada orang-orang (tak mengaku keturunan sultan) berjuang keras untuk melakukan penggalian dengan biaya dari pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Purbakala. Mereka adalah Uka Tjandrasasmita, Hasan Muarif Ambary, Halwany Michrob dan sederetan nama arkeolog yang mengupas tanah di reruntuhan itu setiap satu centimeternya. Ratusan arkeolog dan nama-nama tokoh yang disebutkan tadi yang langsung maupun tidak langsung memunculkan reruntuhan tersebut ke permukaan dan bisa dinikmati masyarakat secara luas.
Ditulis dalam Budaya Lokal

900 Usulan Warga Tak Dapat Dipenuhi

Dikutip dari : http://www.e-banten.com/banten/533-900-usulan-warga-tak-dapat-dipenuhi

Banten | Berita Banten Ditulis oleh Rapih Herdiansyah on Jumat, 24 April 2009 23:07 Cilegon -- Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cilegon, Edi Ariadi menegaskan, beberapa program pemerintah dinilai masih lemah penyerapannya. Adapun pencapaiannya masih di bawah 50 persen. Untuk itu, Pemkot Cilegon harus segera melakukan tindakan dengan berupaya menekan sejumlah program tersebut agar bisa tercapai.
“Kami akui masih ada beberapa program yang lemah di antaranya program drainase dan ketenagakerjaan,” kata Edi di sela-sela acara Musyawarah Rencana Pembangunan Kota (Musrenbangkot) Cilegon, yang digelar di Pusdiklat PT Krakatau Steel (KS), kemarin.
Ia menjelaskan kelemahan di bidang ketenagakerjaan dikarenakan kondisi dunia yang sedang dilanda krisis ekonomi dan keuangan. Dengan demikian, capaiannya masih kurang dari 50 persen. Kata dia, perlu diketahui akibat penurunan produksi dan perusahaan yang kembang kempis, menimbulkan ketidakseimbangan antara angkatan kerja dan kesempatan kerja.
“Ledakan terjadi pada angkatan kerja, namun kesempatan kerjanya kecil. Jelas terbalik, sehingga meskipun di Cilegon banyak industri tapi tidak bisa menyerap tenaga kerja. Hal ini juga dikarenakan krisis global yang melanda sekarang ini,” ujar Edi.
Kemudian, menyoroti program drainase yang pencapaiannya juga buruk, Edi menyatakan untuk penanggulangan banjir dengan melakukan pembenahan dranaise terkendala oleh lahan milik negara. Misalnya, sebuah drainase milik Pemkot Cilegon namun berada di jalan negara.
“Jika kondisinya seperti ini, kami sulit akan membenahinya, karena untuk melakukan perbaikan atau pelebaran saluran pembuangan air harus diketahui oleh pusat dan mekanismenya harus ditempuh. Kendati demikian, kami akan berupaya melakukan koordinasi dengan pihak pusat,” tuturnya.
900 usulan
Sementara itu, Pemkot Cilegon telah menerima sebanyak 900 usulan atau permintaan warga yang ditampung pada Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan dan kecamatan. Namun pada Musrenbang tingkat kota, usulan tersebut tidak dipenuhi seluruhnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Cilegon Abdul Hakim Lubis menyatakan, dari sekian banyak usulan masyarakat, pihaknya memperkirakan butuh anggaran sebesar Rp900 miliar. Sementara ABPD Kota Cilegon hanya memiliki anggara sebesar Rp600 miliar. Namun, dari anggaran tersebut dapat direaliasikan terhadap segala usulan masyarakat. Sebab anggaran yang dimiliki pemkot dialokasikan untuk pos belanja langsung dan tidak langsung.
“Yang namanya usulan pasti akan ditampung, tapi realiasinya nanti, pasti akan dikaji dulu. Pemerintah tentunya akan mendahulukan yang dianggap penting atau mendesak,” ujar Lubis.
Dikatakan, rata-rata usulan masyarakat tersebut adalah terkait pembangunan suatu wilayah, seperti pembangunan jalan dan membuka akses jalan lain di suatu wilayah. Sementara untuk bidang pembangunan sendiri, kata Edi, Pemkot Cilegon sudah merencanakan akan mengalokasikan dana sebesar Rp350 miliar. Pasalnya, di tahun ini pemkot lebih konsen kepada bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
“Inrastruktur dan tiga bidang itu memang menjadi prioritas kami. Oleh karena itu usulan masyarakat yang belum terpenuhi akan dibahas lagi di tahun depan,” ujarnya.
Selain itu, Lubis juga menyatakan perlu disoroti masalah di bidang ketenakerjaan, yakni dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) tahun 2010. Persoalan krisis global telah membuat sejumlah perusahaan kembang kempis, sehingga berdampak pada karyawan, seperti PHK maupun para pencari kerja akan kesulitan bekerja.
“Untuk ke depannya, pemerintah akan berupaya mendatangkan investor agar menanamkan sahamnya sehingga pabrik bisa beroperasi lagi serta menyerap tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran,” ujarnya. (H-35/FB/e-banten)***

