Kami adalah

Selasa, 04 Agustus 2009

Kanibalisme Gedung Kuno di Era Modern

Kutipan :http://arsitekturindis.wordpress.com/category/kritik-arsitektur/

Desember 14, 2005
Oleh: Pudjo Koeswhoro Juliarso


KANIBALISME di era modern ini masih terjadi terhadap eksistensi bangunan kuno bersejarah. Sementara itu teknologi modern terus membangun, serta temuan bahan bangunan sudah berkembang pesat.Kanibalisme sering dikonotasikan perbuatan saling memangsa melalui cara memenggal, menyayat, dan menguliti. Bahkan, saling menusuk lawan dan dilakukan oleh kekuatan hukum rimba. Tidak ada aturan jelas yang patut dipatuhi.

Homo homini lupus layaknya hukum rimba berlaku atas diri sendiri yang memiliki kekuatan (power) meruntuhkan dan menghancurkan yang ada di depan dirinya. Menelantarkan, bahkan membiarkan roboh, hancur serta merusak secara perlahan-lahan, merupakan modus yang dapat ditengarai sebagai upaya “menghilangkan nyawa” di badan bangunan kuno.

Kerap terdengar rintihan bahkan jeritan para pengagum bangunan kuno bersejarah untuk mempertahankan eksistensi aset sejarah kota.Namun, tidak berdaya (powerless) dan ketiada harapan (hopeless) menghadapi pemilik atau investor serta pemimpin kota yang menutup mata dan hatinya terhadap tindakan penghancuran bangunan kuno bersejarah.

Keberadaan suatu bangunan kuno di kawasan Kota Lama dan sekitarnya sangat penting bagi kehidupan jiwa kawasan sebuah kota (spirit of place). Nampaknya, nasib kehidupannya satu persatu mengalami kehancuran. Biasanya hal ini dapat terjadi setelah berpindah kepemilikannya dan tidak diketahui oleh Pemkot yang sudah sepantasnya mampu mengelolanya berdasar peraturan yang disusun dan disahkan DPRD Kota.

Merujuk UU Nomor 5 Tahun 1992, dan lebih rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No 5/1992 (lihat Bab IV, Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 1 dan ayat 3). Apalagi Pemkot memiliki Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kota Lama. Namun tampaknya Pemkot Semarang tidak berdaya menghadapi para pemilik modal yang beralamat di Jakarta. Seperti, pembongkaran konstruksi atap eks Gedung Tonil Schouwburg atau Marabunta di Jl Cendrawasih No 25, kawasan Kota Lama yang banyak disayangkan. Pihak Pemkot dinilai pasif.

Proses Berlarut-larut

Pada pertemuan 23 Juli 2005 di Kantor Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, dihadiri Dinas Pariwisata Kota, IAI Jateng, DP2K, dan pemilik diwakili pengawas lapangan yang membawa surat pemilik baru Gedung Marabunta, Yogi Sugiarto Sutanto, Jakarta.Dari surat permohonan ke Wali Kota bertanggal 18 Juli 2005, ada keinginan baik dengan mengusulkan akan melakukan renovasi bangunan untuk gudang dengan memperbaiki konstruksi atap yang sebagian rusak dan ambrol di sebagian bidang atap dengan penguatan konstruksi penyangga kolom dan balok beton bertulang yang sebagian ditopang konstruksi baja. Dalam memo Pjs Wali Kota kepada DTKP berpesan agar bangunan indah jangan dibongkar.

Karena proses perizinan dan pembahasan tim berlarut-larut hingga 12 September 2005, bahkan tindakan pengawasan lapangan di lokasi tidak dilakukan DTKP. Termasuk upaya pengamanan konstruksi dinding yang miring dan sebagian dua buah konstruksi kaki kuda-kuda kayu rusak dan ambrol. Ketika pengawasan lengah, tak ayal dalam tempo 1.488 jam, pemilik sah bangunan Marabunta melakukan pembongkaran dan memperoleh keuntungan material 23 m3 kayu jati kualitas bagus yang dijual tanpa mempedulikan ketentuan penyelamatan bangunan kuno bersejarah sebagai cagar budaya kuno bersejarah. Hal itu disesalkan banyak pihak.

Dari pengalaman pembahasan tim yang mengundang DTKP, proses pengajuan permohonan izin inisiatifnya justru dilakukan para pemilik/investor untuk memanfaatkan kembali dengan fungsi baru. Kejelian para investor patut disokong semua pihak. Biasanya, ketika melihat ada aset gedung kuno yang telantar dan tidak terawat, mengusulkan ke Pemkot untuk mendapatkan izin memugar melalui IMB khusus.

Keterbatasan pengetahuan soal konservasi dan pelestarian, serta cara-cara memugar bangunan kuno, sering menjadi kendala. Ketika usulan pemilik disodorkan ke Pemkot, lamban untuk direspons dan di era reformasi masih terkendala birokrasi, menunggu memo dan disposisi atasan melalui beberapa meja. Bahkan ruang kantor berbeda lantai.
Di sisi lain, penanganan renovasi maupun rekonstruksi membutuhkan keahlian pemugaran yang handal dan pengalaman lapangan. Selain itu, pengetahuan yang merujuk pada dokumen “blue print” gambar asli dan memerlukan pendataan detail konstruksi. Dilakukan pula pengujian konstruksi, kekuatan bahan bangunan lama untuk dipadukan material baru.

Sementara di DTKP, ada seksi Pengawasan Pemugaran dan Pemeliharaan serta pengawas lapangan yang terbatas SDM dan pengetahuan teknis bangunan serta pengalaman dalam tindakan pemugaran bangunan kuno. Proses perizinannya pun memerlukan kelengkapan dokumen pendukung UKL-UPL, Amdal jika proyek berskala luas, bahkan memerlukan studi transportasi-perparkiran dan kelengkapan izin “advice planning”. Gambar situasi/keterangan rinci kota (KRK) untuk menentukan sempadan bangunan dan luasan maksimal sesuai peruntukan tata ruang kota.

Jadilah proses perizinan bertele-tele. Padahal, niat baik para investor yang akan memugar bangunan memerlukan waktu cepat. Nampaknya belum ada rekomendasi serta input secara nyata tentang penanganan desain dan langkah-langkah operasional dalam teknik pemugaran dan merekonstruksi bangunan yang benar dari para ahli teknik, arsitek, arkeolog dan sejarawan.

Saat ini, di Pemkot Semarang sudah banyak pengajuan izin memugar dan membangun kembali bangunan kuno bersejarah. Seperti Lawang Sewu, Mega Elektra Bandarharjo, Hotel Dibyapuri, eks rumah makan Pelangi depan Gereja Blenduk, dan lainnya. Toh, banyak contoh yang berhasil dalam renovasi gedung eks PHI untuk Hotel Heritage. (56d)

- Penulis adalah Anggota Semarang Heritage Society.

Sumber: Suara Merdeka, 14 Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami menunggu partisipasi pemikiran anda.. silakan