Pengusaha Keluhkan Buruknya Infrastruktur di Banten

Kutipan dari : http://www.e-banten.com/banten/804-pengusaha-keluhkan-buruknya-infrastruktur-di-banten

Banten | Berita Banten Ditulis oleh M. Ibnu Marhas on Kamis, 28 Mei 2009 00:38

Serang - Sejumlah pengusaha mengeluhkan buruknya infrastruktur jalan di daerah tersebut. Menurut Sekretaris Himpunan Pengusaha Wilayah Serang Timur, Mohan, minimnya perhatian pemerintah terhadap buruknya jalan membuat enggan pengusaha menambah infestasinya.“Hampir semua jalan yang menghubungkan kawasan industri rusak,” ujar Mohan, dalam acara Dialog Gubernur Banten dan Dunia Industri di Aula PT. NS Indonesia-Serang, Rabu (27/5).

Mohan mengungkapkan, rusaknya sejumlah ruas jalan industri berakibat pada kualitas hasil produksi. Menurutnya, banyak barang hasil produksi ditolak oleh penerima order karena barang tidak lagi utuh setelah melewati jalan rusak. Selain itu, kemacetan lalu lintas yang mengantre pada jalan rusak menghambat waktu pengiriman barang.

Selain masalah infrastruktur, para pengusaha juga mengeluhkan ruwetnya perizinan di Banten. ”Izin domisili harus diperbaharui satu tahun sekali. Padahal KTP itu di perbaharui 5 tahun sekali. Selain itu izin SITU diperbaharui 5 tahun sekali tetapi setiap tahun harus mendaftar terus,” kata Era Marjuk, dari PT. Rajawali Mandiri Sakti.

Dalam tanggapannya, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menjelaskan, penanganan infrastruktur di daerah dikelola oleh tiga pihak yakni pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Dia mengakui bahwa sekitar 245 kilo meter jalan nasioal di Banten kondisinya rusak. Kerusakan tersebut merupakan 50 persen dari 490 kilometer total jalan negara.

Menurut Atut, pihaknya tidak berani melakukan pembenahan jalan yang bukan merupakan kewenangan pemerintah daerah. Kata dia, pemerintah Provinsi Banten pernah membuat program memperbaiki jalan pedesaan. Namun hal itu menjadi masalah karena dianggap melanggar kewenangan. Meski begitu, lanjut Atut, dirinya sudah melaporkan kerusakan jalan negara tersebut kepada Departemen Pekerjaan Umum RI, ”Departemen PU sudah melakukan pemeriksaan, insya Allah dalam waktu dekat akan diperbaiki,” ujar Atut.

Indeks Pembangunan Manusia Banten Rendah

Kutipan dari : http://www.e-banten.com/banten/870-indeks-pembangunan-manusia-banten-rendah

Banten | Berita Banten Ditulis oleh M. Ibnu Marhas on Jumat, 05 Juni 2009 08:50
Serang - Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten Eko Endang Koswara menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia di Banten masih rendah ibandingkan daerah lain di Pulau Jawa dan daerah lain di Indonesia.

Hal itu diperparah dengan masih tingginya warga Banten yang buta huruf mencapai 155.680 orang.

"Ditingkat nasional indeks pembangunan manusia Banten jauh berada diposisi 23, padahal kita berada di Pulau Jawa dan dekat dengan ibu kota negara," ujar Eko, saat memberikan sambutan pada wisuda mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hassanudin Banten, (4/6).

Menurut Eko, di Banten terdapat 104 perguruan tinggi, empat diantaranya merupakan kampus negeri, sedangkan 100 lainnya adalah swasta, "Dari jumlah perguruan tinggi tersebut terdapat 180 ribu mahasiswa," katanya. Jumlah warga Banten yang mengenyam perguruan tinggi, kata Eko, semakin meningkat setiap tahunnya.

Dengan banyaknya warga yang berkesempatan melanjutkan kuliah tersebut, ujar Eko, diharapkan dapat mengangkat indeks pembangunan manusia di banten, "Saya minta mahasiswa yang baru lulus ini bisa berkarya mandiri, tidak usah menunggu lapangan kerja pemerintah," katanya.

Dia melanjutkan, bahwa pemerintah Banten terus berupaya meningkatkan perhatiannya terhadap pendidikan, "Selain mendorong pendidikan formal, kami juga menggerakkan lembaga-lembaga kursus untuk meningkatkan kemampuan masyarakat," ujarnya. (e-banten.com)

Ajakan Membangun Kebudayaan Banten

Dikutip dari : http://www.e-banten.com/component/content/article/69-opini-pembaca/612-ajakan-membangun-kebudayaan-banten

Banten | Opini Pembaca Ditulis oleh Gading Tirta on Rabu, 29 April 2009 20:46 Perbincangan ini adalah tentang pembangunan pusat kebudayaan di Banten. Karena ini adalah rencana besar, menyangkut orang banyak, dan mulia, maka banyak yang mesti diikutsertakan dalam perbincangan ini. Ya pengusaha, seniman, pemerintah daerah, tokoh masyarakat, kiyai, tukang becak, petani, pedagang, dan seterusnya. Tapi bila ada yang ragu dengan rencana ini, yakinlah ini adalah rencana bernilai ibadah dan demi kemaslahatan Banten tercinta.

Bagaimana rencana ini bergulir? Begini.

Saya mendapatkan rencana ini dari seseorang yang sangat konsisten dalam mengembangkan kebudayaan di Banten terutama dalam hal sastra, teater, musik, dan film. Ia adalah salah satu pendiri Rumah Dunia, Gola Gong. Beberapa waktu lalu, saat menghadiri Kelas Menulis di Rumah Dunia, Gola Gong menyampaikan kegundahannya tentang pembangunan gedung kesenian Banten yang sudah menjadi impian sejak dulu.

Kalau Anda pernah ke Rumah Dunia, Anda bisa melihat sebidang tanah kosong di depan Rumah Dunia. Luasnya sekitar 2873 M² (@ Rp. 250.000,-/M2). Di atas tanah itulah rencana pembangunan gedung kesenian Banten akan dibangun oleh Rumah Dunia. Tidak hanya akan dibangun gedung tapi juga akan dibangun lapangan olah raga semisal basket, footsal. Juga akan ada warung-warung kecil yang akan diisi warga yang menjajakan makanan khas kampung agar ekonomi sekitar Rumah Dunia bisa berputar, lalu dibangun juga pemandian umum bagi warga. Asal tahu saja, sebagian warga sekitar Rumah Dunia masih ada yang menggunakan sungai irigasi yang airnya berwarna coklat dan sudah bercampur dengan aneka kotoran untuk mandi.

Jika di atas tanah kosong itu sudah dibangun apa yang sudah menjadi rencana itu—dan mudah-mudahan bisa menjadi rencana dan kesadaran kolektif—maka diharapkan Ciloang, kampung di mana tempat itu dibangun, bisa menjadi titik perubahan di Banten. Gola Gong menamakannya dengan titik gempa. Dari titik itu kita berharap bisa mengguncang seluruh wilayah Banten dengan kegiatan positif.

Di gedung itu kita bisa mengadakan pertunjukan teater, tari, marawis, kosidahan, debus, musik, film, dan kegiatan kesenian lainnya. Bisa juga diadakan pameran lukisan sampai pameran buku dan temu penulis. Tapi tentu tidak hanya seniman dan sastrawan saja yang bisa menggunakan fasilitas ini semua. Semua orang, semua sekolah, perguruan tinggi, organisasi boleh menggunakan. Terbukti di Rumah Dunia sekarang, siapa pun boleh menggunaknnya untuk kegiatan. Singkatnya, semua yang memerlukan tempat dalam penumbuhan dan pengembangan kebudayaan di Banten.

Gerakan Peduli Budaya

Rencana yang agung dan mulia ini sayang sekali mentok pada pendanaan yang kini sedang digerakkan. Kalau dalam dua minggu bisa membebaskan 2400 meter saja, maka semua sudah beres. Pemilik tanah hanya memberikan waktu selama dua bulan ini terhitung dari Mei 2009 hingga 1 Juli 2009. Jika sampai waktu yang ditentukan tidak bisa, maka tanah itu akan dijual ke orang lain dan kabarnya akan dibangun toko material! Jual semen, tripleks, paku, dan bahan-bahan bangunan lain.

Dari mana uang bisa didapatkan? Rumah Dunia tentu tidak bisa menghasilkan uang sebesar itu dalam waktu yang singkat karena Rumah Dunia memang bukan perusahaan. Bisakah rencana ini terwujud? Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Begitu para bijak memberikan petunjuk.

Beberapa pengusaha sukses sudah menyumbangkan uangnya demi rencana ini. Forum Indonesia Membaca juga akan menggalang dana di acara Word Book Day di Jakarta tanggal 16 Mei 2009 pukul 14:00 WIB mendatang. Acaranya ada lelang buku klasik “Balada Si Roy”, komplet 10 buku, karya Gola Gong. Peluncuran CD album musikalisasi puisi Ki Amuk yang digawangi Firman Venayaksa, Presiden Rumah Dunia. Juga bursa merchandise Rumah Dunia. Dengan cara itu diharapkan akan terkumpul sejumlah uang.

Sayang, penyumbang paling semangat dan terbanyak hingga saat ini adalah mereka yang berada di luar Banten. Kita, sebagai orang Banten, apa tidak malu? Rasanya sudah saatnya warga Banten membangun tempatnya sendiri. Toh, sudah terbukti bahwa Rumah Dunia selama ini tidak tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri melainkan untuk siapa saja dari mana saja.

Bagaimana jika tidak bisa nyumbang? Paling tidak membantu mengumpulkan dana. Saya sebagai relawan Rumah Dunia akan mengetuk hati siapa pun—terutama warga kampus IAIN—agar bisa berpartisipasi. Yang ingin bergabung, kita bisa mengadakan kegiatan apa saja demi penggalangan dana ini. Saat ini Rumah Dunia membutuhkan bantuan kita. Sudah saatnya kita membantu. Ini ajakan bagi mereka yang pernah menggunakan fasilitas Rumah Dunia. Bagi yang telah mendapatkan ilmu dari sana. Atau bagi yang belum mendapatkan apa pun, yakinlah Rumah Dunia akan memberikan dampak positif.

Bagi yang merasa bisa membantu, kalian bisa membuka penggalangan dana di kampus-kampus atau sekolah-sekolah masing-masing. Mari kita sukseskan pembebasan lahan Rumah Dunia demi pembangunan Banten ke depan.

Berapa pun hasilnya tidak masalah. Yang terpenting, kita usaha dulu. Hasil dari sumbangan itu akan dilaporkan setiap harinya di situs Rumah Dunia (www.rumahdunia. net), face book - face book, dan mailinglist (milis) sebagai bentuk transparansi kepada para penyumbang atau pihak lain yang ingin mengetahui sejauh mana dana terkumpul. Sampai tanggal 26 April 2009 ini, uang yang sudah terkumpul sudah dapat membebaskan areal seluas 322M².

Kegiatan lain yang bisa mendatangkan pendanaan yang lebih efektif bisa dilakukan oleh orang lain, pihak lain, komunitas lain, dan seterusnya yang peduli dan ingin bergabung dalam gerakan ini. Namun perlu diingat, ini bukan kegiatan partai. Ini adalah gerakan sosial dan tidak menghasilkan secara materi bagi para relawannya.

Uluran tangan dari para pihak yang bisa mempercepat pewujudan demi perubahan Banten ini bisa sangat membantu dan sangat ditunggu. Dan perbincangan ini mesti saya sudahi. Karena hanya membincangkan sesuatu tidak akan berguna apa-apa tanpa dikerjakan. (***)

*) Penulis adalah mahasiswa IAIN SMHB Serang dan yang sering menuntut ilmu di Rumah Dunia.

Temuan BPK Ada yang Diabaikan Periode 2003-2008

http://bcwbanten.blogspot.com/search/label/Advokasi%20Kebijakan

Temuan BPK Ada yang Diabaikan
Periode 2003-2008

Kamis, 02-Juli-2009
SERANG-Sebanyak 16 temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sepanjang tahun 2003 hingga 2008 belum sepenuhnya ditindaklanjuti Pemprov Banten. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK, ke-16 temuan itu didasarkan pada hasil pemeriksaan anggaran belanja maupun laporan keuangan serta pemeriksaan pengelolaan aset daerah.

Disebutkan, 16 hasil pemeriksaan itu adalah, pada tahun anggaran 2003 dari delapan saran sebesar Rp 54.748.524.500 Pemprov Banten baru mengembalikan Rp 36.461.024.500 atau menyisakan Rp 18.287.500 juta. Selanjutnya, pada tahun anggaran 2004 dari 14 saran senilai Rp 157.709.741.735 Pemprov baru menindaklanjutinya senilai Rp 147.345.071.775 dan menyisakan Rp 10.364.669.960 yang belum ditindaklanjuti.
Pada tahun anggaran 2004 dan 2005 dari 28 saran senilai Rp 90.405.383.407 Pemprov Banten baru menindaklanjuti 16 saran dengan nilai Rp 14.938.276.613, sementara delapan saran lainnya senilai Rp 75.467.106.749 belum ditindaklanjuti.

Pada tahun anggaran 2005 BPK juga memberikan saran sebanyak 49 senilai Rp 87.600.509.695. Dari 49 saran Pemprov Banten pada 2005 lalu baru ditindaklajuti 44 saran dengan nilai Rp 86.504.866.860, sedangkan lima saran lainnya dengan nilai Rp 1.095.642.835 belum ditindaklanjuti.
BPK juga memberikan saran sebanyak 18 pada tahun anggaran 2006 dengan nilai Rp 3.621.851.426. Dari 18 saran tersebut Pemprov Banten masih menyisakan 2 saran yang belum ditindaklanjuti senilai Rp 1.063.300.000.

Selanjutnya, pada tahun anggaran 2002 lalu BPK RI juga memberikan saran sebanyak 20 senilai Rp 52.481.534.863 dan belum ditindaklanjuti hingga saat ini.
Sementara itu, pada tahun anggaran 2006 sebanyak 33 saran sebesar Rp 58.010.333.392. namun, Pemprov Banten baru menindaklanjuti 21 saran dengan nilai Rp 33.972.294.339, sedangkan 12 saran lainnya dengan nilai Rp 24.038.039.053.
Saran berikutnya diberikan BPK pada APBD Banten tahun anggaran 2006 sebanyak lima saran senilai Rp 37.854.250, telah ditindaklanjuti sebanyak tiga saran dengan nilai Rp 6.180.000, sedangkan dua saran lainnya senilai Rp 31.674.250 belum juga ditindaklanjuti.

Pada tahun yang sama, BPK juga memberikan empat saran senilai Rp 5.967.383.199, baru ditindaklanjuti satu saran senilai Rp 1.344.476.317. Sedangkan dua saran dan satu saran, masing-masing senilai Rp 4.442.981.882 dan Rp 179.950.000, belum ditindaklanjuti.

Delapan saran lainnya pada 2006 juga diberikan BPK yaitu, sebesar Rp 336.132.039 baru ditindaklanjti lima saran dengan nilai Rp 336.132.039. Sementara tiga saran lainnya yang bersifat administrasi belum ditindaklanjuti.
Pada tahun 2007 dari 29 saran BPK senilai Rp 26 000.963.197 baru ditindaklanjuti sebanyak 22 saran senilai Rp 2.506.441.589, enam saran senilai Rp 23.494.521.608 dan satu saran belum ditindaklanjuti.

Pada APBD 2007, BPK juga memberikan 43 saran dengan nilai Rp 140.742.562.296, satu saran belum ditindaklanjuti senilai Rp 27.594.401. Sementara pada APBD 2008 sebanyak 21 saran disampaikan BPK dengan nilai 17.537.760.666, seluruhnya sudah ditindaklanjuti, namun belum sesuai dengan saran BPK.
Sementara itu, pada 2002-2005 pada hasil pemeriksaaan pengelolaan aset daerah BPK RI memberikan 12 saran senilai Rp 524.401.302.000. lima saran sudah ditindaklanjuti. Sedangkan lima saran lainnya senilai Rp 524.401.301.000, dan satu saran lainnya belum ditindaklanjuti.

Menanggapi belum ditindaklanjutinya temuan BPK oleh Pemprov Banten, Kepala Inspektorat Pemprov Tjetje Sjamas menyatakan, disebabkan oleh berubahnya satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pensiun dan meninggalnya pegawai yang bertanggungjawab atas temuan tersebut.

Dihubungi terpisah, Ketua Komisi I DPRD Banten Dadang Kartasasmita mengatakan, telah beberapa kali menyampaikan rekomendasi melalui pimpinan DPRD untuk disampaikan ke Gubernur agar temuan BPK secepatnya ditindaklanjuti.
“Hanya saja ada beberapa temuan yang penyelesaiannya agak sulit seperti temuan mengenai keberadaan aset. Temuan tersebut sulit dilaksanakan karena ada beberapa aset yang sebelumnya milik Jawa Barat. sementara sertifikasi aset-aset tersebut memakan waktu lama. Akibatnya dari tahun-ke tahun temuan tersebut menjadi temukan BPK,” kata Dadang. Sumber : Radar Banten (Eka SL./ Ila)

Korupsi Banten

Kutipan dari : http://bcwbanten.blogspot.com/search/label/Advokasi%20Kebijakan

Sebetulnya apa yang telah terjadi di Banten masih banyak yang belum terungkap oleh BPK RI Jakarta, bahkan masih mengendap di bawah karpet mewah, tentang praktek korupsi yang sesunguhnya sangat besar. Data BPK RI lebih cenderung pada penyimpangan anggaran seperti mark up (harga terlalu mahal) dan kesalahan adminstrasi.

Bukan itu saja, banyak kasus yang hingga saat ini belum selesai dituntaskan apalagi menyangkut tokoh elit feodal-kapitalisme lokal semodel Dinasti H. Hasan Sochib.

Penetrasi dan tekanan terhadap pejabat birokrasi (halus terselubung maupun ancaman) dalam melakukan manuver dan praktek monopoli proyek serta korupsi dilakukan sangat lihai, canggih, dan melibatkan banyak orang juga melanggar hukum (Keppres 80/2003 dan 61/2004). Tidak ada satupun yang berani untuk mencegah dan mengganjal langkahnya.

Bahkan pernah suatu ketika dimasa lalu, balik menuduh dan mengancam parlemen pada tanggal 18 Agustus 2006 (Hari Kemerdekaan) , sehubungan dengan pertanyaan proyek pembangunan jalan raya lebak-sukabumi bantuan dari Bank Dunia, dll. Padahal hak bertanya (interpelasi) dan hak angket adalah sah dijamin undang-undang milik parlemen sebagai fungsi pengawasan terhadap jalannya roda program pembangunan.

Rumor lainnya tentang asosiasi pengusaha atas perintah sebagai Ketua Kadin dan Jawara Banten memalak kepada pengusaha dan tiap dinas sebesar 10 % hingga 30 % (data PSK UGM 2006) untuk mendapatkan proyek.

Jadi, bagaimana pembangunan Banten akan sesuai dengan mutu kualitas yang terbaik, jika pada tahap awal saja biaya pembangunan sudah dikorupsi.

Kembali Ke Desa

Kutipan dari : http://bcwbanten.blogspot.com/search/label/Advokasi%20Kebijakan

Fisip Untirta kembali menggelar acara Diskusi Bulanan dengan Tema Sentral Komunikasi dan Perubahan Sosial (rencananya akan dibukukan dari kumpulan artikel terebut). Menjadi pembicara berdua dengan Neka Fitriah (Demokratisasi Komunikasi) dengan tema berbeda tetapi saling berkaitan dan sinergis.

Tema yang diusung sudah cukup lama menjadi bahan pemikiran sejak 1998-2006, diblog ini juga ada yaitu ; Partisipasi Rakyat Kuat DiAkar Rumput-Studi Kritis Membangun Civil Society di Desa dan Kelurahan, pernah diterbitkan di Majalah Menara Banten pada tahun 2006.

Karena tema ini berkaitan dengan komunikasi sosial dan perubahan sosial hanya sarana pemancing saja untuk kegiatan Program Fisip yang akan dilakukan yaitu membentuk Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) program depkominfo yang terdiri dari kelompok formal dan non formal; Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), Pos Yandu, Pos Bindu, PKK, Kelompok Industri Masyarakat,PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), kepemudaan, maka terpaksa kembali dimunculkan sekaligus mengingatkan bahwa wilayah masyarakat pedesaan sangat urgen untuk diberdayakan kembali.

DiBanten menurut rekan saya Gandung Ismanto, kelompok masyarakat pedesaan berdasarkan data statistik hanya 15 % mengenyam pendidikan tinggi , 70% buta huruf, 79% masuk kategori desa berkembang dan 80% desa tertinggal (desa maju biasanya masuk kategori kelurahan diwilayah perkotaan. red).80 % desa tertinggal di Propinsi Banten terbanyak ada di daerah Pandeglang dan Lebak.

Mengenai program JPS (Jaring Pengaman Sosial) pada tahun 1999-2000 yang dianggap bermasalah dalam makalah saya tidak seluruhnya gagal atau kurang maksimal hanya program tertentu yang dianggap kurang berhasil. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta termasuk yang sangat berhasil. Kelompok pengrajin mebel khas Jepara berhasil memiliki assetnya kembali bersaing dengan investor dari luarnegeri , begitupula masyarakat miskin daerahYogyakarta.

Hal ini disebabkan kohesifitas (kekuatan) keguyuban gotong royong masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta dari strata atas hingga bawah, aparat birokrasi pemerintahan hingga wong cilik sangat luarbiasa, sehingga program JPS dianggap berhasil. Yang lebih hebat lagi antar desa terkoneksi melalui jaringan internet.

Mengenai peran dari demokratisasi komunikasi yang disuguhkan Neka Fitriah dibutuhkan peran dan syarat utama yang sangat fundamental bagi masyarakat awam. Karena pada wilayah masyarakat bawah berada dalam posisi marginal belum melek informasi (pra informasional-Sistem Informasi Manaj. red) dan belum dapat mengakses informasi.

Relasi Sosial yang Tertindas
Berbagai kasus dimasa lalu hingga kini yang saya dan sdr Gandung Ismanto amati juga kurang lebih sama. Bagaimana masyarakat bawah mudah sekali dibohongi dan dibodohi.

Contoh kecil kepala desa yang bersikap seperti calo tanah, sertifikat tanah diambil dan dijadikan jaminan agar aman'(tanda petik, nyatanya malah dijual kepada pihak investor pengembang misalnya, bahkan lebih parah lagi tanah bengkok dijual, kasus pengumpulan KTP petani untuk koperasi fiktif kasus KUT dll red).

Dengan begitu nyata bahwa rekayasa paling mudah dilakukan elit-elit desa dan kota, begitupula akses dan pamanfaatan informasi dibawah kendali komunikasi dan kekuasaan yang sangat cenderung sentralistik.

The End Of Empowerment Society
Jika dalam buku Komunikasi Sosial Pembangunan karya Zulkarimen Nasution adalah teknis penyuluhan (top down) dengan hasil akhir adalah sosialiasi (sangat berhasil dimasa Orde Baru cth. kelompencapir, pos yandu, pkk dll), maka sesungguhnya terasa ada yang kurang dari kajian teori tersebut adalah pelatihan dan partisipasi yang tumbuh dan akhirnya berdaya dari bawah sebagai hasil akhir program/proyek pemberdayaan masyarakat oleh berbagai pihak, LSM, dunia kampus dan unsur lainnya.

Prof. Dedy Jamaluddin pakar komunikasi dan Prof Kusnaka dari Unpad, DR. Hari Hikmat, DR. Rizal Jayadi, serta Rektor UI Prof. Gumelar sebagai narasumber dalam melihat perspektif teori dan praksis partisipasi masyarakat bawah ini, dapat dijadikan rujukan untuk kita dari berbagai literatur dan makalah karya mereka yang sangat menguatkan peran dan posisi kedaulatan rakyat tersebut.

Mengenai Musyawarah Desa dan Kelurahan mengenai Program/ Proyek Pembangunan, saya melihat juklak/ jeknis sudah ada tertuang dalam tiap dinas di Propinsi Banten, tetapi kenyataan inilah yang kadangkala mengapa program/proyek pembangunan terdapat penyimpangan anggaran, kegagalan program dan tujuan akhir.

Subsidi fresh money dari pemerintah di daerah Pontang misalnya meskipun Bupati Serang Taufik Nuriman telah mengeluarkan Intruksi Bupati (Inbup) untuk melakukan Musyawarah Desa dengar pendapat program/proyek, ternyata itu tidak dijalankan sama sekali oleh aparat desa.

Di daerah Pontang ini sudah sering terjadi gejolak kasus aksi massa rakyat yang turun ke jalan. Kasus Kepala Desa dan BPD (Parlemen Desa) yang berpihak pada perusahaan penambangan pasir laut didaerah tenajar lor, tidak berpihak pada umumnya rakyat yang sebagian besar adalah nelayan ternyata sangat memprihatinkan.

Begitupula kasus oknum pejabat kecamatan dan kabupaten di sebuah desa di Tangerang dibongkar oleh LSM Peduli Masyarakat dalam menyalurkan raskin (beras miskin) terdapat kekurangan yang sangat besar.

Ini yang baru terungkap melalui media massa yang saya tangkap belum kasus besar lainnya di wilayah rakyat tersebut (lihat Kasus KUT diputihkan, dll)

Dengan demikian dalam posisi tersebut saya menyimpulkan bahwa, instrumen dalam menegakan Visi Kedaulatan Rakyat Madani tersebut mestilah ditopang oleh 3 hal pokok yaitu :

1. Musyawarah Desa (dengar pendapat minimal 3 x) Program / Proyek Pembangunan yang terdiri dari ; Pra, Pelaksanaan, Evaluasi terakhir) tertuang dalam juklak / juknis dinas, amdalsos, ini harus diperkuat kembali. Apakah diatur oleh Perda, Perbup/Inbup/ Perkot hingga Perdes. Terserah !!!
2. Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Desa) tertuang dalam UU 32/ 2004 Pemerintahan Daerah, permendagri 13, UU 25 Perencanaan Pembangunan Nasional, ini juga sangat penting untuk diberdayakan, banyak sekali desa yang kurang mengerti dan tidak melaksanakan atau tidak mendapat prioritas utama padahal ada pula yang sangat membutuhkan.
3. Evaluasi Tiap Dinas dengan program/proyek yang berkaitan dan bersentuhan langsung dengan rakyat bawah. Karena pola paternalistik dan birokrasi yang menghambat menjadi faktor kendala, untuk itu perlu transparansi dan akuntabilitas dari sebuah pemerintahan untuk tetap konsisten melayani masyarakat bawah (lihat dan baca : Hak Informasi Publik/e - government dan lain sebagainya untuk melakukan cross chek dan evaluasi program/proyek tiap dinas)

Mengenai pokja KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) jujur saya masih meraba (masih terlibat diskusi serius dengan rekan saya Agus Syafari)dan sangat potensial sekali jika ini dapat diberdayakan yaitu sebagai :

1. Pusat data dan informasi
2. Media informasi dan komunikasi masyarakat
3. Riungan warga kampung

Metode untuk memberdayakan tersebut yaitu dengan cara penyuluhan dan pelatihan untuk membangkitkan partisipasi masyarakat hingga berdaya dan mandiri.

Tetapi banyaknya penyuluhan belum tentu menghasilkan sosialisasi yang permanen menjadi sistem nilai dan pola kebiasaan serta tradisi masyarakat (sistem budaya dan sosial. red). Pertanyaan ini cukup mengagetkan saya.

Saya juga melihat betapa banyaknya program yang digelar oleh dunia kampus dari KKN mahasiswa hingga program pengabdian para dosen dengan karyanya lebih bersifat sementara bahkan hanya insidental sesaat. Bubar setelah acara berakhir dan paling bertahan hanya 6 bulan.

Pertanyaan ini dilontarkan oleh rekan saya Rahmi Winarsih dengan sangat cerdas sayangnya acara sudah berakhir.

Saya merenung diluar kenapa gagal ? ah ternyata mudah tetapi sangat berat, yaitu menghidupkan kembali hukum adat dan sangsi sosial ditengah masyarakat. Saya kebetulan mendapat ilham justru karena libur tidak mengajar ilmu tersebut.

Semoga ini berhasil dilakukan oleh para akademisi dan masyarakat ketika menggelorakan semangat pembangunan di desa, bukan hanya pada saat acara tetapi setelah acara berakhir.

Sedangkan Pendidikan dan Pelatihan, saya pikir ini sangat penting sekali untuk menambah skill (keahlian) dan pengetahuan masyarakat. Dunia kampus sebagai representasi gudangnya ilmu ini perlu diimplementasikan pada masyarakat.

Untuk pokja KIM (Kelompok / Komunitas Informasi Masyarakat) yaitu sebagai ;

A. Pusat data dan informasi, masyarakat harus melek informasi dan tidak gagap teknologi.

1. Pelatihan komputer dan internet ini sangat penting. Database tentang administrasi dan dokumentasi sejarah desa tertata rapih, bahkan dapat launching dengan membuat blog atau situs untuk melihat peluang usaha dari dunia internet misalnya.
2. Fasilitas Taman Bacaan (perpustakaan) Desa (jika tidak salah APBD Banten telah menganggarkan ini cukup besar untuk tiap desa ???)
3. Bantuan konsultasi dan penyuluhan dari berbagai pihak (pemerintah, kampus, lsm dll) untuk mendapatkan sumber informasi yang dapat memberdayakan masyarakat.
4. Diskusi rutin intensif dilakukan misalnya dengan FGD (Forum Group Discussition) dan teknik Pemetaan Desa model PRA-Participation Rural Apraisal dari setiap masing-masing kelompok informal dan formal masyarakat sebagai data primer dan kajian kebutuhan masyarakat (rekan saya yang satu lagi sdr. Kandung Ketua Pelaksana Acara Diskusi Bulanan sangat meminati sekali teknik ini).

B. Media Informasi dan Komunikasi Masyarakat
Media informasi dan komunikasi masyarakat desa cukup banyak yang dapat diaplikasikan diantaranya yaitu sbb.:

1. Mading (majalah dinding)
2. Buletin terbit berkala
3. Radio komunitas warga
4. Cybernet (internet)

C. Riungan Warga Kampung

Dilakukan berdasarkan mekanisme kebutuhan ketika organisasi formal atau non formal menggelar acara bersama atau sangat urgent dan mendesak untuk dilakukan riungan warga karena ada acara yang akan dilakukan.

Disini peran dari pokja KIM (Komunitas Informasi Masyarakat) diakomodir oleh seorang sekretaris desa atau dapat juga yang terpilih melalui pemilihan demokratis dari semua kelompok formal dan non formal tersebut, bertindak sebagai seorang administrator mencatat setiap kegiatan tersebut.

Riungan warga saya pikir sudah seringkali menjadi bagian dari local genius kita disitulah adanya nuansa solidaritas ikatan emosional yang sama menggurat tajam bagai naga dan mengurai sangat indah bagian dari keakraban kampung kita, dan dapat mengurai benang kusut setiap masalah warga dengan modal sosial (social capital) yang ada dan tersedia baik dari dalam maupun dari luar (CSR, dll).

Terakhir sebagai penutup dan resume diskusi bulanan Fisip Untirta ini, saya pikir kembali pada kita semua baik para pemrakarsa, penggiat, maupun masyarakat itu sendiri, bagaimana terciptanya partisipasi tersebut dapat menghasilkan rakyat madani dan berdaulat penuh. Semoga


Serang. 26 Maret 2008

Teguh Iman Prasetya